"Azzura Yuana, bukalah pintu untukku. Katakan kepadaku, apa salahku sehingga kamu mengakhiri hubungan kita secara tiba-tiba."
Berkali-kali, Yoga menggedor pintu rumah kontrakan Azzura.
Azzura tidak sanggup menemui kekasihnya itu, hatinya terlanjur sakit ketika ia mengetahui kalau Yoga adalah putra dari Broto, pria paruh baya yang dulu pernah mau membeli keperawanannya.
'Maafkan aku Ga, aku tidak bisa meneruskan hubungan ini. Lain kali, kita akan bicara. Untuk saat ini, aku masih ingin sendiri.'
Kembali Azzura menangis tersedu, bantal menjadi sandaran yang nyaman untuknya saat ini.
Yoga masih memanggil dan menggedor pintu rumah kontrakan Azzura.
"Woi, mas. Gak ada orangnya berarti, jangan gedor-gedor terus, berisik!" teriak seorang ibu, tetangga Azzura.
Setelah si ibu meneriaki Yoga, suasana hening dan sepi. Azzura merasa lega, karena akhirnya laki-laki yang dicintainya itu pulang.
Dengan langkah gontai, ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.
Di atas sejadah, ia mengadukan semua permasalahnnya kepada sang Maha Pencipta.
Tak lupa, ia pun mengirimkan doa untuk almarhumah ibunya.
Usai shalat dan mengaji, Azzura naik ke atas tempat tidurnya. Matanya sudah lelah, perlahan Azzura pun tertidur ditemani suara gemericik air hujan.
***
"Nak Haidar, tante titip Yuana ... Jagalah dia, karena kini ia sebatang kara. Hiks, hiks."
Haidar menatap iba, wanita paruh baya di hadapannya.
Perlahan, sosok wanita paruh baya berbaju putih itu menghilang dari pandangan Haidar.
Netranya berkeliling, mencari-cari ibu yang menitipkan Azzura kepadanya.
Haidar bangkit, bermandikan peluh. Nafasnya terengah-engah, ia meneguk segelas air putih yang tersedia di meja samping tempat tidurnya.
Kemudian, ia bersandar berusaha mengingat kembali mimpinya.
"Mamanya ... Azzura Yuana, bawahanku di kantor. Masya Alloh, apa maksudnya? Sering kali aku bermimpi yang sama, lagi-lagi mama Azzura berucap begitu."
Haidar meraih ponselnya, ia menghubungi seseorang.
"Itu amanat Dar." ucap pria, lawan bicara Haidar di telepon.
"Maksudmu?"
"Ya, amanat. Ibu berbaju putih itu, ingin agar kau menjaga putrinya."
"Dengan cara apa aku menjaganya? Dia bukan bayi dan anak kecil lagi."
"Naif sekali kamu Haidar, ya jelas kamu harus menikahinya. Itu jalan satu-satunya kamu dapat menjaganya, melaksanakan amanat ibu itu."
"What?"
"Ya, apalagi? Masa iya kau mau adopsi itu bocah gede? Tiap hari kamu sanguin (kasih uang jajan)."
"Haris, tapi kan kau tahu kalau aku sudah...."
"Beristri? Si Arini itu sudah berbuat Nusyuz, apa perlu aku jelaskan pengertiannya agar kau paham.
Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya, (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 4: 24) ... Sampai-sampai istri berbuat nusyuz atau melakukan pembangkangan, durhaka kepada suami. Secara hukum agama kamu sah untuk jatuhkan talak. Di mata agama Dar, status pernikahanmu dengan Arini sudah berakhir. Karena sudah hampir tiga tahun dia menghilang tanpa jejak, meninggalkanmu. Come on Haidar, move on."
"Entahlah Ris, aku gak bisa berfikir."
"Jangan baper jadi cowok, malu sama brewok, haha."
"Sialan, ya sudah Ris, thanks ya sudah kasih masukan."
"Ok bro, sama-sama. Kau harus ingat, jangan terjebak di masa lalu. Arini sudah meninggalkanmu demi laki-laki lain, dia tidak takut dosa karena masih menyandang status istri, tapi selingkuh. Wanita seperti itu, tidak pantas kau tunggu Dar."
"Iya Ris, di satu sisi aku ingin melupakannya, namun di sisi lain aku juga ingin bersamanya kembali, bahagia seperti dulu."
"Cemen kau Dar, untuk apa kau memikirkannya, sedangkan dia saja lupa sama suaminya, dia lebih memilih pria lain. Tidak ada gunanya, sudah ah aku malas kalau kau masih bersikukuh menunggu Arini."
Tidak lama kemudian, Haris pun menutup telepon dengan ketus.
Haris, yang merupakan sahabat Haidar semasa kerja menjadi marketing dulu selalu menjadi tempat Haidar berkeluh kesah akan setiap masalahnya.
***
"Lepaskan aku Yoga!" pekik Azzura, menepis genggaman tangan kekasihnya.
"Kita harus bicara, Yuana."
"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, semua sudah berakhir."
"Tapi, kenapa? Beri aku penjelasan, setelah itu aku berjanji tidak akan mengusikmu lagi."
"Aku tidak mencintaimu lagi, itu alasan terbesarku mengakhiri hubungan kita."
"Bohong, aku tahu dari matamu kalau kamu masih mencintaiku. Jujurlah Yuana, ada apa? Jangan siksa aku dengan kebisuanmu."
"Aku mohon, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Sudah ya, aku pamit pulang."
Yoga tidak tinggal diam, ia menarik paksa lengan Azzura. Azzura meringis kesakitan, karena Yoga mencengkeram tangannya sangat kuat.
"Sakit, Ga. Lepaskan! Hiks."
Yoga tidak memperdulikan rengekan Azzura, dengan emosi ia menyeret kekasihnya itu menuju ke mobilnya.
Aksi mereka berdua berhasil menjadi sorotan semua mata yang berada di sekitar situ, namun tidak ada satu orang pun berani menolong Azzura yang memberontak dan memekik kesakitan.
"Aku tidak akan melepaskanmu Yuana, kita harus bicara. Aku tidak ingin putus."
"Lepaskan aku, hiks. Aku malu jadi pusat perhatian semua orang disini Ga."
Yoga mentulikan telinganya, dengan kasar ia menarik paksa wanita yang sangat dicintainya itu.
"Pak Haidar, toloong." Azzura berteriak, saat melihat Haidar berjalan hendak menuju mobilnya.
Haidar menoleh ke asal suara, ia terkejut melihat bawahannya diperlakukan seperti itu.
"Lepaskan dia!" teriak Haidar.
"Jangan ikut campur!"
"Lepaskan dia!"
"Dia calon istriku, kamu tidak berhak melarang aku membawanya pergi."
"Aku berhak, karena kamu berbuat seperti itu masih dalam ruang lingkup pekerjaan. Azzura bawahan saya, sudah sepatutnya saya melindungi semua karyawan disini."
"Masuk, kamu Yuana!" Yoga mendorong tubuh Azzura masuk kedalam mobil.
Setelah Azzura berada didalam mobil, Yoga menantang Haidar.
Azzura melihat kedua pria di hadapannya sedang adu mulut, terlihat Yoga sangat bernafsu, berkali-kali ia mendorong tubuh kekar Haidar.
Tidak gentar, Haidar tetap berdiri kokoh pasang badan membela Azzura.
Sepertinya Yoga kehabisan kesabaran, tangan kanannya mengepal dan melayangkannya mengarah ke pipi Haidar.
Haidar menghindar, tinjunya mendarat manis di perut Yoga. Yoga tersungkur, namun ia belum menyerah.
Ia kembali menyerang Haidar, lagi-lagi Haidar dapat menghindar dan mendaratkan kembali bogem mentah di wajah Yoga.
Terlihat darah segar mengucur dari sudut bibir dan pelipi mata kirinya.
Azzura berteriak histeris, ia keluar dari mobil untuk melerai mereka.
"Sudah cukup, cukup katakuuuu!"
Tubuh Yoga didorongnya menjauhi Haidar, Azzura menatap wajah pria yang sangat dicintainya.
"Pulanglah Ga, sebelum pak Haidar bertindak lebih jauh. Maafkan aku, aku tidak bisa mewujudkan impian kita berdua untuk hidup bersama."
"Aku mohon Yuana, ikutlah denganku. Maafkan sikapku tadi, aku khilaf."
Azzura menggeleng, ia mundur perlahan menjauhi Yoga.
"Aku akan pulang dengan pak Haidar, sekali lagi maafkan aku Yoga. Aku mencintaimu, namun kita tidak mungkin bersama. Maafkan aku, hiks"
Azzura membalikan tubuhnya, berjalan perlahan menghampiri Haidar.
Haidar mengajak Azzura masuk kedalam mobilnya.
"Bapak tidak apa-apa?"
"Ya aku baik-baik saja."
"Maaf ya pak, sudah membuat bapak terlibat."
"Lain kali, selesaikan baik-baik. Jangan di tempat umum, malu."
"Iya pak, sekali lagi maafkan saya."
"Ini bukan urusanku, tapi kalau boleh aku tahu. Kenapa dia mengejarmu?"
"Aku menolak menikah dengannya."
"Alasannya?"
"Ayahnya."
"Tidak setuju?"
"Sudah tentu."
"Maksudmu?"
"Bapak ingat Broto? Pria paruh baya yang bapak pukuli di hotel?"
"Si bocah tua nakal?"
"Iya pak, betul."
"Apa hubungannya?"
"Yoga, kekasihku itu ternyata putra Broto. Tentu saja aku mundur pak."
"Bapak, sama anak sama saja Kasar dan arogan."
"Yoga sebetulnya baik, kami bersahabat semasa kuliah dulu. Dia tadi emosi, karena saya terus menolak memberi alasan yang jelas kenapa saya membatalkan rencana pernikahan kami."
"Hmmm, tidak harus dengan kekerasan kan?"
"I-iya pak, betul."
Suasana sesaat kemudian hening, baik Azzura maupun Haidar diam, keduanya fokus menatap jalanan.
"Saya turun disini saja pak."
"Ini jalanan sepi, sudah lewat maghrib pula. Aku antar kamu ke rumah saja."
"Tidak usah pak, sampai sini saja."
"Usah ah, tunjukan kepadaku arah jalan rumahmu! Aku harus belok kanan atau lurus?"
"Belok pak, nanti setelah minimarket ada gang besar, masuk kesitu."
"Ok."
"Sudah sampai pak, itu rumah saya." Azzura menunjuk rumah kecil bercat hijau.
Ia mengernyitkan dahi, karena di depan rumahnya sudah banyak orang berkumpul.
"Kok di depan rumah saya ramai banyak orang, ada apa ya pak?"
"Kita turun, dan lihat!"
Haidar dan Azzura turun dari mobil, semua warga yang sedang berkumpul menatap mereka berdua dengan tatapan tidak baik.
Bu Santi, berlari tergopoh-gopoh memberitahukan kalau ada tamu mencari Azzura.
"Siapa bu?"
"Bapak-bapak mbak."
"Ada dimana tamu itu sekarang?"
"Ada, sedang duduk di teras."
Azzura berjalan menerobos kerumunan orang, betapa terkejutnya ia saat melihat tamu yang datang ke rumahnya.
"Ini dia pelacur yang sudah menggoda anak saya." ucap Broto, menatap jijik kepada Azzura.
Semua warga berbicara, sekejap suasana menjadi riuh tidak menentu.
Azzura menangis memeluk bu Santi, ia tidak menyangka kalau Broto tega mempermalukannya seperti itu.
==========
"Hei kamu, pelacur murahan. Saya peringatkan, agar kamu menjauhi anak saya. Saya tidak sudi, punya menantu pelacur murahan sepertimu."
Suasana semakin riuh, semua warga saling berbicara satu sama lain.
Azzura menangis semakin kencang dipelukan bu Santi.
"Dan kalian warga komplek Pesona Indah, jangan mau punya tetangga wanita kotor sepertinya. Kalau perlu usir dia!"
Warga kembali riuh, kini suasana semakin memanas. Broto terus meracau, dia membeberkan bukti pesan singkat saat Azzura menawarkan keperawanannya.
Liciknya, ia berujar kalau bukan dia yang menjadi orang yang bertransaksi dengan Azzura, yang kala itu memalsukan namanya menjadi Anggita.
Haidar yang masih berdiri di belakang kerumunan warga merasa penasaran, ia berusaha menerobos ke depan.
Suara Broto masih terdengar lantang, Azzura semakin terpojok.
Semua warga emosi, dan mulai memojokan Azzura.
Warga mendesak pak RT agar segera mengusir Azzura dari lingkungan komplek.
Azzura membalikan badan, hendak kabur meninggalkan semua warga yang mulai tidak menginginkan keberadaannya, namun tangan kekar Haidar memegang pundaknya.
Haidar memberi isyarat agar Azzura tetap diam di tempat.
"Maaf sebelumnya saya bicara disini, saya ingin membersihkan nama Yuana. Yuana adalah seorang wanita baik-baik, dia bukan pelacur seperti apa yang dikatakan oleh laki-laki tua itu."
Broto mengepalkan tangannya menahan emosi, ia tidak menyangka kalau begundal sialan yang dulu telah menghajarnya di hotel berada bersama Azzura kini.
"Bukti kalau dia pelacur sudah jelas begundal sialan, tidak usah kamu membelanya lagi. Jangan-jangan kamu adalah germonya, haha." cela Broto tanpa berdosa.
"Heh botak, jaga bicaramu! Saya bisa menuntutmu dengan pasal pencemaran nama baik."
Rahang Haidar mengeras, wajahnya memerah, nafasnya naik turun menahan amarah.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu semuanya, semua yang diucapkan oleh laki-laki tua itu adalah bohong. Mulai dari anaknya digoda oleh Azzura, maupun yang mengatakan kalau Azzura ini adalah seorang pelacur. Jangan percaya kepadanya."
Azzura tidak dapat membendung kesedihannya, didalam pelukan bu Santi ia menumpahkan semuanya.
"Tidak mungkin Azzura menggoda anaknya bapak ini, karena apa?" suara Haidar terdengar lantang dan berani. "Karena, dia adalah calon istri saya."
Mendengar pernyataan yang diucapkan oleh Haidar barusan, Azzura terkejut dan menatap sosok atasannya yang sangat tegas dan disiplin saat di kantornya itu.
Ia tidak menyangka, demi menyelamatkan nama baiknya, Haidar berani bicara seperti itu.
"Secepatnya, inshaa Alloh kami akan menikah. Secara sederhana saja , karena calon mertua saya baru saja tiada. Kalau memang tidak percaya saya ini adalah calon suami Azzura, anda semua bisa tanyakan kebenarannya kepada bu Santi. Beliau menjadi saksi setiap hari selama di rumah sakit saya menemani calon istri dan mertua saya. Betul kan bu?"
Bu Santi, memandang wajah Haidar dengan penuh kebahagiaan. Dengan mantap beliau mengangguk, "iya betul, mas Haidar adalah calon suami mbak Yuana. Selama bu Hasni di rumah sakit, saya standby terus jadi saya tahu betul siapa mas Haidar."
Azzura terkejut kembali dengan ucapan bu Santi yang setali tiga uang dengan Haidar, mereka terlihat kompak seperti sudah latihan untuk bicara seperti itu.
"Semua yang disini sudah mendengar kebenarannya kan? Jadi anda, bapak tua mau menunggu apalagi? Mau pulang sendiri atau menunggu pihak berwajib yang datang menjemput?"
Broto dengan wajah merah bak udang rebus, berjalan cepat meninggalkan rumah Azzura menerobos kerumunan warga yang masih ramai berdiri.
Semua warga sontak menyoraki Broto dan mengatainya dengan cacian dan ejekan.
Setelah pak RT dan RW memberikan pengertian kepada semua warganya, tidak lama kemudian mereka semua bubar dan pulang kerumahnya masing-masing.
Bu Santi menggandeng Azzura masuk kedalam rumah, Haidar yang sudah mengantongi izin dari RT untuk berkunjung sebentar kerumah Azzura berjalan mengekor dibelakang mereka berdua.
"Mbak, ibu mau pulang dulu ya. Cucu ibu takut nangis, karena mamanya belum pulang kerja lagi shift siang."
"Iya bu Santi, terimakasih."
"Sama-sama mbak, jangan banyak pikiran ya mbak."
"Iya bu."
"Mas Haidar, ibu permisi pulang ya."
"Iya bu, terimakasih banyak atas bantuannya tadi."
"Sama-sama mas, saya juga sangat salut kepada mas Haidar ternyata mas akhirnya bersedia menjalankan amanat itu."
Haidar memelototi bu Santi, sadar kalau ia sudah keceplosan, dengan gelagapan ia mengeles berbicara ngelantur tidak karuan.
Setelah bu Santi keluar rumah, Azzura dan Haidar duduk berhadapan sama-sama saling diam.
Air mata Azzura masih terus bercucuran.
"Azzura ...."
Azzura bergeming, kepalanya menunduk menatap lantai keramik berwarna merah hati.
"Azzura, maafkan atas kelancanganku tadi. Tidak ada cara lain untuk mempermalukan balik si bandot tua itu, aku refleks bicara begitu. Aku harap kamu tidak tersinggung."
"Amanat apa pak?"
"Amanat? Maksudmu?"
"Jangan berlagak tidak tahu, apa yang bapak dan bu Santi sembunyikan dari saya?"
"Tidak ada."
"Jujurlah pak."
"Sungguh, tidak ada."
"Baiklah kalau begitu, mulai hari ini saya mengajukan resign dan akan saya kembalikan uang bapak secepatnya."
Azzura berlalu masuk kedalam kamarnya, tidak lama kemudian ia keluar lagi dengan membawa sebuah amplop coklat.
"Ini sisa uang yang bapak bilang suruh saya simpan untuk jaga-jaga, belum saya pakai. Saya kembalikan, jumlahnya ada tiga puluh delapan juta rupiah. Berarti hutang saya kepada bapak adalah dua belas juta, segera saya lunasi pak."
"Aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak mengizinkanmu resign, besok kamu harus masuk seperti biasa."
"Tidak mau, kalau bapak memang masih membutuhkan tenaga saya di kantor. Tolong katakan dengan jujur kepada saya, tentang amanat yang diucapkan oleh bu Santi tadi!"
Haidar terdiam, posisinya benar-benar serba salah saat ini. Ia menarik nafas panjang.
"Baiklah."
"Silahkan bicara, saya akan mendengarkannya."
"Sudah beberapa kali, aku bermimpi didatangi oleh ibumu. Ia menitipkanmu kepadaku dan memintaku untuk menjagamu, aku bercerita kepada bu Santi tentang arti dari mimpi itu. Sudah itu saja."
"Apa artinya?"
"...."
"Kenapa diam pak?"
"Artinya, itu ... Aku harus, menikahimu."
Azzura terhenyak, ia berdiri dan meminta agar Haidar segera pulang dan meninggalkannya sendirian.
"Saya mohon, bapak pulang sekarang. Saya ingin sendiri pak, hiks."
"Tapi ...."
"Sudah pak, pulanglah!"
Azzura berdiri di ambang pintu, begitu Haidar sudah berada di luar rumah, dengan segera ia menutup pintunya rapat-rapat.
"Mamaa, kenapa ma? Kenapa mama tidak pernah sekalipun datang di mimpiku? Aku rindu maa."
Diusap dan dipandanginya foto mendiang mama yang sangat dicintainya, berkali-kali Azzura mengecup dan memeluk foto wanita yang telah melahirkan dan membesarknnya itu.
Sementara di luar, Haidar dengan langkah gontai berjalan menuju mobilnya. Ia merasa bingung apa yang harus dilakukannya, ia memukul stir mobil berkali-kali.
"Arrgghh, kenapa harus serumit ini? Ya Alloh, mengapa engkau mengujiku seperti ini? Mengapa aku harus terlibat dan masuk kedalam pusaran masalah yang dialami oleh gadis itu."
Kembali ia mengingat ucapan bu Santi dan sahabatnya, Haris tentang arti mimpinya. Baik bu Santi dan Haris, memberikan statemen yang sama.
"Tidak mungkin, tidak mungkin aku menikahinya. Aku masih sangat mencintai istriku, tidak ada tempat untuk wanita lain di hatiku. Arrrggghhh...."
Sejenak Haidar menyandarkan kening diatas stir mobilnya, rentetan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini sungguh membuat kepalanya mau pecah.
Ia melirik jam di tangan kanannya, waktu menunjukan pukul 21.30 wib. Tidak membuang waktu, kemudian ia pun melajukan mobilnya dengan cepat.
***
"Mengapa Azzura belum datang?"
Tidak seorang pun menjawab pertanyaannya.
"Kalian tuli?"
"Maaf pak, baik saya atau teman-teman lain tidak tahu mengapa Azzura tidak masuk kerja hari ini."
"Kalian teman macam apa? Memangnya kalian gak bertanya, hah. Kan kalian punya kontak Azzura, kenapa tidak ada seorang pun yang mencari tahu?"
Semua karyawan divisi pengadaan menundukan kepalanya, Haidar berkacak pinggang berdiri di tengah-tengah meja anak buahnya.
Setelah puas melampiaskan amarahnya, Haidar kembali masuk kedalam ruangannya.
Semua rekan kerja Azzura yang sedari tadi menunduk ketakutan, mulai bergosip setelah Haidar kembali ke ruangannya.
"Duh ya, si Azzura yang bolos. Kita semua yang kena semprot."
"Hooh, si brewok itu makan daging kambing sama duren kali ya. Jadi darting gitu, serem banget sih. Gak kebayang kalo jadi istrinya pasti abis dimarahin terus itu, hiiiii."
"Doi itu fruatasi gaes, gue denger bocoran dari sumber terpercaya kalau dia ditinggal kabur bininya." ujar Marsya.
"Pantesssss, dia stress marah-marah sama kita, istrinya kabur juga pantes wong galaknya kaya ngono." timpal Tita.
"Sssttt, gagang pintu kingbrew bergerak." Dion memperingati.
Haidar keluar dari ruangannya, suasana kembali sepi dan mereka yang tadi bergosip kini terlihat sok sibuk di depan PCnya masing-masing.
"Saya, mau keluar. Aldilla, tolong kamu cek schedule saya di buku agenda di meja Azzura, lalu pending semua meeting! Saya full ke lapangan hari ini."
"Baik pak."
Haidar berlalu meninggalkan ruangan divisinya, keempat belas karyawannya bersorak sorai merayakan kepergiannya.
"Yesss, akhirnyaa gue bisa santai dikit." tutur Aldilla bahagia.
"Yups, mantafff ... Gue telepon pantry dulu lah, mau suruh OB beliin batagor sama es campur." sahut Dion.
"Gue titip Dion. Teman-teman yang lain juga pada mau tuh." ucap Marsya.
"Ok, ok sabar non Marsya."
Begitu ramai suasana ruangan divisi pengadaan sepeninggal Haidar, semua merayakan kebebasan dengan makan bersama di ruangannya.
***
Tok...tok...tok...
"Assalamualaikum, Azzura."
"Mas, mbak Azzura sejak tadi pagi pergi."
"Kemana ya bu Santi?"
"Kerja mas, seperti biasa."
"Tidak ada bu, di kantor. Makanya saya kesini, khawatir takut dia kenapa-napa."
Bu Santi berlari kecil menghampiri Haidar, yang tengah berdiri di depan pintu rumah Azzura.
"Ya Allah, kemana ya mbak Yuana?"
"Coba telepon mas ke hpnya."
"Sudah berkali-kali, tapi gak diangkat."
"Masya Alloh, mbak Yuana kemana?"
"Pakai baju apa tadi bu perginya dan jam berapa?"
"Pakai pakaian rapi seperti mau kerja, sekitar jam delapan pagi."
"Bikin susah saja itu anak, huff."
"Sabar mas, jangan begitu. Mbak Yuana kini sebatang kara, hanya saya dan mas Haidar yang dia punya sekarang."
'Hah, kenapa aku yang harus bertanggung jawab menjaganya? Kenapa gak papanya atau si Yoga kekasihnya itu, sebagai lelaki harusnya dia bisa berjuang mendapatkan Azzura. Bukan hilang seperti sekarang, takut dengan ancaman si bocah tua nakal.'
"Mas, kok ngelamun?"
"Euh, maaf bu. Kalau begitu saya pamit pulang ya bu, oh iya bu ini kartu nama saya. Kalau ada kabar tentang Azzura, tolong segera hubungi saya ya."
"Iya mas."
"Terimakasih bu, mari saya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Dengan hati yang gusar, Haidar berjalan menuju mobilnya.
"Dimana kamu Azzura? Huff, kalau bukan karena kamu anak buahku, aku gak akan peduli kepadamu. Buang waktu dan tenaga saja, argh."
Haidar melajukan mobilnya dengan pelan, mencoba menyisir jalanan sekitar dengan harapan dapat melihat Azzura.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, sebuah panggilan dari no tidak dikenal.
"Halo."
"Mas, ini bu Santi."
"Oh iya bu, ada kabar tentang Azzura?"
"Iya mas, kata anak saya yang kecil. Katanya pas tadi dia pulang sekolah, lihat mbak Yuana di area pemakaman. Sepertinya dia sedang berada di makam mamanya mas, tolong lihatin ya mas. Saya gak bisa kesana karena tidak ada orang lain lagi di rumah, cucu saya sedang tidur."
"Baik bu, terimakasih infonya."
Dengan cepat, Haidar memutar balikan mobilnya menuju TPU yang letaknya kurang lebih 500 meter dari rumah kontrakan Azzura.
Benar saja, begitu Haidar sampai di tempat tujuan ia melihat Azzura sedang duduk sambil memeluk gundukan tanah merah yang merupakan makam mamanya.
Perlahan Haidar menyapa Azzura, namun tidak ada sahutan. Dengan ragu, kemudian Haidar memberanikan diri untuk meraih bahunya.
Azzura bergeming, Haidar menarik tubuh Azzura yang terasa berat.
Gadis berkemeja putih itu tidak sadarkan diri, dari kedua lubang hidungnya terlihat darah yang sudah mulai mengering.
"Kenapa lagi kamu Azzura? Hidungmu, berdarah. Astagfirullah ...."
Haidar panik, dengan cepat ia mengangkat tubuh Azzura dan segera membawanya ke klinik terdekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel