Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 28 Agustus 2020

Dilema Diantara Dua Cinta #3

Cerita bersambung


"Hey, begundal sialan. Kalau memang kamu mau membawa pelacur murahan itu pergi, kembalikan dulu uangku, lima puluh juta."
Laki-laki yang menarik paksa Azzura itu berbalik, dan kembali menghajar Broto.
"Jaga bicaramu, tua bangka tidak tahu malu!"
Tangan kanan pria itu merogoh tas slempang kecil, dan mengeluarkan segepok uang pecahan lima puluh ribuan, lalu melemparkannya kepada Broto yang sedang duduk meringis kesakitan. Dari ujung bibirnya mengucur darah segar.
"Ambil ini, bocah tua nakal!"
"Ayo Azzura, ikut aku."

Azzura terisak ketika tangannya kembali ditarik oleh pria itu.
"Dari mana bapak tahu, saya disini?"
"Bu Cindy meneleponku semalam, menanyakan tentangmu yang tiba-tiba meminta kontak bekas klientnya dulu. Sejak pagi aku sudah standby, dan mengikutimu sejak dari rumah sakit tadi."

Azzura masuk kedalam mobil, ia masih menangis.
"Sudah kubilang jangan biarkan setan menguasaimu, menjual kegadisanmu tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menambah masalah baru. Isi otak kamu itu apa? Kamu mau membiayai mamamu dengan uang haram? Anak durhaka kamu itu Azzura."
"Hiks, hiks ... Jangan bicara begitu pak, huuuu, huuuu ... Saya bingung pak Haidar, papa saya tidak mau memberikan uang, dia sibuk memanjakan istri barunya. Saya buntu pak, buntuuuuu. Huuu, huuuu...."
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Menangis tidak akan menyelasaikan masalah ini. Pakailah uang yang lima puluh juta yang ada padamu sekarang, itu halal, karena uang si bocah tua nakal itu sudah aku kembalikan."
"Hiks ,hiks ... Bagaimana cara saya mengembalikannya pak?"
"Jangan dipikirkan, yang penting saat ini adalah mamamu."
"Terimakasih banyak pak, semoga Alloh membalasnya dengan pahala beribu-ribu kali lipat. Saya janji, ketika sudah ada uang nanti, saya akan mengembalikannya."
"Iya sama-sama, kita kembali ke rumah sakit sekarang?"
"Iya pak, hari ini saya janji kepada pihak rumah sakit akan menambah uang deposit."
"Ok, sekarang bersihkan wajahmu, jangan sampai mama dan bu Santi melihatmu berantakan seperti ini."

Haidar memberikan tisu basah kepada Azzura, dengan perlahan Azzura pun membersihkan wajahnya.
"Kita sudah sampai, sebelum turun aku ingin bicara kepadamu."
"Silahkan pak."
"Jangan ulangi perbuatanmu, dan jangan ceritakan masalah niatanmu kemarin kepada siapa pun. Itu aib, jangan sampai suatu hari kamu akan diperolok oleh orang lain."
"Baik, pak."
"Dan ingat satu hal, jangan membenci papamu. Seburuk apapun, ia tetap papamu. Maafkanlah beliau, agar hatimu tenang."
"Untuk yang satu itu, saya tidak dapat mengiyakan sekarang pak. Sayatan yang ia torehkan di hati mama saya, terlalu dalam dan perih terasa. Saya merasakannya, terlebih lagi setelah dia mengusir kami tanpa memberikan uang satu rupiah pun. Wanita jalang itu telah merubah papa menjadi suami dan ayah yang kejam kepada kami."
"Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Itu hakmu, kamu yang merasakan dan menjalani semua. Yang penting aku sudah mengingatkan."
"Terimakasih banyak, pak Haidar sudah mengingatkan saya."

Azzura tidak menyangka, dibalik sikap kerasnya di kantor, Haidar memiliki sifat yang baik walaupun kata-katanya terkadang kasar dan menyakitkan hati.
"Ya sudah, mari kita turun!"
"Iya pak, baik."

Haidar dan Azzura berjalan menuju ruang administrasi rumah sakit,
"Ibu Hasni, yang dirawat di ruang ICU sudah dipindahkan ke kamar jenazah pak, bu."
Wajah Azzura seketika pucat pasi, tubuhnya lemas dan ia pun terjatuh tidak sadarkan diri.
Haidar menahan tubuh Azzura, ia mengangkat tubuh Azzura dan membaringkannya di kursi panjang.

Dengan bantuan perawat, beberapa menit kemudian Azzura terbangun, ia kembali menangis histeris menyebut-nyebut nama mamanya.
Haidar menenangkan Azzura, dengan pelan ia menuntun Azzura berjalan ke kamar jenazah.
"Mamaaaaaa ... Tega sekali ninggalin Yuana sendirian. Hiks ,hiks. Bagaimana hidup Yuana maaaa."
Azzura mengguncang-guncang bahu mamanya yang sudah damai menutup mata untuk selamanya.
"Bangun ma, bangunnnnnnn."
Ia berlutut, dengan hati yang hancur ia meratapi semua yang terjadi didalam hidupnya kini.
Bu Santi yang sama-sama menangis, memeluk tubuh Azzura.
"Sudah mbak, ikhlaskan mama. Supaya mama tenang, masih ada ibu. Anggap ibu sebagai mama kedua untuk mbak Yuana."
"Huuuu, huuuu ... Mama kenapa pergi secepat ini buuu?"
"Semua kehendak Alloh mbak, kita sebagai manusia tidak bisa melawan takdirnya."
Azzura menenggelamkan wajahnya di dada bu Santi, Haidar turut berduka atas musibah yang dialami oleh karyawatinya itu.

Setelah tenang, Azzura mulai mengurus kepulangan mamanya.
Dengan langkah gontai, ia berjalan perlahan menuju mobil ambulance yang sudah menunggu di depan pintu masuk rumah sakit.

"Pak, saya mau naik ambulance saja."
Azzura menolak halus tawaran Haidar, untuk pulang bersamanya.
Haidar mengangguk dan mempersilahkan bu Santi untuk naik.ke mobilnya.
"Terimakasih mas Haidar, mas begitu baik kepada Azzura."
"Sama-sama bu Santi, kan sudah seharusnya kita sebagai manusia harus saling tolong menolong."
"Iya mas, betul itu. Oh iya mas, kalau tidak merepotkan bisakah nanti kita mampir sebentar ke rumah papanya mbak Yuana?"
"Oh, tentu bisa bu. Sama sekali tidak merepotkan."

Setengah jam kemudian, mobil yang dikendarai oleh Haidar sampai di tempat tujuan.
"Mas, mau ikut turun?"
"Tidak bu, saya tunggu di mobil saja."
"Baiklah mas, saya turun dulu kalau begitu."

Beberapa menit kemudian, bu Santi kembali masuk kedalam mobil.
"Sudah bu?"
"Sudah mas."
"Ada papa Yuananya bu?"
"Gak ada mas, kata pembantunya sedang holiday ke Lombok. Berangkatnya baru tadi pagi, jam 09.00."
Haidar tidak berkomentar dengan apa yang diucapkan bu Santi.
"Saya heran mas, sama papanya mbak Yuana."
"Heran gimana bu?"
"Ya heran, susahnya sama bu Hasni. Tapi setelah sukses dan kaya, malah yang menikmati wanita lain."
"Hehe, iya bu."
"Kasihan mbak Yuana sekarang, hidupnya pasti akan sangat menderita. Hidup sebatang kara tanpa orang tua, punya papa tapi tidak seperti punya."
Bu Santi mengusap air matanya dengan ujung kerudungnya.
"Ibu, sayang banget ya sama Yuana?"
"Sayang sekali mas, mbak Yuana dan mamanya orang yang sangat baik dan peduli. Ditengah keterbatasannya, mereka masih mau menolong dan berbagi kepada orang lain. Salah satunya saya, yang banyak merasakan kebaikan mereka."

Haidar kembali terdiam, jari telunjukmya mengetuk-ngetuk stir dihadapannya.
"Hmmm, bu. Saya ingin bicara sesuatu, tapi janji ya bu jangan ceritakan masalah ini kepada Azzura."
"Apa itu mas? Iya saya janji tidak akan bocorkan rahasia ini."
"Semalam saya mimpi, didatangi mamanya Azzura. Beliau menangis meminta saya untuk menjaga putri semata wayangnya itu, di dalam mimpi tersebut mamanya Azzura menyerahkan Azzura kepada saya, lalu perlahan melayang keatas dan menghilang. Pertanda apa ya bu?"
"Maaf ya mas, bukan ibu sok tahu. Tapi menurut tafsiran ibu, sepertinya mas Haidar diminta ibu Hasni untuk menikahi mbak Yuana."
"Kok gitu bu?"
"Ya dengan cara menikahinya, mas Haidar jadi bisa menjaga mbak Yuana."
"Hmm, tapi saya sudah beristri bu. Tidak mungkin saya poligami."
"Waduh, kalau statusnya begitu. Ibu gak ngerti deh, bingung."

Haidar, tersenyum sekilas. Kembali ia membayangkan mimpi yang dialaminya semalam, sangat jelas sosok wanita paruh baya dengan pakaian serba putih itu adalah bu Hasni, ibunda dari Azzura.

==========

Setelah seminggu cuti, hari itu Azzura kembali masuk kerja. Kini ia lebih banyak diam sering melamun.
"Kamu sudah masuk rupanya." ucap Haidar, saat ia akan masuk kedalam.ruangannya.
"Iya pak, saya masuk per hari ini."
Haidar tersenyum tipis, demi menjaga wibawanya dihadapan semua bawahannya. Ia masuk kedalam ruangannya, lalu tidak lama ia keluar lagi memberikan setumpuk berkas yang harus Azzura lahap.

"Ini pekerjaan yang tertunda, sebagian sudah saya kerjakan. Ini sisanya. Tiga berkas paling atas, harus selesai hari ini. Sisanya bisa dicicil."
"Baik pak, akan saya kerjakan."
"Jangan banyak melamun, karena tidak ada gunanya. Kamu harus profesional kalau sedang di kantor!"
"I-iya pak, baik."
Haidar kembali.masuk kedalam ruangannya.
"Buseeeetttt itu manusia salju, mulutnya kaya pisau cutter, tajeeemmm beud dagh ah, cekcekcek." protes Tita.
"Yaelah Tita, lo kaya kaga tahu aja kalau si boss ngemeng kaya apa. Nyelekiittttt, sabar ya friend." hibur Marsya.
Azzura tersenyum sekilas, ia sangat bersyukur rekan sekerjanya sangat baik dan peduli kepadanya.

"Azzura, tiga berkas tadi mana?" tanya Haidar, saat jam makan siang usai.
"Euh, anu pak, belum selesai. Segera saya selesaikan sekarang pak."
"Ya ampun Azzuraa, masa tiga berkas sampai jam makan siang belum selesai semua? Itu kan tinggal memindahkan angka saja, tidak sulit."
"Maaf pak, maaf."
"Saya tahu kamu baru ditempa musibah, tapi ini kantor Azzura. Jadi kamu harus mengesampingkan dulu segala kepentingan pribadimu, karena atasan kita di pusat itu tidak mau tahu apa yang kita lalui dan hadapi. Mereka tahunya, semua yang mereka minta harus mereka dapatkan tepat pada waktunya."
"Iya pak Haidar, maafkan saya sekali lagi. Saya akan mengerjakannya sekarang."
"Cepat, jangan banyak bicara! Saya tunggu satu jam dari sekarang."
Dengan langkah cepat, Haidar meninggalkan ruangan di lantai tiga tersebut.
"Ish, benar-benar. Masya Alloh, itu si brewok keterlaluan amat yaaa! Kalau gak dosa, gua santet itu si brewok. Gemeessss." keluh Yanti, sambil mengelus dadanya.
"Sssttt, sudah-sudah mbak. Ini semua memang salahku, karena sedari tadi aku malah sibuk melamun." tutur Azzura.
***

"Halo," ucap Azzura menjawab telepon.
"Halo Yuana, tadi aku ke rumah. Tapi kata bi Surti katanya kamu sudah tinggal disana lagi."
"Iya, Ga. Sudah hampir tiga tahun aku dan mama mengontrak rumah di daerah Cimanggis."
"Ngontrak?"
"Iya ,ngontrak."
"Ada masalah apa?"
"Panjang Ga, bingung harus mulai dari mana?"
"Kita bertemu, yuk!"
"Memangnya kamu sudah ada di Indo?"
"Hehe, iya sudah."
"Pantesan kamu telepon aku, selama satu tahun ini kamu loss contact. Aku kira kamu sudah lupa."
"Ya elah sensi amat jeng, kamu yang ganti no handphone, kok aku yang disalahin. Ini aja aku dapat no kamu dari bi Surti."
"Oh gitu, hihihi. Sorry, sorry."
"Jadi gak kita ketemu?"
"Ok, dimana dan jam berapa?"
"Tempat biasa, jam 17.00 ya."
"Ok, sip. Aku siap-siap dulu kalau gitu."
"Sip, see you Yuana."
"See you again Yoga."
Yoga, merupakan sahabat Azzura dari semenjak ia kuliah. Sama-sama aktif di kegiatan kampus, membuat mereka dekat.
Namun satu tahun terakhir, Yoga menetap di Malaysia, mengurus usaha property papanya.

"Sudah lama nunggu ya Ga?" ucap Azzura menjabat tangan sahabatnya itu.
"Dari bedug subuh aku nungguin kamu Yuana, haha."
"Bise aje, cangkang telor puyuh ngemengnya."
"Haha, dasar ceker ayam juga dari dulu gak berubah."

Mereka berdua melepaskan kerinduan mereka dengan berbincang dan saling berbagi pengalaman masing-masing.
"Aku ikut berduka cita ya Yuan, atas kepergian mama. Maafkan aku, gak bisa melayat karena aku gak tahu."
"Iya gak apa-apa Ga, makasih ya."
"Oh iya, gimana kabar Gisca?"
"Kita gak pacaran Yuan, cuma dekat sebagai teman aja. Baik aku ataupun dia, tidak ada yang mau dijodohkan. Jadi kami kompak menolak perjodohan itu."
"Ya ampun, segitunya ya."
"Iya, Gisca sudah punya pacar. Makanya dia menolak."
"Lah terus kamu alasan menolak karena apa? Kan kamu jomblo akut, hehe."
"Ngeledeekkk, aku juga lagi naksir seseorang Yuan. Sudah lama aku suka sama dia, tapi belum berani mengungkapkan."
"Ah cemen, siapa orangnya?"
"Hehe, aku tidak berani. Tapi kepulanganku kali ini, sudah kuniatkan untuk langsung melamarnya, lalu kunikahi secepatnya."
"Wow, keren niatnya. Bagus-bagus, aku dukung Ga."
"Menurutmu, dia akan menerima aku gak?"
"Inshaa Alloh menerima, kamu itu pria yang baik dan pekerja keras. Bodoh kalau wanita itu menolakmu."
"Alhamdulillah kalau begitu, aku jadi bersemangat."
"Nah ,gitu dong. Aku ikut bahagia mendengarnya. Siapa dia?"
"Dia siapa?"
"Ya, cewek itu kamper lemari."
"Ooh, kirain nanya siapa. Hehe."
"Malah nyengir, siapa dia?"
"Hmmmm, dia ...."
"Siapa?"
"Dia ... Adalah ... Kamu Yuan."
Mulut Azzura menganga, dengan iseng Yoga melemparkan kentang goreng kedalamnya.
"Sialan, aku kaget malah dikasih kentang."
"Habisnya kagetnya kaya orang kampung, haha."
"Sumpah, aku shock Ga. Kok bisa aku?"
"Sudah dari dulu aku suka kamu Yuan, cuma aku ragu mau menyatakan. Dulu kamu masih berhubungan dengan Reno, jadi aku lebih baik mundur."
Azzura memalingkan wajah, ia tampak salah tingkah saat Yoga terus memandanginya.
"Kamu, mau gak menerima cintaku? Kalau mau, aku inginkan kita menikah secepatnya."
"Wait, wait ... Aku bisa mati kalau kamu nembak aku bertubi-tubi kaya gitu Ga. Hehe."
"Come on Yuana, seriuslah sedikit."
"Aku bingung Ga."
"Kenapa?"
"Bingung aja, kita udah lama gak ketemu. Pas ketemu, kamu langsung nembak aku and bilang pengen nikahin aku."
"Kita sudah kenal lama, lima tahun kita sama-sama di kampus. Kamu sudah tahu segala kekuranganku, begitu juga sebaliknya, aku ingin melindungimu, aku tahu hubunganmu dengan papamu kini. Aku tidak mau kamu terluka sendiri, aku ingin selalu menjadi orang yang bisa kamu jadikan tempat berlindung dari segala keluh kesahmu."
"Beri aku waktu, walaupun aku juga menyukaimu, tapi ...."
"Kamu pun suka padaku, tunggu apa lagi?"
"Aku takut ..."
"Kenapa?"
"Aku takut kecewa, mama dan papamu pasti keberatan punya calon menantu sepertiku, anak korban broken home."
"Aku tidak perduli, aku cinta kamu apa adanya."
"Walaupun orang tuamu tidak setuju?"
"Aku yakin, mereka akan setuju. Percayalah Yuana."
Sejenak Azzura terdiam dan termenung.
"Yuana ... Jangan diam, maukah kamu menjadi istriku?"
Azzura mengangguk tersipu malu, kedua tangannya diciumi oleh Yoga.
Yoga mengajak kekasihnya itu untuk makan malam bersama di rumahnya.
Yoga ingin memperkenalkan Azzura kepada kedua orang tuanya.
"Aku sudah cantik belum Ga?"
"Perfect, honey."
Azzura tersenyum dan kembali bercermin di kaca spion mobil Yoga.

Mobil yang dikendarai Yoga melaju santai, empat puluh menit kemudian mereka pun telah sampai di sebuah rumah mewah yang dipenuhi tanaman hias yang sangat terawat.
"Yuk honey, kita masuk!"
Azzura mengangguk, kemudian ia menggandeng tangan Yoga.
"Duduk dulu ya, sebentar aku masuk memanggil mama dan papa."

Tidak lama kemudian, Yoga kembali dan mengajak Azzura kedalam.
"Mama dan papaku sudah menunggu di ruang makan."
"Ok, penampilanku masih rapi kan Ga?"
"Iya, kamu sangat cantik."
Azzura tersenyum manja, ia berjalan mengekor di belakang Yoga.

Tampak mama dan papa Yoga sedang berbincang santai, di meja makan.
"Hai, sudah lama kami tunggu loh." sambut mama Yoga, sambil memeluk Azzura.
"Maaf tante telat, aku lembur sebentar di kantor."
"Gak apa-apa, it's ok. Oh iya, paaa ini loh calon mantu kita. Kenalin dulu dong!"

Papa Yoga berbalik, Azzura pucat pasi saat melihat wajah calon mertuanya.
Tanpa berkata dan permisi, Azzura langsung lari keluar rumah.
"Honey, kamu mau kemana?" teriak Yoga.

Azzura berlari dengan kencangnya, air matanya kembali bercucuran. Ia tidak menyangka bahwa Yoga adalah putra dari seseorang yang sangat ia benci.
Yoga terus mengejarnya, namun Azzura bersikukuh tidak ingin kembali kerumah Yoga.
"Kita putus Ga, jangan ganggu aku lagi!"
"Tapi kenapa? Tiba-tiba kamu bicara putus?"
"Pokoknya aku minta putus, titik.
Lupakan aku, lupakan rencana kita untuk menikah. Maafkan aku, aku tidak bisa menjadi istrimu, hiks...."
Azzura menepis genggaman tangan kekasihnya, kemudian ia langsung menyetop sebuah taksi yang melintas di hadapannya.

Di dalam mobil, ia menangis sesenggukan. Membayangkan kembali wajah papa Yoga, rasa jijik dan muak menyeruak di seluruh rongga dadanya.
"Maafkan aku Yoga, demi kebaikan bersama sebaiknya kita berpisah."

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER