Cerita bersambung
"Azzura, bangunlah!" Haidar menepuk-nepuk pipi Azzura.
Azzura belum tersadar juga, akhirnya Haidar mengangkat tubuh Azzura dan membaringkannya di sofa yang ada di ruangannya.
Ia mencari-cari minyak angin atau minyak kayu putih didal laci mejanya namun tidak ia temukan, yang ia temukan hanya parfum miliknya.
Tidak ada pilihan lain, akhirnya ia menyemprotkan parfum tersebut ke sapu tangan miliknya dan mendekatkan sapu tangan itu ke hidung Azzura.
Sepuluh menit kemudian, Azzura membuka matanya. Ia siuman dan dengan cepat ia duduk.
Azzura kembali menangis histeris, "izinkan saya pulang sekarang pak! Mama saya pingsan kehabisan nafas, tadi tetangga saya mengabari."
"Baiklah."
"Terimakasih pak. Saya permisi."
Azzura berdiri dan segera berjalan cepat mengambil tasnya di meja.
Haidar memandang punggung Azzura yang pergi meninggalkan ruangannya, ia kembali duduk memeriksa berkas yang berserakan di meja.
Kurang lebih satu jam kemudian, Haidar dikejutkan oleh suara getaran ponsel.
Ia mencari-cari sumber getaran, akhirnya ia menemukan ponsel milik Azzura di kolong mejanya. Haidar baru tersadar kalau ponsel Azzura tertinggal.
Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal, Haidar bimbang antara menjawabnya atau tidak.
Namun karena tadi ia teringat dengan alasan Azzura meminta izin untuk pulang karena kesehatan ibunya, maka iapun menjawab panggilan tersebut.
"Halo mbak Yuana, ini bu Santi. Mama mbak Yuana, masuk ICU mbak"
"Ma-maaf bu, saya temannya Azzura. Ponselnya tertinggal di kantor, boleh saya tahu di rumah sakit mana ibu Azzura dirawat? Sekalian saya mengembalikan ponselnya."
"Oh iya mas, di rumah sakit 'SEHAT MEDIKA'."
"Baik bu Santi, terimakasih informasinya. Saya akan segera kesana."
Setelah menutup pembicaraan, Haidar langsung bergegas turun ke basemant menuju mobilnya.
Tanpa menunda waktu, ia pun segera menancap gas menuju rumah sakit yang disebutkan oleh bu Santi tadi.
Perjalanan dari kantor Haidar ke rumah sakit tempat mama Azzura dirawat, menempuh waktu kurang lebih satu jam.
Dengan langkah cepat, Haidar berjalan menuju ruang ICU.
Namun disana ia tidak bertemu dengan Azzura, disana Haidar hanya bertemu dengan bu Santi, tetangga Azzura yang meneleponnya tadi.
"Azzuranya kemana bu?"
"Sedang ke rumah papanya mas, karena biaya administrasinya harus segera dibayar. Kalau tidak, bu Hasni tidak bisa dirawat lebih lanjut."
"Papanya tidak satu rumah?"
"Tidak mas, mbak Yuana dan bu Hasni tinggal mengontrak berdua. Tepatnya saat papanya mbak Yuana menceraikan dan mengusir bu Hasni, demi wanita yang lebih muda dan cantik dari bu Hasni."
"Astaghfirullah, teganya...."
"Iya mas, saya juga kasihan sekali dengan mereka berdua. Untunglah sekarang mbak Yuana sudah bekerja, sehingga ia bisa membiayai semua kebutuhan hidup, termasuk biaya berobat bu Hasni."
"Bu Hasni, sakit apa bu?"
"Jantung dan diabetes mas, di punggungnya ada luka sebesar bulatan mangkuk yang sudah berbau serta bernanah. Tadinya itu luka bekas bekam, namun karena beliau mengidap diabetes basah jadi luka tersebut tidak kunjung sembuh, malah melebar dan parah. Makanya, bu Hasni berbaringnya miring seperti itu."
Bu Santi menunjuk bu Hasni, mama Azzura yang terbaring miring di ranjang pesakitan. Melalui kaca, Haidar memandang iba ibunda Azzura yang terbaring tidak sadarkan diri.
Terbersit rasa penyesalan di hati Haidar, karena tadi sempat menahan Azzura tetap tinggal di kantor.
Namun semua itu ia lakukan karena semata-mata profesional pekerjaan, bukan ia tega ataupun keji seperti yang dituduhkan para pembaca KBM.
"Papaaa, tolong buka pintunya paaaa!" teriak Azzura.
Azzura terus menggedor pintu rumah megah bercat putih.
Seorang wanita paruh baya membuka pintu dan memeluk Azzura.
"Ya Alloh non Yuana, bibi kangen noon."
"Aku juga bii, bibi apa kabar?"
"Alhamdulillah baik non, non dan ibu bagaimana kabarnya?"
"Aku baik bi, tapi ... Mama," ucap Azzura terhenti, lalu ia menangis.
"Ibu kenapa non?"
"Mama koma bi, sekarang dirawat di ICU. Aku mau ketemu papa, aku mau minta uang untuk pengobatan mama bi."
"Mari masuk dulu non, duduk! Sebentar bibi buatkan dulu minum, bapak ada diatas non."
Azzura mengangguk, kemudian ia duduk di sofa panjang berwarna hitam ruang tamu.
Tidak lama, turun seorang wanita berparas cantik dengan rambut terurai bergelombang.
"Ada apa kamu kesini?"
"Mana papa?"
"Papamu sudah tidur, jangan teriak-teriak, ini bukan pasar."
"Ini memang bukan pasar, tapi karena semua orang di rumah ini mentulikan telinga sehingga aku terpaksa berteriak agar suaraku dapat didengar."
"Heuh, dari dulu sikapmu liar sekali Yuana. Bicaralah sopan kepadaku, aku ini ibu tirimu!"
"Haha, ibu tiri atau pelakor, hah! Cuih...."
"Kurang ajar kamu ya, dasar anak.sialan."
Azzura tidak dapat menahan emosinya, ia berjalan cepat kearah ibu tirinya berdiri. Dengan kasar ia menarik rambut dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai.
"Kalau aku anak sialan, kamu apa hah? Wanita jalang, tidak tahu malu."
Ibu tiri Azzura menjerit histeris, Azzura menarik pakaian ibu tirinya itu, saat akan menamparnya tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya berteriak dan menuruni anak tangga dengan segera.
"Yuanaaaa, apa-apaan kamu hah!"
Laki-laki paruh baya yang tidak lain adalah papanya segera memeluk istrinya yang menangis histeris, tangisan lebay yang dibuat sedramatis mungkin agar terlihat begitu menderita.
"Dia yang mulai duluan pa," ujar Azzura membela diri.
"Ah, dari dulu kamu memang sudah benci kepada ibu tirimu. Cepat, katakan ada apa kamu kesini?"
"Aku butuh uang pa, mama masuk ICU."
"Uang papa sudah habis, untuk membeli mobil." dengan enteng papa Azzura berucap.
"Astaghfirullah, papa tega sekali. Kalau begitu, aku minta mobilku kembali, aku mau jual untuk biaya pengobatan mama."
"Tidak bisa, saat kamu memutuskan pergi bersama mamamu, saat itu kamu sudah tahu konsekuensinya seperti apa."
Azzura menangis, air matanya meleleh.
"Jadi, papa gak mau kasih uang seperser pun kepadaku?"
"Tidak, papa sudah bilang. Uang papa habis."
"Ok, pa kalau begitu. Ingat pa, azab Alloh perih! Terlebih lagi, wanita benalu sepertimu akan mendapatkan azab yang maha dahsyat karena perbuatanmu sudah membuat kehidupan keluargaku hancur berantakan."
Ibu tiri Azzura tersenyum sinis penuh dengan kemenangan, memandang wajah Azzura yang berantakan dan penuh dengan kekecewaan.
Tanpa permisi, Azzura melangkah pergi keluar rumah. Tanpa diduga, diluar rumah Azzura melemparkan batu besar kearah mobil sedan baru yang terparkir manis didalam garasi rumahnya.
Braaakkkkkk....
Suara pecahan kaca mobil yang disusul suara alarm membuat papa dan ibu tiri Azzura terkejut, mereka berdua berlari berhamburan menuju garasi.
Dengan penuh emosi, papa Azzura meneriaki putri semata wayangnya dengan sumpah serapah.
Azzura tertawa puas menyaksikan pemandangan tersebut, kemudian ia pun berlari menuju jalan raya untuk kembali ke rumah sakit.
***
"Ini ponselmu tertinggal di ruanganku." Haidar menyerahkan ponsel kepada Azzura.
"Terimakasih pak, bapak lihat kan kalau mama saya memang benar-benar sakit, hiks."
"Maafkan aku, aku hanya bersikap profesional dalam pekerjaan. Saya turut prihatin dengan kondisi ibumu, semoga Alloh mencabut semua rasa sakit ditubuhnya dan beliau dapat kembali sembuh."
"Terimakasih pak, amiinn."
"Hmmm, kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Zura."
"Iya silahkan, ehhhmmm tapi ... Pak, bisa saya bicara sebentar dengan anda sebentar?"
"Bicaralah, jangan sungkan."
"Jangan disini pak, tidak enak kepada bu Santi."
Azzura mengajak Haidar menjauh dari bu Santi. Mereka berdua berjalan menuju halaman belakang rumah sakit.
"Disini saja pak."
Azzura menghentikan langkahnya, lalu duduk di pinggiran taman.
"Bicaralah, aku akan mendengarkan."
"Bapak, kenal dengan banyak klient perusahaan kita di Jakarta ini kan pak?"
"Iya."
Haidar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan arah pembicaraan Azzura.
"Bisakah bapak memberikan kontaknya kepada saya, satu atau dua orang?"
"Untuk apa?"
"Ada yang mau saya tawarkan kepada mereka pak, saya sedang butuh uang untuk mama."
"Kenapa tidak kepadaku saja? Kenapa harus kepada orang lain?"
"Lebih baik kepada orang lain saja pak, agar tidak terlacak jejaknya."
"Apa maksudmu Azzura? Aku semakin bingung, katakanlah kepadaku apa yang ingin kamu tawarkan!"
Azzura menunduk lesu, air matanya bercucuran. Sesaat kemudian, ia mendongakan wajahnya menatap Haidar yang berdiri bersandar ke pilar bangunan.
"Duduklah disini pak, saya akan memberitahukan maksud dan tujuan ucapan saya tadi."
Haidar menuruti ucapan Azzura, Azzura sejenak menarik nafas panjang mengumpulkan keberanian untuk berbicara kepada Haidar.
"Maaf ya pak, saya akan berbisik agar tidak terdengar oleh orang yang lalu lalang disini." Azzura meminta izin mendekatkan mulutnya ke telinga Haidar.
Mata Haidar membulat sempurna, ia terbelalak terkejut, lalu menatap tajam kearah Azzura yang tertunduk lesu dihadapannya.
"Gila kamu Azzura, istighfar! Jangan biarkan setan menghasut dan menjauhkanmu dari Alloh. Dasar gadis sinting."
Haidar berdiri, tanpa bicara panjang lebar ia berjalan meninggalkan Azzura yang menangis sendirian.
'Tidak ada jalan lain pak, aku terpaksa melakukannya untuk mama. Kalau memang bapak tidak mau, aku akan mencari orang lain yang bersedia.'
Air mata Azzura bercucuran, hatinya benar-benar hancur saat ini.
"Mama, sembuhlah maa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku nanti tanpamu, maaaa ... Hiks."
==========
"Azzura, bangunlah!" Haidar menepuk-nepuk pipi Azzura.
Azzura belum tersadar juga, akhirnya Haidar mengangkat tubuh Azzura dan membaringkannya di sofa yang ada di ruangannya.
Ia mencari-cari minyak angin atau minyak kayu putih didal laci mejanya namun tidak ia temukan, yang ia temukan hanya parfum miliknya.
Tidak ada pilihan lain, akhirnya ia menyemprotkan parfum tersebut ke sapu tangan miliknya dan mendekatkan sapu tangan itu ke hidung Azzura.
Sepuluh menit kemudian, Azzura membuka matanya. Ia siuman dan dengan cepat ia duduk.
Azzura kembali menangis histeris, "izinkan saya pulang sekarang pak! Mama saya pingsan kehabisan nafas, tadi tetangga saya mengabari."
"Baiklah."
"Terimakasih pak. Saya permisi."
Azzura berdiri dan segera berjalan cepat mengambil tasnya di meja.
Haidar memandang punggung Azzura yang pergi meninggalkan ruangannya, ia kembali duduk memeriksa berkas yang berserakan di meja.
Kurang lebih satu jam kemudian, Haidar dikejutkan oleh suara getaran ponsel.
Ia mencari-cari sumber getaran, akhirnya ia menemukan ponsel milik Azzura di kolong mejanya. Haidar baru tersadar kalau ponsel Azzura tertinggal.
Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal, Haidar bimbang antara menjawabnya atau tidak.
Namun karena tadi ia teringat dengan alasan Azzura meminta izin untuk pulang karena kesehatan ibunya, maka iapun menjawab panggilan tersebut.
"Halo mbak Yuana, ini bu Santi. Mama mbak Yuana, masuk ICU mbak"
"Ma-maaf bu, saya temannya Azzura. Ponselnya tertinggal di kantor, boleh saya tahu di rumah sakit mana ibu Azzura dirawat? Sekalian saya mengembalikan ponselnya."
"Oh iya mas, di rumah sakit 'SEHAT MEDIKA'."
"Baik bu Santi, terimakasih informasinya. Saya akan segera kesana."
Setelah menutup pembicaraan, Haidar langsung bergegas turun ke basemant menuju mobilnya.
Tanpa menunda waktu, ia pun segera menancap gas menuju rumah sakit yang disebutkan oleh bu Santi tadi.
Perjalanan dari kantor Haidar ke rumah sakit tempat mama Azzura dirawat, menempuh waktu kurang lebih satu jam.
Dengan langkah cepat, Haidar berjalan menuju ruang ICU.
Namun disana ia tidak bertemu dengan Azzura, disana Haidar hanya bertemu dengan bu Santi, tetangga Azzura yang meneleponnya tadi.
"Azzuranya kemana bu?"
"Sedang ke rumah papanya mas, karena biaya administrasinya harus segera dibayar. Kalau tidak, bu Hasni tidak bisa dirawat lebih lanjut."
"Papanya tidak satu rumah?"
"Tidak mas, mbak Yuana dan bu Hasni tinggal mengontrak berdua. Tepatnya saat papanya mbak Yuana menceraikan dan mengusir bu Hasni, demi wanita yang lebih muda dan cantik dari bu Hasni."
"Astaghfirullah, teganya...."
"Iya mas, saya juga kasihan sekali dengan mereka berdua. Untunglah sekarang mbak Yuana sudah bekerja, sehingga ia bisa membiayai semua kebutuhan hidup, termasuk biaya berobat bu Hasni."
"Bu Hasni, sakit apa bu?"
"Jantung dan diabetes mas, di punggungnya ada luka sebesar bulatan mangkuk yang sudah berbau serta bernanah. Tadinya itu luka bekas bekam, namun karena beliau mengidap diabetes basah jadi luka tersebut tidak kunjung sembuh, malah melebar dan parah. Makanya, bu Hasni berbaringnya miring seperti itu."
Bu Santi menunjuk bu Hasni, mama Azzura yang terbaring miring di ranjang pesakitan. Melalui kaca, Haidar memandang iba ibunda Azzura yang terbaring tidak sadarkan diri.
Terbersit rasa penyesalan di hati Haidar, karena tadi sempat menahan Azzura tetap tinggal di kantor.
Namun semua itu ia lakukan karena semata-mata profesional pekerjaan, bukan ia tega ataupun keji seperti yang dituduhkan para pembaca KBM.
"Papaaa, tolong buka pintunya paaaa!" teriak Azzura.
Azzura terus menggedor pintu rumah megah bercat putih.
Seorang wanita paruh baya membuka pintu dan memeluk Azzura.
"Ya Alloh non Yuana, bibi kangen noon."
"Aku juga bii, bibi apa kabar?"
"Alhamdulillah baik non, non dan ibu bagaimana kabarnya?"
"Aku baik bi, tapi ... Mama," ucap Azzura terhenti, lalu ia menangis.
"Ibu kenapa non?"
"Mama koma bi, sekarang dirawat di ICU. Aku mau ketemu papa, aku mau minta uang untuk pengobatan mama bi."
"Mari masuk dulu non, duduk! Sebentar bibi buatkan dulu minum, bapak ada diatas non."
Azzura mengangguk, kemudian ia duduk di sofa panjang berwarna hitam ruang tamu.
Tidak lama, turun seorang wanita berparas cantik dengan rambut terurai bergelombang.
"Ada apa kamu kesini?"
"Mana papa?"
"Papamu sudah tidur, jangan teriak-teriak, ini bukan pasar."
"Ini memang bukan pasar, tapi karena semua orang di rumah ini mentulikan telinga sehingga aku terpaksa berteriak agar suaraku dapat didengar."
"Heuh, dari dulu sikapmu liar sekali Yuana. Bicaralah sopan kepadaku, aku ini ibu tirimu!"
"Haha, ibu tiri atau pelakor, hah! Cuih...."
"Kurang ajar kamu ya, dasar anak.sialan."
Azzura tidak dapat menahan emosinya, ia berjalan cepat kearah ibu tirinya berdiri. Dengan kasar ia menarik rambut dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai.
"Kalau aku anak sialan, kamu apa hah? Wanita jalang, tidak tahu malu."
Ibu tiri Azzura menjerit histeris, Azzura menarik pakaian ibu tirinya itu, saat akan menamparnya tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya berteriak dan menuruni anak tangga dengan segera.
"Yuanaaaa, apa-apaan kamu hah!"
Laki-laki paruh baya yang tidak lain adalah papanya segera memeluk istrinya yang menangis histeris, tangisan lebay yang dibuat sedramatis mungkin agar terlihat begitu menderita.
"Dia yang mulai duluan pa," ujar Azzura membela diri.
"Ah, dari dulu kamu memang sudah benci kepada ibu tirimu. Cepat, katakan ada apa kamu kesini?"
"Aku butuh uang pa, mama masuk ICU."
"Uang papa sudah habis, untuk membeli mobil." dengan enteng papa Azzura berucap.
"Astaghfirullah, papa tega sekali. Kalau begitu, aku minta mobilku kembali, aku mau jual untuk biaya pengobatan mama."
"Tidak bisa, saat kamu memutuskan pergi bersama mamamu, saat itu kamu sudah tahu konsekuensinya seperti apa."
Azzura menangis, air matanya meleleh.
"Jadi, papa gak mau kasih uang seperser pun kepadaku?"
"Tidak, papa sudah bilang. Uang papa habis."
"Ok, pa kalau begitu. Ingat pa, azab Alloh perih! Terlebih lagi, wanita benalu sepertimu akan mendapatkan azab yang maha dahsyat karena perbuatanmu sudah membuat kehidupan keluargaku hancur berantakan."
Ibu tiri Azzura tersenyum sinis penuh dengan kemenangan, memandang wajah Azzura yang berantakan dan penuh dengan kekecewaan.
Tanpa permisi, Azzura melangkah pergi keluar rumah. Tanpa diduga, diluar rumah Azzura melemparkan batu besar kearah mobil sedan baru yang terparkir manis didalam garasi rumahnya.
Braaakkkkkk....
Suara pecahan kaca mobil yang disusul suara alarm membuat papa dan ibu tiri Azzura terkejut, mereka berdua berlari berhamburan menuju garasi.
Dengan penuh emosi, papa Azzura meneriaki putri semata wayangnya dengan sumpah serapah.
Azzura tertawa puas menyaksikan pemandangan tersebut, kemudian ia pun berlari menuju jalan raya untuk kembali ke rumah sakit.
***
"Ini ponselmu tertinggal di ruanganku." Haidar menyerahkan ponsel kepada Azzura.
"Terimakasih pak, bapak lihat kan kalau mama saya memang benar-benar sakit, hiks."
"Maafkan aku, aku hanya bersikap profesional dalam pekerjaan. Saya turut prihatin dengan kondisi ibumu, semoga Alloh mencabut semua rasa sakit ditubuhnya dan beliau dapat kembali sembuh."
"Terimakasih pak, amiinn."
"Hmmm, kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Zura."
"Iya silahkan, ehhhmmm tapi ... Pak, bisa saya bicara sebentar dengan anda sebentar?"
"Bicaralah, jangan sungkan."
"Jangan disini pak, tidak enak kepada bu Santi."
Azzura mengajak Haidar menjauh dari bu Santi. Mereka berdua berjalan menuju halaman belakang rumah sakit.
"Disini saja pak."
Azzura menghentikan langkahnya, lalu duduk di pinggiran taman.
"Bicaralah, aku akan mendengarkan."
"Bapak, kenal dengan banyak klient perusahaan kita di Jakarta ini kan pak?"
"Iya."
Haidar mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan arah pembicaraan Azzura.
"Bisakah bapak memberikan kontaknya kepada saya, satu atau dua orang?"
"Untuk apa?"
"Ada yang mau saya tawarkan kepada mereka pak, saya sedang butuh uang untuk mama."
"Kenapa tidak kepadaku saja? Kenapa harus kepada orang lain?"
"Lebih baik kepada orang lain saja pak, agar tidak terlacak jejaknya."
"Apa maksudmu Azzura? Aku semakin bingung, katakanlah kepadaku apa yang ingin kamu tawarkan!"
Azzura menunduk lesu, air matanya bercucuran. Sesaat kemudian, ia mendongakan wajahnya menatap Haidar yang berdiri bersandar ke pilar bangunan.
"Duduklah disini pak, saya akan memberitahukan maksud dan tujuan ucapan saya tadi."
Haidar menuruti ucapan Azzura, Azzura sejenak menarik nafas panjang mengumpulkan keberanian untuk berbicara kepada Haidar.
"Maaf ya pak, saya akan berbisik agar tidak terdengar oleh orang yang lalu lalang disini." Azzura meminta izin mendekatkan mulutnya ke telinga Haidar.
Mata Haidar membulat sempurna, ia terbelalak terkejut, lalu menatap tajam kearah Azzura yang tertunduk lesu dihadapannya.
"Gila kamu Azzura, istighfar! Jangan biarkan setan menghasut dan menjauhkanmu dari Alloh. Dasar gadis sinting."
Haidar berdiri, tanpa bicara panjang lebar ia berjalan meninggalkan Azzura yang menangis sendirian.
'Tidak ada jalan lain pak, aku terpaksa melakukannya untuk mama. Kalau memang bapak tidak mau, aku akan mencari orang lain yang bersedia.'
Air mata Azzura bercucuran, hatinya benar-benar hancur saat ini.
"Mama, sembuhlah maa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku nanti tanpamu, maaaa ... Hiks."
==========
Tidak lama kemudian, ponsel Azzura berbunyi, pesan WA dari bu Cindy berisi beberapa kontak laki-laki yang merupakan klient bu Cindy semasa menjabat sebagai DM dulu.
[Sudah saya kirim ya Azzura, semoga salah satu atau bahkan semua klient yang saya kenal itu bersedia menjalin kerjasama kembali dengan perusahaan kita.]
[Amiinn, terimakasih banyak bu.]
***
"Baik pak, saya tunggu di lobi jam 11 siang ini." ucap Azzura kepada seseorang di telepon.
"Mau kemana mbak?" tanya bu Santi.
"Mau ketemu teman papa bu, beliau mau bantu pinjamkan uang untuk mama. Nanti aku titip mama sebentar ya bu, habis duhur aku sudah kembali kok."
"Mudah-mudahan berhasil ya mbak, karena janji kita kepada pihak rumah sakit adalah hari ini akan membayar."
"Amiinn, terimakasih ya bu Santi sudah bersedia menemani mama disini. Kalau tidak ada bu Santi, saya tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi."
Bu Santi memeluk tubuh Azzura, "sama-sama nak, bu Hasni adalah orang yang baik, beliau banyak membantu ibu, jadi sudah seharusanya ibu membalas budi.kepadanya."
"Sekali lagi terimakasih banyak, bu."
Bu Santi adalah tetangga Azzura di tempat tinggalnya yang sekarang, ia merupakan tukang buruh cuci gosok dari rumah kerumah, terkadang juga ia suka memijit demi mendapatkan yang tambahan.
"Oh iya bu, sekarang sudah jam 09.30. Aku harus bergegas berangkat sekarang, untuk bertemu dengan teman papa yang mau pinjamkan uang itu."
"Iya mbak, berangkatlah! Ibu doakan semoga berhasil, hati-hati dijalan ya."
Azzura mencium punggung tangan bu Santi, dan kemudian memeluknya sebentar.
Dengan langkah gontai, Azzura mendekat kearah mamanya yang masih terbaring tidak sadarkan diri.
"Mama, aku pergi dulu sebentar. Mama harus sembuh dan bangun ya! Yuana sayang sama mama," tutur Azzura lirih.
Kemudian ia mengecup kening dan mencium punggung tangan sang ibunda.
"Ya Alloh, maafkan aku. Terpaksa aku melakukan hal ini."
Azzura masuk kedalam toilet rumah sakit untuk merapikan penampilannya, ia.menyisir rambutnya yang berantakan, lalu memoleskan makeup tipis ke wajahnya, dan terakhir menyemprotkan parfum ke tengkuk leher dan tangannya.
Wajahnya yang putih mulus bak pualam sangat cantik walaupun hanya dipoles makeup yang tipis, ia menarik nafas panjang lalu membuangnya lewat mulut.
Di luar rumah sakit, ia berdiri sebentar menunggu taksi online yang telah dipesannya.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, taksi online yang ia pesan tiba. Sebuah mobil Ertiga hitam berhenti di hadapannya.
"Mbak Azzura?"
"Iya mas," jawab Azzura singkat.
Ia menaiki mobil taksi online tersebut, "jalan santai aja ya mas!"
"Ok, mbak."
Azzura terlihat gelisah dan tidak nyaman, beberapa kali ia merubah posisi duduknya. Berkali-kali pula ia melirik jam tangannya, kedua tangannya diremas-remas untuk menghilangkan ketegangan.
Ia memandangi gedung pencakar langit yang berderet di sepanjang jalan raya yang ia lewati, pengendara motor yang melintas dihadapannya pun tidak luput dari perhatiannya.
'Sungguh beruntung hidup mereka, seperti tidak ada beban. Bisa tertawa.lepas, tidak sepertiku ... Jangankan untuk tertawa, untuk tersenyum saja rasanya sangat sulit.'
"Sudah sampai, mbak."
Ucapan sang supir taksi online membuyarkan lamunannya, dengan gelagapan ia menjawab dan menyodorkan uang seratus ribu.
"Kembaliannya ambil aja mas," ujar Azzura.
"Terimakasih banyak mbak, have nice weekend."
"Thanks, mas."
Azzura berdiri di sebuah gedung megah, ia merapikan rambutnya yang agak berantakan.
Dengan santai, ia berjalan masuk menuju lobi gedung yang merupakan sebuah hotel berbintang lima.
Untuk mengusir rasa suntuk karena seseorang yang sudah janjian bertemu dengannya belum kunjung tiba, Azzura pun membuka ponselnya.
Ia tersenyum menatap foto-foto sang ibunda sewaktu masih sehat dan segar bersama papanya, saat dimana si pelakor belum hadir merebut papanya.
Tidak lama kemudian, sebuah pesan WA masuk ke ponselnya.
[Anak sialan, gara-gara ulahmu, mobil baruku rusak parah. Mati saja kamu Azzura gila!]
Bibir Azzura tersenyum sinis membaca pesan yang dikirimkan oleh ibu tirinya, namun sesaat kemudian ia menangis meratapi nasibnya.
Ia menundukan kepalanya, ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena menangis sendirian.
Tiba-tiba pundaknya di pegang oleh seseorang, Azzura terkejut bukan main.
Seorang laki-laki paruh baya berdiri di hadapannya, usianya kira-kira seusia papanya.
"Anggita ya?" ucapnya.
Azzura mengangguk, sengaja ia menyamarkan namanya, ia menjabat tangan laki-laki paruh baya itu.
"Silahkan duduk pak," tutur Azzura.
"Jangan panggil pak, dong. Panggil aku mas, mas Broto."
"Ok, mas Broto. Mau dimulai kapan?"
"Terserah Anggita saja."
"Saya mau lihat uangnya dulu mas, saya tidak mau terkecoh."
"Ya ampun cantik, jangan takut! Ini mas sudah siapkan lima puluh juta."
Broto si hidung belang, menyodorkan amplop coklat.
Azzura meraih amplop tersebut, namun tangan Broto menahannya.
"Eits, tunggu dulu. Tapi dijamin ORI kan?"
"ORI 1000%."
Azzura menghitung uang yang ada didalam amplop coklat tersebut, setelah jumlahnya pas, ia pun mengajak Broto untuk segera chekin.
Ia nekat menjual keperawanannya kepada laki-laki hidung belang itu, demi mendapatkan uang untuk pengobatan mamanya.
Broto dengan semangat 45 memesan kamar suite, setelah mendapatkan kunci, ia pun berjalan menghampiri Azzura.
"Mari, cantik. Kita indehoy di kamar suite yang luas dan nyaman."
Azzura mengangguk, tangan Broto merangkul pundak Azzura. Walaupun risih dan jijik, Azzura menahannya demi uang lima puluh juta.
Broto dan Azzura menaiki lift, menuju lantai 5. Broto membuka pintu kamar bernomor 512, dan mempersilahkan Azzura untuk masuk duluan.
"Terimakasih mas," ucap Azzura gugup.
Jantung Azzura berdetak tidak beraturan, sekujur tubuhnya gemetar merasakan ketakutan yang luar biasa.
Broto memeluk Azzura dari belakang, dengan liar ia mulai menciumi tengkuk Azzura yang berbau harum.
"Harum sekali sayang, aku semakin bergairah dan tidak tahan ingin segera merasakan keperawananmu, ehmmm."
Azzura memejamkan mata, rasanya ia ingin menendang pria botak yang kini sedang menciuminya, ia menjerit dalam hatinya, ia meronta ingin melawan namun tidak bisa. Ia pasrah pada kenyataan hidup, kenyataan hidup pahit yang harus ia jalani.
Kedua tangan Broto mulai bergerilya, hendak membuka kancing kemeja yang dipakai oleh Azzura.
Namun tiba-tiba, pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang.
Tok...tok...tok...
"Room boy," teriak seseorang di luar.
"Saya tidak memanggil." teriak Broto.
"Saya ingin mengembalikan barang yang tercecer di depan pintu kamar bapak." ucapnya lagi.
"Huhh, mengganggu saja. Dasar sialan." rutuk Broto jengkel. "Sebentar ya sayang, mas buka pintu dulu."
Broto membuka pintu kamarnya, seseorang yang mengaku seorang room boy tersebut menerobos masuk.
Broto berusaha menahannya, namun tenaga laki-laki yang bertubuh tinggi dan kekar itu lebih kuat.
"Azzura!" teriak laki-laki tersebut.
Azzura yang sedang duduk di tepi tempat tidur pun terkejut dengan kehadirannya, ia menangis histeris dan menundukan kepalanya.
Dengan cepat, laki-laki itu menarik paksa tangan Azzura. Melihat calon mangsanya mau dibawa kabur, Broto tidak tinggal diam, ia segera menghadang.
"Mau kamu bawa kemana gadisku, hah?" pekik Broto.
Tanpa menjawab, laki-laki itu menghajar Broto sampai tersungkur ke lantai.
Azzura menjerit ketakutan, ia menutup matanya dan mundur beberapa langkah ke belakang.
"Kamu, ikut aku!" teriak laki-laki berbaju merah itu kepada Azzura.
Kemudian, ia menarik paksa kembali tangan Azzura dan bergegas keluar dari kamar hotel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel