"Terimakasih banyak pak, atas pengertiannya." ucap Haidar kepada seorang bapak paruh baya berjanggut, bapak tersebut adalah RT di blok dimana Haidar tinggal.
"Iya, pak Haidar sama-sama. Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan kemari."
"Baik pak Abu, sekali lagi saya ucapkan terimakasih. Mari pak, saya pamit dulu."
Haidar mendatangi rumah pak RT, untuk lapor tentang keberadaan Azzura di rumahnya. Agar tidak ada kesalahpahaman dari para tetangganya.
Haidar bergegas kembali ke rumahnya, kebetulan rumah pak RT terletak di sebelah rumahnya.
Malam semakin larut, namun Azzura masih belum siuman, Haidar sudah mencoba memberikan kayu putih dan parfum untuk merangsang indera penciuman Azzura agar dapat siuman, namun usahanya sia-sia.
Haidar membopong tubuh Azzura, masuk kedalam kamar tamu, lalu membaringkannya di atas tempat tidur.
'Masya Alloh, Azzura ... Aku sangat prihatin atas masalah yang menimpamu. Semoga Alloh, segera memberikan ketenangan dan kebahagiaan untukmu.'
Setelah memastikan semua baik-baik saja, Haidar memutuskan untuk keluar dari kamar.
Namun saat ia berjalan beberapa langkah, ponsel Azzura berdering.
Haidar meraih ponsel yang tersimpan di dalam tas, melihat siapa yang meneleponnya.
Sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal, Haidar khawatir yang menelepon itu ada keperluan penting, akhirnya ia memutuskan untuk menjawabnya.
"Halo ...." sapa Haidar.
"Halo, siapa ini?" tanya lawan bicara Haidar di telepon.
"Maaf, ini siapa?"
"Aku Yoga, kamu siapa? Mana Yuana?"
"Oh Yoga, saya Haidar. Azzura ...."
"Sedang apa kamu bersama calon istriku malam-malam begini?"
"Saya tadi mau menjelaskan, namun ucapan saya keburu dipotong."
"Benar dugaanku, dibelakangku kalian ada main."
"Hei bung, jaga ucapanmu! Aku hanya berniat menolong dia, dia tidak punya siapa-siapa disini."
"Argh, bullshit. Bisa-bisanya kalian berduaan, ini sudah larut malam. Mana Yuana? Aku mau bicara."
"Dia pingsan, belum sadarkan diri."
"Persetan kalian, pingsan atau tidur kelelahan setelah bergumul di atas ranjang, hah!"
"Busuk sekali mulutmu, Yoga. Sungguh picik pikiranmu, bisa-bisanya kamu menilai rendah pasanganmu. Belum jadi suami saja, kamu begitu. Apalagi nanti, bisa-bisa Azzura membathin menghadapi sikapmu yang pencemburu itu."
Haidar segera mematikan sambungan teleponnya, dengan kesal ia pun mematikan ponsel milik Azzura, agar Yoga tidak bisa mengganggu gadis yang sedang tergolek lemah tidak sadarkan diri itu.
Setelah menyimpan ponsel di meja, Haidar pun bergegas keluar kamar untuk beristirahat di kamarnya.
"Oh Tuhan, sungguh malang sekali nasibnya. Aku ingin sekali membantunya, tapi dengan cara apa? Sudahilah semua penderitaannya ya Alloh."
Haidar tidak dapat memejamkan matanya, peristiwa yang menimpa Azzura sungguh sangat membuatnya ikut bersedih.
Kembali terngiang semua ucapan Azzura tentang perasaannya, Haidar mencoba membuang jauh-jauh rasa aneh yang mulai menghinggapi hatinya.
Rasa aneh, yang ia rasakan saat dulu mencium dan saat tadi malam memeluk Azzura.
"Itu bukan cinta, itu hanya karena terbawa suasana saja. Berpikir jernih, Haidar! Hanya Arini yang kamu cintai." bathin Haidar berkecamuk.
Ia berbaring gelisah, tubuhnya bolak-balik miring kekanan dan kekiri.
"Mengapa aku terus memikirkan Azzura? Mengapa aku merasa kecewa saat tahu kalau dia sudah kembali berbaikan dengan Yoga? Mengapa aku menikmati ciuman dan pelukan itu? Mengapa? ... Mengapa?"
Karena tidak tahan dengan keadaan yang tidak menentu, akhirnya Haidar memutuskan untuk melihat kondisi Azzura di dalam kamarnya.
Betapa terkejutnya Haidar, saat tidak mendapatkan Azzura di kamarnya.
Ia panik mencari sosok gadis yang kini sedang dilanda kesedihan itu, ke setiap sudut ruangan di rumahnya.
"Kamu kemana, Azzura?"
Saat berada di ruang tamu, pintu rumah ternyata tidak dikunci. Haidar yakin kalau Azzura pergi diam-diam.
Tidak mau membuang waktu, ia berlari ke dalam rumah untuk mengambil kunci mobilnya. Lalu segera menyalakan mesin dan melajukan mobilnya untuk mencari keberadaan Azzura.
Haidar memgemudikan mobilnya dengan pelan, menyisir jalanan berharap dapat menemukan Azzura.
Sampai di ujung jalan, menuju jalan raya besar Haidar tidak dapat menemukan sosok gadis yang ia cari.
Ia kemudian memberhentikan mobilnya, lalu turun dan berusaha mencari dengan berjalan kaki.
"Azzura ... Azzura ... AZZURA ...."
Setengah jam kemudian, Haidar bergegas masuk kedalam mobil dan kembali mengemudikan mobilnya menuju rumah kontrakan Azzura.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, sampailah ia di depan gerbang kompleks tempat dimana Azzura mengontrak.
Adzan subuh berkumandang, ia tidak mau melewatkan shalat berjamaah di mesjid. Akhirnya ia memutuskan untuk shalat terlebih dahulu, di mesjid yang letaknya tidak jauh dari rumah kontrakan Azzura.
Rumah Azzura tampak lengang dan sepi, sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau ia pulang.
Berkali-kali Haidar mengetuk dan memanggil dari luar, namun tidak ada sahutan.
Haidar memutuskan untuk pergi dari rumah kontrakan itu, untuk kemudian melanjutkan pencarian di makam mamanya Azzura.
Ia sengaja tidak mendatangi rumah bu Santi, karena tidak ingin membuatnya cemas.
Beberapa menit kemudian, Haidar pun sampai di area pemakaman umum tempat dimana mamanya Azzura dikebumikan.
Hasil yang didapat sama, nihil. Azzura tidak ada di sana.
Kini, Haidar tambah cemas dan khawatir.
"Azzura, dimana kamu?"
Dengan langkah gontai, Haidar pun berjalan kembali menuju mobilnya.
Azzura hilang, bak ditelan bumi. Dia sama sekali tidak memberi kabar atau memberikan akses untuk dapat dihubungi oleh Haidar.
Nomor handphonenya tidak pernah aktif, bahkan akun sosmednya pun ditutupnya.
***
Tiga minggu sudah, Azzura tiada kabar berita. Ia meninggalkan rumah serta pekerjaannya, Haidar sudah semaksimal mungkin mencari kemana-mana, namun ia tidak pernah berhasil menemukannya.
Di kantornya, Haidar semakin sering marah-marah. Setiap saat setiap ada masalah, pastilah Marsya dan kawan-kawannya habis kena caci makinya.
Haidar kewalahan mengerjakan semuanya sendiri, kini ia mulai merasakan arti kehadiran Azzura di kantornya.
Walaupun terkadang ia lamban dan ceroboh, namun Azzura selalu menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tidak pernah mengeluh saat diminta untuk kerja extra tanpa bayaran lembur.
Tok ... Tok ... Tok ....
"Masuk!" ucap Haidar.
"Pak, ada tamu ingin bertemu dengan bapak." tutur Dilla.
"Siapa?"
"Pak Yoga, pak."
"Yoga siapa? Klient kita?"
"Saya tidak tahu pak, yang jelas beliau bukan klient kita."
"Baiklah, suruh dia masuk!"
"Baik, pak."
Dilla keluar ruangan Divisi Manager, lalu kemudian mempersilahkan masuk tamu yang ingin bertemu dengan Haidar.
Haidar sungguh terkejut dengan kehadiran tamu tak diundang itu.
Ia mengajak Yoga, yang tidak lain adalah kekasih Azzura untuk berjabat tangan. Namun dengan angkuh, Yoga mengabaikan itikad baik Haidar.
"Silahkan duduk!"
"Gak usah basa-basi, aku hanya ingin bertanya. Dimana kamu sembunyikan Yuana?"
Dengan sikap tenang dan santai, Haidar tersenyum menatap Yoga.
"Aku tidak tahu, sudah tiga minggu tidak masuk kerja, tanpa kabar."
"Halah, bullshit. Kamu pasti kumpul kebo dengannya, sudah kuduga kalau diantara kalian berdua ada hubungan yang spesial. Bodoh sekali aku ini, dapat tertipu daya."
"Jaga bicaramu, Yoga! Azzura wanita baik-baik, jadi rasanya tidak mungkin aku memperlakukan dia seperti yang kamu bilang tadi. Diantara kami tidak ada apa-apa, apalagi aku laki-laki yang sudah beristri."
"Haha, seperti aku orang bodoh saja Haidar. Mana istrimu, hah? Kamu itu pria kesepian, ngaku-ngaku punya istri. Jadi masuk akal kalau kamu menjadikan Azzura sebagai gundikmu."
"Keluar dari ruangan ini, sebelum saya berbuat yang dapat membuatmu tidak nyaman."
"Mau apa? Silahkan lakukan, aku tidak perduli. Rencana pernikahanku kandas, semua karena perempuan itu lebih senang menjadi teman ranjangmu, daripada istriku."
"Syukurlah kalau memang Azzura enggan menikah denganmu, perangaimu tidak baik. Hobi sekali mengumpat dan menjudgenya tidak baik. Ckck, kamu itu laki-laki Ga. Kok punya mulut seperti ibu-ibu kompleks, yang doyan ngegosip. Gak bapak, gak anak, sama saja!"
"Persetan dengan nasihatmu, mengurus istri saja kamu tidak becus. Sampai-sampai dia kabur, pastinya kamu juga bukan pria yang baik."
"Sudah selesai belum bicaranya pak Yoga? Kalau sudah, saya mohon segera tinggalkan ruangan saya! Atau kalau tidak ...."
"Panggil security atau polisi? SILAHKAN aku tidak takut!"
"Tidak waras!"
Haidar bangkit dari kursinya, ia berjalan menuju pintu, lalu membukanya.
Ia berdiri diambang pintu, mempersilahkan Yoga untuk keluar dari ruangannya.
Dengan emosi, Yoga berjalan keluar ruangan. Meninggalkan Haidar yang berdiri sambil mengepalkan tangan, menahan emosinya.
"Jangan izinkan orang itu datang lagi kemari, Dilla!"
"Ba-baik pak, maafkan saya."
Brug ...
Pintu ruangan Divisi Manager ditutup kencang oleh Haidar.
Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, ia membuka ponsel, lalu mencari kontak telepon Azzura.
'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.'
"Aarrghh, Azzura dimana kamu sekarang? Aku cemas, sangat cemas. Berilah aku kabar walaupun hanya lewat pesan singkat, buat aku tenang, Azzura."
***
Setengah tahun telah berlalu, Azzura benar-benar hilang tanpa kabar.
Beberapa kali Haidar mendatangi bu Santi untuk menanyakan keberadaannya, namun bu Santi selalu berujar ia tidak mengetahui dimana Azzura tinggal.
"Ibu benar-benar tidak tahu, mas. Ibu juga sangat khawatir."
"Ibu berkata jujur?"
"Iya, mas."
"Tapi mengapa saya merasa kalau ibu sebenarnya tahu, dimana Azzura berada."
Bu Santi, menundukan wajahnya. Ia tidak kuasa membalas tatapan Haidar yang tajam.
"Jawab bu, katakan dimana Azzura! Saya berjanji, tidak akan membocorkan kepada Azzura kalau ibu yang memberitahu."
"Maaf mas, saya tidak tahu."
Haidar menangkap kejanggalan, ia yakin kalau bu Santi tahu dimana Azzura berada.
"Ya sudah bu, kalau begitu saya pamit. Ibu sudah tahu no handphone saya, jadi kalau sewaktu-waktu ibu berubah pikiran akan jujur, silahkan hubungi saya ya bu."
"I-iya, mas. Mudah-mudahan saja, saya segera dapatkan kabar dimana mbak Yuana berada."
"Baik, bu. Saya permisi dulu, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, mas."
Bu Santi cepat menutup pintu rumahnya begitu Haidar keluar, ia terlihat sedih.
'Maafin ibu, mas! Ibu sudah janji sama mbak Yuana, tidak akan memberitahukan kepada siapapun tentang kabar mbak Yuana.'
***
"Halo, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Dar. Bagaimana kabarmu?"
"Alhamdulillah, sehat mbak Tika. Keluarga di sana, khususnya ibu bagaimana kabarnya?"
"Alhamdulillah, kami sehat semua. Dar, mbak mau bicara sebentar."
"Silahkan, mbak. Aku sudah di rumah kok."
"Aku mau menyampaikan pesan dari ibu."
"Katakanlah mba!"
"Ibu mencarikan jodoh untukmu, Dar."
"Kenapa tiba-tiba mbak?"
"Ibu sudah menunggu enam bulan lamanya, tapi kamu gak kunjung memberi kepastian tentang hubunganmu dengan Azzura. Untuk itu ibu mencarikan jodoh untukmu, ibu gak mau melihatmu terus begini. Ibu khawatir, Dar."
"Siapa wanita itu mbak? Apakah aku mengenalnya."
"Gadis kampung sebelah. Kamu juga kenal kok, Dar. Dia bekerja di kantor Audit, orangnya sangat baik. Ibu juga menyukainya. Namanya ... Ayu."
"Ya mbak, aku tahu siapa Ayu. Dia dulu satu SMA denganku, ya sudah mbak, kalau memang itu membuat ibu bahagia, aku pasrah."
"Yowes, kalau begitu. Kapan kamu siap menikahinya?"
"Atur sajalah mbak, aku manut saja. Mau besok atau lusa juga, silahkan."
"Alhamdulillah kalau begitu, akan aku sampaikan kabar baik ini."
"Iya, mbak."
"Ya, sudah dulu. Sehat-sehat yo kamu di Jakarta, nanti aku kabari lagi"
"Iya, mbak."
Setelah menutup sambungan telepon dengan kakak sulungnya, Sartika. Haidar langsung lemas, ia menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tengah.
Hatinya tidak terima dengan perjodohan ini, ia masih ingin mencari Azzura. Karena ia mendapatkan kabar kalau Azzura tidak jadi menikah dengan Yoga, sehingga itu menjadikan Haidar semakin membukatkan tekadnya untuk mencari Azzura sampai ketemu.
"Maafkan aku, Azzura. Aku tidak bisa menjadi pelindungmu lagi, aku telah ingkar memenuhi amanat mamamu, aku juga sudah mengecewakan ibu karena tidak juga menemukanmu."
Lelehan air mata tidak dapat dibendung, dalam kesendirian di malam yang hening itu, Haidar meratapi semua yang telah terjadi.
"Seandainya dulu, aku langsung menikahimu, mungkin hidupmu tidak akan menderita. Aku merasa menjadi manusia paling kejam, membiarkanmu sendiri dalam menghadapi kerasnya hidup. Setelah semua yang terjadi, maafkan aku Azzura. Aku ... Menyesal."
***
Setelah waktu untuk mencari Azzura berakhir dengan kabar yang dibawa oleh kakaknya, Haidar kehilangan semangatnya. Ia benar-benar layu dan tidak banyak bicara.
Apalagi saat ia menerima pesan singkat, yang mengabarkan bahwa pernikahannya akan dilangsungkan minggu depan, ia semakin kusut.
Ia tidak dapat melawan kehendak ibunya, yang tidak mau sabar untuk menunggunya menemukan Azzura.
Satu hari menjelang hari pernikahan, Haidar baru mengajukan cuti. Dengan kereta api, ia menempuh perjalanan pulang ke kampungnya.
Di sepanjang perjalanan, hati Haidar sungguh sangat dilema. Ia masih ingin berjuang mencari dimana Azzura berada, namun perintah ibunya tidak dapat ia bantah.
Sesampainya di rumah, Haidar di sambut oleh keluarga besarnya.
Dengan terpaksa, menabahkan hatinya yang sebenarnya tidak suka dijodohkan, Haidar tersenyum lebar.
Sang ibu memeluknya dengan penuh keharuan, tidak henti beliau mengucap sykur karena putranya bersedia untuk menikah.
"Mengapa acara pernikahannya disini bu? Tidak di rumah Ayu saja ...."
"Ndak apa-apa, ibu yang mau. Supaya ibu tidak lelah, karena tidak kuat berjalan."
"Oh iya bu, aku mengerti."
"Kamu ndak apa-apa kan nak, kalau pernikahannya diadakan sederhana saja?"
"Iya, bu. Aku juga tidak mau kalau ramai, gak enak sama keluarga Arini."
"Betul, maksud ibu juga begitu. Menjaga perasaan kedua orang tuanya. Oh iya, apa kamu mau bertemu dengan Ayu, calon istrimu?"
"Tidak usah bu, nanti besok saja saat akan ijab kabul."
"Baiklah, kalau begitu istirahatlah, di kamarmu!"
"Iya, bu. Aku masuk dulu ya ...."
"Iya."
Dengan langkah gontai, Haidar melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya yang terletak di ruang tengah.
Tanpa Haidar sadari, sepasang mata sedang memperhatikannya. Sepasang mata milik gadis berparas cantik, tubuhnya langsing dan tinggi semampai, gadis berkerudung hitam itu adalah gadis yang besok akan dipersunting Haidar.
Calon istri Haidar tersenyum memandang calon suaminya telah tiba, cintanya yang selama ini ia pendam akan berakhir indah di pelaminan.
"Mas Haidar, akhirnya besok kita resmi menjadi sepasang suami istri, hmmm, sungguh aku sangat bahagia ...."
"Hayo, mbak'yu ngintipin mas Haidar yang baru datang ya." ledek Sarifah, adik Haidar.
"Ah Ifah, aku jadi malu."
"Mbak Ayu, gak samperin si mas aja?"
"Gak ah, dia masih capek. Biarkan saja dia istirahat. Mari dek, kita berangkat ke rumah perias pengantin. Takut hujan ...."
"Iya, mbak."
Ifah dan calon istri Haidar pun melangkahkan kaki bergegas pergi ke rumah perias pengantin untuk fiting terakhir kebaya yang akan dikenakan esok hari.
==========
Hari yang dinanti oleh ibu dan keluarga besar Haidar pun tiba, hari itu adalah hari bersejarah bagi Haidar, karena sebentar lagi ia akan mempunyai pendamping hidup baru, yang akan menggantikan Arini.
Di dalam kamarnya, Haidar sudah berpakaian lengkap, memakai stelan jas berwarna putih tulang, sungguh tampan sekali.
"Bismillah, hilangkan bayangkan Arini dari pikiranku ya Alloh. Lunakan hatiku, agar dapat menerima calon pendampingku yang baru. Engkau Maha Kuasa membolak-balikan hati manusia."
Tok ... Tok ... Tok ....
"Maass, sudah siapkah?"
"I-iya Faah, sebentar lagi aku keluar."
"Baiklah mas, pak penghulunya sudah datang. Keluarga mempelai wanita juga sudah datang. Oh iya mas, ini catatan nama lengkap mbak Ayu. Sedari awal mas Haidar ndak tanya-tanya masalah nama lengkap calon istrinya, takut salah ucap pas ijab kabul nanti, hehe."
"Iya, Fah." Haidar menerima secarik kertas dan memasukannya kedalam saku jas.
Sarifah kemudian berjalan menuju ruang tamu, dimana ijab kabul akan dilaksanakan.
Haidar, kini sedang berdiri memandangi dirinya di cermin.
"Ya Alloh, tabahkanlah dan kuatkanlah hatiku untuk menjalankan pernikahan ini."
Kemudian ia menarik nafas panjang, hal itu ia lakukan beberapa kali. Setelah yakin dan siap, Haidar pun melangkahkan kakinya menuju ruang tamu.
Saat ia keluar, tampak sudah banyak orang berkumpul, mulai dari sanak saudara, tetangga dan beberapa orang yang tidak ia kenal.
Pak penghulu mempersilahkannya duduk di atas karpet hijau motif bunga, setelah itu barulah kini laki-laki paruh baya yang memakain stelan pakaian safari hitam itu mulai memberi kata sambutan.
Sesaat setelah ucapan kata sambutan selesai, pak penghulu memanggil wali dari calon mempelai wanita. Seorang laki-laki berjas hitam maju dan duduk di samping pak penghulu.
Haidar menatap heran kepada laki-laki yang dipanggil sebagai wali nikah dari calon istrinya itu.
'Ini bukan ayah Ayu, aku baru melihat bapak ini. Siapa ya?' batin Haidar bertanya-tanya.
Setelah itu, pak penghulu kemudian memanggil dua orang saksi, lalu majulah dua orang laki-laki yang akan bersaksi dalam acara ijan kabul itu.
Kedua saksi itu adalah paman Haidar dan pak Ustad Joko, sesepuh di kampungnya.
"Apakah anda sudah siap, menikahi putri dari bapak Alwi Mukhtamar, yaitu Azzura Yuana Mukhtamar?"
Haidar yang sedari tadi menunduk, mendadak mendongak terkejut saat mendengar ucapan pak penghulu tadi.
"Ma-maaf pak, siapa tadi nama calon mempelai wanitanya?"
"Azzura Yuana Mukhtamar."
"Bapak tidak salah sebut? Bukannya Masayu Kinanti, Putri dari pak Hemi Armadjayanto?"
"Tidak, nak Haidar. Tidak mungkin salah, karena disini tertulis jelas identitasnya. Malah di buku nikah ada fotonya, nih lihat! Moso sama calon istri sendiri ndak tahu, gimana ini?" ucap pak penghulu kebingungan.
Semua yang hadir tertawa kecil, Haidar langsung menoleh ke arah ibunya, tatapan penuh dengan tanda tanya.
Haidar merasa bodoh, karena ia sama sekali tidak pernah mau direpotkan dengan segala urusan persiapan pernikahannya.
Bahkan secarik kertas dari adiknya tadi pun tidak ia buka, kertas yang berisi informasi tentang nama lengkap calon istrinya, lengkap dengan mas kawinnya.
"Ayu, yang ibu maksud adalah Azzura Yuana, anakku. Ibu memanggilnya Ayu, karena memang dia berparas Ayu."
Haidar menghampiri sang ibu, ia bersimpuh dan memeluknya.
"Mengapa ibu merahasiakan semua ini?"
"Azzura yang minta, nak."
"Dimana dia sekarang bu?"
"Ada, di kamar Ifah."
"Bolehkah aku menjemputnya kesini bu?"
"Iya, nak."
"Pak penghulu, izinkan saya menjemput calon mempelai wanita untuk hadir disini."
"Silahkan, nak. Silahkan ...."
Saudara, kerabat dan para tetangga yang hadir mendadak riuh. Ada yang tertawa kecil menyaksikan kebingungan Haidar dan ada juga yang memperbincangkan hal itu.
Dengan langkah cepat, Haidar berjalan menuju kamar adik bungsunya, Sarifah.
Begitu ia membuka pintu, tampak gadis berwajah oriental sedang duduk di tepi tempat tidur Ifah.
Gadis cantik yang kini memakai hijab itu tampak cantik memakai kebaya putih tulang, senada dengan jas yang dipakai oleh Haidar.
Gadis yang selama ini dicari Haidar, ternyata kini akan ia persunting. Sungguh penuh dengan kejutan, ia sama sekali tidak menyangka kalau Ayu yang dimaksud oleh kakak sulungnya itu adalah Azzura.
Perlahan Haidar berjalan mendekat ke tempat Azzura duduk, Azzura menatap dan menyunggingkan senyuman.
Senyuman yang selalu Haidar rindukan selama hampir satu tahun terakhir ini, Haidar berlutut di hadapan Azzura.
"Gadis nakal, menyebalkan dan ceroboh. Kamu membuatku tersiksa, sungguh tega sekali selama ini kamu membiarkanku selalu memikirkanmu. Sampai-sampai aku tidak bisa tidur nyenyak, dan tidak bisa makan enak karena khawatir dengan keadaanmu. Seperti orang gila, aku mencarimu."
"Maafkan saya pak, saya menghilang tadinya demi untuk melupakan semuanya, terutama bapak. Namun Alloh berkata lain, kepergian saya malah membuat jalan hidup saya semakin mendekat dengan bapak. Sampai akhirnya saya disini, siap mendampingi bapak dalam suka dan duka."
"...."
Haidar menatap lekat wajah Azzura yang semakin cantik setelah dirias make up khas pengantin, lipstiknya berwarna pink magenta sungguh membuatnya tampak bersinar bak seorang putri.
"Apakah benar kamu siap menjadi istriku?"
"Iya, pak."
"Walaupun aku masih mengharapkan Arini, kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa pak, saya yakin suatu hari bapak akan mencintai saya dengan sepenuh hati."
"Bagaimana kalau tidak?"
"Alloh yang mengatur, saya akan menjalani semuanya sesuai dengan alur yang telah dibuatNya."
"Siap kecewa?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Karena, saya akan membuat bapak melupakan Arini."
"Bagaimana caranya?"
Dengan sedikit keberanian, Azzura melingkarkan kedua tangannya ke leher Haidar.
"Nikahi saya sekarang!"
"Maksa!"
"Biarin."
"Bagaimana dengan Yoga?"
"Ke laut."
"Kok bisa?"
"Mau sampai kapan bapak mengintrogasi saya? Keburu kabur itu penghulu, gagal deh saya dinikahi sama Divisi manager perusahaan konstruksi yang galak dan nyebelin, haha."
"Biarin."
"Jangan dong."
"Habisnya bisa-bisanya bersekongkol dengan ibu dan semua keluargaku, ditambah ngatain aku galak dan nyebelin segala lagi."
"Kenyataan."
"Tapi, kok bisa suka?"
"Terpaksa."
"Dasar gadis amoy cengeng dan hobi pingsan."
Haidar mencubit pelan dagu Azzura, selanjutnya ia berdiri dan menggenggam tangan Azzura.
"Ayo, kita ke ruang tamu."
"Asyik ...."
Haidar berjalan keluar kamar dengan menggandeng tangan calon istrinya, wajahnya tampak bersinar dan ceria.
Tidak seperti sebelumnya yang tidak bergairah dan kurang bersemangat.
Prosesi ijab kabul pun dilaksanakan dengan lancar dan khidmat.
Sebagai orang tua angkat, pak Alwi akhirnya bersedia mendampingi Azzura di hari spesialnya.
Setelah berkonsultasi dengan pihak KUA dan ustad setempat, akhirnya pak Alwi bisa menjadi wali nikah dari Azzura, hal ini dilakukan karena tidak ada satu orang pun yang tahu mengenai jejak keluarga Azzura.
Azzura dan papa angkatnya sudah mendatangi panti asuhan tempat mengadopsinya dulu, pihak panti asuhan tidak dapat memberikan informasi apa-apa tentang asal usul orang tua Azzura.
Pihak panti asuhan bercerita, kalau dahulu Azzura diantarkan oleh pihak kepolisian.
Menurut dari berita acara yang tertulis, ibu Azzura saat hamil besar ditemukan bersimbah darah di tepi jalan oleh seorang supir angkot, lalu supir angkot itu membawa ibu Azzura ke klinik terdekat.
Tidak ada identitas yang ditemukan, diduga ibu Azzura adalah korban dari perampokan yang disertai penganiayaan.
Nyawanya tidak selamat karena kehilangan banyak darah, melalui jalan operasi cesar akhirnya Azzura berhasil diselamatkan.
Setelah Azzura lahir, pihak klinik bersalin segera melapor kepada pihak berwajib. Dan pihak berwajib menyerahkan Azzura bayi kepada pihak panti asuhan.
Sungguh tragis dan menyedihkan nasib Azzura di masa lalu.
Usai prosesi ijab kabul, acara dilanjutkan dengan penyematan cincin oleh kedua mempelai, penandatanganan berkas pernikahan, penyerahan buku nikah dan kini acara sungkeman.
Suasana terasa haru, apalagi saat Azzura sungkem kepada papanya.
Pak Alwi yang sudah menyadari semua kesalahannya, kini mulai kembali lembut kepada putri tersayangnya itu.
Begitu juga dengan Susan, ibu tiri Azzura. Ia pun mulai bersikap ramah kepada putri tirinya, entah bawaan bayi karena kini ia sedang hamil. Atau memang hikmah setelah umroh.
Entahlah, semua sudah diatur oleh Alloh yang Maha membolak-balikan hati manusia.
"Nak Haidar, papa titip Azzura ya. Papa banyak melakukan kesalahan kepadanya." bisik Pak Alwi saat memeluk menantunya, di prosesi sungkeman.
"Inshaa Alloh pa, saya akan menjaga putri papa."
"Yuana, maafkan atas sikapmu selama ini. Semoga kedepannya, hubungan kita bisa baik. Aku turut bahagia dengan pernikahanmu, semoga bisa menjadi keluarga yang bahagia selalu." tutur Susan, ibu tiri Azzura.
"Iya tante, terimakasih." jawab Azzura singkat, sambil mencium punggung tangan ibu tirinya.
Hubungan Azzura dengan papanya sekarang sudah baik, papanya merasa bersalah karena telah membongkar asal-usul Azzura yang ternyata bukan anak kandungnya.
Setelah berusaha keras mencari, akhirnya pak Alwi menemukan Azzura dan meminta salah satu temannya agar dapat menerima putri angkatnya itu untuk bekerja di perusahaannya.
Akhirnya, Azzura diterima bekerja di sebuah perusahaan jasa audit.
Pekerjaan inilah, yang membuat Azzura dekat dengan keluarga Haidar.
Bagaimana kisahnya, biar nanti yang bersangkutan saja yang bercerita.
Acara ramah tamah berlangsung dengan hidangan sederhana, namun terasa sangat lezat.
Kakak sulung Haidar yang mempunyai usaha catering, memang jago masak dan sudah terkenal di kampungnya.
Setiap warga yang akan mengadakan event atau acara, pasti Sartikalah yang selalu dipanggil untuk menjadi juru masaknya.
Sementara para keluarga dan kerabat mengantri makanan, kedua mempelai duduk bersanding di sofa di ruang tengah.
Acara memang dilaksanakan sangat sederhana, itu semua atas permintaan Azzura.
Hal itu dilakukan bukan karena tidak mampu atau tidak mau keluar uang banyak, namun memang Azzura suka dengan kesederhanaan.
"Senyum dong pak! jangan tegang begitu."
"Geer, siapa yang tegang?"
"Makanya senyum, kalau memang gak tegang."
"Males."
"Kenapa?"
"Gak apa-apa."
"Dasar kanebo kering."
"Kok?"
"Iya, kaku."
"Ckck! Udah berani ngatain sekarang ...."
"Gak ngatain kok, cuma berharap bapak merubah sikapnya."
"Beginilah aku, kalau kamu gak suka ya sudah."
"Berubah untuk hal yang baik, gak ada salahnya pak."
"Kamu bukan Arini, jadi aku gak bisa berubah, merasa bahagia seperti pasangan pengantin pada umumnya."
"...."
Ucapan terakhir yang dilontarkan Haidar, sontak membuat hati Azzura tersinggung.
Azzura langsung bangkit, dan hendak berjalan meninggalkan Haidar yang mulai menyesali kelancangannya.
"Azzura, mau kemana?"
"Makan, biar gak emosi."
Dengan cepat, Haidar menarik tangan Azzura sampai istrinya itu terjatuh duduk di sofa.
"Marah ya?"
"Gak."
"Kok mukanya berubah."
"Memangnya saya satria baja hitam."
"Aku serius."
"Sudah bubar."
"Maksudnya?"
"Candilnya sekarang solo karir, bandnya 'serious' sudah bubar."
"Ckck! Aku serius, malah bercanda."
"Gak usah bertanya, bapak kan punya hati."
"Maafkan aku ya."
"Maaf kenapa?"
"Ucapanku yang terakhir tadi."
"Ya sudahlah, sudah resiko saya. Memaksakan diri masuk kedalam kehidupan bapak, mau tidak mau, suka tidak suka ... Harus siap."
"Aku gak bermaksud menyakiti hatimu, sungguh."
"Iya, pak. Saya mengerti."
"Hmmm, baik juga kamu."
"Dari dulu."
"Aku baru tahu."
"Gak peka, jadi baru tahu."
"Gak ada waktu buat mekain satu persatu teman-teman di kantor."
"Sibuk mikirin Arini."
"Tadinya ...."
"Sekarang?"
"Buatlah aku agar bisa sibuk mikirin kamu."
"Ok."
"Caranya?"
"Aku akan kabur dan menghilang lagi."
"Haha, jangan dong. Nanti ibu sedih."
"Oh, cuma ibu yang sedih. Tapi anak laki-lakinya enggak, aku jadi sedih."
Haidar menatap wajah sang istri yang duduk di sampingnya, kedua tangannya meraih tangan Azzura.
"Jangan pergi lagi, aku gak mau tersiksa lagi."
Haidar menarik tangan istrinya dan memeluknya erat.
"Saya tidak akan pergi, selama bapak masih menginginkan saya."
"Bantu aku ya Azzura, jangan menyerah menghadapiku."
"Iya, inshaa Alloh pak."
"Oh iya, jangan panggil aku dengan sebutan 'pak' lagi!"
"Apa dong? Kakek apa opa?
"Argh, serius!"
"Saya panggil Mas saja ya."
"Begitu lebih baik, aku akan memanggilmu seperti ibu memanggilmu boleh?"
"Ayu?"
"Iya, boleh?"
"Boleh mas, boleh."
Tidak ada adegan romantis diantara mereka, baik Haidar maupun Azzura sama-sama merasa canggung.
Terlebih Haidar, yang masih merasa shock dengan pernikahan dadakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel