Matahari bersinar begitu cerah, hari sudah siang, adzan dhuhur pun terdengar dari surau yang jaraknya tidak jauh dari rumah Haidar.
Semua sanak saudara dan para tetangga sudah berpamitan untuk pulang kembali ke rumahnya masing-masing.
Papa dan ibu tiri Azzura pun ikut berpamitan, mereka memeluk anak dan menantunya.
Rupanya sepulang dari umroh kemarin, pak Alwi dan Susan mendapatkan hidayah dari Alloh.
Kini pak Alwi sudah kembali menyayangi Azzura, begitu juga dengan Susan istrinya, kini ia sedang mengandung anak pertamanya.
Sikap Azzura pun kini sudah melunak kepada mereka berdua, walaupun ia belum dapat melupakan kepahitan dan penderitaan yang mamanya alami, namun rentetan kejadian yang menimpanya sebelum menikah dengan Haidar telah memberikannya pelajaran hidup yang berharga.
"Papa pamit ya Yuana, sampai ketemu nanti di Jakarta."
"Iya pa, terimakasih."
"Tante juga pamit ya Yuana, jarak rumah Haidar dan kami dekat. Sering-sering main ya sayang." tutur Susan memeluk dan membelai lembut rambut Azzura yang tetutup hijab.
"Inshaa Alloh, tante."
Begitu juga dengan Haidar, ia menyalimi mertuanya. Pak Alwi memeluknya dan menitipkan Azzura.
"Iya pa, saya akan menjaga putri bapak sebaik-baiknya."
"Bahagiakan dia! Kasihan, banyak sekali kepedihan yang sudah ia lalui didalam hidupnya."
"Baik pa, saya akan berusaha selalu membuat putri papa bahagia."
"Papa percaya kepadamu, kalau begitu papa pamit."
Azzura dan Haidar mengantar pak Alwi dan Susan sampai di teras, mereka melambaikan tangannya sampai mobil yang ditumpangi pak Alwi dan Susan hilang dari pandangan.
"Papa tadi bisik-bisik apa?" tanya Azzura kepada Haidar.
"Kepo, ini urusan laki-laki. Perempuan diam saja."
"Hmmm, gak di kantor, gak di rumah tetap saja ...."
"Apa?"
"Nyebelin, huh!"
"Tapi ngangenin kan."
"Geer, weee ...." Azzura menjulurkan lidahnya.
Haidar tertawa kecil diledek istrinya dan Azzura pun ikut tertawa.
"Udah yuk masuk, kita shalat dhuhur berjamaah."
"Yuk ...."
Haidar dan Azzura pun berjalan beriringan menuju kamar, untuk melaksanakan shalat dan beristirahat.
***
"Mas, mau makan sekarang?"
Haidar menggelengkan kepalanya, ia terus menatap wajah istrinya sambil duduk bersandar di sandaran ranjangnya.
"Terus mau apa? Jangan lihatin aku terus dong, aku malu tahu."
"Kan pakai baju, ngapain malu? Suka-suka aku lah, mau ngeliatin kamu kek, mau apa kek, gak ada yang larang."
Azzura tertunduk malu, pipinya memerah. Tangannya yang sedari tadi melipat kebaya juga jas yang dipakai Haidar, mendadak gemetar karena grogi.
"Kamu lapar?"
"Enggak, mas."
"Kok gemetar?"
"Eh anu ...."
"Grogi?"
"Eh, iya ...."
"Haha, sini duduk dekat aku!" Haidar.menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
Azzura berdiri, perlahan berjalan dan duduk di tepi ranjang.
Jantungnya berdebar kencang tidak beraturan, tangannya mendadak dingin dan kakinya gemetaran.
"Kenapa jadi pendiam gitu?"
Azzura diam seribu bahasa, kepalanya tertunduk. Ia memainkan jari jemari untuk sedikit mengurangi rasa malu dan tegangnya.
"Hei, kenapa diam?"
Haidar menggeser duduknya mendekat, kedua tangannya dilingkarkan ke pinggang dan kepalanya disandarkan ke bahu Azzura.
Bulu roma Azzura merinding, matanya terpejam merasakan desiran cinta yang baru pertama kali ia rasakan.
Dengan lembut, Haidar mencium tengkuk Azzura.
"Jangan grogi gitu dong, biasanya juga bawel, cerewet kaya burung beo. Kok sekarang diam saja."
"A-aku ... Aku ... Aku malu, mas."
"Malu kenapa?"
"Gak tahu."
"Kalau gak tahu, kenapa harus malu?"
"Gak tahu."
"Hmmm ...."
"...."
"Ayu...."
"Iya mas."
"Kamu tahu? Aku sangat rindu sama kamu. Saat kamu menghilang tanpa kabar selama hampir satu tahun itu, benar-benar membuatku sangat kehilangan."
"Terlebih aku, mas. Aku sangat tersiksa karena harus pergi jauh meninggalkan mas Haidar, yang saat itu sudah ada di hatiku. Namun sikap papa, perkataan Yoga dan penolakan mas membuatku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Maka dengan terpaksa aku pergi untuk melupakan semuanya."
"Memangnya Yoga bicara apa padamu?"
"Saat aku pingsan di rumah mas dulu itu ... Sekitar pukul dua belas lewat, aku siuman dan terkejut saat menyadari kalau aku masih di rumah mas Haidar. Lalu aku memutuskan untuk pergi malam itu juga, di tengah perjalanan aku menyalakan handphone dengan niatan ingin menceritakan masalah papa kepada Yoga. Namun tidak disangka, dia malah mengataiku dengan sangat kasar, dia menuduhku tinggal bersama dengan mas karena katanya mas Haidar menjawab telepon darinya di tengah malam. Dia mencecarku dengan berbagai pertanyaan yang tidak pantas untuk ditanyakan, disaat itu juga aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengannya."
"Dia juga mendatangiku di kantor, dia marah karena dia gagal menikah denganmu, katanya gara-gara aku."
"Oh iya?"
"Iya, gara-gara kamu kabur jadi aku kena tuduh. Nyusahin aja, ck!"
"Maafin aku ya mas, tapi kalau aku gak kabur, rasa-rasanya aku gak bisa nikah sama mas."
"Hehe, bisa aja. Eh aku penasaran sekali, kok bisa kamu bersesekongkol sama ibu dan saudaraku?"
"Oh itu, saat aku kabur. Aku sempat pergi ke rumah papa untuk meminta informasi panti asuhan tempat dimana aku diadopsi. Disitu papa mengetahui kalau aku mencoba untuk menjauh dari semuanya, lalu saat aku kabur diam-diam papa mencariku, setelah ketemu akhirnya papa meminta tolong temannya untuk memberiku pekerjaan. Tiba-tiba saja teman papa itu menghubungiku menawarkan pekerjaan di kantornya, sebuah perusahaan audit ternama.
Akhrinya aku menerima tawaran pekerjaan itu, nah dari perusahaan baru tempat aku bekerja inilah awal pertemuanku dengan mas Haryanto. Aku beserta tim, diminta direktur untuk memegang project audit perusahaan dimana mas Haryanto bekerja di Surabaya.
Aku meminta mas Haryanto dan yang lainnya termasuk ibu agar tidak menceritakan keberadaanku kepada mas.
Selama satu bulan aku di Surabaya, selama itu setiap weekend tiba, aku selalu menyempatkan diri berkunjung kesini untuk menengok ibu.
Hingga di weekend terakhir, ibu memintaku secara langsung agar mau menjadi menantunya.
Aku bersedia dan mengajukan persyaratan supaya merahasiakan perihal identitasku kepada mas Haidar."
"Hmmm, bagaimana jika kemarin aku menolak?"
"Gak mungkin."
"Kenapa bisa yakin?"
"Ibu menjamin, mas pasti mau, hehe."
"Eh ... Eh ... Segitunya ya ibu sama kamu ck!" ujar Haidar sambil.membalikan tubuh istrinya. "Azzura Yuana, yang kini akan kupanggil Ayu ... makasih atas cinta dan kasihmu yang begitu tulus kepadaku. Namun, aku ingin meminta sesuatu kepadamu."
"Apa?"
"Aku ingin kamu bisa bersabar, jujur aku belum 100% dapat melupakan Arini. Untuk itu, aku harap kamu tidak tersinggung kalau tiba-tiba moodku tidak baik kepadamu karena sedang teringat dia."
"Aku paham mas, akan aku coba."
"Aku takut."
"Kenapa?"
"Aku takut mengecewakanmu, aku takut tidak dapat menghilangkan bayang-bayang Arini dari pikiran juga hatiku."
"Jangan bicara begitu, mas. Aku sangat sedih."
Seketika raut wajah Azzura berubah, ia terlihat sedih.
"Maafkan aku, aku gak bermaksud menyakiti hatimu."
Haidar menenggelamkan kepala Azzura kedalam pelukannya, tangannya membelai lembut rambutnya yang halus dan berbau harum.
Aroma wangi shampo dan conditioner dari rambut Azzura, sungguh membuat Haidar terlena. Ia merasakan kembali kehangatan, setelah bertahun-tahun kesepian.
Bibirnya menyentuh ubun-ubun istrinya yang sedang menikmati dekapan yang terasa nyaman.
"Aku mencintai mas Haidar, bukan karena kedudukan dan harta yang mas miliki kini. Aku mencintaimu, karena sosokmu sangat kharismatik. Walaupun ...."
"Apa?"
"Galak."
"Haha, masa sih?"
"Iya, aku dan teman-teman sering kesal juga emosi kalau mas sudah mulai uring-uringan."
"Tapi aslinya baik kan?"
"Iya, aku gak sangka mas bisa lemah lembut."
"Masa?"
"Huum, jadi makin cinta deh. Mas Haidar cinta gak sama aku?"
"Maunya?"
"Cinta."
"Ya udah."
"Apa?"
"Iya, cinta."
"Kok gitu?"
"Maunya gimana?"
"Serius dong mas!"
"Udah bubar ...."
"Iihhh maaasss."
"Haha, kan katamu serius udah bubar."
"Plagiat, gak kreatif."
"Harus gimana dong?"
"Jawab!"
"Apa?"
"Pertanyaanku tadi ...."
"Yang mana?"
"Iiihhh maasss, aku nangis nih."
"Pingsan gak?"
"Udah ah, aku males jadinya." Azzura melepaskan dekapan suaminya, namun dengan segera tangan Haidar menahannya.
"Eits, mau kemana?"
"Kabur."
"Jangan dong."
"Kenapa?"
"Nanti ibu sedih."
"Argh, mas nyebelin."
"Ngangenin kali."
"Bodo."
"Ki Joko Bodo?"
"Au ah gelap."
"Baru jam tiga sore, belum gelap."
"Sakarepmu."
"Haha, gitu ya marahnya. Sini aku peluk lagi."
"Gak mau."
"Kenapa?"
"Bilang dulu!"
"Bilang apa?"
"Bilang dulu kalau mas cinta sama aku."
"Idih, maksa."
"Aku nangis beneran niihhh."
"Coba nangis, aku mau lihat."
"...."
"Mana? Katanya mau nangis, malah diam saja."
"Ya sudah mas, aku sudah tahu jawaban mas. Aku gak akan memaksa lagi, sudah resiko karena memaksakan diri menikah denganmu."
"Baper."
"Memang."
"Maaf ya, aku hanya bercanda. Ternyata kamu gemesin."
"...."
"Akan kujawab ... Kalau aku gak cinta dan sayang, rasanya saat kamu hilang kemarin aku gak akan tersiksa, sedih dan terus mencarimu."
"Bukan karena amanat mama dan semata-mata demi rasa kemanusiaan?"
"Awalnya, namun lambat laun rasa rindu kepadamu mulai datang. Setiap malam aku terus coba menghubungimu, bahkan sampai tengah malam aku terus meneleponmu."
"Masa? Kalau gitu nyatain dong, aku pengen dengar."
"Apa?"
"Maaaaassss!"
"Haha, ok ... ok."
Kedua tangan Haidar ditempelkan ke pipi samping Azzura, netranya tidak berkedip memandangi wajah istrinya yang putih nan mulus.
"Ayu ... Aku mencintai dan menyayangimu, jangan pernah lelah dan selalu bersabar menghadapi sifat kerasku. Aku akan berusaha menghilangkan bayangan dia dari hati juga pikiranku. Bantu aku ya!"
"Hiks, iya mas ... Makasih ya, aku bahagia."
"Sssttt, jangan menangis sayang. Mulai hari ini, bagilah semua keluh kesah juga susahmu kepadaku. Aku tidak akan membiarkanmu bersedih lagi."
Azzura mengangguk dan tersenyum bahagia, perlahan jari Haidar mengusap linangan air mata yang membasahi pipi Azzura.
Sejenak kemudian, dengan pelan tapi pasti wajah Haidar mendekat ke wajah Azzura, sehingga kini tidak ada jarak diantara keduanya.
Bibirnya mencium lembut bibir Azzura, terdengar lenguhan lembut Azzura.
Azzura merespon ciuman suaminya, ia memagut bibir Haidar dengan manja.
Namun ciuman itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba pintu kamar mereka diketuk oleh seseorang.
Tok ... tok ... tok ...
"Maaaasss, ada mas Haris di depan." teriak Ifah.
"Iyaa Fah, mas segera kesana."
"Ok."
Tampak ada rasa kecewa di wajah keduanya, karena keromantisan yang baru saja akan dimulai terganggu dengan kehadiran sahabat karib Haidar.
"Hehe, sabar ya istriku sayang. Pakailah jilbabmu, ikut denganku menemui sahabatku, Haris. Dia salah seorang yang mendukung hubungan kita."
"Iya, mas. Mas duluan saja, aku mau ganti pakaian dengan kaos lengan panjang."
"Ok, aku tunggu di depan ya!"
"Sip."
Haidar pun bergegas keluar kamar, untuk menemui Haris yang sudah duduk manis di ruang tamu.
Sementara itu, Azzura masih berada di dalam kamarnya untuk berganti pakaian dan memakai hijabnya.
***
Saat malam menjelang, usai shalat isya berjamaah, Azzura bergabung bersama suami, ibu mertua dan iparnya untuk makan malam bersama.
Bu Lastri, ibunda Haidar tidak henti menyunggingkan senyuman. Rona wajahnya terpancar cerah, penuh dengan kebahagiaan.
Begitu juga dengan Haidar, kini ia terlihat lebih segar dan bersemangat dalam kesehariannya. Mungkin karena ia sekarang sudah berhasil mempersunting tambatan hatinya.
Suasana makan malam terasa begitu hangat dan nikmat, guyonan-guyonan ringan yang dilontarkan oleh Sarifah, Sartika, Haryanto dan pasangannya yang berisi tentang ledekan pasangan pengantin baru itu, berhasil membuat Haidar juga Azzura salah tingkah.
Usai makan malam, Haidar beserta Haryanto dan Bowo, suami dari Sartika berpindah duduk di luar rumah, untuk sekedar berbincang dan bertukar pikiran.
Sedangkan Azzura, ia asyik bercengkrama bersama ibu mertua, saudara ipar dan kelima keponakan suaminya.
Azzura sangat disayang oleh bu Lastri, hubungan mereka sangat akrab dan hangat. Azzura tidak sungkan memijit tangan ibu mertuanya, sambil sesekali ia bermanja dengan menyandarkan kepalanya di pangkuan bu Lastri.
Dengan lembut, bu Lastri membelai rambut menantu barunya.
Tidak terasa waktu pun telah menunjukan pukul 23.00, Azzura tinggal sendiri di ruang tengah, karena ibu juga yang lainnya sudah terlebih dahulu berpamitan untuk tidur.
Ia masih bertahan duduk di sofa, menunggu suaminya yang masih asyik berbincang di teras.
Lambat laun, ia pun tidak dapat menahan kantuknya, tidak terasa akhirnya Azzura terlelap dengan posisi duduk di sofa.
Cukup lama ia tertidur, hingga ia terbangun karena sentuhan lembut di pipinya. Sentuhan tangan Haidar, suami tercintanya.
"Tidurnya pindah ke kamar yuk, sayang."
Azzura mengangguk, Haidar merangkul serta menuntun istrinya masuk ke dalam kamar.
Sesampainya di kamar, Haidar membaringkan sang istri di atas tempat tidur.
"Selamat tidur ya, sayang."
Ia mengecup kening Azzura, Azzura menahan tubuh suaminya, tanpa malu ia berbisik, "aku gak mau tidur dulu."
"Kenapa?"
"Gak ngantuk."
"Terus?"
"Kita lanjutin yang tertunda tadi ...."
"Yang mana?"
"Jangan mulai deh maaass!"
"Hehe, apa sih ngambek teruuss."
"Abisnyaa ...."
"Beneran sudah gak ngantuk lagi?"
"Iya."
"Mau lanjutin yang bersambung tadi?"
"Sinetron kali ah, bersambung."
"Hmmm, mulaiii ...."
"Hihi, yuuukkk."
Haidar memagut lembut bibir istrinya yang tipis, desahan lembut Azzura membuat gairah Haidar semakin membara.
Bertahun-tahun hasratnya sebagai lelaki tertahan, membuat nafsu birahi Haidar memuncak.
Azzura menikmati sensasi sentuhan dari bibir juga tangan Haidar, ia memejamkan mata dan meremas rambut sang suami.
Namun saat akan melakukan gerakan inti, Haidar tiba-tiba menghentikan aksinya.
Dia bangkit dari sisi Azzura, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya mengepal dan wajahnya memerah.
"Kenapa mas?"
"Maafkan aku, Yu. Aku tidak bisa melakukannya."
==========
Haidar memagut lembut bibir istrinya yang tipis, desahan lembut Azzura membuat gairah Haidar semakin membara.
Bertahun-tahun hasratnya sebagai lelaki tertahan, membuat nafsu birahi Haidar memuncak.
Azzura menikmati sensasi sentuhan dari bibir juga tangan Haidar, ia memejamkan mata dan meremas rambut sang suami.
Namun saat akan melakukan gerakan inti, Haidar tiba-tiba menghentikan aksinya.
Dia bangkit dari sisi Azzura, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya mengepal dan wajahnya memerah.
"Kenapa mas?"
"Maafkan aku, Yu. Aku tidak bisa melakukannya."
"Karena Arini?"
Haidar mengangguk, ia menundukan kepalanya. Kemudian ia kembali berpakaian dan berjalan keluar dari kamar tanpa memperdulikan Azzura.
"Hiks ...." isakan tangis Azzura mulai terdengar pelan.
Dengan perasaan sedih, ia memakai kembali pakaiannya dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, ia menumpahkan segala sedih juga kecewanya.
Ia beringsut duduk di lantai kamar mandi, tubuhnya bersandar di pintu. Bahunya tampak naik turun seiring dengan isakan tangis, hati Azzura benar-benar pedih.
"Kenapa kamu tega mas? Kenapa? Hiks ...."
Cukup lama ia berada di dalam kamar mandi, setelah merasa tenang Azzura segera membersihkan wajahnya dengan air.
Wajahnya sembab karena tidak berhenti menangis, dengan perasaan yang tidak menentu ia berbaring di atas ranjangnya.
Azzura berusaha memejamkan matanya untuk dapat terlelap tidur, namun ternyata sangat sulit.
"Kreeeekkkkk..."
Suara pintu kamar terbuka, sosok Haidar muncul berjalan dengan gontai.
Ia naik ke atas tempat tidur, kemudian memeluk Azzura yang pura-pura tertidur memunggunginya.
"Maafkan aku istriku, aku tidak bermaksud menyakitimu."
Azzura bergeming, ia menahan agar tidak menangis dan terus berpura-pura untuk tidur.
"Beri aku waktu, semoga kamu mengerti. Semua ini tidak mudah untukku, aku mencintaimu namun bantu aku untuk menghilangkan dia dari ingatan juga hatiku." Haidar mengecup rambut Azzura. "Selamat tidur Ayu sayang, semoga mimpi indah."
Haidar tidak melepaskan pelukannya, kini ia semakin erat memeluk istrinya yang sedang terluka hatinya.
Terluka karena suami yang selama ini dicintainya itu, ternyata masih menyimpan rapi kenangan akan masa lalu bersama Arini, istri terdahulunya.
Saat subuh menjelang, pengingat tanda adzan berbunyi di ponsel Azzura. Perlahan, ia membuka matanya yang terasa berat dan pedih.
Mungkin efek dari menangis semalam, ia mengangkat tangan suaminya yang melingkar erat di pinggangnya.
Menyadari istrinya akan bangun, Haidar langsung menariknya sehingga tubuh Azzura tersungkur terjatuh diatas tubuhnya.
"Mau kemana sayang?"
"Mandi, shalat."
"Maafin aku ya."
"Iya, mas. Kan dari awal mas sudah warning, jadi aku coba untuk memakluminya walaupun sakit."
"Senyum dong!"
"Males."
"Kenapa? Katanya udah maafin aku."
"Gak apa-apa. Lepasin ih! Aku mau mandi dan shalat dulu mas."
"Senyum dulu!"
"Aku mau shalat, lepasin."
"Senyum dulu!"
"Shalat berjamaah dulu, baru aku mau senyum."
"Baiklah, kalau bangun tidur kamu galak banget Yu."
"Aku gigit nanti, mau?"
"Asal gak bikin aku jadi rabies, aku mau."
"Argh, nyebeeeliiiiinnnn."
Berkali-kali Azzura memukuli dada Haidar.
"Haha, ampun ... ampun. Yuk, yuk kita shalat subuh berjamaah."
Masih memeluk erat istrinya, Haidar bangkit dari tidurnya. Bak anak kecil di pangkuan ibunya, Azzura duduk dipangku oleh Haidar. Kemudian membopongnya hingga ke depan pintu kamar mandi.
"Cepetan ya, mandi dan wudhunya. Sudah jam 05.00 sekarang."
"Huh, mas yang bikin telat. Aku yang disuruh cepat-cepat."
"Hehehe."
Dengan kesal Azzura memasuki kamar mandi, sementara Haidar menggelarkan sejadah untuk Azzura dan dirinya.
***
"Selamat pagi ibu." sapa Azzura hangat kepada ibu mertuanya.
"Selamat pagi juga, Ayu. Bagaimana semalam?"
"...."
Azzura tersenyum.
"Haidar melaksanakan kewajibannya kan?"
"I-iya, bu."
"Syukurlah nak, ibu khawatir dia masih teringat sama istrinya yang gak beres itu."
"Hmmm, ibu jangan banyak pikiran ya! Mas Haidar sangat sayang dan mencintaiku, semalam cerita kepadaku katanya sudah tidak ada lagi Arini di hatinya."
"Alhamdulillah, ibu senang sekali mendengarnya. Ibu ndak terima, Haidar didzalimi oleh dia. Kabur demi harta, naudzubillah himindzalik."
"Sudah ya bu, ibu jangan khawatir. Fokus sama kesehatan ibu ya, supaya ibu cepat sembuh dan bisa berjalan lagi."
"Iya sayang, ibu sangat bersyukur karena kini Haidar mendapat istri yang sangat sayang kepadanya, juga kepada ibu."
"Walaupun asal-usulku tidak jelas?"
"Sssttt, jangan bicara begitu. Kamu putri ibu, jangan merasa sendiri ya nak."
"Terimakasih banyak ya bu, aku sayang sekali sama ibu."
"Iya nak, ibu juga sangat sayang kepadamu."
Azzura membungkuk dan memeluk ibu mertuanya dengan erat, tangan kanannya membelai lembut punggung wanita paruh baya di hadapannya.
Haidar yang hendak keluar rumah untuk joging keliling kampung sekitar, menghentikan langkahnya di ruang tengah. Netranya tidak berkedip menyaksikan pemandangan indah di ambang pintu dapur.
Hatinya sungguh terenyuh melihat kasih sayang Azzura kepada ibunya, perasaan bersalah atas kejadian semalam menghampirinya kembali.
'Maafin aku istriku, aku berjanji akan membuang jauh Arini. Aku tidak akan menyia-nyiakan dirimu, sayang.'
Ia tersenyum simpul dan melanjutkan langkahnya keluar rumah.
***
"Iihh, mas lengket. Mandi dulu sana!"
Azzura memprotes suaminya yang memeluknya dari belakang, padahal tubuhnya masih berkeringat karena habis berolahraga.
"Udah gak marah kan?"
"Gak."
"Galak banget."
"Biarin."
"Maafin aku ya!"
"Iya, sudah mandi dulu sanaaa mas! Lepasin pelukannya, malu ih sama orang rumah, kalau ada yang masuk kesini bagaimana?"
"Gak akan, mereka lagi anteng di teras ngeliatin bocah-bocah berenang di kolam plastik."
"Lepasin, ih. Mandi dulu sana, habis itu kita sarapan sama-sama. Aku sudah lapar."
"Pantesan galak."
"Kenapa?"
"Lapar kan?"
"Hihi, udah sana mandiiii!"
"Iya ... iya."
"Jangan lama-lama mandinya, perut aku udah kerucukan." teriak Azzura sambil membilas piring, gelas dan sendok yang sudah ia sabuni tadi.
Lima belas menit kemudian, Haidar kembali dengan tampilan yang lebih segar dari sebelumnya.
Ia mengenakan celana pendek dan kaus putih tanpa lengan, tampak lengannya yang berotot membuatnya terlihat semakin macho.
Azzura beberapa kali melirik suaminya yang kini berjalan mendekat ke arahnya.
"Anteng amat sih di dapur, lagi ngapain?"
"Ini lagi melap kompor bekas masak tadi."
"Kenapa semuanya kamu yang ngerjain?"
"Aku yang minta."
"Supaya apa?"
"Latihan."
"Kaya pramuka aja, pakai latihan segala."
"Bawel ah, udah yuk kita makan!"
Haidar mengangguk dan berjalan mengekori istrinya.
"Sudah cukup, jangan banyak-banyak dong, memangnya aku kuli."
"Pernah jadi kuli tah? Sampai tahu porsi makannya, haha."
"Haha, gak mau jawab."
"Ya udah diem kalau gitu, jangan bawel. Mau makan harusnya baca doa, bukan ngomong terus."
"Iya, mamah dedeh."
"Hihi ..."
Haidar melahap nasi pecel komplit dengan rempeyek kacang.
"Pasti mbak Tika yang bikin."
"Uh, sok tahu."
"Gak ada tahunya, adanya tempe mendoan."
"Bodo ah."
"Ngambekan ih."
"Efek semalam."
"Memangnya semalam kamu abis ngapain? Cari tukang tahu?"
"Sakarepmu."
"Cie, marah lagi. Aku cium nanti kalau ngambek terus."
Azzura mengerucutkan bibirnya, ia cepat-cepat menghabiskan makanannya.
"Awas keselek yang, pelan-pelan ah makannya!"
"Uhuk ... Uhuk ...."
"Tuh kan, belum selesai ngomong kamu udah keselek. Ini minum dulu ...."
"Padahal boong, weeee."
Dikerjai seperti itu, Haidar geram dan mencubit pipi istrinya yang tertawa.
"Dikirain beneran, aku udah panik."
"Paniknya galak."
"Bawaan dari orok."
"Mana ada orok brewok."
"Ada, nih oroknya udah gede."
"Kenapa sih harus miara brewok?"
"Pengen aja."
"Arini yang suka ya?"
Sejenak Haidar diam, ia tidak merespon pertanyaan istrinya.
"Benar kan? Ditanya diam saja."
"Takut keselek sayang. Udah ah, jangan dibahas. Masalah sepele, nanti jadi panjang."
"Tentu akan panjang, kalau masalahnya menyangkut Arini."
Azzura berdiri dan menyudahi makan paginya, ia berjalan cepat membawa piring kotornya ke dapur.
Haidar masih duduk melanjutkan makannya.
Tanpa memperdulikan suaminya yang duduk sendiri, Azzura berjalan melewatinya menuju keluar rumah untuk berkumpul bersama keluarga Haidar sambil mengasuh bocah-bocah yang sedang asyik basah-basahan di kolam plastik.
Azzura duduk melantai bersama Nunik, istri Haryanto yang sedang mengulek bumbu rujak, sedangkan Sartika dan Sarifah sibuk memotong buah mangga mengkal, jambu air, bengkuang dan nanas.
"Mantap banget rujaknya mbak, yang pedas ya." ucap Azzura.
"Siap, kita bikin lidah ini HOT ya. Kaya kamu sama Haidar semalam, pasti HOT kan." goda Nunik.
"Haha, pastinya." timpal Sartika.
"Hush, ada anak dibawah umur." jawab Azzura sambil menunjuk Sarifah.
Sarifah mesem-mesem mendengar percakapan ketiga kakak perempuannya.
"Mas Hari sama mas Bowo kemana mbak?"
"Ituuuu, lagi kerja bakti sapu halaman sama cabutin rumput." jawab Nunik.
"Seru ya mbak, kalau tinggal dekatan. Jadi tiap weekend kaya gini bisa kumpul. Kalau aku nanti akan kembali ke Jakarta, pasti bakalan kangen."
"Sebulan sekali pulang bisa to, atau nanti kapan-kapan kalau masmu bisa cuti agak lama, kita yang mengunjungimu ke Jakarta." sahut Sartika.
"Setuju, mbak. Aku kepingin main-main ke Jakarta." jawab Nunik.
"Kasihan, mbak Nunik kurang piknik. Haha ...." ledek Sarifah.
"Iya nih, Fah. Berkutat di dapur terus, jadi mumet. Mas Hari juga sibuk terus."
"Ya, aku manut ae mbak." jawab Azzura antusias.
Ibu tersenyum menyaksikan keakraban anak menantunya, hidupnya kini benar-benar bahagia.
Tak lama kemudian, Haidar muncul dari dalam rumah. Ia melangkah menuju tempat dimana kedua kakak lelakinya sedang sibuk bersih-bersih.
"Mas, aku bantu doa ae yo. Habis mandi, takut keringetan lagi. Hehe ...."
"Udah beres kok, rezekimu sedang bagus Dar. Haha ...." sahut Haryanto.
"Bagaimana semalam, sukses?" tanya Bowo.
Haidar menggeleng, wajahnya muram.
"Pasti gara-gara si Arini, iya toh?" tebak Haryanto.
"Iyo, mas."
"Ckck! Haidar ... Haidar ... Sudahlah, lupakan dia! Cewek gak beres kok, buat apa dipikirin! Bertahun-tahun dia pergi, mana ngasih kabar sama kamu." sungut Haryanto.
"Yang dibilang Hari, benar Dar. Ayu jangan kamu sakiti, kasihan dia. Sebatang kara, hanya kamu tempat berlindungnya sekarang. Masa kamu tega sih!"
Haidar menunduk, tak tahu harus menjawab apa.
Haryanto mendekati adiknya, bahu Haidar ditepuk pelan, lalu ia pun duduk disampingnya.
"Dar, aku merasa aneh sama kamu. Sewaktu Ayu hilang, kamu setengah mati mencari dia. Sekarang sudah ada di depan mata, malah kamunya kaya gini. Ckck! Maumu apa?"
"Entahlah mas ...."
"Aku kasih tahu ya, istrimu itu orang kota, cantik dan terpelajar. Aku yakin di luar sana banyak pria yang suka kepadanya, kalau kamu terus begini apa kamu gak takut nanti ...."
"Cukup, mas! Ngeri aku ngebayanginnya."
"Nah, sudah tahu ngeri kenapa kamu mau cari penyakit?"
"Iya mas, makasih ya nasihatnya."
"Masalah si Arini, jangan kamu ingat-ingat masa manis diantara kalian berdua. Kamu harus ingat, saat dia kabur bawa semua tabungan kalian, bahkan perhiasan ibu saja tidak segan ia curi. Menantu dan istri macam apa itu? Amit-amit sih kalau aku mau menerimanya kembali."
Pikiran Haidar menerawang membayangkan perbuatan istrinya dulu, semua cerita yang diucapkan Haryanto semuanya benar.
Bagaimana perangai buruk Arini yang haus akan dunia, selalu menuntutnya untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara apapun.
Bagaimana ibunya menangis sampai jatuh sakit gara-gara sikap Arini yang kasar saat kepergok mencuri perhiasan mertuanya di laci lemari di kamar bu Lastri.
Haidar mengacak rambutnya, ia menarik nafas panjang. Mengumpulkan semua kenangan pahit tentang Arini.
"Sambut masa depanmu yang bahagia bersama Ayu, Dar! Aku yakin dia jauuhh lebih baik dari Arini, jangan sakiti dia, cintailah dia melebih cintamu kepada Arini."
Haidar menoleh kakaknya, ia mengangguk dan memeluk Haryanto dengan perasaan lebih tenang dari sebelumnya.
"Makasih mas, nasihatmu membuatku bisa berpikir jernih."
"Sama-sama adikku, jangan tengok lagi masa lalumu. Karena itu hanya akan membuatmu jalan di tempat."
"Biarin aja Har, kalau sampai si Haidar nyia-nyiain si Ayu. Aku bakalan comblangin dia sama temen kerjaku, banyak yang masih muda dan ganteng." celetuk bowo.
"Haha, aku mendukungmu Wo. Di kantorku juga banyak, lebih tampan darimu Dar."
"Jangan dong, masa tega sih."
Mereka bertiga pun tertawa dengan renyahnya.
Dari kejauhan, Azzura tidak pernah memalingkan pandangan dari suaminya. Ia terus menatap Haidar yang sedang berbincang dan sekali-kali tertawa bersama Haryanto dan Bowo.
'Betapa bahagianya mbak Tika dan mbak Nunik, mereka punya suami yang hidupnya lempeng-lempeng aja. Gak kaya si brewok, rumit banget hidupnya kaya sinetron tersanjung, bikin baper dan panjang jalan ceritanya.'
"Hayo, pengantin baru ngelamun aja. Ini loh rujaknya, dianggurin dari tadi." suara Sartika membuyarkan lamunan Azzura.
"Emang ada anggurnya mbak?" jawab Azzura sekenanya.
"Hihi, kesemek adanya." celetuk Nunik.
Azzura cengengesan, menepuk paha kakak iparnya.
"Panggilkan masmu Fah, suruh kesini gabung makan petis."
"Iya, mbak Nunik."
Sarifah berjalan menuju halaman depan, dimana Haidar dan kedua kakaknya sedang asyik berbincang.
"Mas, gabung disana kita makan petis sama-sama."
"Iya, yuk Wo, Dar!"
Tampak Haidar jalan paling belakang, mencoba mencuri pandang ke arah istrinya. Ia tersenyum, saat melihat istrinya memberikan sepiring buah tanpa sambal petis kepada ibunya yang duduk di atas bale bambu.
Haryanto dan Bowo tidak langsung duduk untuk bergabung, mereka berdua membersihkan tangan dan kaki terlebih dahulu di pancuran air yang berada di samping teras.
Sementara Haidar ikut duduk melantai di samping Azzura, ia berbisik manja di telinga istrinya.
"Jangan ngambek lagi ya, sayang."
Azzura bergeming, pura-pura tidak mendengar ucapan suaminya.
"Kalau kamu diemin aku, aku bakalan ...."
"Apa?"
"Gak apa-apa."
"Nyebelin."
"Ngangenin."
"Gak."
"Iya."
"Gak."
"Iya."
"Sakarepmu."
"Murepkasa."
Azzura melirik sinis kepada suaminya.
"Mata sipit gitu, jangan sok mau galak."
"Biarin."
"Eh, eh ini pengantin baru malah asik pacaran berdua. Kita dianggap obat nyamuk kali ya. Haha ...." ledek Haryanto.
Azzura dan Haidar mesem-mesem, saat yang lainnya menertawakan mereka berdua yang sibuk dengan bisik-bisik tetangganya.
Mereka bercengkrama dengan akrabnya, sesekali terlihat tetangga yang lewat di depan rumah, menyapa mereka dan menyunggingkan senyuman kepada Azzura dan yang lainnya.
Hingga tidak terasa, waktupun sudah beranjak siang. Adzan duhur berkumandang, Haidar dan kedua kakaknya bergegas untuk shalat di surau yang jaraknya dekat dengan rumah.
Azzura dan Nunik membantu bu Lastri untuk jalan perlahan menuju kamarnya. Kedua menantu bu Lastri memapah dirinya, dalam hatinya ia mengucap syukur yang tiada terhingga karena kini kehidupan keluarganya, terutama putranya Haidar sudah lebih baik.
Usai merebahkan bu Lastri di atas ranjang, Azzura dan Nunik berpamitan untuk kembali keluar.
Mereka bergegas untuk shalat duhur dan lanjut membuat kue, untuk cemilan mereka saat usai makan malam nanti.
Sudah jadi kebiasaan keluarga Haidar, setiap usai makan malam pastilah akan kembali melanjutkan kebersamaan mereka sambil makan kue atau ngeteh.
Azzura sedang melipat mukena saat suaminya pulang dari surau, ia meraih tangan Haidar dan kemudian menciumnya.
"Bobo berdua yuk!"
"Gak mau."
"Kenapa?"
"Aku mau bantu mbak Tika dan mbak Nunik, bikin kue di dapur."
"Halah, gak usah. Kan ada Ifah, kamu sama aku aja."
"Huh, males. Tar kaya semalam."
"Sekarang enggak akan, janji."
"Gak mau, lagian ini siang. Feelnya gak dapet ah kalau mau ngelakuin itu."
"Mau siang atau malam, sama saja kok sayang."
Haidar memeluk Azzura, lalu membopongnya ke atas ranjang.
Ia mencumbu leher istrinya dengan penuh gairah, namun dengan tegas Azzura menolak dan mendorong tubuh kekar Haidar.
"Aku gak mau sekarang, mas. Dimana-mana juga MALAM PERTAMA ya berarti harus malam, gak ada tuh istilah SIANG PERTAMA."
Azzura bangkit dari ranjang, merapikan pakaiannya lalu melangkahkan kakinya keluar kamar menuju dapur.
Haidar meninju kasur dengan kesal, ia tidak menyangka istrinya membalas dendam atas perlakuannya semalam.
***
Saat sore hari tiba, tampak Haidar sudah rapi dengan memakai kemeja dan celana jeans belelnya.
Ia membuka pintu kamarnya, lalu mencoba memanggil istrinya.
"Ayu ... Kesini sebentar!" teriak Haidar.
Azzura yang sedang berada di dapur bersama iparnya, bergegas memenuhi panggilan suaminya.
"Iya, mas."
"Masuk!"
"Iya."
"Mandi dan ganti pakaianmu!"
"Mau kemana?"
"Jangan bawel, cepat!"
"I-iya ...."
Azzura pun menuruti semua permintaan suaminya, setengah jam kemudian ia telah siap dan rapi mengenakan kulot dan atasan kemeja lengan trompet motif bunga-bunga kecil.
"Kita mau kemana mas?"
"Nanti juga kamu tahu."
"Mas, kok jutek banget sama aku."
"Habisnya kamu ngediemin aku terus, habis shalat duhur bukannya di kamar temani aku, malah asyik di dapur bikin kue sama mbak Tika dan mbak Nunik."
"Di kamar? Mau ngapain? Disentuh juga enggak aku sama kamu. Mendingan aku ke dapur, ngobrol jadi gak mumet otakku."
"Ah, tadi aku mau apa-apain kamu, kamunya sok jual mahal. Males aku jadinya, serba salah aku sama kamu."
"Aneh banget kamu mas, tadi kita sudah biasa saja. Sekarang malah marah-marah kaya gini, ck!"
"Sudahlah ikut aku sekarang!"
"Iya ... Iya ... Gak usah galak dong, ini bukan kantor dan aku ini bukan assisten DM lagi, jadi gak usah bentak-bentak aku kaya gitu. Huh!"
Haidar berjalan cepat membuka pintu kamar dan kemudian berpamitan kepada ibu dan yang lainnya.
Haidar membisikan sesuatu kepada bu Lastri juga Sartika, sesaat kemudian baik ibu dan Sartika mengangguk tanda paham dengan bisikan Haidar.
"Kami pamit dulu ya bu, mbak, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati nak."
Setelah mencium tangan mertua dan kakak iparnya, Azzura berjalan mengikuti langkah suaminya.
Haidar mengemudikan mobilnya dengan pelan, sejak mulai naik mobil tadi ia tidak mengajak istrinya bicara.
Suasana di dalam mobil milik Haryanto, yang dikemudikan oleh Haidar sungguh sangat senyap dan sunyi.
Azzura pun enggan untuk memulai perbincangan, ia memilih memandangi pemandangan di sepanjang jalanan yang ia lewati.
Hingga tidak terasa, mata Azzura pun terpejam. Ia tertidur saat dalam perjalanan, yang ia sendiri belum tahu akan dibawa kemana oleh suaminya.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, mereka pun sampai di parkiran sebuah rumah makan.
Haidar membangunkan istrinya, beberapa saat kemudian mereka pun turun untuk mengisi perut.
Haidar dan Azzura makan bersama tanpa bicara, baik Azzura juga Haidar tidak ada yang mau memulai perbincangan.
Usai makan, Haidar kembali mengemudikan mobilnya.
Saat di depan minimarket, ia berhenti dan menyuruh istrinya menunggu di dalam mobil.
"Kamu mau nitip apa?"
Azzura menggeleng, ia masih kesal sehingga enggan untuk menjawab.
"Tuli."
"Brug...!"
Haidar menutup pintu mobil dengan kencang. Sepeninggal Haidar, Azzura bersungut sendiri.
"Kumat deh sangarnya, ihhhh ... Dasar brewok galak, gak ada manis-manisnya kalau lagi ngambek gitu, huft! Untung ajaaa, gue udah kebal sama omelannya. Gedek banget gueeee, pengen gue unyeng-unyeng itu si brewok."
Lima belas menit kemudian, Haidar keluar dari minimarket dengan menenteng plastik belanjaan berisi cemilan, roti dan minuman dingin.
Lalu ia masuk kedalam dan kembali melajukan mobilnya, sampai di pelataran parkiran basemant sebuah gedung besar dan megah ia memarkirkan mobilnya.
"Cepat turun!"
"Iya brewok, heran kalau ngomong pakai urat mulu dari tadi."
Haidar kemudian turun, lalu membuka bagasi, plastik belanjaan dari minimarket tadi ia masukan kedalam koper berukuran sedang yang ia bawa dari rumah dan disimpan di bagasi tanpa sepengetahuan istrinya.
Setelah semua rapi, Haidar menenteng koper itu, sambil mengajak istrinya untuk masuk ke gedung melalui lift.
Azzura yang masih bingung mau apa ia disitu tidak banyak bertanya, ia memilih berjalan mengekor di belakang suaminya yang menenteng koper.
Sampai di lobi gedung besar yang merupakan sebuah hotel bintang lima, saat Haidar memesan sebuah kamar suite untuk mereka berdua, barulah Azzura tahu mau apa ia dibawa oleh suaminya kesitu.
Dengan refleks, Azzura menggandeng tangan suaminya.
Haidar menatap istrinya, kini sudah tidak ada lagi rona menyebalkan di wajah Haidar. Pria brewok itu menyunggingkan senyumnya kepada Azzura yang kini menggandeng tangannya dengan erat.
Haidar sengaja memesan sebuah kamar suite di hotel berbintang lima tersebut, ia ingin menunaikan kewajibannya yang tertunda itu dengan suasana yang tidak biasa dan spesial.
Ia ingin istrinya itu bahagia juga senang, dengan malam pertama yang akan dilaluinya.
Untuk itu, Haidar sengaja merahasiakan kemana ia akan membawa istrinya, dibumbui dengan sedikit drama supaya lebih romantis katanya.
Sesampainya di kamar hotel, Azzura takjub memandang ke seliling ruangan yang sudah dihiasi dengan bunga-bunga dan pita-pita, terutama pada bagian tempat tidur, di atasnya bertabur bunga mawar merah yang harumnya menyeruak ke seluruh ruangan kamar tersebut.
Sesudah puas menikmati pemandangan yang membuat hatinya tersanjung, Azzura pun duduk di sofa dekat jendela yang pemandangannya sangat indah.
Sesaat kemudian, ia melepaskan sepatu dan kerudungnya.
Sedari tadi ia tidak henti tersenyum dengan surprise yang diberikan oleh suaminya.
Haidar menutup pintu dan segera menaruh koper yang ia bawa di atas meja.
Ia menghampiri istrinya yang sedang duduk di sofa single, kemudian Haidar berlutut di hadapan Azzura.
"Maafin aku ya, tadi marah-marah sama kamu! Itu cuma bagian dari skenario kejutan ini."
"Gak apa-apa, mas. Aku sudah kebal."
"Kamu senang?"
"Iya."
"Jangan marah lagi, ya."
"Iya."
"Malam ini, disini, aku akan memberikanmu hak yang seharusnya kemarin malam aku beri."
"Masa?"
"Iya."
"Aku gak yakin."
"Mau bukti?"
"Banget."
Azzura melingkarkan tangan ke leher suaminya, ia memberanikan diri untuk mengecup bibir Haidar.
"Tahan dulu, kita salat isya dan sunah berjamaah ya."
"Tapi, aku gak bawa ...."
"Sssttt, tenang. Aku sudah persiapkan semuanya di koper ini."
Azzura terkekeh, melihat persiapan yang ada di dalam koper. Mulai dari pakaian, pakaian dalam, alat shalat sampai cemilan sepuluh yang Haidar beli di minimarket tadi.
"Gak nyangka."
"Apa?"
"Kamu bisa begini, kirain aku dulu ... Yang jadi istri mas itu pasti stress karena perangai mas di kantor, sangat menyeramkan. Haha ...."
"Ternyata?"
"Aku bahagia, sangat bahagia."
"Masa?"
"Iya, sungguh."
"Bodo, haha."
"Iiissshhh, nyebelin."
"Hahaha, bodo. Udah ah aku mau berwudhu dulu."
Haidar lari menuju kamar mandi sambil tertawa, Azzura mengerucutkan bibirnya karena kena lagi dikerjai oleh suaminya.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua melaksanakan shalat dengan khusyu.
Usai shalat, Azzura mencium punggung tangan suaminya dengan takzim. Kemudian Haidar membacakan doa, lalu kemudian meniup ubun-ubun istrinya.
"I love you, Azzura Yuana. Jangan lelah mendampingi aku ya sayang, makasih atas kesetiaan juga cintamu yang besar untukku." bisik Haidar di telinga sang istri.
"I love you too, suamiku."
"Tanggalkan segera mukenamu! lalu setelah itu kita ...."
Azzura tersenyum dan mengangguk.
Sesaat kemudian ...
Jreng ... Jreng ... Jreng ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel