Cerita bersambung
Oleh : Ayu Fitri Septina
Marini terduduk lemas di depan cermin rias. Dia sudah menyangka akhir pertemuan ini akan begini, tidak ada restu apalagi pernikahan. Alih-alih mendapat lampu hijau, dia justru harus mengakhiri hubungannya dengan Dio, kekasih hatinya. Biar ndak kena sial, begitu ibunya berdalih.
Di luar, hujan masih mengguyur jalanan desa Dringo yang tadinya kering dan berdebu. Dari kamar Marini terdengar bunyi guruh yang sesekali menggelegar. Marini menghela napas, dia beranjak ke jendela kamar dan perlahan menyibak tirainya.
Dari sana dia bisa melihat rombongan keluarga Dio satu persatu masuk ke dalam mobil dengan wajah terhina. Jelaslah, mereka keluarga kaya dari kota yang ditolak oleh sebuah keluarga desa yang kolot.
“Dasar tidak tahu diuntung! Sudah Dio, apa sih, kelebihan Marini ini? Kamu bisa dapat yang jauh lebih baik dari gadis kampung ini!”
Kalimat yang terlontar dari bibir merah maminya Dio tadi terus-menerus terngiang di telinganya. Karena tidak kuat menahan hati yang tercabik-cabik, Marini meninggalkan pertemuan keluarga itu, berlari ke kamar untuk menumpahkan air mata. Perasaannya campur aduk jadi satu, marah, sedih, geram, semua membuncah di dadanya.
Minggu lalu dia senang alang kepalang membaca pesan dari Dio.
'Minggu depan aku dan keluargaku akan menemui keluargamu.'
Akhirnya, batin Marini. Setelah lima tahun menjalin asmara dengan pria kota itu, kini dia akan segera menjadi pengantinnya.
Pertemuannya dengan Dio terjadi di kampus. Marini memang boleh disebut gadis desa, namun semangatnya menempuh pendidikan begitu menggebu. Meski ibunya tidak berkenan Marini kuliah jauh ke kota, namun tekad kuatnya berhasil mengalahkan ego sang ibu.
“Perempuan itu ndak perlu sekolah tinggi-tinggi, Nduk, ndak perlu jadi sarjana. Nanti ujung-ujungnya juga bakal berakhir di dapur, kasur, sama sumur.” Begitu kata sang ibu saat Marini mengadukan niatnya untuk melanjutkan pendidikan.
“Tapi Marini kan, dapat beasiswa, Bu. Sayang sekali kalau disia-siakan. Marini mohon, Bu, ijinkan Marini kuliah. Biar Marini bisa dapat pekerjaan bagus dan membanggakan Ibu,” pintanya dengan sungguh-sungguh dan wajah memelas.
“Yowislah, Nduk. Sekarepmu!” jawab sang ibu pada akhirnya.
Takdir itulah yang membawa Marini bertemu dengan Dio. Dio adalah kakak tingkatnya di fakultas yang sama, pendidikan bahasa inggris. Melalui kebetulan-kebetulan yang sulit dicerna nalar, mereka selalu saja bertemu hingga akhirnya bisa menjalin hubungan yang begitu dekat.
Namun, satu hari sebelum kedatangan keluarga Dio ke rumahnya, sang ibu memberi pertanyaan yang membuat Marini tersadar. Sadar bahwa impian yang telah mereka rajut bersama mungkin jauh dari kenyataan.
==========
“Nduk, si Dio itu wetonnya apa?” Pertanyaan ini bagaikan halilintar di telinga Marini. Sudah dia duga, Ibu pasti akan menanyakannya.
Pertanyaan ini mengingatkan Marini tentang obrolannya dengan Dio beberapa waktu silam. Siang itu sangat terik, mereka sedang asik menikmati es campur di kedai Mbak Asih.
Rimbunnya pepohonan yang menaungi kedai itu – yang sebenarnya hanya beberapa meja dan bangku panjang yang dijejer rapi, membuat mahasiswa betah berlama-lama di sana.
“Sayang, weton kamu apa?” tanya Marini tiba-tiba. Mereka memang sedang membahas tentang adat dan tradisi di daerah masing-masing untuk keperluan tugas kuliah.
“Eemm, weton, ya? Keluargaku meski dari Jawa tapi udah enggak percaya hal-hal seperti itu, Yang. Tapi...,” Dio menyeruput esnya yang tinggal separuh, “aku pernah diberitahu Mbah Putri kalau weton lahirku itu Minggu Pahing.”
“Oh, kalau aku sih, Rabu Wage. Ibuku masih kejawen banget, Yang. Apa-apa selalu dikait-kaitkan dengan mitos kaya gitu,” timpal Marini santai.
“Wah, berabe, ya? Bisa-bisa kita enggak bisa nikah kalau wetonnya enggak cocok,” gurau Dio.
Malam harinya, Marini iseng browsing perihal weton ini. Dia sedikit khawatir saat membaca artikel terkait wetonnya dan weton kelahiran Dio.
Namun, Marini tidak mau ambil pusing dan memutuskan untuk melupakannya begitu saja. Dia sungguh tidak menyangka bahwa percakapan santai itu kelak akan menentukan nasib dari rencana pernikahannya, persis seperti yang dibilang Dio.
***
“Ming-Minggu Pahing, Bu,” Marini menjawab pertanyaan ibunya dengan terbata. Dia sama sekali tidak berani memandang wajah wanita yang telah melahirkannya itu.
Ibunya terdiam sejenak, berpikir, lantas dengan kencang menggebrak meja makan di hadapannya sambil menghardik lantang, “Kamu tidak boleh menikah dengannya, Marini!”
Marini semakin tertunduk dalam. Ini pasti akan terjadi, batinnya sendu.
“Minggu Pahing dan Rabu Wage, kalian tidak akan pernah bisa bersatu! Pahing bertemu dengan Wage itu tidak akan ada baiknya, Nduk! Rumah tangga kalian tidak akan bisa harmonis. Atau salah satu dari kalian nantinya akan...” Ibu meludahkan kinang sirih yang telah memerah di mulutnya, “mati!”
Marini meneteskan air mata. “Si Dio itu ndak usah repot-repot ke sini buat ngelamar kamu, Ibu ndak akan menerima. Ndak akan Ibu restui! Batalkan, Marini!” lanjutnya.
“Ta-tapi semua keluarganya sudah bersiap kemari besok, Bu. Ndak mungkin Marini membatalkannya begitu saja, apalagi cuma karena ... weton,” jawab Marini mencoba melunakkan hati sang ibu.
“Opo katamu? Cuma karena? Lihat, Mar! Lihat nasib ibu dan bapakmu! Itu semua karena weton!” Sekali lagi ibunya menggebrak meja, lantas berlalu meninggalkan Marini yang tengah meratapi nasib cinta dan wetonnya.
Dia tidak habis pikir bahwa persoalan weton ini akan menghalangi cinta mereka. Bagi Marini, weton atau pun mitos lainnya adalah refleksi dari sugesti pikiran itu sendiri. Jika dia memercayainya, maka itu akan terjadi. Namun bila tidak, mitos apa pun bentuknya tidak akan berpengaruh sama sekali pada kehidupan manusia.
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Kamis, 29 Oktober 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel