(side-a)
Reyhand bersandar di meja kerjanya menghadap Nadia Kasih Ayunda
Lalu mengeluarkan perban dan plester dari kotak P3K.
“Itu untuk apa?” tanya Nadia.
“Untuk menutup lukamu.”
“Tapi lukaku sudah diberi obat sebentar lagi juga membaik.”
Nadia menolak perlakuan Reyhand yang menurutnya berlebihan.
“Ini bukan luka kecil, lukanya cukup dalam dan ada dibeberapa bagian, meski sudah diberi obat jika tidak ditutup perban akan infeksi terkena debu, paham?”
Nadia langsung bungkam mendengar penjelasan Reyhand, lalu membiarkan pak bosnya memasang perban di tangannya.
Nadia menatap wajah tampan yang sedikit menunduk didepannya, jantungnya berdetak cepat.
Nampak jelas bulu mata lentik milik Rey, tanpa sadar bibir Nadia melengkungkan senyum.
“Aku memang tampan, tak perlu menatapku seperti itu.” Suara Reyhand menginterupsi gadis yang menatapnya.
Wajah Nadia merona bagaikan tomat matang, Reyhand terkekeh pelan melihat expresi Nadia.
“Maaf atas sikap Riska. Riska memang keterlaluan.” ucap Rey sambil kembali duduk di kursinya setelah selesai memasang perban di tangan Nadia.
“Ti-tidak apa-apa, aku mengerti perasaan bu Riska. Bu Riska seperti itu karena takut kehilangan calon suaminya.”
“Dia bukan calon istriku, tidak akan pernah jadi istriku.” timpal Reyhand dengan nada tidak suka.
“Tapi bu Riska sangat mencintai pak bos.”
“Bisakah kau tak membahas dia.” Rey mulai jengah, Nadia memang unik, sudah jelas dia telah dipermalukan didepan umum sampai terluka tangannya tapi masih bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
“Maaf aku-”
“Assalamualaikum.”
Perkataan Nadia terpotong dengan datangnya seorang wanita mengucap salam.
“Wa’alaikumssalam.”
“Papih Rey, tante Nadia….”
Zara Sheinafia langsung menghambur ke dalam pelukkan Reyhand.
“Kak Artha, Zara,” seru Nadia dan Rey bersamaan.
“Oohh maaf kakak pikir kalian sedang tidak berduaan.” celetuk Artha dengan kerlingan mata menggoda ke arah Rey dan Nadia.
Nadia menjadi salah tingkah, sedang Rey pura-pura tidak melihat lirikan nakal sang kakak.
“Maaf, sebaiknya aku kembali bekerja.” Nadia beranjak dari duduknya, namun tangannya ditarik Zara.
“Tante Nadia jangan dulu pergi! Zara kangen sama tante.”
Gadis kecil itu kembali menarik Nadia untuk duduk.
Hatinya menghangat saat Zara memanggilnya dengan sebutan tante bukan kakak seperti pertama kali bertemu.
***
“Nadia tanganmu kenapa?”
Artha tidak sengaja melirik ke arah lengan Nadia Kasih Ayunda yang ditarik Zara putrinya yang dibalut perban, lalu Artha melihat kotak p3k di meja kerja adiknya.
“Oh ini, tidak apa-apa kak hanya luka kecil,” jawab Nadia sambil menurunkan gulungan lengan bajunya yang tadi disingkap.
“Hhmm tidak mungkin luka kecil tapi dibalut perban seperti itu, Rey bisa kamu jelaskan?”
Rey menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Itu, akibat dari kuku milik Riska.”
“Riska! maksudmu?”
“Tidak apa-apa ko kak, ini hanya luka kecil lagi pula tidak disengaja,” sahut Nadia dengan cepat.
Artha tidak berniat bertanya lagi, namun kecurigaanya tidak hilang, ia akan bertanya langsung pada adiknya nanti.
***
“Brengsek kamu Reyhand….” Teriak Riska.
Riska menyambar botol parfum dan melemparnya ke arah kaca cermin “praaanngg” pecahan bubuk kaca berserakan bagaikan kristal.
Suara gaduh dikamar Riska mengundang Alda untuk memasuki kamar putrinya dan mendapati Riska luruh menangis histeris diantara pecahan kaca dan barang yang berserakan.
“Riska apa yang kamu lakukan? Kamu kenapa sayang?”
“Rey mah Reyhand….”
“Ada apa sama Reyhand?”
“Rey tidak mau menikah sama aku mah, semua gara-gara perempuan rendahan itu.”
“Perempuan rendahan, siapa maksudmu Riska?”
“Nadia mah, karyawan yang bekerja di swalayan milik Rey.”
“Maksud kamu Rey ada hubungan sama karyawannya?”
“Iya mah, Riska yakin mereka ada hubungan, Rey selalu membela perempuan itu,” jawab Riska disela-sela isak tangisnya.
“Gara-gara perempuan sialan itu Reyhand membenci aku mah.”
Kembali Riska histeris sambil melempar barang yang ada didekatnya.
Alda merasa iba dengan kondisi putrinya yang tertekan. “Sstthh, sudah sayang sudah, jangan menangis lagi. Sabar ya nanti mamah akan bicara sama mamih Manda.”
Riska menghentikan tangisnya namun masih tersedu dipelukan Alda sang mamah.
***
Ddrrrtt, ponsel Nadia berdering, tertera nama Ardhan dilayar utamanya. “Hallo, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumssalam, Nadia kamu baik-baik saja?” tanya Ardhan disebrang telpon dengan nada khawatir.
“Aku baik-baik saja Dhan alhamdulilah kok. Oh iya maaf ya semalam aku pulang tanpa pamit.”
“Iya Nad, aku cuma khawatir sama kamu. Kata Nurfadilla kamu tiba-tiba sakit perut.”
“Eeh iya itu memang benar, aku semalam mendadak mulas, jadi buru-buru pulang,” jawab Nadia gugup.
Ada rasa bersalah telah membohongi Ardhan.
==========
(side-b)
Saat Nadia Kasih Ayunda sedang asyik berbincang lewat telpon bersama Ardhan, Nurfadilla Basri datang menghampiri, tangannya membawa sebuah nampan berisi makan siangnya.
Adilla menaik turunkan alisnya mengisyaratkan keingin tahuannya dengan siapa Nadia berbicara. “Ardhan.” bisiknya.
“Oh.” Adilla manggut-manggut.
“Jadi sekarang kamu dah sembuh?” tanya Ardhan disebrang telpon.
“Alhamdulilah udah, semalam aku sempat mampir dulu ke apotik buat beli obat sakit perut.”
Terlihat Adilla terkikik pelan mendengar percakapan sahabatnya yang Ardhan, Nadia mendelikkan matanya ke arah Adilla.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Iya Dhan, aku makan siang dulu ya keburu masuk lagi kerja.”
“Ok, nanti pulang kerja aku jemput.”
“Eh ga usah Dhan, hallo Dhan! yaah ko dimatiin sih?”
“Apa katanya?”
“Kepo.”
“Uuhh pelit.” Adilla mengerucutkan bibirnya.
***
“Jadi motormu dibawa sama Adilla?” tanya Ardhan sambil membukakan pintu mobil untuk Nadia.
“Iya.”
“Maaf aku lupa kalau kamu suka bawa motor.” Ardhan mulai menjalankan mobilnya.
“Tadi aku mau ngasih tau eh keburu kamu tutup telponnya.”
Ardhan terkekeh memang sengaja tadi buru-buru ditutup telponnya, sebelum Nadia menolak untuk dijemput.
Kepergian mereka tak luput dari sepasang mata yang menyimpan rasa geram dan kecemburuan.
“Siapa cowok yang bersama Nadia?” tanya Artha yang ternyata melihat juga kepergian Nadia dengan Ardhan.
“Dia mantannya.” jawab Reyhand dengan mimik datar dan suara khas dinginnya.
“Ooh, sabar dia hanya mantan.”
Artha menepuk bahu adiknya, ia tahu apa yang dipikirkan Rey.
“Kamu ga berubah Nad masih seperti dulu kaya anak kecil, kalau makan es cream berlepotan.”
Nadia tak menghiraukan ucapan Ardhan, tetap asyik menikmati es creamnya.
“Ini enak sekali Dhan, coba deh!”
Nadia menyodorkan sendok berisi es cream ke mulut Ardhan namun pemuda itu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Nadia tertawa pelan, Ardhan tak pernah suka es cream rasa durian. Pemuda itu lebih menyukai kopi chapuchino panas.
“Aku pikir setelah bertahun-tahun kamu akan berubah jadi menyukai es cream rasa durian ini.”
“Kalau tidak suka ya tetap aja tidak suka Nad,” gerutu Ardhan, sedikit mendengus.
“Iya, iya deeh.”
“Sudah kenyang?” tanya Ardhan, melirik tempat es cream Nadia sudah kosong, Nadia mengangguk puas.
“Dasar maniak es cream.”
Nadia tak menghiraukan ucapan Ardhan malah menjilati sisa-sisa es cream disudut bibirnya dengan lidah.
“Jorok,” ucap Ardhan sambil memberikan sapu tangan.
***
“Jadi besok kamu mulai balik ke Bandung Dhan?”
Tanya Nadia setelah selesai melahap habis es creamnya.
“Iya Nad, urusanku di Jakarta sudah beres dan kerjaanku di Bandung sudah menumpuk”
“Dan sekalian mengurus pernikahanmu?” celetuk Nadia sambil mengerling manja ke arah Ardhan. Pemuda itu hanya menarik nafas berat, andai belum terikat dengan Sarah sungguh ia ingin melabuhkan kembali hatinya untuk gadis yang duduk dihadapannya.
Gadis yang telah memperkenalkan dirinya pada cinta pertama dan kenangannya sulit terlupakan.
“Titip salam buat ayah sama bundaku ya Dhan, juga om Ramdhan”
“Insya Alloh Nad”
***
Mobil Reyhand memasuki halaman rumah mewahnya, diikuti mobil Artha dari belakang. begitu turun Reyhand langsung menggendong Zara Sheinafia memasuki rumah.
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumssalam” sahut Amanda dan prasetya membalas salam kedua putra putrinya, dan langsung mendapat peluk dan ciuman dari sang cucu mereka.
“Apa kabar cucu omah tersayang?”
“Alhamdulilah Zara baik-baik saja omah”
“Syukurlah kalau baik, omah kangeeen sekali sama cucu omah yang imut ini”
Prasetya mendudukkan Zara dipangkuannya.
“Artha titip Zara selama kurang lebih seminggu disini mih, bang David sudah mengurus izin sekolahnya”
“Iya nak, lama juga ga apa selama mamih sama papih sehat sanggup merawat cucu” jawab Amanda dan diiyakan suaminya
“Engga lah mih kalau lama-lama gimana nanti sekolah Zara, lagian bang David ga mau repotin mamih”
“Kapan berangkat ke Jepang nya Tha?”
“Lusa pih”
“Semoga lancar kerja samanya dan kliennya gampang diajak bernegosiasi”
“Aamiin, doakan Artha sama bang David ya mih, pih”
“Insya Alloh kami disini selalu mendoakan kalian berdua” sahut Prasetya.
“Makasih pih”
“Rey kamu ga apa-apa nak, wajahmu murung begitu?” tanya Amanda, semua yang hadir diruangan tak terkecuali Zara melirik ke arah Reyhand yang duduk terdiam dengan punggung menyandar ke shofa wajahnya terlihat masam.
“Reyhand”
Yang dipanggil tetap diam asyik dengan fikirannya yang berkelana entah kemana.
“Papih Reeeyy” lengkingan suara Zara membuat Reyhand terlonjak, kesadaran mulai menguasainya, matanya mengedar heran melihat Artha dan kedua orang tuanya menutup telinga, sedang Zara hanya terkikik geli.
“astaghfirullah Reeey, kamu ngelamunin apa sih sampai segitunya?” cetus Amanda. Rey cuma nyengir sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Maaf mih, Rey ke kamar dulu”
Rey beranjak pergi ke kamar lantai atasnya meninggalkan gelengan kepala para penghuni rumah.
Bersambung #13
Lalu mengeluarkan perban dan plester dari kotak P3K.
“Itu untuk apa?” tanya Nadia.
“Untuk menutup lukamu.”
“Tapi lukaku sudah diberi obat sebentar lagi juga membaik.”
Nadia menolak perlakuan Reyhand yang menurutnya berlebihan.
“Ini bukan luka kecil, lukanya cukup dalam dan ada dibeberapa bagian, meski sudah diberi obat jika tidak ditutup perban akan infeksi terkena debu, paham?”
Nadia langsung bungkam mendengar penjelasan Reyhand, lalu membiarkan pak bosnya memasang perban di tangannya.
Nadia menatap wajah tampan yang sedikit menunduk didepannya, jantungnya berdetak cepat.
Nampak jelas bulu mata lentik milik Rey, tanpa sadar bibir Nadia melengkungkan senyum.
“Aku memang tampan, tak perlu menatapku seperti itu.” Suara Reyhand menginterupsi gadis yang menatapnya.
Wajah Nadia merona bagaikan tomat matang, Reyhand terkekeh pelan melihat expresi Nadia.
“Maaf atas sikap Riska. Riska memang keterlaluan.” ucap Rey sambil kembali duduk di kursinya setelah selesai memasang perban di tangan Nadia.
“Ti-tidak apa-apa, aku mengerti perasaan bu Riska. Bu Riska seperti itu karena takut kehilangan calon suaminya.”
“Dia bukan calon istriku, tidak akan pernah jadi istriku.” timpal Reyhand dengan nada tidak suka.
“Tapi bu Riska sangat mencintai pak bos.”
“Bisakah kau tak membahas dia.” Rey mulai jengah, Nadia memang unik, sudah jelas dia telah dipermalukan didepan umum sampai terluka tangannya tapi masih bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
“Maaf aku-”
“Assalamualaikum.”
Perkataan Nadia terpotong dengan datangnya seorang wanita mengucap salam.
“Wa’alaikumssalam.”
“Papih Rey, tante Nadia….”
Zara Sheinafia langsung menghambur ke dalam pelukkan Reyhand.
“Kak Artha, Zara,” seru Nadia dan Rey bersamaan.
“Oohh maaf kakak pikir kalian sedang tidak berduaan.” celetuk Artha dengan kerlingan mata menggoda ke arah Rey dan Nadia.
Nadia menjadi salah tingkah, sedang Rey pura-pura tidak melihat lirikan nakal sang kakak.
“Maaf, sebaiknya aku kembali bekerja.” Nadia beranjak dari duduknya, namun tangannya ditarik Zara.
“Tante Nadia jangan dulu pergi! Zara kangen sama tante.”
Gadis kecil itu kembali menarik Nadia untuk duduk.
Hatinya menghangat saat Zara memanggilnya dengan sebutan tante bukan kakak seperti pertama kali bertemu.
***
“Nadia tanganmu kenapa?”
Artha tidak sengaja melirik ke arah lengan Nadia Kasih Ayunda yang ditarik Zara putrinya yang dibalut perban, lalu Artha melihat kotak p3k di meja kerja adiknya.
“Oh ini, tidak apa-apa kak hanya luka kecil,” jawab Nadia sambil menurunkan gulungan lengan bajunya yang tadi disingkap.
“Hhmm tidak mungkin luka kecil tapi dibalut perban seperti itu, Rey bisa kamu jelaskan?”
Rey menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Itu, akibat dari kuku milik Riska.”
“Riska! maksudmu?”
“Tidak apa-apa ko kak, ini hanya luka kecil lagi pula tidak disengaja,” sahut Nadia dengan cepat.
Artha tidak berniat bertanya lagi, namun kecurigaanya tidak hilang, ia akan bertanya langsung pada adiknya nanti.
***
“Brengsek kamu Reyhand….” Teriak Riska.
Riska menyambar botol parfum dan melemparnya ke arah kaca cermin “praaanngg” pecahan bubuk kaca berserakan bagaikan kristal.
Suara gaduh dikamar Riska mengundang Alda untuk memasuki kamar putrinya dan mendapati Riska luruh menangis histeris diantara pecahan kaca dan barang yang berserakan.
“Riska apa yang kamu lakukan? Kamu kenapa sayang?”
“Rey mah Reyhand….”
“Ada apa sama Reyhand?”
“Rey tidak mau menikah sama aku mah, semua gara-gara perempuan rendahan itu.”
“Perempuan rendahan, siapa maksudmu Riska?”
“Nadia mah, karyawan yang bekerja di swalayan milik Rey.”
“Maksud kamu Rey ada hubungan sama karyawannya?”
“Iya mah, Riska yakin mereka ada hubungan, Rey selalu membela perempuan itu,” jawab Riska disela-sela isak tangisnya.
“Gara-gara perempuan sialan itu Reyhand membenci aku mah.”
Kembali Riska histeris sambil melempar barang yang ada didekatnya.
Alda merasa iba dengan kondisi putrinya yang tertekan. “Sstthh, sudah sayang sudah, jangan menangis lagi. Sabar ya nanti mamah akan bicara sama mamih Manda.”
Riska menghentikan tangisnya namun masih tersedu dipelukan Alda sang mamah.
***
Ddrrrtt, ponsel Nadia berdering, tertera nama Ardhan dilayar utamanya. “Hallo, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumssalam, Nadia kamu baik-baik saja?” tanya Ardhan disebrang telpon dengan nada khawatir.
“Aku baik-baik saja Dhan alhamdulilah kok. Oh iya maaf ya semalam aku pulang tanpa pamit.”
“Iya Nad, aku cuma khawatir sama kamu. Kata Nurfadilla kamu tiba-tiba sakit perut.”
“Eeh iya itu memang benar, aku semalam mendadak mulas, jadi buru-buru pulang,” jawab Nadia gugup.
Ada rasa bersalah telah membohongi Ardhan.
==========
(side-b)
Saat Nadia Kasih Ayunda sedang asyik berbincang lewat telpon bersama Ardhan, Nurfadilla Basri datang menghampiri, tangannya membawa sebuah nampan berisi makan siangnya.
Adilla menaik turunkan alisnya mengisyaratkan keingin tahuannya dengan siapa Nadia berbicara. “Ardhan.” bisiknya.
“Oh.” Adilla manggut-manggut.
“Jadi sekarang kamu dah sembuh?” tanya Ardhan disebrang telpon.
“Alhamdulilah udah, semalam aku sempat mampir dulu ke apotik buat beli obat sakit perut.”
Terlihat Adilla terkikik pelan mendengar percakapan sahabatnya yang Ardhan, Nadia mendelikkan matanya ke arah Adilla.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Iya Dhan, aku makan siang dulu ya keburu masuk lagi kerja.”
“Ok, nanti pulang kerja aku jemput.”
“Eh ga usah Dhan, hallo Dhan! yaah ko dimatiin sih?”
“Apa katanya?”
“Kepo.”
“Uuhh pelit.” Adilla mengerucutkan bibirnya.
***
“Jadi motormu dibawa sama Adilla?” tanya Ardhan sambil membukakan pintu mobil untuk Nadia.
“Iya.”
“Maaf aku lupa kalau kamu suka bawa motor.” Ardhan mulai menjalankan mobilnya.
“Tadi aku mau ngasih tau eh keburu kamu tutup telponnya.”
Ardhan terkekeh memang sengaja tadi buru-buru ditutup telponnya, sebelum Nadia menolak untuk dijemput.
Kepergian mereka tak luput dari sepasang mata yang menyimpan rasa geram dan kecemburuan.
“Siapa cowok yang bersama Nadia?” tanya Artha yang ternyata melihat juga kepergian Nadia dengan Ardhan.
“Dia mantannya.” jawab Reyhand dengan mimik datar dan suara khas dinginnya.
“Ooh, sabar dia hanya mantan.”
Artha menepuk bahu adiknya, ia tahu apa yang dipikirkan Rey.
“Kamu ga berubah Nad masih seperti dulu kaya anak kecil, kalau makan es cream berlepotan.”
Nadia tak menghiraukan ucapan Ardhan, tetap asyik menikmati es creamnya.
“Ini enak sekali Dhan, coba deh!”
Nadia menyodorkan sendok berisi es cream ke mulut Ardhan namun pemuda itu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Nadia tertawa pelan, Ardhan tak pernah suka es cream rasa durian. Pemuda itu lebih menyukai kopi chapuchino panas.
“Aku pikir setelah bertahun-tahun kamu akan berubah jadi menyukai es cream rasa durian ini.”
“Kalau tidak suka ya tetap aja tidak suka Nad,” gerutu Ardhan, sedikit mendengus.
“Iya, iya deeh.”
“Sudah kenyang?” tanya Ardhan, melirik tempat es cream Nadia sudah kosong, Nadia mengangguk puas.
“Dasar maniak es cream.”
Nadia tak menghiraukan ucapan Ardhan malah menjilati sisa-sisa es cream disudut bibirnya dengan lidah.
“Jorok,” ucap Ardhan sambil memberikan sapu tangan.
***
“Jadi besok kamu mulai balik ke Bandung Dhan?”
Tanya Nadia setelah selesai melahap habis es creamnya.
“Iya Nad, urusanku di Jakarta sudah beres dan kerjaanku di Bandung sudah menumpuk”
“Dan sekalian mengurus pernikahanmu?” celetuk Nadia sambil mengerling manja ke arah Ardhan. Pemuda itu hanya menarik nafas berat, andai belum terikat dengan Sarah sungguh ia ingin melabuhkan kembali hatinya untuk gadis yang duduk dihadapannya.
Gadis yang telah memperkenalkan dirinya pada cinta pertama dan kenangannya sulit terlupakan.
“Titip salam buat ayah sama bundaku ya Dhan, juga om Ramdhan”
“Insya Alloh Nad”
***
Mobil Reyhand memasuki halaman rumah mewahnya, diikuti mobil Artha dari belakang. begitu turun Reyhand langsung menggendong Zara Sheinafia memasuki rumah.
“Assalamualaikum”
“Wa’alaikumssalam” sahut Amanda dan prasetya membalas salam kedua putra putrinya, dan langsung mendapat peluk dan ciuman dari sang cucu mereka.
“Apa kabar cucu omah tersayang?”
“Alhamdulilah Zara baik-baik saja omah”
“Syukurlah kalau baik, omah kangeeen sekali sama cucu omah yang imut ini”
Prasetya mendudukkan Zara dipangkuannya.
“Artha titip Zara selama kurang lebih seminggu disini mih, bang David sudah mengurus izin sekolahnya”
“Iya nak, lama juga ga apa selama mamih sama papih sehat sanggup merawat cucu” jawab Amanda dan diiyakan suaminya
“Engga lah mih kalau lama-lama gimana nanti sekolah Zara, lagian bang David ga mau repotin mamih”
“Kapan berangkat ke Jepang nya Tha?”
“Lusa pih”
“Semoga lancar kerja samanya dan kliennya gampang diajak bernegosiasi”
“Aamiin, doakan Artha sama bang David ya mih, pih”
“Insya Alloh kami disini selalu mendoakan kalian berdua” sahut Prasetya.
“Makasih pih”
“Rey kamu ga apa-apa nak, wajahmu murung begitu?” tanya Amanda, semua yang hadir diruangan tak terkecuali Zara melirik ke arah Reyhand yang duduk terdiam dengan punggung menyandar ke shofa wajahnya terlihat masam.
“Reyhand”
Yang dipanggil tetap diam asyik dengan fikirannya yang berkelana entah kemana.
“Papih Reeeyy” lengkingan suara Zara membuat Reyhand terlonjak, kesadaran mulai menguasainya, matanya mengedar heran melihat Artha dan kedua orang tuanya menutup telinga, sedang Zara hanya terkikik geli.
“astaghfirullah Reeey, kamu ngelamunin apa sih sampai segitunya?” cetus Amanda. Rey cuma nyengir sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Maaf mih, Rey ke kamar dulu”
Rey beranjak pergi ke kamar lantai atasnya meninggalkan gelengan kepala para penghuni rumah.
Bersambung #13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel