(side a)
"Siapa, Laila?" Tiba-tiba bundo telah berada di ruang tamu dengan langkah kaki yang masih belum terlalu sempurna. Tama langsung berdiri begitu mendengar suara bundo di belakangnya.
"Wah, Menantu? Kapan datang? Cepat betul menjemput Laila." Bundo yang telah mulai lancar bicara tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Tama mengambil tangan bundo dan menciumnya dengan hormat.
"Tama baru datang, Bundo." Tama berdiri di samping bundo.
"Ayo, duduk kembali. Laila kenapa berdiri seperti itu? Ambilkan minum untuk menantu Bundo." bundo mengajak Tama duduk lagi.
Laila kaget mendengar ucapan bundo. Tanpa berkata apa-apa, Laila berlalu ke belakang menuju dapur. Dada Laila berdebar tak menentu. Bundo memang tidak tahu apa yang terjadi. Laila hanya bercerita pada ayahnya.
Laila memanaskan air di atas kompor, lalu menyiapkan cangkir untuk Tama. Tidak berapa lama, wangi teh yang diseduhnya pun memenuhi ruangan dapur. Laila membawa cangkir teh dengan nampan ke ruang tamu. Sampai di ruang tamu, diletakkannya cangkir teh itu di atas meja tanpa berkata apa-apa. Tama memperhatikan setiap gerakan istrinya tanpa berkedip.
Terdengar bundo yang bertanya bagaimana Laila di Jakarta. Tama dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan bundo. Laila beranjak akan menuju kamarnya. Tapi suara bundo menghentikan langkahnya.
"Laila, panggil Ayahmu di belakang. Katakan Menantunya pulang." Suara Bundo terdengar begitu bersemangat. Lagi-lagi Laila hanya mengikuti perintah bundo tanpa membantah.
Laila pergi ke halaman belakang rumahnya yang luas. Ayahnya yang seorang pensiunan kepala sekolah SMA di kampungnya, sekarang menghabiskan hari-harinya dengan mengurus ayam, kolam ikan, dan berbagai sayuran yang ditanam di halaman belakang rumah mereka.
Laila mendekati ayahnya yang sedang asyik memberi makan ayam-ayamnya yang berjumlah puluhan.
"Yah, dipanggil Bundo."
"Ada apa?"
"Ada Uda Tama, Yah."
Ayah terlihat kaget.
"Suamimu datang menyusul?"
"Iya, Yah." Laila mengangguk.
"Berarti dia punya niat baik padamu, Nak." Ayah menatap Laila lekat.
"Boleh Ayah aja dulu yang berbicara dengan Uda Tama? Boleh Laila minta waktu beberapa saat sebelum bicara berdua dengan Uda Tama, Yah?" Laila menatap ayahnya dengan tatapan memohon. Dari kecil, Laila memang sangat dekat dengan ayahnya.
"Baiklah. Nanti jika kamu telah siap, bicaralah berdua. Selesaikan masalah kalian baik-baik." Ayah mengusap kepala Laila dengan penuh kasih. Meski laki-laki yang masih terlihat gagah ini merasa kecewa mendengar cerita anaknya kemarin tentang suaminya itu, tapi sebagai ayah yang telah makan asam kehidupan, ia tentu harus bersikap bijaksana.
Jauh-jauh menantunya itu datang dari Jakarta untuk menyusul anaknya, padahal baru satu hari anaknya pergi meninggalkan rumah, bukankah itu berarti menantunya punya niat baik pada anaknya. Bukankah itu juga membuktikan bahwa anaknya telah menjadi seseorang yang penting bagi menantunya itu?
Ayah Laila pun bergegas masuk rumah. Setelah mencuci tangannya di kamar mandi, laki-laki itu bergegas menuju ruang tamu.
"Liat Ayah, siapa yang datang." Bundo menyambut kedatangan ayah dengan mata berbinar. Tama segera berdiri dan mengambil tangan ayah mertuanya, menyalami dan menciumnya dengan hormat.
"Bagaimana perjalanannya?" Ayah berbasa basi pada Tama.
"Alhamdulillah, lancar, Yah." Tama sedikit lega melihat wajah ayah mertuanya cukup bersahabat. Tidak sedingin seperti di telpon tadi malam.
"Bundo, siapkan makan siang dengan Laila, ya." Ayah yang ingin bicara berdua saja dengan Tama mencari cara agar bundo meninggalkan ruang tamu.
"Baiklah, Yah. Tapi menantu pasti sangat lelah, Yah. Apa tidak sebaiknya menantu istirahat aja dulu di kamar."
"Tidak apa, Bundo. Tama di sini aja, ngobrol-ngobrol dulu sama Ayah," ucap Tama. Mata Tama mencari-cari di mana kah istrinya itu sekarang, kenapa tidak ikut duduk bersamanya di sini. Ah, apakah istrinya itu tidak rindu padanya? Tama merasa resah.
Bundo telah berdiri dan berjalan menuju dapur. Tinggallah Tama berdua dengan ayah mertuanya sekarang. Tama merasa akan menghadapi sidang saja. Hatinya sedikit deg-degan. Apakah yang akan dikatakan ayah mertuanya ini padanya.
"Ayah tak tahu apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian. Ayah hanya ingin berpesan, selesaikan baik-baik masalah yang sedang kalian hadapi. Ayah tidak akan ikut campur. Kalian telah sama-sama dewasa. Tetapi memang, Laila terkadang masih memiliki sifat-sifat kekanakan. Tugas seorang suamilah untuk membimbing dan membantu proses kedewasaaan istrinya." Ayah menatap Tama tajam.
"Ya, Yah. Untuk itulah Tama datang menyusul Laila, Yah. Tama ingin menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami."
"Ayah menghargai apa yang kamu lakukan. Tapi Laila minta waktu sejenak untuk mulai bicara denganmu. Istirahatlah dulu di kamar tamu. Beri dia sedikit waktu."
Tama merasa sedikit kecewa mendengar ucapan ayah mertuanya. Kenapa ia disuruh istirahat di kamar tamu. Padahal ia sudah tak sabar untuk bicara dan menjelaskan semuanya pada istrinya.
"Ya, yah. Tama di sini aja, Yah. Ayah kalau ada kerjaan, silakan dilanjutkan, Yah." Tama memposisikan tubuhnya di kursi tamu mencari posisi yang nyaman.
"Baiklah. Bersabarlah sedikit lagi. Perempuan itu memiliki hati yang lembut. Dia gampang tersentuh kalau melihat keseriusan kita. Dia akan luluh kalau melihat perjuangan kita." Ayah memberi semangat pada Tama.
"Ya, Yah. Insyaalloh saya akan bersabar, karena saya mencintai Laila." Suara Tama terdengar tegas. Ayah yang sudah akan berdiri, tapi urung. Ayah menatap Tama dengan kaget. Menantunya ini mengatakan kalau ia mencintai anaknya, Laila? Lalu sebaris senyuman tersungging dari bibir tua ayah. Hatinya bahagia mendengar pengakuan menantunya ini.
"Terima kasih telah mencintai Laila." Suara ayah bergetar. Matanya berkaca-kaca. Tama mengangguk.
"Saya juga mengucapkan terima kasih Ayah, karena Ayah telah mempercayakan Laila pada saya." Mata Tama pun berkaca-kaca. Ayah tersenyum dan mengangguk berulang kali.
"Ayah melanjutkan pekerjaan Ayah sedikit lagi. Sebentar lagi kita makan. Makan siangnya jadi sedikit terlambat ya, Nak Tama. Nak Tama duduk dulu di sini."
"Baik, Yah."
Ayah bangkit dan menuju ke dapur. Didapatinya bundo dan Laila sedang sibuk menyiapkan makan.
"Bundo, Ayah potongkan ayam, masih sempatkah dimasak?" Ayah mendekati bundo yang sedang memotong-motong sayur.
"Boleh, Yah. Kita bikin Ayam cabe hijau. Menantu pasti suka. Ya, kan Laila?" Bundo menoleh pada Laila dengan tatapan menggoda. Laila mencoba tersenyum.
"Sudah, biar bundo aja yang selesaikan. Kamu temani suamimu di depan." Bundo kembali menyuruh Laila untuk menemani Tama di ruang tamu.
"Nggak apa-apa Bundo. Biar cepat masaknya. Biar cepat juga kita makan," jawab Laila seraya menyiapkan bumbu untuk ayam cabe hijau.
"Kalau gitu, suruh dulu suamimu istirahat di kamarmu. Kasihan dia, pasti capek." Bundo mengambil bumbu yang ada di tangan Laila dan mendorong Laila untuk ke ruang tamu. Dengan langkah berat, Laila pun menuju ruang tamu. dadanya kembali berdebar tak menentu. Badannya pun terasa panas dingin.
Sementara Tama mencoba untuk memejamkan matanya. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya begitu lelah. Laila yang berjalan pelan menuju ruang tamu, melihat Tama dengan mata terpejam. Laila berbalik lagi ke dapur.
"Uda Tama sudah tertidur, Bundo."
"Tertidur di mana?"
"Di ruang tamu, Bundo."
"Ya, ampun. Kamu ini ya, jadi istri kok seperti ini. Bangunkan dan suruh pindah ke kamar." bundo benar-benar merasa marah pada Laila yang sepertinya tidak bisa mengurus suami.
Laila kembali bergegas ke ruang tamu. Dengan kaki gemetar, Laila mendekati Tama yang sepertinya memang sudah tertidur.
"Da, disuruh Bundo istirahat di kamar." Laila sedikit menunduk dan menepuk lembut bahu Tama. Tama yang memang belum tertidur membuka matanya. Matanya berbinar melihat perempuan yang dirindukannya sekarang berada di hadapannya.
"Laila, bisa kita bicara sekarang?" Tama mencoba meraih jemari tangan Laila. Laila mencoba menenangkan diri dan menampilkan ekspresi wajah sedatar mungkin. Padahal hatinya jangan dikata.
"Laila sedang menyiapkan makan siang, Da." Laila menarik tangannya dan menegakkan tubuhnya kembali.
"Baiklah, Uda tunggu sampai kamu selesai masak. Uda duduk di sini aja." Tama mencoba tersenyum pada Laila. Walau hatinya merasa kecewa melihat ekspresi wajah istrinya yang terlihat begitu datar.
"Nanti Bundo marah kalau Uda nggak istirahat di kamar." Laila merengut karena merasa serba salah.
"Bilang sama Bundo ya, menantu baru akan masuk kamar, kalau anak Bundo yang menginginkannya." Tama berkata dengan santai. Laila menjadi semakin keki mendengar ucapan Tama yang menyindirnya itu.
Tanpa pamit, Laila pun kembali balik ke dapur. Tinggallah Tama yang tersenyum sendiri melihat wajah Laila yang memerah karena godaannya.
"Bagaimana? Sudah istirahat di kamar?" Bundo langsung bertanya begitu melihat Laila.
"Nanti katanya Bundo, setelah makan." Laila sedikit berbohong karena bingung mau mengatakan apa pada bundonya.
"Oh." Bundo nampak sedikit kecewa.
Mereka masih asyik di dapur ketika terdengar suara adzan dari mesjid terdekat. Ayah bergegas menuju ruang tamu. Ayah mengajak Tama untuk sama-sama ke mesjid. Tama dan ayah berangkat ke mesjid untuk melaksanakan salat ashar berjamaah di mesjid.
Begitu ayah dan Tama sampai di rumah, bundo dan Laila telah selesai menghidangkan makanan di atas meja makan.
Laila bergegas masuk kamar untuk melaksanakan shalat ashar. Menunggu Laila dan bundo selesai shalat, ayah mengajak Tama ke halaman belakang untuk melihat ayam peliharaannya.
Tama mengikuti ayah ke halaman belakang. Entah mengapa Tama merasa badannya kurang enak. Kepalanya sedikit pusing. Apa mungkin karena ia kurang istirahat atau mungkin juga karena pikirannya.
Beberapa saat mereka melihat ayam-ayam yang berkejaran,
Laila datang memanggil untuk makan. Ayah dan Tama bergegas masuk ke dalam rumah. Mereka pun mengambil tempat di meja makan. Ayah telah duduk di samping bundo. Laila tentu harus duduk juga di samping Tama.
Tama merasa senang, akhirnya bisa berdekatan kembali dengan istrinya. Bundo telah mengambilkan nasi untuk ayah. Tama pun menyerahkan piringnya pada Laila. Laila mengambil piring yang diberikan Tama dan mengisinya dengan nasi. Tama menyerahkannya kembali pada Laila. Laila menatap heran. Ada apa lagi dengan laki-laki ini, bisik hati sedikit geram.
"Lauknya belum." Tama protes. Ya ampun, Laila ingin menepuk jidatnya. Tapi karena ada ayah dan bundo yang senyum-senyum melihat tingkah anak dan menantu mereka, Laila pun terpaksa mengikuti kemauan Tama. Mengambilkan lauk dan sayur untuk Tama. Tama tersenyum senang.
"Makasih, ya, Sayang," bisik Tama tepat di samping telinga Laila. Tapi ayah dan bundo bisa ikut mendengarnya. Tinggallah Laila yang wajahnya sudah seperti kepiting rebus, merasa malu dengan sikap over Tama di depan kedua orang tuanya. Mereka mulai makan tanpa banyak bicara.
Baru beberapa suap, Tama merasa perutnya melilit sakit. Tama mencoba menahannya. Tama yakin ini karena ia tak makan dari kemarin malam. Pelan-pelan Tama berusaha menghabiskan nasi di piringnya. Tapi badannya telah berkeringat dingin. Kepalanya terasa makin pusing. Tama masih berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Setelah makan, ayah mengajak Tama duduk kembali di ruang tamu. Bundo telah pamit untuk istirahat di kamarnya. Laila juga masuk kamarnya dengan alasan mau membersihkan kamar terlebih dahulu. Padahal ia sengaja ingin mengulur waktu bicara dengan Tama.
Entahlah, Laila merasa belum siap untuk mendengar penjelasan dari Tama. Bagaimana jika yang disampaikan Tama akhirnya benar-benar menyakitkan untuknya?
Laila membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia juga merasa sangat lelah. Dari waktu sampai kemarin, ia juga belum bisa memejamkan mata. Mungkin ia hanya tertidur sekitar dua jam tadi malam. Tanpa disadarinya, ia pun tertidur dan terbang ke alam mimpinya.
Laila terbangun begitu mendengar suara azan magrib. Laila bergegas bangun dan masuk kamar mandi untuk berwudhu. Tama kembali diajak ayah untuk shalat di mesjid. Meski badannya makin terasa tak enak, tapi Tama tetap mengikuti langkah ayah mertuanya menuju mesjid.
Tapi begitu sampai di rumah, dan duduk di ruang tamu, Tama benar-benar merasa tak kuat lagi. Ayah meninggalkan Tama untuk memanggil Laila agar mengajak Tama masuk ke dalam kamar. Tama membaringkan tubuhnya di sofa tamu. Tubuhnya bergelung menahan rasa dingin yang terasa sampai ke tulang sum-sumnya. Keringat dingin membasahi kening dan lehernya. Tama menggigil.
"Laila." Ayah mengetuk pintu kamar Laila. Laila yang masih duduk di sajadah, memohon dan berdoa pada Alloh atas segala harapan di dadanya, bangkit dan membuka pintu.
"Ya, Yah?" Laila berdiri di depan ayahnya masih dengan mukena yang dipakainya.
"Ajaklah suamimu istirahat di kamar. Dia pasti lelah."
"Ya, Yah." Laila mengangguk paham.
"Ayah mau istirahat juga, ya. Berilah kesempatan pada Tama untuk bicara. Dan berlapang dadalah dengan apapun yang akan disampaikannya." Ayah berpesan sebelum meninggalkan kamar Laila. Laila kembali mengangguk
"Baik, Yah," ucapnya dan berbalik ke dalam kamar untuk membuka mukenanya.
Sesaat Laila menatap bayangannya di kaca. Laila merapikan rambutnya, memakai sedikit bedak dan mengoleskan lipstik warna bibirnya dengan tipis. Setelah merasa sedikit cerah, Laila ke luar kamar dan menuju ruang Tamu.
Seperti siang tadi, debaran di dadanya kembali bertalu-talu. Laila kembali menenangkan hatinya. Sampai di ruang tamu, Laila melihat Tama telah tidur bergelung di sofa panjang. Laila jongkok menepuk pundak Tama lembut.
"Da, bangun. Pindah ke kamar." Laila berbisik di telinga Tama. Tapi Tama bergeming. Laila memperhatikan Tama dan melihat keringat membasahi kening dan lehernya. Laila menyentuh kening Tama.
"Astaghfirullah." Laila terperanjat merasakan suhu tubuh Tama yang sangat panas. Seketika Laila merasa cemas dan khawatir.
"Da, bangun. Badan Uda panas, pindah ke kamar, ya." Kali ini Laila menepuk lembut pipi Tama. Tama membuka matanya perlahan. Dan melihat siapa yang berada di depannya, Tama tersenyum.
"Laila." panggil Tama lembut.
"Ayo, Da, pindah ke kamar. Badan Uda panas sekali." Laila tak dapat menyembunyikan wajah cemasnya.
"Apa ini masih karena disuruh Bundo?" meski suara Tama terdengar makin lemah, tapi laki-laki ini masih juga berniat menggoda istrinya.
"Tidak, kali ini Laila yang meminta Uda." Meski merasa malu, tapi Laila tak ingin berbasa basi lagi. Keselamatan dan kesehatan suaminya lebih penting dari perasaan marahnya saat ini.
"Baiklah, kalau kamu yang memintanya." Tama mencoba duduk dari berbaringnya. Tapi kepalanya terasa berputar-putar. Tama kembali ingin menjatuhkan tubuhnya lagi sofa.
"Uda." Laila mendekat dan menahan tubuh Tama dengan susah payah.
"Ayo!" Laila sekuat tenaga membantu Tama berdiri. Melihat istrinya begitu kepayahan menolong dirinya, Tama menguatkan tubuhnya sekuat tenaga agar bisa bangkit dan berdiri. Tama tersenyum dalam hati. Tama mengucapkan syukur alhmadulillah atas sakitnya, karena ia baru saja menangkap mimik kecemasan dan kekhawatiran di wajah istrinya.
Laila menuntun Tama menuju kamarnya. Dengan susah payah mereka mencapai pintu kamar Laila. Laila membuka handel pintu dengan tangan kirinya lalu mendorong pintu itu dengan kakinya. Begitu pintu terbuka, Laila menuntun Tama menuju tempat tidur. Akhirnya Laila berhasil juga membantu Tama berbaring di atas kasur. Laila menyelimutkan Tama dengan selimut yang agak tipis agar suhu tubuh Tama tidak semakin naik.
Mata Tama kembali terpejam. Rasa pusing di kepalanya tak dapat ditahannya.
"Uda, Laila ambil air sama kain untuk kompres bentar, ya." Laila berbisik di telinga Tama lalu segera beranjak ke luar kamar.
Tak berapa lama Laila kembali masuk kamar dengan membawa baskom kecil dan handuk kecil. Diletakkannya baskom kecil itu di atas nakas di samping tempat tidur. Lalu diambilnya kursi meja rias dan duduk di atasnya.
Laila mencelupkan handuk kecil itu dalam baskom yang berisi air hangat. Setelah memerasnya, Laila menempelkan handuk tersebut ke kening Tama. Berulang kali Laila melakukan hal seperti itu. Laila mengambil satu lagi handuk kecil di lemarinya, membasahinya, lalu menyapukannya ke leher Tama berulang kali.
Hampir dua jam Laila mengompres kening dan leher Tama. Laila juga telah mengganti air kompres yang sudah terasa dingin beberapa kali. Laila kemudian meraba kening Tama, panasnya sedikit berkurang. Laila mengucap syukur dalam hati.
"Da, Laila shalat isya dulu bentar, ya." Laila berbisik di telinga Tama. Laila bangkit dan hendak berjalan ke kamar mandi.
"Laila jangan pergi." Terdengar lirih suara Tama. Laila berbalik dan menatap Tama. Kening Laila berkerut. Mata Tama terpejam amat rapat. Sepertinya Tama telah tertidur dengan nyenyak. Apa laki-laki ini mengigau? Laila duduk kembali. Hati Laila terenyuh mendengar kata-kata Tama. Mata Laila terasa panas.
"Da, Nanti kalau Laila sudah shalat, Laila bantu Uda tayamum dan shalat isya juga, ya." Laila kembali berbisik di telinga Tama. Melihat kondisi Tama seperti itu, sebagian rasa sakit hati dan kecewa Laila menguap. Berganti dengan rasa kasihan, rasa sayang dan rasa cemas juga tentunya. Laila kembali bangkit, namun jemari tangannya diraih. Laila kembali berbalik. Terlihat Tama telah membuka matanya. Mata yang terlihat begitu sayu.
"Laila, terima kasih." Tama tersenyum tulus. Laila mengangguk.
"Maukah kamu memeluk Uda sebentar saja?" suara Tama yang lirih terdengar memohon. Laila ragu, namun hatinya tak tega jika harus mengecewakan laki-laki ini.
Dengan wajah merona dan dada berdebar kembali, Laila mengangguk.
"Uda tidak kuat bangun, kemarilah." Tama menarik tangan Laila agar mendekat.
Ya, Tuhan. Bangun saja tidak kuat, tapi masih minta dipeluk, Laila membatin dalam hati.
"Pelukanmu akan menjadi obat bagi Uda." Tama berkata seakan-akan bisa membaca pikiran Laila.
Laila membungkuk dan merengkuh tubuh Tama yang berbaring. Tama pun mengembangkan tangannya dan memeluk tubuh Laila dengan erat. Laila bisa merasakan hawa panas dari tubuh Tama yang seperti memasuki tubuhnya. Namun yang lebih membuat Laila merasa panas bukanlah karena suhu tubuh Tama yang mengalir ke tubuhnya. Tapi karena cara berpelukan mereka yang terasa begitu intim. Untuk pertama kalinya.
"Apa Uda boleh memintanya malam ini?" Tama berbisik di telinga Laila. Laila reflek melepaskan pelukannya karena kaget. Ya Tuhan, berdiri saja suaminya ini tidak kuat, bagaimana ia ingin meminta haknya pula? Laila mengelengkan kepala merasa tak mengerti dan tak masuk akal dengan jalan pikiran laki-laki ini. Apa memang laki-laki seperti itu? Laila benar-benar tidak paham bagaimana laki-laki.
Apalagi masalah mereka belum selesai. Mereka belum bicara. Marah dan sakit hati Laila juga masih banyak menumpuk di dada.
"Kamu tahu, kata orang yang telah menikah, hubungan suami istri bisa menjadi obat mujarab bagi suami atau istri yang sedang sakit. Dan hubungan suami istri juga bisa menjadi alat pemecah masalah untuk masalah yang sedang dihadapi. Mau mencobanya?" Tama menatap Laila dengan tatapan mata menggoda.
Laila terpana.
*****
(side b)
Tiba-tiba Tama terbahak. Tiba-tiba Tama merasa telah pulih dari sakitnya. Melihat wajah kaget dan cemas Laila, Tama merasa sangat lucu.
"Uda cuma bercanda. Sana pergilah wudlu dan shalat isya. Maaf ya, gara-gara ngurus Uda sakit kamu jadi terlambat shalat isyanya." Tama menatap Laila dengan tatapan penuh cinta. Laila menjadi tersipu malu. Ternyata Tama hanya menggodanya. Laila merasa amat malu telah menanggapi dengan ekspresi yang begitu serius.
Dengan senyum yang terukir di bibirnya, Laila masuk ke dalam kamar mandi. Tama pun melakukan hal yang sama, senyum-senyum sendiri mengingat ekspresi kaget Laila tadi. Menjadi candu bagi Tama untuk membuat istrinya itu merona dan tersipu malu.
Tama merasa sedikit baikan setelah Laila mengompresnya hampir dua jam lebih. Entah karena panasnya telah pindah ke handuk kecil yang digunakan Laila untuk mengompres atau karena perhatian dan kecemasan Laila padanya.
Laila ke luar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat segar setelah dibasuh air wudlu. Laila memakai mukenanya dan membentangkan sajadah. Ia pun mengangkat kedua tangan dan bertakbiratul ihram. Laila mulai menghamba pada Tuhannya dengan khusyuk. Tama memperhatikan gerakan shalat istrinya dengan ujung matanya.
Selesai shalat, berzikir dan berdoa pada sang penggenggam jiwa, Laila bangkit. Laila melipat mukena dan sajadahnya. Setelah itu, ia pun mendekati Tama.
"Uda sanggup bangun untuk bertayamum?"
"Insyaalloh, tapi bantu, ya." Tama pun memiringkan tubuhnya dan mencoba duduk. Laila meletakkan tangannya di belakang punggung Tama dan membantu suaminya itu untuk duduk.
Ditumpuknya beberapa buah bantal di belakang punggung Tama. Tama pun menyandarkan punggung dan kepalanya di bantal yang telah disediakan Laila.
"Laila ambil papan tayamumnya bentar ya, Da."
"Ya." Tama mengangguk.
Laila bergegas ke luar dan mengambil papan persegi berukuran 50 x 50 cm. Papan itu khusus digunakan untuk tayamum jika ada anggota keluarga yang sedang sakit dan tidak kuat berwudlu dengan air.
Papan tipis itu dibiarkan terbuka sehingga sudah banyak debu yang menempel di atasnya. Laila masuk seraya membawa papan tayamumnya. Laila duduk kembali di samping tempat tidur. Diletakkannya papan itu di atas pangkuan Tama.
"Ayo, Da. Tayamum dulu. Tahu kan caranya?"
"Ya, tahu lah. Gini-gini Uda kan belajar agama juga dulunya di sekolah."
"Alhamdulillah. Ayo niat dulu."
Tama membaca basmallah dan mengucapkan niat dalam hati. Setelah itu diletakkannya kedua telapak tangannya di atas papan persegi itu, meniupnya dua kali dan menyapukan telapak tangannya ke wajahnya. Kemudian Tama kembali meletakkan tangannya ke papan dan meniupnya dua kali, lalu menyapukannya ke tangan kanan dan tangan kiri.
"Uda kuat kan shalat di sajadah? Sambil duduk aja nggak apa-apa." Laila kembali mengambil sajadah dan membentangkannya di samping tempat tidur. Tama menurunkan kedua belah kakinya dari tempat tidur, lalu berdiri dan menuju sajadah. Kepalanya masih terasa sedikit pusing dan tubuhnya juga masih terasa amat dingin. Tama pun memilih untuk shalat sambil duduk.
Laila meninggalkan Tama yang sedang shalat dan pergi ke dapur. Dipanaskannya air dan disiapkannya cangkir. Laila membuatkan teh untuk Tama. Teh panas bisa menambah tenaga dan menghangatkan tubuh. Laila membawa teh yang telah dibuatnya ke dalam kamar dan meletakkannya di nakas.
Laila menunggu Tama selesai shalat dengan duduk di pinggir tempat tidur. Tak berapa lama Tama mengakhiri shalatnya dengan salam. Ia melanjutkan dengan zikir dan doa. Setelah itu Tama pun bangkit dan duduk di samping Laila.
"Bisa kita bicara sekarang?" Tama menyentuh jemari tangan Laila dan menggenggamnya dengan erat. Laila tak mengelakkan tangannya tapi juga tak membalas genggaman tangan Tama. Laila mengangguk.
"Uda minta maaf atas WA dari Andi yang telah kamu baca. Dua hari setelah kamu pergi pada malam pernikahan kita itu, Uda langsung balik ke Jakarta. Pikiran Uda benar-benar tak menentu karena kamu tinggal begitu aja. Meski waktu itu jujur belum ada perasaan apa-apa di antara kita, tapi kepergianmu merupakan pukulan berat buat Uda." Tama berhenti sejenak. Tama menoleh pada Laila. Dilihatnya Laila yang menundukkan wajah, menghindari tatapan Tama.
"Semua teman-teman dan pegawai-pegawai di toko dan kantor menanyakanmu. 'Mana istrimu, Tama.' Uda benar-benar tak punya muka untuk menjawab. Uda juga tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya pada malam ketujuh kepergianmu itu, Uda kumpul-kumpul seperti biasa dengan teman-teman Uda. Entah mengapa malam itu, karena pikiran yang mulai kurang waras, Uda minta dibelikan minuman pada salah seorang teman. Dan untuk pertama kalinya, Uda meneguk minuman keras. Tak banyak yang Uda minum, tapi efeknya cukup untuk menghilangkan kesadaran."
Tama kembali berhenti. Dihirupnya udara sebanyak-banyaknya agar dadanya yang sesak kembali terasa lapang. Laila memejamkan matanya. Semua itu karena salahnya. Laki-laki ini sampai menyentuh minuman haram itu karena dirinya. Astaghfirullah, Laila beristighfar berulang kali dalam hati.
"Lalu dalam keadaan setengah sadar itulah Uda meracau mengatakan ingin membalaskan sakit hati Uda padamu. Uda mengatakan akan membuatmu merasakan sakit seperti sakit yang Uda rasakan. Jujur, apa yang kamu lakukan sangat menyakitkan." Laila masih diam mendengarkan semua kata-kata Tama. Sekarang Laila bisa mengerti, memang pantas saja jika laki-laki itu punya pikiran seperti itu padanya. Kalau ia yang berada di posisi suaminya ini, Laila yakin barangkali akan terlintas juga pikiran seperti itu.
"Lalu kamu datang pada hari itu. Awalnya memang sangat sulit untuk menerimamu kembali. Hati ini masih terasa sakit. Sulit sekali untuk memaafkanmu dengan ikhlas. Tapi berhari-hari menyaksikanmu berusaha melayaniku dengan sepenuh hati, menyediakan teh setiap pagi, menyiapkan sarapan, makan malam, menyiapkan pakaian. Melihatmu shalat tahajud di sepertiga malam, pelan-pelan hatiku mulai terbuka. Aku bisa melihat kalau kamu sebenarnya perempuan yang baik."
Tama menarik tangan Laila yang berada dalam genggamannya. Diciumnya tangan Laila dengan penuh perasaan. Laila membeku.
"Malam ini ingin aku katakan bahwa aku mencintaimu." Tama meletakkan tangan Laila di dadanya. Diam-diam air mata Laila menetes. Tuhan masih adakah pintu maaf untukku? Mengapa aku kembali melakukan kesalahan yang sama? Menyakiti laki-laki terbaik yang telah engkau kirim untukku. Laila terisak. Ia bangkit dan jongkok di depan Tama.
"Boleh Laila memeluk, Uda?" dengan pipi basah Laila menjatuhkan wajahnya di pangkuan Tama. Laila terisak. Tama pun tak dapat menahan buliran bening itu. Satu-satu air mata jatuh membasahi pipinya. Diusapnya kepala Laila dengan lembut. Mereka bertangisan dalam diam.
"Terima kasih ya Alloh." Tama mengucap syukur berulang kali dalam hati.
"Apapun yang terjadi dalam rumah tangga kita, jangan pernah pergi lagi. Sungguh Uda tak dapat hidup tanpamu." Tama menunduk dan mencium puncak kepala Laila dengan begitu dalam. Laila mengangkat wajahnya, ditatapnya wajah suaminya dengan mata yang basah. Laila mendekatkan wajahnya pada Tama. Lalu bibirnya menyentuh bibir Tama dengan lembut. Bibir Tama terasa masih panas. Tama tertegun.
"Laila juga mencintai Uda dengan sepenuh jiwa. InsyaAlloh semua karena Alloh. Laila berjanji, akan selalu mendampingi Uda dalam setiap suka maupun duka." Laila mensejajarkan tubuhnya dengan Tama dan memeluk leher Tama begitu erat. Tama pun merengkuh tubuh istrinya. Mereka berpelukan dengan debaran di dada yang makin bertalu.
"Uda istirahat, ya. Biar besok pagi sudah sehat kembali." Laila melepaskan pelukannya. Tama tersenyum dan mengusap kedua belah pipi istrinya yang basah.
"Terima kasih, Sayang." Tama mengecup kening Laila. Laila tersenyum. Tuhan begitu indah takdirmu, bisik hati Laila dengan rasa bahagia yang tak sanggup diungkapkannya.
"Uda mau duduk nyandar dulu bentar, ya." Tama kembali menaikkan kedua belah kakinya ke atas kasur dan menyandarkan punggungnya ke bantal.
"Itu teh buat Uda?"
"Iya, Da. Minum ya, biar badan Uda hangat dan kuat." Laila menjangkau cangkir teh lalu menyendokkan air teh ke mulut Tama. Tama membuka mulutnya dan meminum teh hangat itu dengan hati diliputi bahagia. Laila terlihat begitu cantik malam ini. Duh, ada sesuatu yang tak dapat ditahan Tama. Gejolak di dalam tubuhnya sebagai seorang laki-laki normal. Dan rasanya Tama telah benar-benar sehat saat ini. Kepalanya sudah tidak terasa pusing lagi. Hanya badannya yang masih terasa agak hangat.
Tama mengambil cangkir teh di tangan Laila dan meletakkannya di nakas, samping tempat tidur. Tama menatap Laila begitu dalam. Dada Laila kembali berdentum-dentum. Laila menunduk, tak sanggup rasanya menerima tatapan Tama seperti itu.
"Sayang, rasanya Uda telah benar-benar sehat. Apakah kamu ingin menyempurnakan dirimu sebagai seorang istri?" Tama menyentuh dagu Laila dengan ujung tangannya dan mengangkatnya dengan lembut.
Ya, Tuhan. Laila benar-benar tak sanggup rasanya. Apa harus malam ini? Tapi bukankah malaikat akan melaknat seorang istri yang menolak ajakan suaminya untuk melayaninya hingga sang suami kembali ridla padanya.
Laila membeku. Tama menarik tangan Laila untuk mendekat. Laila yang merasa tubuhnya tak bertenaga hanya bisa menurut. Tama merengkuh tubuh Laila ke dalam pelukannya. Tak ada penolakan dari Laila. Cinta telah begitu besar di dadanya untuk menerima semua perlakuan suaminya ini.
Dan malam yang dingin pun menjadi hangat bagi mereka berdua. Akhirnya mereka benar-benar menyatu dalam ikatan suci. Tama merasa amat tersanjung, istrinya telah menjaga kesuciannya dan telah mempersembahkan padanya pada malam ini.
"Lailaa..." bisik Tama lirih di telinga istrinya
Laila merinding, bulu kuduknya semua berdiri ketika tangan Tama mulai meraba tubuhnya. Matanya terpejam tak kuasa menahan gemuruh di dadanya. Karena baru kali ia disentuh laki-laki dengan lembut dan penuh cinta membara.
Tak kuasa pula dia menolak ketika Tama melucuti kain yang menempel di tubuhnya satu persatu hingga tak tersisa.
Kini mereka berdua sudah dibawah selimut yang sama tanpa terbungkus apapun. Udara yang dingin terasa sangat hangat. Nafas keduanya saling memburu karena debaran jantung yang semakin melaju.
Dan...
"Aa..aa..uuhh.." terdengar jeritan lirih Laila. Tangannya mencengkeram selimut mereka. Suara jengkerik diluar jendela mengalahkan suara-suara di dalam kamar.
Tak lama kemudian...
"Oouuhh..oohh" dari bibir Laila terdengar rintihan yang berbeda dari yang pertama. Entah apa yang dirasakannya.
Tama semakin bersemangat dalam gerakannya.
"Ooughh.." gantian suara Tama yang terdengar mengakhiri kegiatan mereka.
Mereka berpelukan cukup lama karena lelah.
"Terima kasih, Sayang." Tama mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang. Mereka berpelukan dalam satu selimut. Laila tersenyum dan mengangguk. Terima kasih Tuhan, bisik Laila dalam hati.
*THE END*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel