Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 20 November 2020

Masih Adakah Surga Untukku #9

Cerita bersambung

(side a)
Setelah selesai sarapan, Tama memesankan taksi online untuk Rani. Wajah Rani terlihat cemberut sejak Tama mengatakan kalau Rani naik taksi online aja ke kantor. Tapi seperti biasa, Tama adalah laki-laki yang tak bisa dibantah. Laila senyum-senyum sendiri melihat wajah Rani yang ditekuk sampai berlipat seperti jeruk purut. Laila bahagia, Tama mau menuruti kata-katanya untuk menyuruh Rani naik taksi online.

Setelah Rani berangkat dengan taksi online, Tama juga pamit pada Laila. Laila mengantarkan Tama sampai ke depan pintu. Menyalami dan mencium tangan Tama dengan takzim. Tama mengusap puncak kepala Laila lalu segera masuk ke dalam mobil.
Mobil Tama pun bergerak meninggalkan halaman dan ke luar menuju jalan perumahan. Laila beranjak masuk dan naik lagi ke lantai dua. Laila berniat merapikan kamarnya sebelum membantu mak Eti di dapur.

Sampai di kamar, mata Laila tertuju ke meja kerja Tama. Di atas meja terlihat ponsel Tama tergeletak di samping cangkir teh yang telah kosong. Laila mengambil ponsel itu dan memegangnya dengan ragu.  Laila berharap semoga Tama menyadari ponselnya tertinggal dan kembali mengambilnya pulang sebelum terlalu jauh dari rumah.

Laila meletakkan ponsel Tama kembali dan mulai membersihkan dan merapikan kamar. Melipat selimut, merapikan alas kasur, dan meletakkan pakaian kotor Tama ke keranjang pakaian kotor.

Setelah merasa kamar rapi dan bersih, Laila pindah ke ruang sebelah. Kulit kacang bertebaran di atas meja di depan TV. Laila tersenyum ingat tadi malam, pura-pura sudah tertidur ketika Tama berbaring di sebelahnya. Pastilah laki-laki itu kesal sekali dan memilih pindah ke ruang nonton TV. Ternyata inilah yang dilakukannya tadi malam. Makan kacang, makan coklat dan minum soft drink yang tersedia di kulkas kecil di ruangan itu.

Tapi Laila bersikap seperti itu karena masih kesal dan marah pada Tama. Laila harus membuktikan dulu, apa laki-laki itu mau mendengarkan omongannya atau tidak. Dan melihat Tama benar-benar telah melakukan apa yang disuruh Laila, yaitu menyuruh Rani pulang naik taksi online, kekesalan Laila pun menguap. Dalam hati Laila berjanji, malam nanti akan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.

Laila telah berjanji dalam hati, nanti malam akan memberikan hak Tama. Pipi Laila memerah membayangkan semua itu. Sebelumnya, Laila akan luluran, maskeran, dan creambath. Tak perlu ke salon. Laila akan melakukannya sendiri di rumah. Untuk tetap cantik bagi Laila tak perlu harus mengeluarkan uang banyak dengan pergi ke salon. Di rumah juga  bisa dilakukan sendiri.

Selesai membersihkan ruang nonton, Laila berniat untuk melakukan ritual perempuannya. Semua bahan yang dibutuhkan telah dibelinya dua hari yang lalu ketika pergi belanja ke swalayan terdekat dengan Tama. Laila membeli barang-barang kebutuhan pribadinya,  barang-barang kebutuhan Tama dan barang-barang kebutuhan rumah tangga.

Tapi sebelum masuk ke kamar mandi, mata Laila kembali tertuju pada ponsel Tama. Ternyata suaminya itu belum juga menyadari kalau ponselnya tertinggal. Entah mengapa tiba-tiba. Laila ingin meliha-lihat isi ponsel Tama. Laila meraihnya.  Ponsel Tama tidak dikunci, Laila bersorak dalam hati.

Laila melihat riwayat panggilan. Tak ada yang mencurigakan. Laila membuka aplikasi whatshapp, terlihat beberapa percakapan dari abangnya, Uda Arif dan Uda Zakaria. Isinya hanya masalah keuangan perusahaan konveksi mereka. Ada juga WA dari Rani, Laila membukanya dengan penasaran. Terlihat beberapa kali Rani melakukan chat ke Tama. Tapi tak ada balasan dari Tama. Laila tersenyum senang. Ternyata Tama memang mengacuhkan Rani.

Lalu beberapa chat dari grup SMA dan kuliah Tama. Isinya juga biasa-biasa saja, Terlihat Tama teramat jarang ikut nimbrung dalam obrolan di grup-grup tersebut. Ya, mana sempatlah laki-laki seperti Tama melakukan hal-hal seperti itu. Laila tersenyum.

Laila sudah akan meletakkan ponsel Tama kembali, ketika matanya menangkap sebaris kalimat yang membuat kening Laila berkerut. Laila membuka percakapan yang belum sempat dibaca Tama itu. Dikirim oleh seorang bernama Andi. Siapakah Andi? Temannya kah?
Mata Laila terpaku pada kalimat-kalimat di dalam layar. Kerongkongan Laila tercekat. Tubuhnya terasa begitu lemas. Dunia tiba-tiba terasa  gelap. Laila terduduk di kursi kerja Tama. Dan bulir-bulir bening itu mengalir deras membasahi kedua pipinya.

Tuhan, sakit ... sakit ... sekali. Laila terisak dan memegangi dadanya. Lalu apa arti sikap Tama selama ini? Jika semua itu hanya kepura-puraan, betapa pintarnya laki-laki itu bersandiwara. Laila terisak. Pesan dari laki-laki yang bernama Andi, yang belum sempat dibaca oleh Tama, benar-benar telah mencabik-cabik hati dan perasaan Laila.

Kenapa Tama tega melakukannya? Apakah ini memang hukuman yang pantas untuk kesalahan yang pernah diperbuatnya? Laila meremas dadanya. Tidak ... tidak ... mungkin, Laila menggeleng berulang kali. Sikap laki-laki itu terlalu manis. Terlalu indah. Tak mungkin itu hanya pura-pura. Semuanya seperti benar-benar nyata. Tapi isi WA dari laki-laki bernama Andi itu berkata lain.

Dengan tangan bergetar, Laila meletakkan ponsel Tama kembali. Tubuhnya yang mendadak terasa begitu lemah bangkit dan menuju lemari pakaian. Laila mengeluarkan beberapa pakaiannya dan mengambil kopernya yang terletak di sudut kamar. Dengan tergesa, Laila memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam koper.

Dengan mata yang mengabur karena air mata, Laila mengambil tas selempangnya. Dikeluarkannya ATM pemberian Tama dan diletakkannya di samping ponsel Tama. Lalu Laila mengambil secarik kertas dan pena. Laila menuliskan sesuatu di sana, melipatnya, kemudian meletakkan di bawah ATM.

Masih dengan pikiran yang belum normal, Laila mengambil ponsel lamanya dan menghidupkannya kembali. Laila bersyukur, ponsel itu masih bisa menyala. Laila mencari aplikasi traveloka. Lalu mulai mencari tiket ke Padang. Ia akan pulang. Bukan kabur, tapi hanya membantu Tama untuk mewujudkan rencana dan niatnya pada Laila.

Laila mendapatkan tiket untuk beberapa jam ke depan. Laila memesannya masih dengan isak tangis yang terdengar pilu. Bahunya naik turun menahan sesak di dalam hatinya. Dan Laila bersyukur, beberapa hari yang lalu ada yang mentransfer uang terjemahannya. Uang itu bisa digunakannya untuk membeli tiket.

Setelah mendapatkan tiket, Laila segera memesan taksi online untuk ke bandara. Waktu pembayaran traveloka masih terhitung satu jam dari sekarang. Laila  akan minta supir taksi nanti untuk mencari ATM BNI dulu sebelum ke bandara.

Laila berganti pakaian dengan gamis lamanya yang ternyata tidak dibawa semua oleh Rani. Lalu Laila masuk ke kamar mandi mencuci wajahnya yang sudah terlihat tak karuan. Laila ke luar dari kamar mandi dengan tubuh yang terasa sedikit segar. Diraihnya tas selempangnya dan ditariknya kopernya ke luar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan kamar itu, Laila kembali memandang seluruh isi kamar. Dan tangisnya yang tadi telah berhenti kembali terdengar. Laila terisak, dan tubuhnya luruh ke bawah.

Tuhan ... kenapa begini rasanya? Kenapa begitu sakit? Kenapa ia harus mengetahui kenyataan ini di saat ia telah ingin memasuki pernikahan mereka dengan hati terbuka. Di saat hatinya mulai menyayangi suaminya itu. Apakah ini hukuman untuknya? Untuk kesalahan yang pernah dilakukannya.

Kamar ini, meski belum berapa lama ia menghuninya, tapi telah banyak kenangannya di hati Laila. Mengantarkan teh setiap pagi untuk Tama, menyiapkan pakaiannya, merapikan kamar, duduk berdua di ruang nonton TV, memeluk Tama. Laila menutup mulutnya lalu bangkit dengan tertatih.

Dituruninya anak tangga satu persatu. Mak Eti yang mendengar suara tas ditarik, menoleh dan mendekat ke arah tangga. Mak Eti kaget melihat Laila yang bersimbah air mata mengangkat kopernya dan menuruni anak tangga satu persatu.

"Laila?" Mak Eti menatap Laila heran. Laila mempercepat langkahnya dan sampai di depan Mak Eti. Laila memeluk Mak Eti erat.
"Ada, apa, Nak?"
"Dia tidak pernah benar-benar menerima Laila, Mak. Dia hanya ingim membalaskan dendamnya pada Laila." Suara Laila parau di antara isak tangisnya.
"Tidak, Nak. Itu tidak mungkin."
"Laila baca sendiri, Mak. Dan jika itu yang diniatkannya, Tama telah berhasil Mak. Laila telah merasakan rasa sakit itu." Laila lalu melepaskan pelukannya. Diusapnya pipinya yang basah dengan kasar.

"Laila pulang, Mak. Tempat Laila bukan di sini." Laila mengambil kopernya dan menuju pintu depan.
"Jangan, Nak. Jangan seperti ini. Laila tidak boleh begini. Tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin dari suamimu, Nak." Mak Eti menahan koper Laila.
"Tapi inilah yang diinginkan Tama, Mak. Tama bersikap baik hanya untuk membalaskan dendamnya pada Laila." Laila mencoba melepaskan tangan Mak Eti. Mendengar suara ribut-ribut, Mba Susi datang menghampiri mereka. Mba Susi terpana melihat apa yang ada di depannya. Meski tak benar-benar mengerti, tapi Mba Susi bisa membaca apa yang sedang terjadi.

"Biarkan Laila pergi, Mak." Laila menatap Mak Eti dengan memohon. Mak Eti melepaskan tangannya dari koper Laila. Laila pun bergegas menuju pintu depan. Mak Eti dan Mba Susi mengikuti dari belakang. Mereka berdua juga tak dapat menahan tangisnya. Mereka tak bisa berbuat apa-apa.

"Ada yang pesan taksi, Mak Eti?" tiba-tiba Pak Udin telah berdiri di ambang pintu.
"Saya, Pak," jawab Laila lemah.
"Nak Laila mau ke mana?" Pak Udin menatap Laila dengan heran.
"Saya mau ke bandara, Pak. Tolong bawain koper saya ke mobil, Pak," pinta Laila. Meski ragu, tapi Pak Udin menuruti juga ucapan Laila.

Laila berbalik dan kembali memeluk Mak Eti.
"Maafkan kesalahan Laila selama di sini, Mak."
"Tidak, Nak. Laila tak pernah punya salah apa-apa pada Mak Eti." Mak Eti memeluk Laila dengan air mata berderai. Lalu Laila berganti memeluk Mba Susi.
"Maafkan salah saya, Mba." Mata Laila kembali mengabur karena air mata. Begitu juga dengan Mba Susi. Perempuan itu terisak.

"Mba yang harus minta maaf sama Uni Laila. Selama Uni Laila di sini, Mba sering seklai mengganggu Uni."
"Tidak apa Mba. Malah Laila senang, merasa punya teman dan saudara di sini."  Laila berkata seraya menghapus air matanya.
"Laila pamit, Mak, Mba." Laila pun berjalan ke luar menuju mobil grab yang telah menunggu. Ia naik dan tak memandang lagi pada Mak Eti dan Mba Susi. Tak berapa lama, taksi online itu pun meninggalkan halaman rumah, ke luar dari jalan perumahan, dan membelah keramaian Jakarta.

Di dalam mobil, Laila kembali menangis. Tapi kemudian Laila beristighfar. Jika memang ini adalah hukuman untuknya, ia harus ikhlas menerimanya. Sementara Mak Eti dan Mba Susi juga masih menangis. Mereka seperti kehilangan gairah untuk bekerja.

"Telpon Nak Tama sekarang!" Tiba-tiba Pak Udin menyadarkan mereka berdua. Mak Eti bergegas ke kamarnya mengambil ponselnya. Lalu dengan tergesa menekan nama Tama. Tapi sekian lama, tak ada jawaban. Mak Eti mengulangnya beberapa kali. Tetap sama, masih tidak diangkat. Akhirnya Mak Eti, Mba Susi dan Pak Udin hanya bisa pasrah.
***

Sebelum magrib, Tama sampai di rumah. Memasuki rumah dengan hati riang, membayangkan istri tercinta telah menunggu kedatangannya. Tama tersenyum-senyum sendiri. Semoga malam ini ia beruntung, doanya dalam hati.

Tapi sampai di ruang tamu, Tama tak mendapati Laila. Mak Eti dan Anita juga tidak terlihat. Ah mungkin di atas, pikir Tama. Tama bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Sampai di kamar, Tama mengedarkan pandangannya. Tak ditemukannya Laila. Tama menuju ruang sebelah. Kosong. Tama balik ke kamarnya, berniat untuk turun.

Tapi matanya menangkap sesuatu di meja kerjanya. Ponselnya yang tertinggal. Tama tersenyum, sampai tak menyadari ponsel tertinggal karena hati yang sedang berbunga-bunga tadi pagi melihat sikap dan senyum manis istrinya melepas kepergiannya. Udah hampir sampai ke tokonya, Tama baru sadar kalau ponselnya tertinggal.
Dan jalanan Jakarta menjadi alasannya untuk tidak balik pulang mengambil ponselnya kembali. Tapi di samping ponselnya terlihat ATM dan secarik kertas, lalu ponsel Laila juga. Kening Tama berkerut.  Kenapa ATM yang telah diberikannya pada istrinya itu berada di sini? Ada apa gerangan?

Tergesa Tama membuka lipatan kertas yang diletakkan di bawah ATM. Tama membacanya dan beberapa detik kemudian, Tama terduduk di kursi kerjanya dengan tubuh gemetar.
Ya Tuhan, ada apalagi ini? Tama berteriak dalam hati. Baru saja ia merasa akan menjalani pernikahan yang bahagia, baru saja hatinya terbuka menerima Laila, baru saja rasa cinta dan sayang itu muncul sedikit demi sedikit memenuhi rongga dadanya, kenapa sekarang direnggut lagi.

Tama meraih ponselnya dan mencari penyebab Laila menulis surat seperti itu untuknya. Dengan mata nyalang, Tama memperhatikan satu persatu pesan yang masuk ke Whatshappnya. Dan dada Tama berdegup kencang begitu melihat pesan dari Andi, teman nongkrongnya.

Dulu Tama memang sering ngumpul di kafe dengan teman-temannya sesama pemilik toko di Mangga Dua dan juga Tanah Abang. Tapi sejak Laila berada di rumah ini, Tama memang sudah tidak pernah lagi kumpul-kumpul dengan Andi dan teman-teman yang lainnya.

Tama meremas rambutnya dengan kasar. Kepalanya terasa berputar-putar. Tama ingat, begitu balik ke Jakarta setelah menikah dan Laila kabur, Tama memang pernah maracau pada Andi, bahwa perempuan yang telah mempermalukannya itu harus menerima hal yang sama suatu hari kelak. Perempuan itu juga harus merasakan sakit hati, kecewa, dan rasa malu sepeti yang telah Tama rasakan.

Tapi Tama mengatakan semua itu dalam keadaan setengah sadar. Malam itu, kali pertama Tama menyentuh minuman keras dan setengah mabuk. Tama minum karena ingin melupakan perempuan yang telah dinikahinya kabur meninggalkannya di malam pertama mereka.

Dan pesan Andi menanyakan, apakah Tama telah berhasil membuat istrinya itu merasakan hal yang sama seperti yang pernah dirasakannya? Ya Tuhan, kenapa juga Andi menanyakan hal itu. Dan kenapa juga ponselnya tertinggal hari ini. Sial, benar-benar sial. Tama merutuk dalam hati.

Tama turun ke bawah dan mencari Mak Eti. Mak Eti sedang di dapur memanaskan makanan.
"Mak, Laila bilang apa tadi?" Suara Tama terdengar parau. Mak Eti menoleh dan menatap Tama dengan wajah sendu.
"Laila cuma bilang ingin pulang dulu ke Padang. Katanya dia rindu dengan Bundonya." Mak Eti mencoba mencari kalimat yang tepat.

"Hanya itu, Mak?" Tama menatap Mak Eti dengan mata mulai berkaca.
"Iya, cuma itu." Mak Eti mengangguk dan menunduk. Sungguh perempuan dengan rambut yang mulai memutih itu tak sanggup melihat wajah kecewa Tama.
"Tapi, Laila akan kembali kan, Mak?" Kali ini Tama tak dapat menahan air matanya. Bahunya naik turun menahan isak tangis. Untuk pertama kali dalam hidupnya laki-laki ini menangis. Ketika dulu Laila kabur meninggalkannya, Tama hanya merasakan kecewa dan sakit hati. Dan itu tak sampai membuatnya mengeluarkan air mata.

"Iya, Nak. Laila pasti kembali." Mak Eti mengangguk dan air matanya kembali turun.
"Iya, Mak. Laila dulu juga pernah pergi, tapi akhirnya dia kembali lagi. Sekarang dia pergi, dia pasti akan pulang kembali. Ini rumahnya. Ini tempat ia kembali." Tama mencoba tersenyum pada Mak Eti. Mak eti mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lalu Tama berbalik dan kembali ke kamarnya. Tinggallah Mak Eti yang berdiri mematung dengan pipi basah bersimbah air mata.
***

Setelah shalat magrib di kamar, Tama duduk di atas kasur. Terbayang Laila  yang sedang membersihkan kamar, terbayang Laila yang tidur berselimut sampai ke ujung kepalanya, terbayang Laila yang setiap pagi masuk kamar mengantarkan teh hangat untuknya. Terbayang Laila yang sedang berputar di depan kaca memakai gamis barunya.

Tama mengusap wajahnya dengan kasar. Tubuhnya serasa tak bertenaga. Semangat hidupnya menguap dengan kepergian Laila. Terdengar ketukan di pintu kamar.
"Ya, Mak. Masuk, Mak." Pintu dibuka dari luar. Terlihat Mak Eti berdiri di depan pintu.
"Makan dulu, Nak Tama."
"Nanti aja, Mak. Tama belum lapar."
"Mau Mak bawakan makanannya ke atas?"
"Nggak usah, Mak. Nanti Tama turun sendiri ke bawah kalau sudah lapar. Mak tidur aja." Tama berdiri dan melangkah menuju ruang sebelah. Mak Eti mengangguk dan kembali menutup pintu kamar.

Tama duduk di sofa dengan pikiran kosong. Kali ini ia yang salah. Tentulah Laila teramat terluka membaca WA dari Andi. Wajar jika Laila salah sangka padanya. Menganggap Tama pura-pura baik, hubungan mereka menjadi dekat, lalu Tama pergi meninggalkan Laila setelah mendapatkan hati dan cinta Laila.
Tapi sungguh, Tama tidak akan sejahat itu. Meski sakit hati pada Andi, tapi Tama tak hendak memarahi sahabatnya itu. Tama  lah yang bersalah pernah keceplosan bicara seperti itu pada Andi.

Baru kemarin Ia memeluk istrinya itu di sini, di sofa ini. Baru kemarin ia mencium bibir istrinya dengan lembut. Baru kemarin ia menggoda Laila dan perempuan itu tersipu dengan pipi bersemu merah.

Tama mengambil ponselnya dan menekan nomor mertuanya. Beberapa detik terdengar sahutan di seberang sana.
"Assalammualaikum, Yah."
"Waalaikumsalam."
"Apa Laila pulang ke sini, Yah?"
Ya, dia sampai siang tadi."
"Apa Tama bisa bicara dengan Laila, Yah."
"Untuk apa lagi Nak Tama. Jika memang ingin melepaskan Laila, lepaskanlah. Kami sudah iklas. Toh Laila memang pernah berbuat salah pada Nak Tama. Mungkin kesalahan Laila tak termaafkan. Bapak bisa mengerti."
"Tapi, ini hanya salah paham, Ayah." suara tama memohon pada ayah mertuanya itu.
"Beri saya kesempatan bicara dengan Laila, Yah."
"Tapi Laila sudah tidur." Suara ayah mertuanya terdengar dingin.
Tama menelan ludahnya yang terasa begitu pahit. Mertuanya ternyata juga marah, benar-benar marah malahan. Sampai menyebut dirinya dengan bapak, padahal dulu mertuanya itu yang meminta Tama memanggilnya Ayah.

"Baiklah, Yah. Besok Tama telpon lagi, Ya." Suara Tama sekarang benar-benar terdengar lemah.
"Assalammualaikum, Yah."
"Waalaikumsalam." Lalu sambungan telpon ditutup.

Tama menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Tuhan, apa yang harus dilakukannya? Apa ia harus menyusul istrinya itu ke Padang. Tapi kalau Laila tak mau memaafkannya, tak mempercayai apa yang akan disampaikannya?  Hati Tama benar-benar gusar. Sementara wajah cantik istrinya menari-nari di matanya.

*****
(side b)

Karamnya cinta ini
Tenggelamkan ku di duka yang terdalam
Hampa hati terasa
Kau tinggalkanku meski ku tak rela

Salahkah diriku hingga saat ini
Ku masih mengharap kau tuk kembali
Mungkin suatu saat nanti
Kau temukan bahagia meski tak bersamaku

Bila nanti kau tak kembali
Kenanglah aku sepanjang hidupmu
ooohhhh...

Tama mengiringi lagu Naff yang diputar lewat android dengan hati basah. Tama merasa, kata-kata dalam lagu Naff itu mewakili perasaannya saat ini. Meski malam makin larut, tapi mata Tama belum juga bisa terpejam. Ia duduk sendiri di depan TV yang tidak menyala. Lampu ruangan yang temaram semakin menambah syahdu perasaannya.

Baru satu hari ia tak bertemu dengan Laila, ia sudah merasa kehilangan semangat hidup. Ia jadi malas mau ngapa-ngapain. Tidak mandi, tidak makan. Begini ternyata rasanya jatuh cinta, Tama tersenyum miring. Meski umurnya telah sangat dewasa, ternyata ketika jatuh cinta, semua manusia sama. Kembali seperti anak ABG.

Bahagia ketika berada di dekat orang yang kita cintai, dan merana ketika berada jauh dari orang yang kita cintai. Mungkin kalau dulu Tama akan mengatakan hal seperti ini lebay, terlalu berlebihan. Tapi tidak sekarang, setelah ia mengenal Laila. Tak ada yang berlebihan untuk sebuah perasaan. Apalagi untuk sebuah perasaan cinta.

Akhirnya lewat pukul 12.00 malam, Tama pun tertidur di sofa ruang nonton TV-nya. Pukul 03.00 Tama sudah terbangun kembali. Tama bangkit dan menuju ke kamar tidurnya. Tama melihat kasurnya yang kosong. Sudah lebih dua minggu kasur itu dihuni oleh Laila. Laila yang cantik, Tama mendesis dalam hati. Sedang apa istrinya itu sekarang? Tama yakin Laila pasti sedang melaksanakan shalat tahajud, seperti kebiasaannya di sini.

Tiba-tiba Tama juga ingin bersujud pada Yang Maha Kuasa. Tama ingin menadahkan tangan pada sang pemilik hati, agar menjaga hati istrinya untuk dirinya seorang. Tama ingin memohon agar Alloh mengembalikan lagi Laila ke sisinya.

Tama masuk kamar mandi untuk berwudu. Tubuhnya terasa sedikit segar ketika air wudu membasahi sebagian anggota tubuhnya. Tama turun ke bawah menuju ruang sholat. Cahaya lampu yang temaram membuat suasana di sepertiga malam terasa begitu damai.
Tama mulai bertakbir seraya mengangkat tangannya. Tama pun hanyut dalam dua rakaatnya yang terasa begitu khusyuk. Setelah salam, Tama pun mengangkat tangan dan mulutnya mulai memohonkan doa dan harapannya pada Al Mujib, Sang Pengabul Doa.

Puas meminta dan memohon segala yang terbaik untuk dirinya dan Laila, Tama duduk bersandar di dinding ruang shalat. Biasanya Laila selalu melewatkan sepertiga malamnya di sini. Laila wanita yang baik, harusnya Tama mulai terbuka dengan perasaannya. Harusnya Tama mulai jujur dengan perasaannya.

Banyak orang mengatakan wanita tidak hanya butuh sikap dan perilaku. Tapi wanita juga butuh kata-kata dan pengakuan. Dan Tama sadar, itu yang belum pernah dilakukannya.

Tama menunggu waktu subuh dengan tetap duduk di ruang shalat. Matanya tak merasakan kantuk sedikitpun. Padahal ia hanya tertidur lebih kurang tiga jam.
Sementara itu, di sebuah rumah yang terletak di lereng Gunung Sago, dalam dingin malam, seorang perempuan juga tengah menadahkan tangan, bermunajat kepada sang pencipta. Dalam isak tangisnya, ia memohon ampun pada Alloh SWT, jika apa yang telah dilakukannya adalah sebuah kesalahan.

Tadi siang Uni Feni banyak memberikan pandangan pada Laila. Bagaimana seharusnya seorang istri bersikap. Laila paham dan sangat mengerti. Tapi pada kasus yang dialaminya, apa lagi yang bisa dilakukannya selain pergi menjauh jika memang suaminya tak menginginkannya. Jika suaminya tak bisa memberi maaf dengan sepenuh hati, lalu akan dibawa kemana pernikahan mereka?

Laila begitu galau. Separuh hatinya tertinggal di Jakarta, pada suaminya. Sehari jauh dari laki-laki itu membuat Laila menyadari jika ia telah jatuh cinta pada suaminya itu. Apalagi namanya kalau bukan cinta jika setiap saat yang teringat dan terbayang hanya dia. Apakah suaminya itu telah makan setelah pulang kerja tadi, apakah dia bisa tidur, apakah ia bisa bangun sebelum adzan subuh?

Tapi apa pedulinya, toh laki-laki itu tak benar-benar berniat baik padanya. Laki-laki itu hanya ingin membalaskan dendam. Laila kembali terisak. Tuhan, kenapa suaminya tak benar-benar membukakan pintu maaf untuknya? Kenapa suaminya tak benar-benar bisa menerima kehadirannya?
Kenapa mereka berdua tak bisa mulai menjalani pernikahan yang sewajarnya, yang bahagia?

Laila terisak. Laila tak tahu apakah keputusan yang telah diambilnya pergi meninggalkan laki-laki itu adalah keputusan yang tepat? Atau sebaliknya, Tuhan akan melaknatnya? Seperti yang dikatakan Uni Feni tadi siang pada Laila, Alloh tidak akan meridai seorang wanita yang pergi meninggalkan rumahnya tanpa seizin suaminya.

Laila duduk bersandar di kasur di dalam kamarnya. Ia tidak ingin tidur lagi. Laila ingin menunggu waktu subuh tiba. Dalam hati Laila berharap semoga Alloh memberikan jalan keluar terbaik untuk masalahnya dengan Tama.

Sebenarnya usia Laila sudah cukup dewasa, tahun ini menginjak 24 tahun. Tetapi sikap dan perilakunya terkadang masih sering kekanakan. Barangkali karena Laila merupakan anak bungsu yang selalu mendapatkan perhatian lebih dari kedua orang tua dan kelima orang kakak perempuannya. Semua menyayangi Laila.

Hampir satu jam Laila duduk bersandar seraya memikirkan banyak hal, adzan subuh pun berkumandang. Laila bersiap untuk melaksanakan shalat subuh. Sementara jauh di sana, Tama telah berangkat ke mesjid sejak beberapa menit yang lalu.

Pulang dari mesjid, Tama masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Matanya menyapu ruang keluarga, ruang makan, dan dapur yang terasa begitu sepi. Biasanya ada Laila yang mulai sibuk menyiapkan sarapan paginya dengan Mak Eti dan Anita. Dan beberapa waktu belakangan moment yang paling ditunggu Tama adalah ketika Laila membawakan teh hangat untuknya ke kamar.

Tama duduk di ruang keluarga. Matanya tertuju pada kamar tamu. Terbayang ketika pertama-tama Laila datang dan menempati kamar tamu itu. Ah, Tama merasa benar-benar gila.

"Ini tehnya, Nak Tama." Mak Eti datang membawakan secangkir teh untuk Tama.
"Ya, Mak. Makasih." Tama tersenyum pada Mak Eti.
"Belum bisa menghubungi Laila?" Mak Eti menatap Tama dengan kasihan. Terlihat sekali tama kurang istirahat.
"Belum, Mak. Tadi malam Tama telpon, Laila sudah tidur kata Ayahnya." Tama mengambil cangkir tehnya dan meminumnya seteguk.
Sebenarnya perutnya terasa lapar karena tidak makan tadi malam. Tapi ia benar-benar merasa tak berselera.

"Kenapa nggak disusul aja, Nak Tama? Biar bisa membicarakan masalah yang ada secara baik-baik. Biar ketemu jalan keluarnya." Mak Eti menatap Tama penuh harap.
"Pulang ke Padang, Mak?" Tama menanyakan dengan ragu pada Mak Eti.
"Ya, pulang ke Padang. Jika memang Nak Tama memiiki perasaan cinta dan sayang pada Laila, berjuanglah." Kali ini Mak Eti tersenyum mencoba meyakinkan Tama. Tama langsung berdiri.
"Ya, Mak. Tama akan menyusul Laila ke Padang sekarang." Dengan penuh semangat Tama menaiki tangga rumahnya dan masuk ke dalam kamar. Mak Eti tersenyum bahagia.
"Terima kasih ya, Alloh." perempuan paruh baya itu mengucap syukur pada Alloh.

Tama mengambil kopernya yang terletak di atas lemari. Memilih beberapa pakaiannya dan memasukkannya dengan tergesa ke dalam koper tersebut. Lalu Tama masuk ke kamar mandi dan mandi dengan kilat. Ke luar dari kamar mandi, Tama pun berpakaian. Celana jeans berwarna biru terang dengan kaos oblong berwarna putih. Penampilannya terlihat santai namun tak mengurangi ketampanannya.

Tama bergegas turun ke bawah. Dilihatnya Mak Eti tengah menghidangkan sarapan untuknya di meja makan.
"Sarapan dulu, Nak Tama." Mak eti menarik kursi mempersilakan Tama.
"Tidak usah, Mak. Tama sarapan di bandara aja. Tama ngejar pesawat yang pukul 08.00 pagi. Mudah-mudahan masih keburu."
"Ya, ampun, Nak. Dari tadi malam nggak makan apa-apa. Nanti sakit." Mak Eti menatap Tama cemas.
"InsyaAlloh nggak apa-apa, Mak. Tama berangkat dulu, ya Mak." Tama menuju pintu depan seraya mendorong kopernya.
"Memang sudah dapat tiket?"
"Gampang, Mak. Nanti aja di bandara sekalian."
"Trus berangkat ke bandara? Pak Udin kan belum datang."
"Tama bawa mobil aja, Mak. Nanti parkir inap aja di bandara. Biar kalau bawa Laila pulang ke Jakarta, udah ada mobil yang menunggu di bandara." Tama berkata dengan percaya diri. Mak Eti tersenyum, semoga, Nak, doa Mak Eti dalam hati.

"Berangkat ya, Mak," pamit Tama dan segera masuk ke dalam mobil.
"Ya, hati-hati." Mak Eti masih sempat berpesan sebelum Tama menjalankan mobilnya ke luar halaman rumah.
***

Bandara Internasional Minangkabau, pukul 10.15 pagi. Tama berjalan ke luar dari bandara menuju parkiran. Sebelum naik pesawat di Bandara Soekarno Hatta tadi,  Tama telah menelpon mobil rental langganannya. Jika sedang pulang ke Padang, Tama dan abang-abangnya selalu menggunakan mobil rental ini.

Tama telah ditunggu di parkiran. Supir mobil rental telah menjelaskan di mana posisinya berada. Tak berapa lama, Tama telah duduk di samping Uda Supir. Mereka pun ke luar dari parkiran bandara menuju jalan raya. Jalan lintas Padang-Bukit Tinggi tidak terlalu padat. Mobil bisa bergerak dengan sedikit kencang.

Dada Tama berdebar membayangkan akan bertemu dengan kekasih hatinya. Masih tiga jam lagi sebelum ia sampai ke kampung halamannya. Sebuah kota kecil di Sumatera Barat, Payakumbuh.

Melewati jalan dengan rumah penduduk di kiri dan kanan, lalu sawah yang membentang kuning, pertanda sebentar lagi petani akan segera panen. Perbukitan di kiri dan kanan. Tama memandang semuanya dengan rasa syukur. Begitu indah alam di kampung halamannya. Keindahan dan kenyamanan yang membuat Tama berniat untuk menghabiskan masa tuanya di kampungnya ini.  Berdua dengan istrinya, Laila, tentunya. Tama tersenyum membayangkan akan melihat wajah cantik istrinya.

"Senyum-senyum aja dari tadi, Da." tiba-tiba supir di sebelah Tama menyadarkan hayalan dan lamunan Tama.
"Eh, iya, Diak. Teringat istri." Tama berkata jujur.
"Istrinya pasti cantik ya, Da." Supir itu menoleh dan mengerling menggoda Tama.
"Alhamdulillah, cantik, Diak. Sangat cantik." Dan Tama pun kembali membayangkan wajah istrinya. Supir di sampingnya ikutan senyum melihat tingkah Tama.

Mobil memasuki Kota Padang Panjang. Air terjun yang menjadi objek wisata bagi masyarakat Sumatera Barat, terlihat deras dan jernih. Tumpah dari atas bukit yang melingkungi jalan raya. Membuat udara terasa begitu sejuk dan dingin.

Tak berapa lama, tampaklah Gunung Merapi yang puncaknya diselimuti awan. Lalu ladang-ladang sayur di lereng gunungnya. Sejauh mata memandang warna hijau nan segar membuat mata tak pernah bosan untuk menikmati pemandangan alam yang terpampang di depan mata.

Kampung Tama sudah semakin dekat. Dan debaran di hatinya semakin riuh. Mereka kembali melewati areal persawahan. Dibatasi bukit di kiri dan kanan, seakan bukit-bukit itu menjadi dinding pembatas bagi sawah-sawah yang tumbuh subur di bawahnya. Puluhan kali melewati jalan yang sama, tapi selalu saja tak pernah ada kata bosan memandang keindahan alam yang terbentang.

Tama menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Perutnya tiba-tiba keroncongan karena tidak jadi sarapan pagi tadi di bandara. Tapi ia tak ingin makan. Tak merasa ngantuk juga. Tama hanya bisa berdoa semoga tubuhnya tetap sehat meski dalam konndisi seperti ini.

"Selamat Datang Di Kota Payakumbuh" Tama membaca tulisan yang tertulis pada gapura ucapan selamat datang di kota kelahirannya ini. Ada yang menghangat di hati Tama. Membayangkan akan bertemu dengan istrinya. Namun ada juga kecemasan, bagaimana jika Laila tak mau menerima penjelasannya?

Kota kecil ini tak banyak berubah di mata Tama. Langitnya masih tetap bersih dengan awan-awan yang menghiasi warna birunya. Sawah di sepanjang jalan yang dilewati, Gunung Sago yang selalu berdiri dengan gagahnya, udaranya yang dingin dan sejuk. Tama mencintai kota ini, kota kelahirannya.

Akhirnya mobil yang ditumpangi Tama sampai di halaman rumah Laila. Debaran di dada Tama semakin menggila. Tama membayar ongkos rentalnya dan turun dengan kaki sedikit gemetar. Dan kini, Tama telah berdiri di depan pintu rumah Laila.

Tama mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat lalu handel pintu yang dibuka. Sesosok tubuh semampai yang amat dirindukan laki-laki itu berdiri di hadapannya. Betapa Tama ingin segera merengkuh tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. Tapi tatapan mata perempuan itu begitu dingin. Tama tercekat.
"Boleh aku masuk?" Suara Tama bergetar. Laila membuka daun pintu lebih lebar dan menggeser tubuhnya ke samping.

Tak ada kata yang keluar dari bibir indahnya. Dalam hati Laila syok melihat sosok yang juga amat dirindukannya itu. Tapi hatinya sedang marah. Laki-laki itu punya rencana jahat padanya. Laila harus bisa menahan hatinya.

Tama melangkah masuk dan duduk di kursi tamu tanpa menunggu dipersilakan. Sementara Laila masih berdiri mematung di samping daun pintu.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER