(side a)
Setelah tangis Laila reda, Tama melepaskan pelukannya.
"Mau ke mana sekarang? Lihat Monas atau mau ke pantai?" Tama bersiap menjalankan mobilnya ke luar dari parkiran.
"Di Jakarta ada pantai?" mata Laila kembali berbinar. Tama tertawa mendengar pertanyaan Laila.
"Ya, ada lah. Memang Padang aja yang punya pantai." Tama pun mulai menjalankan mobil keluar dari parkiran.
"Jauh ga, Da." Laila menoleh pada Tama.
"Namanya Jakarta, kalau lagi macet, semua ya jadi jauh."
"Nanti Uda capek." Laila merasa tak enak hati.
"Kalau nanti capek, kan ada kamu yang bisa pijitin." Tama memandang Laila dengan senyum menggoda.
Wajah Laila merona lagi. Rasanya sehari ini entah sudah berapa kali wajahnya bersemu seperti itu. Laila tak mampu menjawab apa-apa. Malu rasanya. Laila pun mengalihkan pandangannya ke luar kaca mobil di sampingnya.
Tama tersenyum melihat Laila tersipu malu seperti itu. Mobil pun membelah keramaian kota Jakarta. Hampir satu setengah jam, akhirnya mereka pun sampai di Ancol. Laila ternyata tertidur sedari tadi. Tama membiarkan Laila tidur selama perjalanan. Tama merasa kasihan untuk membangunkannya.
Setelah memarkirkan mobil di pinggir jalan raya yang tidak terlalu jauh dari pantai, Tama pun menyentuh pundak Laila dan menepuk-nepuknya dengan lembut.
"Laila, bangun. Sudah sampai." Mata Laila terbuka perlahan.
Dan begitu melihat pemandangan di depannya, Laila tak dapat menyembunyikan rasa bahagia dan gembiranya.
"Wah, pantai. Indah sekali, Da." Laila bergegas turun. Tak sabar rasanya ia ingin berjalan di pasir putih dan menikmati ombak yang datang membasahi telapak kakinya.
"Kita salat ashar dulu, ya. Udah kelewat waktunya." Tama pun mengajak Laila menuju musala yang tidak begitu jauh dari tempat mereka parkir. Laila menurut, ia mengikuti langkah kaki Tama.
Setelah sampai di musala mereka pun mengambil wudlu dan segera melaksanakan sholat. Beberapa pengunjung pun masih banyak yang melaksanakan salat ashar.
Selesai shalat, Laila bergegas menuju pantai. Ia sudah tak sabar ingin menikmati angin laut dan deburan ombak. Tama mengikuti langkah kaki Laila. Orang-orang terlihat ramai sedang menikmati suasanan sore hari di pantai Ancol.
Tama mengeluarkan kamera ponselnya dan mendekati Laila yang telah berjalan di pinggiran pantai.
"Laila, sini." Tama memasang mode selfi di kameranya. Laila mendekat. Tama merengkuh bahu Laila lalu mengambil foto mereka berdua dengan latar laut.
Dada Laila berdegup kencang berada dalam pelukan tangan Tama. Laila berusaha tersenyum ke arah kamera. Tama mengambil beberapa pose mereka. Dalam hati Tama tertawa sendiri, sekian lama ia tinggal di Jakarta, baru kali ini ia berfoto dan berselfi ria di Ancol. Ternyata seorang Laila bisa mengubah sikap dan perilakunya.
"Mau foto sendiri?" Tama mengganti mode kameranya. Laila menggeleng.
"Ayo lah, ini pertama kali kamu ke Ancol kan." Tama pun mengarahkan ponselnya ke arah Laila. Lalu tanpa menunggu Laila bersiap-siap, Tama mengambil beberapa gambar Laila. Berbagai pose cantik terekam dalam kamera Tama. Tama tersenyum puas melihatnya.
"Apaan sih, Da." Laila protes melihat Tama mengambil beberapa gambarnya.
"Cantik kok." Tama pun kembali menyimpan ponselnya ke dalam kantong celananya. Sementara Laila telah berjalan menjauh, berjalan di sepanjang bibir pantai. Tama pun mempercepat langkahnya mengejar langkah Laila.
"Jangan jauh-jauh, nanti kamu diculik orang." Tama meraih tangan Laila dan menggenggamnya dengan erat. Laila menoleh dan Tama pun sedang menatapnya. Uh, Laila menghempaskan napasnya kuat-kuat membuang rasa sesak. Selalu saja begitu setiap laki-laki ini menatapnya.
Mereka pun menikmati angin pantai sampai sunset menghiasi langit laut Ancol. Laila berulang kali mengucapkan tasbih memuji nama Alloh melihat keindahan ciptaanNya. Setelah melaksakan sholat magrib di mushalla mereka sholat tadi, Tama dan Laila pun segera pulang ke rumah.
Mereka sampai di rumah pukul 09.30 malam. Laila merasa begitu lelah. Mereka masuk ke rumah tanpa membangunkan mak Eti, karena Tama membawa kunci serep. Mereka pun naik ke lantai dua, ke kamar Tama. Sesampai di kamar, Laila membuka jilbabnya dan langsung membaringkan tubuhnya karena merasa sangat lelah.
"Eh, ganti baju dulu." Tama duduk di tempat tidur dan menggoyang tangan Laila.
"Iya, Da. Bentar lagi." suara Laila terdengar lemah. Tak berapa lama mata Laila pun terpejam dan ia telah terbang ke alam mimpi. Tama geleng-geleng kepala lihat tingkah Laila.
Syukurnya mereka telah salat isya tadi di jalan.
Tama mengambil selimut dan menyelimuti tubuh Laila. Setelah itu Tama mengambil pakaian tidurnya dan membawanya ke dalam kamar mandi. Setelah bersih-bersih dan berganti pakaian, Tama pun ke luar dari kamar mandi. Dilihatnya Laila yang telah tertidur lelap.
Tama menuju ruang sebelah. Ia membaringkan tubuhnya di sofa tidur di ruang TV. Entahlah, ia masih ragu untuk mengambil tempat di samping istrinya itu. Hubungan mereka memang sudah semakin membaik. Tapi apakah Laila telah siap untuk seranjang dengannya? Tak berapa lama Tama pun tertidur.
***
Pukul 03.00 dinihari Laila terbangun. Laila teringat tadi malam langsung tertidur begitu membuka jilbab tanpa mengganti pakaiannya. Dan Laila sadar, selimut telah menutupi seluruh tubuhnya. Berarti Tama lah yang telah menyelimutinya tadi malam. Hati Laila menghangat. Bibirnya tersenyum manis.
Laila turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi. Ia berniat untuk berwudhu. Ternyata tamu bulanannya datang. Laila pun segera ke luar dari kamar mandi dan mengambil baju tidurnya. Ia mengganti gamis yang telah dipakainya seharian kemarin.
Laila berniat untuk ke kamar tamu mencari pembalut yang ditinggalkannya di laci lemari ruang tamu. Sebelum turun ke bawah, Laila pun menuju ruang sebelah. Dan matanya menangkap sosok Tama yang tengah bergelung di sofa tidur ruang nonton TV itu.
Laila manatap Tama dengan perasaan campur aduk. Ada rasa bersalah di hati Laila melihat Tama tidur tak nyaman seperti itu. Karena dirinya memakai kamar dan tempat tidur Tama, Tama jadi tak bisa beristirahat dengan nyaman di kasurnya. Sungguh Laila merasa tak enak hati. Nyatanya laki-laki itu tak mau tidur seranjang dengannya.
Dengan perasaan resah, Laila pun turun ke bawah menuju ruang tamu. Dibukanya laci lemari dan ia bersyukur, ternyata masih ada pembalutnya di dalam laci tersebut. Laila pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah itu, Laila membersihkan kamar tamu yang telah ditempati Rani. Laila pun berpikir, mungkin sebaiknya ia kembali tidur di kamar ini, agar Tama kembali bisa tidur dengan nyaman di kamarnya. Mungkin sampai laki-laki itu benar-benar bisa menerima dirinya.
Selesai membersihkan dan merapikan kamar, Laila pun menuju dapur. Laila mencari bahan-bahan untuk membuat mie goreng kuning. Kemarin ia melihat ada mie kuning dalam kulkas. Setelah mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan, Laila pun meracik bumbunya. Ia ingin membuatkan sarapan yang enak untuk Tama.
Tak berapa lama terdengar adzan subuh berkumandang. Lalu terdengar pintu kamar mak Eti terbuka dan terlihat wanita paruh baya itu ke luar seraya menyanggul rambutnya.
"Laila?" Mak Eti melihat heran ke arah Laila.
"Eh,Mak Eti. Sudah bangun Mak? Terganggu ya karena suara ribut Laila?" Laila berkata sambil nyengir ke arah mak Eti.
"Ga, memang udah bangun. Kan udah adzan."
"Hehe, iya Mak."
"Nak Laila sedang apa?" Mak Eti melihat bumbu yang telah dipersiapkan oleh Laila.
"Ini Mak, mau bikin mie goreng kuning. Laila lihat bahannya ada di kulkas."
"Oh, iya. Nak Tama suka tuh mie goreng kuning."
"Eh, Laila belum bangunkan Uda Tama, Mak." Laila teringat suaminya yang sepertinya masih tidur begitu mendengar nama Tama disebut Mak Eti.
"Ya udah, sana. Bangunkan suamimu."
"Tapi itu biar Laila yang bikin semuanya ya, Mak," ucap Laila seraya bergegas menaiki anak tangga.
"Iya, tenang aja. Ga akan Mak ganggu," jawab Mak Eti seraya bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudu.
Sesampai di kamar, Laila pun menuju ruangan tempat Tama tidur. Terlihat laki-laki itu masih nyenyak dalam tidurnya. Laila berjalan mendekat. Lalu berjongkok di samping Tama.
"Da, bangun." Laila menepuk pundak Tama lembut. Tapi Tama masih belum bergeming.
"Da, bangun. Udah adzan." kembali Laila menepuk bahu Tama. Terdengar gumaman tak jelas dari mulut Tama, lalu mata laki-laki itupun terbuka.
Di depannya terlihat wajah seorang wanita cantik. Mata Tama mengerjap.
"Ayo, bangun." Laila menepuk pipi Tama lembut. Tama pun tersadar. Duh, begini rasanya pagi-pagi ada yang membangunkan, Tama tersenyum dalam hati. Ternyata begitu bahagia memiliki seorang istri yang mengurus dan melayani semua kebutuhan kita, bisik hati Tama.
Tama pun duduk dan sedetik kemudian berdiri. Laila ikut berdiri.
"Mau mandi atau mau wudu aja, Da?"
"Mandi?" Tama memandang Laila heran.
"Iya, kalau mandi, Laila siapkan pakaian Uda sekarang," ucap Laila seraya menuju lemari pakaian.
"Tapi kita ga ngapa-ngapain kan tadi malam?" tanya Tama dengan pandangan menyelidik pada Laila.
"Apaan sih, Da?" wajah Laila langsung memerah menahan malu. Tama terbahak melihatnya. Tama senang telah berhasil menggoda Laila d waktu subuh seperti ini. Masih subuh begini, wajah perempuan itu sudah merona cantik. Hati Tama berdesir melihat tatapan malunya.
Dengan hati yang masih diliputi rasa malu, Laila pun menyiapkan pakaian untuk sholat Tama, sekaligus pakaian kerja untuk suaminya itu. Laila meletakkannya di atas tempat tidur dan segera ke luar kamar untuk turun ke bawah. Laila ingin melanjutkan kegiatan memasaknya. Membuatkan sarapan untuk Tama.
Tama yang telah selesai mandi dan berwudu, ke luar dari kamar mandi. Ia tak mendapati Laila lagi di kamar. Tama pun bergegas memakai baju shalatnya. Hatinya selalu merasa bahagia melihat pakaiannya telah tersedia di atas kasur. Ternyata tak sulit juga untuk membahagiakan seorang suami. Cukup lakukan hal-hal kecil seperti itu, hatinya telah dipenuhi rasa suka cita.
Setelah rapi, Tama pun segera turun ke bawah. Tama menuju ruang sholat. Namun dilihatnya Laila tak di ruang shalat seperti biasanya. Dilihatnya Laila malah asyik di dapur. Entah apa yang dikerjakannya. Kening Tama berkerut.
"Laila, kamu nggak shalat?" Tama mendekati Laila sebelum masuk ke ruang salat.
"Aku lagi halangan, Da." suara Laila terdengar agak pelan.
"Oh..., trus kamu lagi ngapain?" tanya Tama lagi.
"Bikinkan sarapan untuk Uda," Laila tersenyum manis. Tama kembali terpana.
"Bikin yang enak, ya." Tama pun cepat-cepat meninggalkan Laila menuju ruang shalat. Bisa telat subuh dia jika masih berdiri di sana menyaksikan senyum indah perempuan itu.
Setelah shalat, Tama duduk di ruang keluarga. Tak biasanya dia begitu, biasanya ia akan langsung naik ke kamarnya. Entahlah, rasanya ia tak ingin jauh-jauh dari wanita yang sedang membuatkan sarapan untuknya itu. Mengingat istrinya sedang sibuk memasak untuk dirinya, hati dan dada Tama berdebar. Begitu indah hidup ini terasa, Tama tersenyum sendiri.
Laila datang membawakan teh hangat untuk Tama.
"Minum, Da."
"Ya, makasih, ya."
"Kamu masak sendiri? Mak Eti mana?"
"Mak Eti sedang membersihkan kamar mandi di ruang tamu, Da. Laila tadi yang suruh."
"Oh, jangan terlalu repot, nanti kamu capek." Tama menatap Laila dengan lembut. Ya Alloh, perhatian sekali laki-laki ini. Rasanya Laila ingin mencium pipinya atau memeluknya seperti kemarin.
"Nggak repotlah, Da. Cuma bikin sarapan untuk suami." Laila pun berlalu ke dapur. Tinggal lah Tama yang bengong sendiri. Untuk suami? Aduh, indah sekali kata-kata itu terdengar di telinga Tama. Hati ... tolong hati ... jangan terlalu riuh begini. Tama senyum-senyum sendiri.
Tepat pukul 06.30, Laila pun selesai menghidangkan sarapan di atas meja makan. Laila mendekati Tama yang asyik menonton berita di televisi.
"Sarapan sekarang, Da?"
"Sudah selesai?"
"Sudah, Da." Laila mengangguk
"Tapi temani, ya." pinta Tama. Laila kembali mengangguk. Tama pun segera berdiri dan berjalan beringan ke ruang makan.
"Ga ganti dulu sarungnya, Da?" tanya Laila yang heran melihat Tama masih berkain sarung.
"Nanti aja, sekalian ganti buat pergi kerja." Tama pun mengambil tempat duduk di kursi biasa dia duduk.
Laila mengambil tempat duduk di depan Tama.
"Hei, kamu kenapa duduk di situ. Ayo sini." Tama menarik kursi di sampingnya. Laila pun kembali bangkit dan pindah ke samping Tama.
"Nah, begini kan kamu lebih gampang mau melayani suami." Tama menoleh pada Laila dan mengedipkan matanya. Lagi-lagi dada Laila berdebar aneh mendengar ucapan Tama.
Laila meletakkan piring yang telah diisinya dengan mie goreng, telur mata sapi, irisan timun, tomat dan taburan bawang goreng. Tama mulai memakannya. Begitu juga dengan Laila.
"Mmhhh, enak." Tama memakan mie gorengnya dengan nikmat. Bumbu dan rasa mie goreng itu terasa pas di lidah Tama.
"Beneran, Da?" Laila menatap Tama dengan mata berbinar. Senang rasanya suaminya itu mengatakan masakannya enak. Berarti laki-laki itu menyukai masakannya. Laila tersenyum bahagia.
"Benar, enak banget. Ini mie goreng terenak yang pernah aku makan."
"Uh, lebay deh." bibir Laila mengerucut. Tama tersenyum melihatnya.
"Oh, iya, Uda nanti pulang mungkin agak malam. Sudah beberapa hari nggak ke toko. Kamu ga pa pa kan di rumah?"
"Nggak pa pa, Da. kan ada Mak Eti, Mba Susi, Anita."
"Nggak suntuk di rumah aja?"
"Nggak, Da. kan Laila ngerjain terjemahan."
"Oh, iya."
Setelah selesai sarapan, Tama naik ke kamarnya untuk berganti pakaian. Laila membereskan piring dan gelas bekas sarapan mereka. Mak Eti dan Anita telah berada di dapur. Mak Eti dan Anita pun bersiap-siap untuk sarapan.
Setelah Tama berangkat kerja, Laila pun memindahkan pakaian-pakaian yang diberikan Tama dua hari yang lalu ke kamar tamu. Laila pun menyusun gamis, pakaian sehari-harinya serta pakaian tidurnya di lemari yang lumayan besar di ruang tamu itu.
Mba Susi yang sedang ngepel merasa heran melihat Laila.
"Kenapa dipindahin lagi ke bawah Uni?" Tanya Mba Susi kepo.
"Lemari di atas udah penuh, Mba. Ngga muat lagi yang ini," jawab Laila sedikit berbohong.
"Oh, tapi tidurnya di atas kan Uni?" Mba Susi memandang pada Laila dengan tatapan menggoda.
"Ih, Mba Susi, kepo amat sih." Laila mencoba tertawa walau hatinya merasa galau dengan pertanyaan Mba Susi.
"Ya, kalau nggak saya yang kepoin Uni, siapa lagi." Mba Susi pun tertawa senang telah berhasil membuat Laila tersipu malu.
Selesai merapikan semua pakaiannya, Laila kembali naik ke kamar Tama. Laila membersihkan kamar dan ruang nonton Tama. Mengganti alas kasur dan menyapu karpet kamar. Setelah itu, Laila kembali ke kamar tamu. Laila ingin melanjutkan terjemahannya.
Tapi Laila teringat Mak Eti yang sedang memasak di dapur.
Akhirnya Laila pun membantu Mak Eti terlebih dahulu sebelum melanjutkan terjemahannya. Setelah zuhur, barulah Laila mulai kembali melanjutkan pekerjaannya.
***
Pukul 09.00 malam Tama sampai di rumah. Tama membuka pintu dengan kunci cadangannya. Ruangan tamu dan ruangan keluarga terlihat gelap, hanya lampu dapur yang masih menyala. Tama langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya. Hatinya sudah tak sabar ingin melihat wajah cantik Laila.
Tama membuka pintu kamar. Pandangannya langsung tertuju ke tempat tidur besar di kamarnya. Tempat tidur itu kosong. Jantung Tama berdegup kencang. Kemana Laila? Tama masuk dan memperhatikan sudut kamar, tempat kantong-kantong pakaian Laila yang tadi pagi masih teronggok memenuhi sudut kamar. Tapi semuanya kosong. Tak ada satu pun kantong yang masih tersisa.
Dengan napas memburu, Tama turun ke bawah. Tama menuju ke kamar tamu. Dibukanya pintu kamar tamu dengan kasar. Dan matanya langsung menangkap sosok Laila yang telah tertidur di balik selimut tebalnya. Dada Tama bergemuruh menahan rasa marah. Tanpa dapat menahan emosi, Tama menghempaskan pintu kamar itu dan berniat kembali ke kamarnya di lantai atas.
Tadi pagi rasanya semua baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang perempuan itu memilih pindah lagi ke kamar tamu. Apa perempuan itu tak nyaman berada di dekatnya, tak nyaman satu kamar dengannya? Berbagai pertanyaan memenuhi hati dan pikiran Tama.
Sementara Laila yang mendengar suara pintu dihempaskan langsung terbangun dan bergegas bangkit. Laila membuka pintu kamar dan menangkap sosok Tama yang sedang berjalan tergesa menaiki anak tangga. Dahi Laila mengernyit. Ada apa dengan laki-laki itu? Pastilah Tama yang telah membuka pintu kamarnya dan menghempaskannya dengan begitu keras.
Laila pun buru-buru mengikuti Tama naik ke lantai dua. Laila ingin memastikan ada apa dengan Tama. Apa laki-laki itu marah ia tak menunggunya pulang? Tak mengurus makan malamnya? Dada Laila pun berdebar. Terdengar lagi pintu kamar dibanting kuat. Pintu kamar Tama.
Laila tertegun. Benar-benar marah ternyata laki-laki ini, bisik hati Laila. Laila membuka pintu kamar dengan tangan gemetar. Lututnya pun terasa lemas. Tama tak terlihat di kamar tidur. Laila pun menuju ruang sebelah. Terlihat Tama sedang berdiri di depan jendela kamar ruang nonton TV yang menghadap ke halaman belakang.
"Uda, ada apa?" suara Laila terdengar bergetar. Tama berbalik. Mata Tama nanar melihat pemandangan di depannya. Laila dengan baju tidur selutut, tanpa lengan, berwarna coklat susu. Wanita di hadapannya ini terlihat amat cantik dan mempesona. Tapi Tama sedang marah.
"Kenapa kamu kabur lagi?" Tama menatap Laila tajam.
"Kabur?" Laila balik menatap Tama bingung.
"Kenapa kamu pindah ke kamar tamu? Kamu nggak nyaman satu kamar dengan aku? Kamu nggak nyaman berada di dekatku?" Tama mengepalkan tangannya mencoba menahan gejolak amarah di dadanya.
"Bukan, Da. Bukan seperti itu." suara Laila serak. Sekarang Laila mengerti mengapa laki-laki itu marah. Padahal maksud Laila baik, biar laki-laki itu bisa tidur dengan nyaman di kasurnya. Laila tak pernah memikirkan akan seperti ini jadinya. Mata Laila berkaca-kaca.
"Sudahlah, kembalilah lagi ke kamar tamu, jika itu yang membuatmu nyaman." Tama mengibaskan tangannya dengan raut wajah yang masih terlihat kesal dan kecewa. Lalu Tama pun berbalik membelakangi Laila. Laila tak dapat lagi menahan air matanya. Bulir-bulir bening itu jatuh membasahi pipinya.
Tanpa sadar Laila mendekat dan memeluk Tama dari belakang. Seketika tubuh Tama menegang. Merasakan kulit tangan Laila yang menempel di perutnya, merasakan tubuh Laila yang seperti tanpa batas dengan punggungnya. Untuk beberapa saat, Tama serasa berhenti bernapas.
"Maafkan Laila, Da. Laila tidak tega melihat Uda setiap malam tidur meringkuk di sofa ini. Pastilah amat tidak nyaman tidur seperti itu. Dan Laila pikir, semua itu karena Laila telah mengambil kamar dan tempat tidur Uda." Laila berkata di antara isak tangisnya. Laila mengutuki dirinya yang kembali menyakiti laki-laki ini.
Tama tertegun mendengar kata-kata Laila. Emosi di dadanya berangsur-angsur mereda. Ia telah salah sangka pada istrinya ini. Tama membalikkan badannya dan memegang kedua belah tangan istrinya. Wajah marah dan kesalnya telah berganti dengan wajah yang penuh senyuman.
"Kalau kamu tidak tega Uda tidur seperti itu, seharusnya kamu membangunkan Uda dan menyuruh Uda tidur di sampingmu." Tama menatap Laila dengan lembut. Laila menunduk.
"Tapi Laila malu, Da. Nanti Uda menolak." Laila berkata dengan wajah memerah menahan rasa malu.
"Hei, kenapa harus menolak untuk tidur bersama istri?" Sekarang Tama memandang Laila dengan tatapan mata menggoda.
"Jadi Uda mau tidur sama Laila?" Laila bertanya dengan lugu. Mata Tama membulat.
"Memang kamu sudah siap?" Tama mendekatkan tubuhnya pada Laila hingga hampir tak berjarak. Haaa? Laila kaget. Bukan itu maksudnya.
"Boleh aku menciummu?" Tama memandang Laila dengan tatapan penuh harap. Meski ragu, tapi akhirnya Laila pun mengangguk.
*****
(side b)
Tama sedang memakai kemejanya ketika Laila masuk membawa secangkir teh panas untuk Tama. Memakai baju tidur selutut warna maron, berbahan katun dengan lengan pendek, membuat Laila tampak begitu cantik dan mempesona. Lagi-lagi Tama terpana menatap perempuan yang masuk membawakan teh untuknya itu. Laila meletakkan teh panas itu di atas meja kerja Tama dan pura-pura tidak tahu dengan tatapan tak berkedip Tama padanya.
"Ini, tehnya. Da," Laila melirik Tama sekilas.
"Ya, makasih, ya." Tama mengangguk dan tersenyum pada Laila.
"Nanti barang-barangnya dipindahin lagi ke atas, ya." Pesan Tama.
"Boleh nggak Da, kalau baju-baju Laila tetap di kamar tamu?" Laila menunduk dan meremas jemari tangannya. Alis Tama bertaut. Ada apalagi dengan perempuan ini, pikirnya heran.
"Kenapa memangnya?" Tama menatap Laila mencari jawaban.
"Laila malu sama Mba Susi dan Mak Eti, Da." Suara Laila terdengar lirih. Tama terbahak. Ternyata itu yang dipikirkan istrinya ini.
"Ya, salah siapa. Main kabur aja," ucap Tama santai.
"Pokoknya pulang Uda kerja, semua baju kamu udah masuk ke dalam lemari ini." Suara Tama terdengar begitu tegas. Sepertinya tak bisa dibantah.
"Ya, Da." Laila mengangguk pasrah. Tama tersenyum. Senang melihat perempuan di depannya bersikap patuh padanya. Laila pun berbalik dan menuju pintu.
"Eh, mau ke mana?" Tama menghentikan langkah Laila. Laila kembali berbalik dan menatap Tama.
"Mau ke bawah, Da. Mau menyiapkan sarapan."
"Bawain teh Uda sekalian. Uda mau minum di bawah aja." Tama menunjuk cangkir tehnya dengan dagu. Ya Tuhan, baru juga diantar, masa disuruh bawa lagi turun.
Tapi Laila tak membantah. Laila berjalan kembali ke meja kerja Tama dan mengambil cangkir teh tersebut. Tama tersenyum senang. Hatinya mendendangkan nyanyian, begini indah ternyata memiliki istri. Dilayani dengan sepenuh hati. Tama mengikuti Laila turun ke bawah.
"Uda mau duduk di mana?" Tanya Laila begitu sampai di bawah.
"Di meja makan aja, biar bisa lihat kamu masak." Tama memandang Laila dengan tatapan mata menggoda. Wajah Laila bersemu merah.
"Pagi-pagi udah merayu." Bibir Laila mencebik.
"Siapa lagi yang akan merayu kamu kalau nggak Uda." Tama mengedipkan matanya pada Laila. Laila hanya melengos dengan hati berdebar tak karuan. Begini saja rasanya udah nggak karuan-karuan.
Laila meletakkan cangkir teh di atas meja makan. Tiba-tiba Laila mendengar suara ponselnya berbunyi. Laila bergegas menuju meja TV, ponselnya sedang di cas di sana. Laila mencabut charger ponselnya dengan tergesa begitu melihat nama ayahnya tertera di layar ponsel.
Tapi karena terlalu buru-buru, ponselnya jatuh ke lantai dan berderai.
"Ya Alloh." Laila menyebut nama Alloh karena kaget melihat ponselnya telah sudah tak berbentuk lagi. Buru-buru dikumpulkannya kembali ponsel, baterai dan penutup baterai. Susah payah Laila melekatkan kembali penutup baterai ponselnya dengan bantuan selotip.
"Kenapa?" tiba-tiba Tama telah berdiri di hadapan Laila.
"Astaghfirullah, Da. Bikin kaget aja." Laila pun menyembunyikan ponselnya ke belakang punggungnya.
"Kenapa disembunyikan? Ada yang rahasia?" tanya Tama menyelidik. Laila menggeleng dan menggigit bibir bawahnya.
"Sini, Uda mau lihat." Tama mengulurkan tangannya. Lagi-lagi Laila menggeleng. Tama menjadi heran.
"Kenapa, sih? Pasti nih kamu sedang menyembunyikan sesuatu." Tama pun semakin mendekat. Laila mundur selangkah.
"Sini!" Tama mulai mencoba menjangkau ke belakang punggung Laila. Karena Laila menolak terus untuk memberikan ponselnya, Tama sampai memeluk Laila dan merebut ponsel Laila dengan paksa.
Tama melihat ponsel di tangannya, lalu menatap Laila .
"Ini ponsel kamu?" tanya Tama heran.
"Iya, Da." Laila mengangguk seraya meringis menahan malu.
"Kenapa pake selotip segala?" suara Tama bergetar.
"Hihihi, baterainya gembung, Da." Laila mencoba tertawa menyembunyikan rasa malunya.
Hati Tama terasa basah. Sekian lama istrinya ini tinggal di sini, ia tak tahu jika ponsel istrinya sudah tak berbentuk seperti ini. Tama merasa berdosa. Tama lalu mengantongi ponsel istrinya.
"Siapa tadi yang telphon?"
"Ayah, Da." Laila mencoba tersenyum.
"Ini telphon lagi Ayah, ya." Tama pun mengulurkan ponselnya pada Laila. Laila menerimanya dengan hati gembira. Lalu buru-buru ia menekan nomor ayahnya. Tak berapa lama Laila terlihat asyik bicara dengan ayah dan bundonyo. Alhamdulillah bundonya telah bisa bicara dengan sedikit lancar. Laila senang bisa mendengar suara bundonya kembali.
Setelah puas melepas rindu dengan ayah dan bundonya, laila pun menyerahkan ponsel Tama kembali.
"Makasih, ya, Da." Laila tersenyum dengan mata berbinar.
Tama mengangguk dan kembali beranjak ke ruang makan. Mak Eti dan Anita telah selesai menata sarapan di meja makan. Laila mengambil tempat di samping Tama.
Lalu seperti kebiasaannya beberapa hari terakhir, Laila mulai menyendokkan sarapan untuk Tama. Pagi ini menunya bihun goreng dengan tambahan bakso dan udang. Sejak Laila berada di rumah ini, Tama selalu sarapan dengan menu yang berbeda setiap harinya.
Tama merasa amat bahagia dengan sikap Laila yang selalu melayaninya dengan baik. Mereka mulai sarapan berdua. Tama menanyakan kabar Ayah dan Bundo Laila. Dengan gembira Laila bercerita jika bundonya telah kembali sehat. Tama ikut senang mendengarnya. Tama bisa melihat, Laila begitu mencintai dan menyayangi bundonya.
***
Setelah Tama berangkat kerja, Laila mulai memindahkan kembali baju-bajunya ke atas. Mba Susi dan Mak Eti yang sedang membersihkan karpet ruang shalat dengan vakum, menatap Laila dengan tatapan mata menggoda.
"Kenapa dipindahin lagi, Uni?" Mba Susi seperti biasa tak dapat menyembunyikan rasa keponya.
"Nanti kalau ada tamu yang datang, susah Mba. Laila nanti ga bisa ambil baju ke kamar tamu." Laila mencoba memberikan alasan yang masuk akal. Mba Susi tersenyum.
Sementara Mak Eti terlihat kembali asyik dengan pekerjaannya.
"Ya, suami istri itu memang harus selalu berdekatan, Uni. Uni jangan jauh-jauh dari Pak Tama. Orang seperti Pak Tama pasti banyak yang ngincar, Ni. Udah ganteng, banyak duit, baik hati lagi." Mba Susi mengerling ke arah Laila.
"Hush. Kalau ngomong ya yang baik-baik. Ngga boleh ngomong seperti itu." Mak Eti menyikut lengan Mba Susi. Mba Susi nyengir merasa malu.
"Eh, maaf, Uni." Mba Susi merasa bersalah. Laila tersenyum.
"Nggak apa-apa, Mba. Laila ke atas dulu ya, Mba Susi, Mak Eti." Laila pun mulai menaiki anak tangga dengan beberapa hanger baju di tangannya.
"Iya, Uni." Mba Susi mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sebelum zuhur, Laila telah selesai membereskan barang-barangnya yang di kamar tamu dan menyusunnya dengan rapi di lemari Tama. Laila merasa lelah juga. Ia duduk dan menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur. Laila memejamkan matanya. Dan lama-lama kesadarannya pun hilang. Laila tertidur dalam posisi masih duduk bersandar di tempat tidur.
Entah berapa lama ia tertidur, ketika tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh pipinya dengan lembut. Laila membuka matanya perlahan. Dan dalam jarak yang begitu dekat terlihat Tama sedang menatapnya dengan tatapan penuh kasih. Laila tersipu.
"Uda sudah pulang?" Laila merapikan bajunya yang tersingkap sampai ke paha. Tama melirik sekilas. Dan lagi-lagi Tama menahan napas menenangkan debaran di dadanya. Entah mengapa akhir-akhir ini dadanya sering sekali berdetak tak beraturan.
"Ini untukmu." Tama mengulurkan sebuah kantong pada Laila.
"Apa ini, da?" Laila menerimanya dengan ragu.
"Buka aja." Tama tak mengalihkan tatapannya pada Laila. Dengan dada berdebar, Laila menerima kantong yang berisi sebuah kotak persegi itu. Laila melihat ke arah Tama kembali.
"Ayo, buka." Tama mengangguk. Laila akhirnya membuka kotak di tangannya dengan tergesa. Mata Laila membulat melihat apa yang ada di tangannya.
"Ini untuk Laila, Da?" Laila menatap Tama ragu.
"Iya, kamu suka?" Tama menyentuh pipi Laila sekilas.
"Duh, makasih banget, Da. Tapi ini pasti mahal, Da." Laila menatap Tama dengan rasa tak enak hati.
"Hei, semua yang Uda punya juga milikmu. Untuk apalagi sekarang Uda mencari rezeki kalau tidak untuk membahagiakanmu." Tama mengacak rambut Laila.
"Sekali lagi makasih, Da." tiba-tiba Laila memeluk Tama tanpa aba-aba. Tama kembali menegang. Tubuhnya terasa kaku dan lidahnya mendadak kelu.
"Eh, iya." Tama tergagap. Laila melepaskan pelukannya.
"Uda sudah makan?" Tanya Laila.
"Belum." Tama menggeleng.
"Ayo, Laila siapkan makan untuk Uda." Laila meletakkan ponsel barunya di atas kasur, lalu bergegas turun dari kasur.
"Uda mau nunggu di sini atau ikut ke bawah?"
"Ikut kamu aja ke bawah."
"Ayo!" Laila menarik tangan Tama. Mereka turun ke bawah seraya bergandeng tangan. Mba Susi yang sedang membantu Mak Eti di dapur, menoleh begitu mendengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Mba Susi tersenyum seraya menyikut lengan Mak Eti. Mak Eti ikut menoleh. Dan perempuan paruh baya itu tersenyum bahagia melihat kedua orang yang telah dianggapnya sebagai anak sendiri itu terlihat semakin dekat dan semakin mesra.
"Uda, duduk di sini dulu, ya." Laila menarik kursi dan menyilakan Tama untuk duduk. Tama hanya bisa menurut. Lalu Laila pun mulai meletakkan masakan yang telah selesai dimasak Mba Susi dan Mak Eti di meja makan. Tama memperhatikan semua pekerjaan istrinya itu dengan hati bahagia.
Tak berapa lama, makanan pun selesai dihidangkan.
"Makan sekarang?" tanya Laila.
"Boleh." Tama mengangguk. Laila pun menyendokkan nasi ke piring Tama.
"Mau pake apa?"
"Ayam cabe hijau sama capcai." Laila mengambilkan yang diminta Tama. Kok serasa ngurus ponakan yang masih kecil ya? Laila tersenyum sendiri. Ternyata laki-laki itu manja juga ya. Laila baru tahu sekarang. Hehe.
***
Setelah Tama selesai shalat zuhur, Tama dan Laila naik ke lantai dua. Sesampai di kamar, Laila mengambil ponsel barunya dan membawanya ke ruang sebelah. Laila membuka buka fiturnya. Tama ikutan duduk di samping Laila seraya membawa laptopnya. Tama ingin memeriksa laporan keuangan tokonya yang telah dikirim oleh pegawainya tadi pagi.
Laila membuka youtube. Tak berapa lama terdengar suara khas ustad kondang Abdul Somad. Laila suka sekali mendengar ceramah-ceramah ustad yang berasal dari Riau itu. Ceramahnya segar dan tidak membosankan. Ternyata ustad yang selalu terlihat berpenampilan sederhana itu sedang membahas tentang kewajiban shalat berjamaah ke mesjid bagi kaum laki-laki.
"Laki-laki yang shalat di mesjid atau di musala adalah laki-laki saleh. Dan laki-laki yang shalat di rumah adalah laki-laki saleha." Laila terkikik mendengar ucapan Ustad Somad. Sementara Tama yang ikut menyimak terlihat tersenyum miring. Ya, Tama memang sangat jarang shalat berjamaah di mesjid atau musala.
"Uda laki-laki kan, Da?" tiba-tiba Laila bertanya seraya menoleh dengan tatapan mata menggoda pada Tama.
"Hei, kamu mau membuktikan kelelakianku?" Tama merasa terpancing mendengar ucapan Laila. Sekarang giliran Laila yang tersenyum miring.
"Ih, Uda itu ya pikirannya suka aneh. Nggak nyambung." Laila mencubit perut Tama dengan gemas. Tapi Tama malah memegang tangan Laila dan menatap perempuan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Laila menunduk.
"Saya lelaki normal, Laila. Jadi pikiran atau ucapan seperti tadi adalah bukti kenormalan saya." Tama menarik tangan Laila dan mendekatkan wajahnya pada Laila. Laila memejamkan matanya. Dan sebuah kecupan yang lembut menyentuh bibirnya.
"Makasih, ya." Tama mengacak rambut Laila dengan penuh rasa sayang. Laila hanya bisa mengangguk. Debaran di hatinya telah berkejaran tak tentu arah.
"Mulai magrib nanti Uda akan shalat di musala, ya." Tama menatap Laila seraya tersenyum lembut. Mata Laila membulat dan seketika berbinar.
"Beneran, Da?" Laila merasa dadanya penuh oleh rasa bahagia. Sebenarnya diam-diam beberapa hari belakangan ini, Laila selalu berdoa, agar Tuhan membukakan hati Tama untuk shalat berjamaah di mesjid atau musala perumahan.
"Ya, akan Uda usahakan untuk shalat lima waktu di mesjid atau musala." Janji Tama.
"Alhamdulillah." Laila mengucap syukur pada Alloh.
***
Laila senang akhirnya Tama memang membuktikan ucapannya pada Laila. Laki-laki itu mulai shalat berjamaah di waktu subuh, magrib dan isya di musala. Waktu zuhur dan ashar, Tama berada di toko atau di kantor. Menurut Tama, ia juga selalu pergi ke musala atau ke mesjid ketika sedang berada di luar rumah. Laila begitu bahagia mendengarnya.
Hari ini seperti biasa, sebelum magrib, Laila telah duduk di ruang tamu menunggu kepulangan Tama. Tak berapa lama terdengar suara mobil memasuki halaman. Laila bergegas membukakan pintu. Tak berapa lama terlihat Tama turun dari mobil. Tapi dahi Laila mengernyit. Tama tidak sendiri. Seseorang ikut turun dari mobil setelah Tama.
"Rani." Bibir Laila berdesis menyebut nama Rani. Seketika dada Laila beremuruh. Mau apa perempuan itu datang lagi ke rumah ini.
"Assalammualaikum, Uni." Rani mengucapkan salam dan menatap Laila dengan tatapan sombong.
"Waalaikumsalaam," jawab Laila singkat.
"Rani langsung ke kamar, ya, Da." Pamit Rani pada Tama. Tama hanya mengangguk. Hatinya sudah tak enak menerima tatapan tak bersahabat Laila.
Sementara Laila telah duluan menaiki anak tangga menuju kamar mereka. Tama mengikuti langkah kaki Laila dengan tergesa. Laila langsung menuju ruang nonton TV. Ia tak hendak mengacuhkan Tama. Dulu laki-laki itu mengatakan tidak mau semobil berdua dengan Rani karena bukan mahrom. Eh, sekarang malah enak-enaknya pulang berdua. Hati Laila merutuk kesal.
"Kamu kenapa sih, Sayang?" Tama mengejar Laila ke ruang teater.
"Nggak kenapa-kenapa." Laila menjawab ketus.
"Nggak kenapa-kenapa, kok udah nggak kayak kemarin lagi, salim ama suami pas suami pulang?" Tama duduk di samping Laila.
"Minta salam aja sama Rani." Laila menjauh dari Tama.
Tiba-tiba Tama terbahak.
"Oh, Rani. Jadi kamu cemburu sama Rani?" Tama menatap Laila yang sedang memainkan ponselnya. Laila mendongak. Cemburu?
"Siapa yang cemburu? Aku cuma nggak suka aja sama laki-laki yang nggak konsisten. Dulu bilangnya, nggak mau pergi dan pulang kerja hanya berdua aja dengan Rani. Nggak mahrom. Eh, nyatanya sekarang, kayaknya seneng banget tuh pulang berdua." Laila mencibir pada Tama. Tama malah senyum-senyum mendengar dan melihat sikap Laila yang terlihat makin menggemaskan kalau sedang marah.
"Sayang, maaf. Tadi Rani kan mau nebeng ama Uda Arif. Eh, mobil Uda Arif pakai acara bocor ban pula. Uda Arif minta tolong sama Uda untuk antarin Rani."
"Kenapa nggak disuruh naik grab?" Laila menatap Tama tajam.
"Uda juga sudah bilang gitu tadi. Tapi kata Rani, dia mau ambil barang-barangnya yang masih tertinggal di sini. Jadi Uda pikir, bagus jugalah. Biar nggak ada alasan lagi buat dia untuk datang ke sini." Tama memeluk pundak Laila dengan mesra.
"Besok pagi kamu ikut ya sama Uda. Biar Uda nggak berdua aja di mobil sama Rani." Tama merengkuh bahu Laila dan mengecup puncak kepala Laila dengan penuh kasih.
"Nggak. Nggak mau." Laila melepaskan pelukan Tama dan bangkit dari duduknya.
"Lha, nanti cemburu lagi kalau Uda cuma berdua aja sama Rani di mobil." Tama mengejar Laila ke kamar tidur.
"Suruh aja naik grab." Laila menjawab acuh. Tama tersenyum melihat gaya istrinya itu.
"Iya, deh. Kalau nyonya suruh begitu, Uda bisa apa. Uda cuma bisa nurut. Dari pada jatah Uda nggak keluar." Tama mengerling nakal pada Laila dan ikut duduk di atas kasur di samping Laila.
"Jatah apa?" tanya Laila heran.
"Kamu sudah nggak haid lagi kan? Sudah mulai shalat kan?" Tama menatap Laila penuh harap.
"Kalaupun sudah shalat, aku tetap mau bilang masih haid." Laila bangkit lagi dan masuk kamar mandi. Malas rasanya ia berada dekat-dekat dengan laki-laki itu. Hatinya masih kesal. Nanti kalau Rani melancarkan rayuan mautnya gimana?
Ya Tuhan, masih lamakah marah istrinya ini? Tama mengusap wajahnya dengan kasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel