(side a)
Pagi hari setelah sarapan, mak etek Eri tiba-tiba mengatakan kalau Rani tidak jadi pulang ke Padang. Entah apa yang dikatakan Rani kepada ayahnya sehingga ayahnya masih mengizinkan Rani tetap di Jakarta meski laki-laki itu telah amat tersinggung dengan sikap Tama.
"Tapi tiketnya sudah terlanjur Tama pesan dua, Mak." Tama yang merasa heran atas keputusan mamaknya yang berubah lagi pagi ini, menatap mamaknya sedikit kesal.
"Ya, batalkan saja. Berapalah harga tiket segitu buat orang seperti kamu, Tama." mamaknya bicara begitu santai. Tama menelan ludahnya yang terasa pahit. Sementara Laila hanya menyimak dari dapur pembicaraan Tama dan Mamaknya itu.
"Kamu tenang saja, Rani ga akan tinggal di sini. Dia akan kos sendiri nanti. Yang penting kamu kasih aja dia pekerjaan."
"Oh, baiklah, Mak." Tama sedikit lega akhirnya Rani mau mengalah.
Rani hanya menunduk diam di hadapan Tama dan ayahnya. Semalam Rani memohon seraya menangis pada ayahnya agar tetap mengizinkan ia bekerja di Jakarta. Tak mengapa ia tak tinggal di rumah Tama. Ia akan mencari kos sendiri nanti. Untuk sementara Rani setuju tinggal di rumah karyawan milik Tama.
Selain impiannya menikah dengan Tama, impian Rani juga tinggal dan hidup di Jakarta. Rani selalu melihat orang-orang kampungnya yang merantau ke Jakarta, pulang kampung dengan gaya yang keren. Rani juga ingin seperti itu.
"Pesawatnya pukul 11.00, Mak. Pukul 08.00 kita berangkat ya, Mak. Sekalian Uda antar kamu Rani. Kamu bisa mulai kerja besok dan bisa tinggal dirumah karyawan mulai hari ini."
"Ya, da." Rani mengangguk. Tama bangkit dan mencari Laila.
Ternyata Laila sedang duduk di taman belakang. Entah mengapa hatinya merasa tak nyaman mendengar Rani tak jadi pulang ke Padang. Tapi Laila tentu tak bisa berbuat apa-apa. Semua keputusan ada di tangan Tama.
"Laila, siap-siap, ya. Kita antar Mamak ke bandara pukul 08.00." Tama telah berdiri di samping Laila yang terlihat asyik melihat bunga-bunga bougenvil yang sedang bermekaran di taman belakang.
"Uda ajalah, Da. Laila ga enak sama Mamak. Mamak kelihatannya masih belum bisa menerima Laila." Laila menolak ajakan Tama dengan lesu.
Tapi tiba-tiba Tama menarik tangan Laila. Meski merasa heran, tapi Laila berdiri juga dan mengikuti langkah kaki Tama menaiki anak tangga. Sesampainya di kamar, Tama mengambil kantong dari butiq kemarin yang masih belum dibuka Laila. Karena Laila merasa bingung mau di mana meletakkan baju-baju yang lumayan banyak itu.
Ada dua buah gamis stelan dengan khimarnya di dalam kantong tersebut. Tama mengambil salah satunya, gamis berwarna salam. Laila hanya memperhatikan tingkah Tama dengan diam.
"Pake ini, ya." Tama menyerahkan gamis yang masih berbungkus plastik tebal itu pada Laila. Kening Laila mengernyit. Bukankah tadi ia telah menolak untuk ikut mengantar ke bandara?
"Dari bandara kita langsung ajak Rani ke kantor, trus kita antar dia ke rumah karyawan. Ga mungkin saya hanya berdua aja dengan dia di mobil. Kamu temani Uda, ya?" suara Tama terdengar lembut. Laila yang tadi udah menolak, tiba-tiba mengangguk. Melihat sikap Tama, Laila tak kuasa untuk menolak. Diterimanya gamis itu dan bersiap masuk ke kamar mandi.
"Kamu ganti di sini, aja. Uda nunggu di sebelah." Tama pun beranjak ke ruang sebelah. Laila kembali mengangguk. Entahlah, lidah Laila serasa kelu mau bicara. Sikap Tama yang sedetik hangat dan sedetik dingin, membuat Laila bingung harus menanggapi seperti apa.
Setelah Tama tak terlihat, Laila pun cepat-cepat mengganti pakaiannya. Gamis baru tanpa dicuci dulu. Sayang juga rasanya mencuci baju mahal ini sebelum memakainya. Dan Laila memang tipe perempuan yang sedikit cuek untuk hal-hal semacam itu. Kecuali pakaian dalam, Laila jarang mencuci pakaian baru sebelum dipakai.
Gamis berwarna salam itu melekat manis di tubuh semampai Laila. Kulit putihnya terlihat bersinar dalam balutan warna soft itu. Ini untuk pertama kali ia memakai gamis dengan harga semahal ini. Ternyata memang beda rasanya memakai baju mahal seperti ini, Laila tersenyum sendiri. Khimar senada menambah anggun penampilannya. Laila berputar memperhatikan bagian belakang gamisnya.
"Cantik." tiba-tiba Tama telah berada di pintu penghubung kedua ruangan kamar. Laila tersentak kaget dan meluruskan tubuhnya kembali ke arah cermin. Tama tak melepaskan tatapan matanya dari Laila. Gamis dan khimar itu benar-benar pas di tubuh Laila. Perempuan itu terlihat begitu anggun dan mempesona. Tama berdecak kagum dalam hati.
"Ga ada bedak, ga ada lipstik." Laila bergumam. Tama mendekat.
"Maaf. Nanti kita beli sekalian ya setelah mengantar Rani," Tama merasa bersalah pada Laila karena telah memberikan kosmetik Laila juga ke Rani.
"Tapi tetap cantik kok, malah cantik begini. Natural." Tama berkata dengan tulus. Tak ayal Laila merona. Hari ini mungkin hari baik hatinya laki-laki ini. Jadi Laila harus menikmatinya. Laila tersenyum dalam hati. Senyum di hati Laila terpancar juga ke wajahnya. Tama suka melihat wajah Laila seperti itu. Tak ingin lama-lama terpesona, Tama pun mengajak Laila untuk segera berangkat.
"Ayo, kita berangkat sekarang," ajak Tama.
"La, Da." Laila mengikuti langkah Tama ke luar dari kamar dan menuruni anak tangga. Rani dan mak etek Eri memandang Tama dan Laila yang melangkah turun. Tak bisa juga Rani menyembunyikan rasa kagumnya melihat Laila. Cantik. Rani berdecak dalam hati. Tapi ia pun tak kalah cantik dari Laila, bisik hatinya dengan senyum percaya diri.
"Berangkat sekarang, Mak?"
"Ya, Mamak udah nunggu dari tadi." Mak etek Eri berdiri diikuti oleh Rani.
"Barang-barangmu udah dibawa sekalian Rani?" tanya Tama pada Rani.
"Udah sebagian, Da. Kapan-kapan kan Rani main ke sini lagi. nanti aja Rani bawa sekalian." Laila mengangkat wajahnya dan menatap Rani tajam. Tapi Rani tak mengacuhkan tatapan Laila.
"Ayo, kita berangkat," ajak Tama. Pak Udin buru-buru datang untuk membawakan koper mak etek Eri dan koper Rani. Mak Eti dan mbak Susi pun datang menyalami mak etek Eri dan Rani.
"Laila ikut ngantar ya, Mak." pamit Laila
"Iya, pergilah." mak Eti tersenyum penuh kasih pada Laila. Entah mengapa, mak Eti begitu menyayangi Laila. Mungkin karena sikap Laila yang juga baik, santun, tak bersikap seperti majikan pada pembantunya.
Lalu setelah berpamitan, mereka pun segera masuk ke mobil. Laila mempersilakan mak etek Eri untuk duduk di depan. Dan Laila duduk di belakang dengan Rani. Mobil pun ke luar dari halaman rumah, melewati jalan perumahan dan memasuki jalan Jakarta yang seperti biasa, ramai dan padat.
Mereka tak banyak bicara di sepanjang perjalanan. Pertanyaan dan ucapan Tama hanya dijawab satu dua oleh mamaknya itu. Hati sang mamak jelas masih kesal pada Tama. Ternyata zaman telah banyak berubah. Kalau dahulu di masyarakat Minangkabau, ucapan dan perintah mamak adalah mutlak tak bisa dibantah. Tapi sekarang, kemenakan ternyata telah berkuasa atas dirinya sendiri.
Laila dan Rani yang berada di belakang juga tak berniat untuk berkomunikasi. Rani terlihat asyik dengan ponselnya. Sesekali terlihat gadis itu selfi dengan senyum manis yang menggoda di depan kamera. Laila geleng-geleng sendiri melihat tingkah Rani.
Hampir satu setengah jam mereka di jalan, akhirnya mereka sampai di bandara Soekarno Hatta. Setelah memarkirkan mobil, mereka pun bergegas ke luar dan menuju pintu keberangkatan domestik. Mereka mengantarkan mak etek Eri sampai di batas pengantar. Tama menyalami mamaknya seraya memohon maaf jika ada kata-katanya yang telah menyinggung perasaan mamaknya. Laki-laki separuh baya itu hanya berdehem tak jelas.
Tak lupa Tama mengangsurkan amplop lumayan tebal sebagai bekal untuk mamaknya pulang kampung. Mamaknya menerima pemberian Tama tanpa bisa menyembunyikan binar di matanya.
Sebenarnya Tama masih memiliki dua orang saudara laki-laki lagi di Jakarta. Tapi entah mengapa, setiap saudara yang datang, selalu hanya ke rumah Tama. Orang tua Tama pun jika datang ke Jakarta pasti akan menghabiskan banyak waktu di rumah Tama.
Rani memeluk ayahnya dengan mata basah. hatinya sedih harus berpisah dengan ayahnya, apalagi maksud kedatangan mereka ke Jakarta tak membuahkan hasil. Tama seperti tak kan pernah tersentuh.
"Baik-baiklah di sini. Jaga diri baik-baik," pesan ayahnya pada Rani.
"Ya, Ayah." Rani mengangguk dan melepaskan pelukan ayahnya.
Setelah mak etek Eri masuk ke dalam untuk cek in, Tama, Laila dan Rani pun menuju parkiran. Mereka masuk ke dalam mobil tanpa bicara apa-apa. Tapi begitu telah duduk di belakang kemudi, Tama menoleh ke arah Laila.
"Kamu udah lapar? Mau cari makan dulu?"
"Belum, Da. Baru juga pukul segini." Laila menunjukkan jam di pergelangan tangannya pada Tama. Tama tersenyum dan mulai menjalankan mobilnya ke luar dari parkiran.
"Nanti kalau lapar, kasih tahu, ya. Tadi kamu sarapannya dikit." Tama menyentuh puncak kepala Laila dan mengusapnya lembut. Laila terdiam menahan nafas. Laila sadar, pasti Tama berakting lagi di depan Rani. Ternyata ia dijadikan tameng agar laki-laki itu tak diganggu Rani. Uh, Laila merutuk dalam hati. Tapi tiba-tiba Laila sadar kembali, dosa tahu mengatai suami meski dalam hati. Laila pun beristighfar berulang kali.
"Kamu kenapa, sih? Wajah kamu jadi lucu, sedetik senyum, sedetik merungut kesal." Tama kembali menoleh pada Laila.
"Haa?" Laila merasa heran. Kenapa laki-laki di samping ini bisa mengetahui ekspresi wajahnya ya, padahal dia lagi fokus mengemudi.
"Ga, ga kenapa-napa."
"Masih mikirin kosmetiknya yang tertinggal di kampung? Nanti kita ke mall deh, kamu beli kosmetik apapun yang kamu mau."
"Ga kok, kan kata Uda, Laila udah cantik meskipun tanpa kosmetik sekalipun." Laila menoleh dan menghadiahi Tama senyum manisnya. Aduh kalau tidak sedang di jalan, ingin juga rasanya menyentuh bibir indah itu, bisik hati Tama. Tapi, apa iya dia berani? Sekarang giliran Tama yang geleng-geleng kepala.
"Kenapa, Da? Jadi Laila ga cantik gitu?" Laila menatap Tama dengan bola mata membesar melihat Tama menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Eh, ga. Bukan gitu. Kamu cantik. Kan udah dibilang dari tadi pagi." Tama tergagap.
"Da, masih jauh, ya? Rani lapar, tadi kan Rani ga sarapan." tiba-tiba Rani yang sebal melihat adegan dan pembicaran ga penting dua orang di depannya ini, memutuskan aksi lempar kata Laila dan Tama. Laila dan Tama bertatapan. Tiba-tiba mereka tersenyum. Mereka baru sadar ada Rani di belakang mereka.
"Oke, kalau gitu kita cari makan dulu ya. Kamu pengen makan apa Laila?" Tama tiba-tiba bertanya pada Laila. Laila kaget. Yang lapar kan si Rani, kenapa dia yang ditanya.
"Yang lapar dan pengen makan kan Rani, Da. Kenapa Laila yang ditanya?" Rani langsung protes mendengar pertanyaan Tama pada Laila. Rasanya ia udah benar-benar keki pada Tama dan Laila ini.
"Lho, yang istri Uda kan Laila, ya wajar dong Uda minta pendapat sama istri Uda." kata-kata Tama terdengar santai, tapi Rani merasa diejek. Uh, Rani mendengus kesal. Tak ingatkah laki-laki ini, betapa akrabnya mereka dulu ketika Rani masih duduk di bangku sekolah dasar, dan Tama duduk di bangku SMP. Lalu ketika Rani telah beranjak menjadi gadis remaja yang duduk di bangku SMP dan Tama telah menjadi mahasiwa. Mereka begitu dekat. Tama begitu menyayanginya.
"Ya, udah, Rani pengen makan apa?" Laila bertanya dan menoleh pada Rani dan tersenyum ramah. Sungguh Laila tak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga.
"Ga usah, ga jadi lapar," jawab Rani jutek. Laila tersenyum mendengar ucapan Rani.
"Cari restoran yang banyak pilihan menu aja, Da." Laila memberi saran pada Tama.
"Oke." tama mengangguk paham. Tak berapa lama, mobil Tama pun memasuki sebuah restoran mewah. Tama memarkirkan mobilnya dan mengajak Laila dan Rani turun. Wajah Rani masih terlihat ditekuk. Laila dan Tama kembali berpandangan. Lalu sama-sama tersenyum.
Pengunjung masih belum terlalu ramai, mereka mencari tempat duduk yang mengarah ke taman belakang. Pelayan pun datang membawakan menu.
"Kamu mau makan apa?" tanya Tama pada Laila.
"Laila kentang goreng sama jus jeruk aja, Da." pesan Laila.
"Sekalian makan siang." Tama pun menyerahkan daftar menu pada Laila. Sementara yang satunya lagi sudah dipegang Rani.
"Tambah ayam krispy aja satu, Da. Ga usah pake nasi." Laila menambah pesanannya.
"Selera kamu sederhana banget, ya." ucap Tama lalu memilih menu untuk dirinya sendiri.
Tama memilih beberapa menu yang tak ditemukannya di restoran Padang. Sesekali ia juga ingin ganti selera masakan.
"Aku samain dengan Uda, ya." tiba-tiba Rani angkat bicara. Tama dan Laila mendongak menatap Rani.
"Ya, Mba, kalau gitu porsinya masing-masing ditambahin aja, masing-masing satu lagi ya." pesan Tama pada pelayan.
"Baik, Pak. Ditunggu, ya Pak." pelayan itu pun membawa daftar menu dan segera berlalu.
Ponsel Tama tiba-tiba berbunyi. Tama mengangkat tangannya memberi kode permisi pada Laila untuk mengangkat telphon dan menuju taman belakang. Tama terlihat cukup serius dan lumayan lama menerima telphon. Laila dan Rani hanya diam tanpa terlibat pembicaraan apa-apa.
Tak berapa lama pelayan datang mengantarkan minuman mereka. Tama pun kembali datang setelah menutup telphonnya dan kembali bergabung dengan Laila dan Rani. Mereka pun masing-masing menyeruput jus di depan mereka. Sepuluh menit kemudian, dua orang pelayan pun datang mengantarkan pesanan makanan mereka.
Meja menjadi penuh oleh pesanan Tama.
"Banyak amat, Da." Laia menatap Tama heran.
"Buat kamu juga sekalian," jawab Tama santai.
"Nanti ga habis, Da." Laila merasa sayang aja kalau ada makanan yang terbuang mubazir.
"Tenang aja, kita habiskan pelan-pelan." Tama menatap Laila dengan senyum manisnya. Laila tertegun. Akhir-akhir ini hatinya selalu merekah jika menerima sikap manis Tama.
Lalu mereka pun mulai makan tanpa banyak bicara. Tama kembali bersikap sedikit over menurut Laila. Laki-laki itu selalu saja menambahkan berbagai makanan ke piring Laila dan menyuruh Laila untuk mencicipinya. Tuhan, boleh kah aku tersanjung? Laila berbisik dalam hati.
Sementara Rani hanya menatap adegan di hadapannya dengan wajah yang makin cemberut. Tama memang ingin membuat Rani menyadari bahwa tak akan ada peluang bagi Rani untuk mendapatkan Tama. Tapi meskipun niat Tama awalnya cuma sebatas memanas-manaskan Rani, tak bisa Tama pungkiri, ada yang terasa lain di dadanya setiap kali memperlakukan Laila dengan mesra dan romantis. Malah Tama merasa telah menjadi kebutuhannya sekarang menggoda dan memperhatikan Laila.
***
Setelah makan siang, mereka pun mencari mesjid untuk menunggu waktu sholat zuhur. Rasanya Tama sudah tak sabar ingin mengantarkan Rani ke kantor milik bersama Tama dan kedua orang kakaknya itu. Tama tadi telah bicara dengan abangnya agar bisa menerima Rani di kantor mereka.
Tama sudah tak sabar ingin berduaan dengan Laila. Hari ini, Tama ingin menghabiskan waktu berdua dengan Laila. Tama ingin mengajak Laila ke monas dan mesjid Istiqlal seperti keinginan istrinya itu. Dan tentu, yang terpenting, pergi ke mall dulu untuk membeli kosmetik istrinya itu. Entah mengapa Tama ingin menyenangkan hati Laila. Hati Tama begitu senang jika menyaksikan sinar bahagia di wajah istrinya itu.
Tama telah menghubungi beberapa orang pegawai kepercayaan di tokonya, mengatakan bahwa hari ini ia tidak ke toko lagi. Tama mengatakan pada karyawannya dengan bangga bahwa hari ini ia akan jalan berdua dengan istrinya keliling Jakarta.
Tuhan, beri aku kemudahan untuk bisa memaafkan kesalahan yang pernah diperbuat Laila dengan tulus dan sepenuh hati, Tama memohon pada Alloh di akhir sujudnya. Bukankah Tuhan yang membolak-balikkan hati manusia?
*****
(side b)
Setelah selesai menunaikan sholat zuhur, Tama pun membawa Laila dan Rani ke kantornya. Mereka sampai di sebuah gedung perkantoran di Jakarta Pusat. Kantor Tama terletak di lantai lima. Mereka berjalan beriringan memasuki gedung. Memasuki lift dan menuju lantai lima.
Kantor Tama dan kedua kakaknya tidak terlalu besar. mereka hanya mengambil sebagian dari gedung di lantai lima. Pegawai mereka cuma berjumlah dua puluh lima orang. Perusahaan ini bergerak di bidang konveksi dan tekstil, dan pengiriman pakaian-pakaian untuk eksport ke luar negeri.
Sesampai di dalam kantornya, para karyawan langsung menyambut kedatangan Tama. Tama memperkenalkan Laila, istrinya, dan Rani anak mamaknya.
Setelah berbasa basi sejenak, Tama pun mengajak Laila dan Rani memasuki ruangan kakaknya.
"Wah, pengantin baru. Segitu sibuknya ya, sampai gak sempat ke kantor dan gak sempat ajak istrimu ke rumah Uda." Uda Arif langsung berdiri dari tempat duduknya menyambut kedatangan Tama dan Laila.
"Ah, Uda kayak gak pernah jadi pengantin baru aja." Tama tertawa dan mengajak Laila serta Rani untuk duduk di kursi tamu di ruangan kakaknya itu. Laila hanya tersipu malu mendengar candaan kakak dan adik di depannya ini.
"Bagaimana kabarnya, Laila? Betah di Jakarta?" Uda Arif ikut duduk di antara mereka.
"Alhamdulillah betah, Da." Laila tersenyum.
"Gimana gak betah, tinggal ama suami ganteng begini, baik hati lagi." Tama berkata pongah pada udanya seraya menepuk dadanya. Mata Laila membulat mendengar ucapan laki-laki di sampingnya ini.
Uda Arif tergelak.
"Kalau tak ditinggal pergi lagi nanti, berarti benaran betah tinggal sama kamu." Uda Arif bermaksud mencandai Tama, tapi kata-katanya tak ayal membuat Laila tersentak. Laila menunduk dan meremas jemari tangannya. Ternyata tak gampang bagi orang untuk melupakan kesalahan yang pernah kita lakukan.
"Uda, becanda jangan kelewatan." Tama mendelik pada udanya melihat perubahan sikap Laila. Lalu Tama menyentuh jemari tangan Laila dan menggenggamnya dengan erat memberi kekuatan.
"Maaf, Uda gak bermaksud apa-apa." uda Arif menyadari ia telah keceplosan bicara. Selama ini mereka memang selalu begitu kalau bercanda. Saling ejek dan menggoda satu sama lain.
"Oh iya Rani, apa kabar?" uda Arif menoleh pada Rani yang tersenyum puas mendengar ucapan laki-laki gagah itu pada Tama dan Laila.
"Alhamdulillah baik, Da."
"Benaran mau kerja di Jakarta?"
"Iya, Da. Jika Uda berkenan menerima Rani di sini."
"Ya, kalau Tama bilang bisa, berarti ya bisalah kamu kerja di sini. Saham adik gantengku ini yang paling banyak di sini." ucap Uda Arif seraya menunjuk Tama dengan dagunya. Uda Arif mengeluarkan ponselnya dan menelphon uda Zakaria.
Tak berapa lama, uda Zakaria masuk dan bergabung dengan mereka. Lalu mereka menayakan apa Rani mau mulai kerja hari ini atau besok. Rani dengan semangat mengatakan ingin langsung mulai kerja. Tama lega, itu artinya ia tak perlu mengantar anak mamaknya itu ke rumah tinggal para karyawan.
"Ajaklah Laila ke rumah. Biar kenal dengan Uni Via dan ponakan-ponakan." uda Arif berpesan sebelum Tama dan Laila pamit.
"Iya, nih pengantin baru. Parah banget. Kayak sudah tak punya saudara aja dia di Jakarta." uda Zakaria menimpali.
"Orang cantik gak boleh sering-sering ke luar rumah. Nanti cantiknya hilang, diliatin ama orang-orang." Tama mengedipkan matanya menggoda kedua abangnya.
"Jangan mau dikurung terus di rumah Laila." uda Zakaria berkata pada Laila. Laila hanya tersenyum malu.
"Buru-buru amat adek kita yang satu ini, udah gak sabar ya mau ngurung Laila di kamar?" uda Arif berbisik di telinga Tama. Tapi Laila masih bisa mendengar ucapan laki-laki itu. Kembali wajah Laila merona. Tama tergelak dan memukul bahu abangnya itu.
"Sudah, ah. Kami pamit. Titip Rani ya. Ajarin dia pergi dan pulang ke rumah karyawan dengan grab." Tama berpesan sebelum meninggalkan ruangan uda Arif.
"Tenang, Rani aman bersama kami." uda Zakaria menjawab dengan senyuman. Laila pun pamit pada uda Arif dan uda Zakaria. Terakhir Laila menyalami Rani.
"Pamit ya, Ran. Semoga kamu betah ya kerja di sini." Laila mengulurkan tangannya pada Rani. Rani menerimanya dengan malas.
Setelah itu Tama dan Laila menuju ke parkiran. Sebelumnya Tama meminta sekuriti untuk mengambil koper Rani di mobil dan menyuruh sekuriti meletakkannya di ruangan abangnya Arif.
Begitu duduk di belakang stir, Tama menarik napas lega. Rasanya bebannya karena kehadiran Rani di rumahnya sedikit berkurang. Jika nanti bertemu di kantor, tidak akan terlalu repot pikir Tama. Apalagi Tama tidak seperti kedua abangnya yang rutin setiap hari ke kantor. Tama hanya memegang audit keuangan perusahaan. Jadi Tama bisa mengerjakannya di manapun ia berada.
"Jadi mau kemana kita sekarang?" Tama menoleh pada Laila sebelum ke luar dari parkiran perkantoran.
"Terserah Uda aja. Laila kan ga tahu Jakarta."
"Wah, berarti bisa dijual nih di Jakarta."
"Ya, jual aja kalau memang laku." Suara Laila terdengar ketus.
"Ah, ga ah. Ntar aku merana tinggal sendiri." Tama menatap Laila dengan mata menggoda.
"Sudah ga ada Rani, ga usah akting lagi." wajah Laila masih keliatan jutek. Tama terbahak.
"Memang gombalin istri harus nunggu ada Rani dulu, ya?"
"Jadi tadi itu ngegombal?" Laila menatap Tama tajam. Tama menggaruk kepalanya yang tak gatal. Duh, salah bicara lagi dia.
"Ga gombal kok, serius." Tama mengangkat dua jarinya dan menatap Laila dengan mimik wajah serius. Sekarang giliran Laila yang kikuk ditatap seperti itu.
"Ayo, ah, Da. Kapan mau jalannya nih." Laila pun memasang sabuk pengamannya.
"Oke kita ke mall dulu ya. Nyari kosmetik kamu. Tapi janji, ya, dandannya cuma buat aku," ucap Tama seraya menjalankan mobil. Mata Laila mengerjap. Ya, Tuhan, tolong jaga dada ini, jangan terlalu riuh berdentang, Laila berbisik dalam hati.
Kenapa laki-laki ini semakin manis ya? Laila merasa heran juga. Apa dia telah membuka hatinya untuk Laila? Semula Laila berpikir, sikap manis dan mesranya karena ada Rani. Tapi setelah Rani tak ada, sikapnya masih tetap manis. Tuhan, boleh kah aku meminta agar laki-laki ini selalu bersikap seperti ini setiap hari? Laila berdoa dalam hati. Dan senyum indah tak mau ungkai dari bibirnya.
Sepanjang perjalanan lagu Anji menemani mereka. Ketika lagu Bidadari Tak Bersayap mengalun indah, Tama ikut bernyanyi dengan penuh perasaan. Laila senyum-senyum sendiri mendengar dan melihat gaya Tama.
Kamu yang aku butuhkan untuk jadi teman hidupku
Bidadari tak bersayap datang padaku
Dikirim Tuhan dalam wujud wajah kamu
Dikirim Tuhan dalam wujud diri kamu
Sungguh tenang kurasa saat bersamamu
Sederhana namun indah kau mencintaiku
Sederhana namun indah kau mencintaiku
Sampai habis umurku, sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku
Kaulah satu di hati, kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku
Diam-diam aku memandangi wajahnya
Tuhan ku sayang sekali wanita ini
Tuhan ku sayang sekali wanita ini
Sampai habis nyawaku, sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku
Kaulah satu di hati, kau yang teristimewa
Maukah dirimu jadi teman hidupku
Katakan "yes I do," jadi teman hidupku
dudududududu dudududu dududu
Hampir satu jam, akhirnya mereka memasuki parkiran sebuah mall yang masih terletak di Jakarta Pusat.
Tama bergegas membukakan pintu untuk Laila sebelum Laila turun. Beriringan mereka memasuki mall yang lumayan ramai itu.
Tama lalu membawa Laila ke counter kosmetik yang terdapat di lantai dua.
"Silakan kamu pilih mana yang kamu butuhkan." Tama mempersilakan Laila untuk memilih. Laila yang sudah dipandu oleh seorang pelayan toko, hanya mengambil pembersih wajah, alas bedak, bedak padat, dan sebuah lipstik berwarna bibir. Itupun produk dalam negeri sendiri. Maklumlah, biasanya dia kan hanya seorang mahasiswa, yang uang belanjanya pun dijatah, sehingga Laila harus pintar-pintar memilih produk yang terjangkau oleh kantongnya.
Laila pun menuju kasir diikuti oleh Tama.
"Cuma segini?" tanya Tama heran.
"Iya, memang Uda mau juga?" tanya Laila dengan senyum menggoda.
"Ush, memangnya aku si Mimi." Tama mendelik pada Laila. Laila tertawa melihat ekspresi wajah tama. Tama tertegun melihat tawa lepas Laila. Rasanya baru kali ini Tama melihat Laila tertawa seperti itu. Dunia terlihat begitu indah menyaksikan tawa wanita di depannya ini.
"Bentar ya." tiba-tiba Tama beranjak. Laki-laki itu menuju rak parfum. Beberapa saat terlihat Tama meimilih-milih aneka parfum di depannya. Setelah mendapatkan yang rasanya cocok, Tama pun membawanya ke kasir. Lalu kasir pun mulai menghitung belanjaan mereka.
Kening Laila mengernyit, melihat harga parfum yang tertera di layar komputer kasir. Mahal amat, pikir Laila.
"Buat siapa sih, Da. Beli parfum sampe tiga dengan harga semahal itu?" Laila tak dapat juga menahan diri untuk tidak bertanya.
"Ya, buat kamu lah. Pake kalau lagi di rumah." bisik Tama di telinga Laila. Wajah Laila merona mendengar kata-kata Tama. Laki-laki ini ... aduh Laila kehilangan kata-kata mengahadapi laki-laki tampan ini.
Setelah menyelesaikan transaksi, mereka pun ke luar dari counter kosmetik tersebut. Tama membawa Laila menuju toko tas yang tak begitu jauh dari counter kosmetik. Laila kembali menatap Tama dengan heran.
"Kita nyari tas dulu ya. Tas kamu kayak tas mahasiwa," ucap Tama menjawab kebingungan Laila.
Haa? Mau membelikan tas aja kok pake acara menghina dulu ya? Uh, bibir Laila mengerucut karena kesal mendengar ucapan Tama.
"Kenapa itu bibir? Mau dicium?" Tama mendekatkan wajahnya pada Laila. Laila reflek mundur dengan mata membulat. Ya Tuhan, lama-lama memang bisa jantungan dia karena sikap laki-laki ini.
"Kalau ga mau dicium, cepat kamu pilih tas yang paling cantik." Tama berbisik di telinga Laila. Pelayan di toko itu senyum-senyum melihat tingkah Tama dan Laila.
Laila buru-buru menjauh dari Tama dengan wajah takut. Tama terkekeh melihat ekspresi wajah Laila.
Beberapa buah tas telah dilihat dan dicobain Laila. Tapi begitu melihat harganya, buru-buru Laila meletakkannya kembali. Sungguh tak tega rasanya membelanjakan uang sebanyak itu untuk sebuah tas.
"Ga ada yang cocok?" tiba-tiba Tama telah berada di samping Laila.
"Ada sih, Da. Tapi, apa gak ada toko tas yang harganya lebih murah dikit, Da?" Laila berbisik pada Tama, karena pelayan toko juga mengikuti mereka.
Ya, Tuhan. Sekarang giliran Tama yang merasa heran. Kok ada ya perempuan seperti istrinya ini. Tinggal pilih juga, kok mikirnya dalem amat. Tama geleng-geleng kepala.
"Ini suka, ga?" Tama mengambil sebuah tas yang tadi dipegang Laila dan telah dicobainnya.
Laila mengangguk ragu. Tas berbahan kulit berwarna hitam dengan tali yang cantik. Terlihat begitu mewah.
"Satu aja, Da." Laila protes melihat Tama memesan kedua buah tas itu pada pelayan. Tiba-tiba Tama mencium pipi Laila sekilas. Deg, jantung Laila serasa berhenti berdetak. Ya Tuhan, badan Lalia mendadak terasa panas dingin. Kaki dan tangannya gemetar.
Tama pun menyerahkan kedua tas itu kepada pelayan.
"Ambilkan yang masih baru, ya." pesan Tama.
"Baik, Pak." pelayan perempuan itu mengangguk dan tersenyum ramah.
"Kalau protes lagi, aku cium lagi, ya." ancam Tama sadis. Laila bergidik. Tama tersenyum melihat raut wajah Laila yang menjadi merah kuning hijau. Lucu sekali perempuan ini, bisik hati Tama.
Tak berapa lama pelayan memberikan struk pembelian pada Tama. Tama menuju kasir dan membayar kedua tas itu. Setelah selesai, pelayan memberikan dua kantong besar berisi tas pilihan Tama tadi pada Laila. Laila menerimanya dengan mata berbinar. Tak pernah membayangkan akan punya tas secantik itu.
"Da, makasih ya." Laila menatap Tama dengan tatapan penuh kebahagiaan. Tama mengangguk dan hatinya ikut bahagia melihat wajah Laila diliputi kebahagiaan seperti itu.
Mereka pun berjalan beriringan ke luar mall menuju parkiran.
Sampai di mobil, Laila membuka kantong tas di pangkuannya. Dikeluarkannya tas yang berwarna broken white. Dengan penuh semangat perempuan cantik itu mengeluarkan tas itu dari bungkusnya. Lalu dengan sigap, dipindahkannya semua isi tasnya ke dalam tas baru itu.
Tama memperhatikan tingkah Laila dengan seksama.
"Laila langsung pake, ya, Da." Laila mendekap tas barunya. Matanya berbinar indah. Tama tersenyum melihat tingkah istrinya ini. Benar-benar seperti anak kecil, tadi gayanya benar-benar menolak. Sekarang langsung memakainya dengan suka cita. Ternyata tak sulit untuk menyenangkan dan membahagiakan hati seorang wanita. Spontan Tama mengusap puncak kepala Laila yang tertutup hijab.
"Kamu, suka?" tanya Tama sebelum menjalankan mobil ke luar dari parkiran mall.
"Hehe, iya, Da. Tasnya cantik."
"Syukurlah kalau kamu suka. Nanti kalau mau apa-apa jangan dipendam. Kamu tahu gak, sejak tamat kuliah, aku sudah merintis usaha sendiri. Dan ketika aku telah punya uang yang cukup, aku gak punya orang yang bisa ikut menikmati hasil usaha aku tersebut. Kedua orang tua aku selalu menolak jika aku kirimkan uang, kata mereka, uang hasil sawah dan kebun di kampung tak pernah habis untuk mereka makan berdua. Semua saudara telah punya usaha sendiri. Semua hidup berkecukupan. Karena itulah aku tak pernah pelit untuk berbagi rezeki pada orang lain." Laila menoleh pada Tama. Laki-laki yang baik, bisik hati Laila. Laila tersenyum, dan tiba-tiba Tama meraih tangan Laila menggenggamnya erat.
"Dan sekarang aku bahagia, aku telah punya seseorang yang bisa menikmati harta dan rezeki yang aku punya. Jadi jangan pernah nolak apapun yang aku berikan untukmu. Aku bahagia mencukupkan semua kebutuhanmu, aku bahagia membelikan semua keperluanmu." Tama lalu mencium tangan Laila.
Laila serasa kehabisan nafas. Kata-kata dan sikap Tama begitu hangat dan menyentuh hatinya. Tuhan, maafkan aku yang telah bersalah pernah mengecewakan laki-laki ini. Maafkan aku telah pernah mencabik-cabik harga diri laki-laki ini. Mata Laila terasa panas. Pandangannya menjadi kabur. Dan bening itu mengalir satu demi satu membasahi pipinya. Laila terisak.
Laki-laki di sampingnya ini tak pantas menerima sikap jahatnya. laki-laki ini terlalu baik. Laila merasakan dadanya menjadi sakit mengingat apa yang pernah dilakukannya pada suaminya ini.
"Hei, kamu kenapa?" Tama kaget mendapati Laila yang telah terisak. Laila menoleh pada Tama dengan wajah basah penuh air mata. Laila mengambil tangan Tama dan menciumnya dengan takzim.
"Maafkan Laila, Da. Maafkan Laila." suara Laila terdengar parau di antara isak tangisnya. Tama terkesima.
"Uda sudah memaafkanmu." Tama mengelus puncak kepala Laila. Laila mengangkat wajahnya dan tersenyum bahagia mendengar ucapan Tama.
"Boleh Uda memelukmu?" Tama menatap Laila penuh harap. Laila mengangguk. Dengan suka cita, Tama merengkuh tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya. Laila membenamkan wajahnya di dada Tama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel