Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 17 November 2020

Masih Adakah Surga Untukku #6

Cerita bersambung

(side a)
Sampai di lantai dua, Laila menghentikan langkah Tama. Dari dalam kantong baju gamisnya Laila mengambil dompet dan menegeluarkan ATM yang beberapa waktu lalu pernah diberikan Tama.

"Da, ini masih ada isinya ga?" tanya Laila dengan wajah lugu. Tama terbelalak mendengar pertanyaan perempuan di depannya ini. Sebenarnya kepala istrinya ini ada isinya ga ya? Tama benar-benar geram dibuatnya.

"Kamu mau beli mobil Brio pun dengan ATM itu masih akan bersisa duitnya. Kamu pikir saya pengusaha miskin? Ngasih ATM cuma buat gaya-gayaan?"

Kali ini Laila yang terbelalak mendengar ucapan Tama. Sampai tangan Laila gemetar memegang benda pipih itu. Waduh, kok banyak banget ya isinya. Rani pun tak kalah kagetnya. Enak betul Laila, dikasih ATM yang isinya begitu banyak, Rani merutuk dalam hati.

"Maaf, Da. Bukan maksud Laila begitu." Laila nyengir dengan rasa bersalah, bingung mau bilang apa. Tama melanjutkan langkahnya kembali. Wajahnya masih terlihat kesal.

"Da, Laila boleh pake isinya buat belikan Mak Eti dan Mba Susi baju daster ga?" Laila kembali menghentikan langkah Tama.
"Kan sudah Uda bilang, kamu boleh gunakan ATM itu untuk apapun yang kamu mau. Itu sudah menjadi hak kamu." Suara Tama sedikit melunak. Mata Laila berbinar.
"Aduh, makasih ya, Da." Rasanya Laila ingin memeluk Tama, tapi tentu saja itu tak mungkin. Laila tersenyum dengan sumringah. Rani menyimak semuanya dengan dada yang terasa makin sakit.

"Ayo, Da. Kita ke toko batik itu." Tunjuk Laila. Tama pun mengikuti langkah Laila yang telah bergegas menuju toko batik di belakang eskalator. Rani pun ikut dengan langkah gontai.

Laila tak butuh waktu lama untuk memilih. Dia memang bukan tipe perempuan yang ribet. Setelah mendapatkan dua daster batik untuk mak Eti dan dua untuk mba Susi, Laila pun menuju meja kasir. Tapi Tama telah duluan berada di dekat kasir. Tama mengeluarkan dompetnya. Laila menatap heran.

"Udah, simpan aja ATM kamu. Pake ini aja," ujar Tama dan menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah pada kasir.
"Tapi, Da. Ini kan Laila yang pengen belikan. Pake uang jatah Laila yang di ATM ini aja." Laila merasa tak enak hati.
"Kamu ga lihat, ga ada fasilitas untuk kartu debit di sini?" bisik Tama kesal. Kasir di depan Tama hanya senyum-senyum saja melihat tingkah dua orang di depannya itu.
"Oh." Wajah Laila bersemu merah.
"Makasih, ya Da." Laila memeluk kantong belanja yang berisi daster itu dengan suka cita. Tama tersenyum. Mendadak rasa kesalnya pada perempuan cantik itu menguap. Sikap dan gaya Laila yang apa adanya membuat Tama sulit untuk berlama-lama marah dan sakit hati.

Setelah itu mereka pun menuju parkiran.
"Mau sholat dulu atau makan siang dulu?" tanya Tama begitu mereka telah duduk di dalam mobil.
"Sepuluh menit lagi azan zuhur, Da. Mending kita sholat dulu, baru makan," ujar Laila.
"Oke, tapi kita cari mesjid di luar aja ya." Tama pun menjalankan mobilnya ke luar dari parkiran Mangga Dua. Laila hanya mengangguk mengiyakan.

Tak berapa jauh, Tama membelokkan mobilnya ke arah sebuah mesjid. Begitu sampai di parkiran mesjid, azan zuhur pun berkumandang. Laila merasa lega. Waktunya pas sekali. Udah begitu lama Laila tak sholat di mesjid. Hatinya rindu untuk sholat berjamaah dan mendengarkan kajian seperti pada masa-masa kuliah dulu.
Laila dan Rani menuju tempat wudhu akhwat. Dan Tama pun menuju tempat wudhu ihwan.

Setelah sholat zuhur berjamaah, Tama membawa Laila dan Rani ke restoran Padang tak begitu jauh dari mesjid tempat mereka sholat tadi. Sebelum pesanan datang, Tama bertanya pada Rani yang duduk di depannya.

"Kamu benaran pengen kerja di Jakarta, Ran?"
"Beneran, Da. Tapi di kantor Uda, ya?" jawab Rani dengan wajah berbinar ceria.
"Kalau kantor kan bukan punya Uda sendiri, tapi bertiga dengan Uda Arif dan Uda Zakaria. Jadi nanti Uda tanyakan dulu sama mereka, ya."
"Ya, Da."
"Tapi kalau nanti mereka setuju kamu kerja di kantor itu, kamu nanti tinggal di rumah khusus karyawan ya. Di sana kamu akan banyak teman. Karyawan toko dan karyawan kantor yang perempuan tinggal di sana semua."
"Kok, gitu, Da? Rani ga mau, Rani mau di rumah Uda aja. Rani kan bisa berangkat dan pulang bareng Uda." wajah Rani cemberut. Laila menoleh melihat gadis di sampingnya ini. Makin berani aja gadis ini ya, pikir Laila.

"Ya, ga bisa gitu, Ran. Kamu kan bukan muhrim Uda, walaupun Uda telah menganggap kamu sebagai adik sendiri. Ga mungkin tiap hari kita berangkat dan pulang selalu berdua." Tama berusaha memberikan penjelasan.
"Ya, jadiin mahrom kalau gitu," ujar Rani santai. Laila hampir terlonjak mendengar kata-kata Rani. Ya Alloh, kok ada perempuan yang ga bisa menjaga perasaan perempuan lainnya ya. Tama pun terlihat sangat kaget. Wajah Tama berubah menjadi merah mendengar kata-kata Rani.

"Rani, jaga bicaramu. Hargai Uni Laila sebagai istri Uda. Di mana hati nuranimu bicara seperti itu di hadapan perempuan yang berstatus sebagai istri Uda." Suara Tama terdengar penuh emosi.
"Cuma status kan, Da?"
"Cukup Rani!" Tama hampir berteriak. Rani terdiam. Begitu pelayan datang mengantarkan makanan, Laila berdiri.
"Laila ke kamar mandi dulu, Da." pamit Laila dengan suara bergetar. Tama mengangguk.

Setelah Laila pergi, Tama kembali bicara pada Rani.
"Kamu kan perempuan Rani. Coba kalau kamu yang berada pada posisi Laila, bagaimana perasaanmu." suara tama terdengar lebih lunak.
"Kalau Rani yang menjadi Laila, Rani ga akan pernah meninggalkan Uda di malam pertama kita."
"Rani, kamu ga berhak bicara seperti itu tentang apa yang pernah dilakukan Laila." Tama kembali menjadi emosi. Ternyata gadis yang satu ini memang tidak bisa dikasih hati.

"Tapi Rani punya hak untuk mencintai siapapun yang Rani mau. Dan Rani mencintai Uda sejak masih kecil dulu. Kenapa Uda tak mau mengerti perasaan Rani." kini Rani terisak. Tama menjadi serba salah.

Laila yang telah ke luar dari kamar mandi, berdiri tak jauh dari meja Tama dan Rani. Langkah Laila terhenti begitu mendengar kata-kata Rani. Ternyata Rani benar-benar mencintai Tama. Lalu dia? Apakah ia pantas untuk laki-laki itu jika tak ada cinta di hatinya?

Tama mengangkat kepalanya dan menemukan Laila yang berdiri mematung di belakang Rani. Tama menganggukkan kepalanya pada Laila, menyuruh Laila untuk segera duduk. Laila pun mendekat. Meski rasanya berat, Laila kembali duduk di antara Tama dan Rani.

"Ayo, makan," ajak Tama. Meski tak ada lagi yang merasa berselera melihat makanan di depan mereka, tapi mereka tetap mengambil nasi dan lauknya. Mereka bertiga pun makan dalam diam.
***

Dari rumah makan Padang, Tama menuju Senayan City. Seperti janjinya, Tama akan mengambilkan baju di butiq nya buat Laila. Di sepanjang jalan, mereka hanya diam. Hanya lagu Naff yang meningkahi keheningan mereka.

Laila sampai tertidur karena cukup lama mereka terjebak macet. Begitu sampai di tempat parkir, Tama membangunkan Laila yang terlihat begitu nyenyak. Laila membuka matanya dan terlihat wajah Tama yang berada tak begitu jauh dari tempat duduknya. Laila reflek menarik tubuhnya.
"Udah sampai, da?"
"Udah, ayo." ajak Tama seraya turun.

Laila pun bergegas membuka pintu di sampingnya sebelum Tama datang membukakan pintu. Mall terlihat tak terlalu ramai. Mungkin karena masih jam kerja. Tama berjalan di depan, Laila dan Rani mengikuti dari belakang.Tak berapa lama mereka sampai di butiq Tama yang terletak di lantai satu.

Baju gamis polos berwarna soft, terlihat begitu mewah. Laila menelan ludahnya. Ini sangat berbeda dengan yang di Mangga Dua tadi.
"Wah, Pak Tama, bawa Ibu, ya," karyawan perempuan Tama yang berjumlah tiga orang menyambut mereka di pintu masuk. Lalu mereka menyalami Laila dengan hormat. Mereka juga telah mengenali wajah Laila dari foto profil di WA bos mereka itu. Lalu mereka pun menyalami Rani yang wajahnya terlihat tak ramah.

"Silakan, Bu, siapa tahu Ibu ada yang suka," ucap salah seorang karyawan Tama dengan ramah.
"Iya, makasih," jawab Laila dengan senyum yang selalu manis.
"Pilihlah mana yang kamu suka. Ambil berapapun yang kamu mau," bisik Tama di telinga Laila. Laila hanya tersenyum.

Laila memegang satu per satu gamis-gamis cantik di depannya. Laila melihat brand yang terletak di belakang leher gamis yang dipegangnya. Mata Laila membulat, ya Tuhan, ini kan brand perancang terkenal yang desain-desainnya pernah Laila lihat di instagram teman kampusnya. Lalu Laila melihat harganya. Laila bergidik sendiri melihat angka yang tertera di sana.

Tidak ... tidak ... ia tidak akan membeli baju yang harganya bisa untuk makan mereka satu bulan di kampung. Laila menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa?" Tama yang sedari tadi memperhatikan Laila merasa heran melihat tingkah Laila.
"Ga ada yang suka?" tanya Tama. Laila mengangguk, tapi kemudia menggeleng. Tama terbahak melihat Laila.
"Kenapa sih?" Tama merasa penasaran melihat ekspresi wajah perempuan di sampingnya ini. Sementara Rani yang tadi kelihatan sendu, sekarang sudah riang lagi begitu melihat baju-baju cantik di depan matanya.

Karyawan Tama pun memperhatikan Laila dan senyum-senyum melihat tingkah istri majikan mereka itu.
"Uda, ga usah aja, ya. Besok aja kapan-kapan, Laila ambil baju yang Mangga Dua lagi," bisik Laila di telinga Tama. Kening Tama mengernyit. Ada apalgi dengan perempuan yang satu ini. Uh, wanita memang makhluk aneh. Memang sulit untuk dipahami.

Tadi sewaktu memasuki butiq terlihat wajah dan tatapan mata terpesona Laila pada gamis-gamis di butiqnya. Tapi sekarang bilang ga usah. Sekarang Tama yang geleng-geleng kepala.

"Memang kamu ga ada yang suka? Gamis-gamis seperti ini kamu ga pengen?" Tama memastikan lagi pada Laila. Laila terlihat nyengir.
"Hihihi, suka sih, Da. Tapi lihat itu, harganya, Da. Sayang duitnya, Da," bisik Laila lagi dengan wajah merona malu. Laila malu kalau Tama tahu ia menyukai gamis-gamis di hadapannya ini.
"Siska, Ria, kamu packing ya, yang best seller ama yang baru masuk bulan ini, sepuluh buah,  size M semua ya," ujar Tama seraya berlalu ke meja kasir.
"Sepuluh , Pak?" tanya Siska dan Ria bersamaan. Laila pun melongo. Sepuluh? Apa itu untuk dia? Apa laki-laki ini ingin bangkrut?
"Iya, sepuluh? Kenapa?" Tama balik bertanya.
"Tapi yang best seller masing-masing size cuma sisa satu lho, Pak." Ria mencoba menjelaskan.
"Lalu apa masalahnya?"
"Ga, Pak. Ga ada masalah." Lalu Siska dan Tia pun bergeas masuk ke ruang dalam butik. Mereka segera membungkus pesanan bos mereka. Enak betul ya jadi istri bos, pikir mereka. Mereka aja udah bertahun-tahun kerja di butiq ini belum pernah nyoba baju-baju mahal seperti ini. Hehe, Siska dan Ria tertawa sendiri dengan pikiran bodoh mereka.

"Uda, aku boleh ambil satu, ga?" tiba-tiba Rani telah berada di depan meja kasir Tama dengan membawa sebuah gamis berwarna mocca.
"Kamu kan ga pernah pake gamis. Mubazir aja kalau kamu ngambil." Tama kelihatan keberatan Rani minta gamis yang di butiq ini.
"Tapi kalau ke pesta kan aku bisa juga pake gamis, Da." Rani cemberut. Tama melihat pada Laila ingin minta pendapat. Tapi Laila terlihat acuh.

"Ya, udah. Cuma satu, ya. Ga ada lagi yang lain." Kali ini suara Tama terdengar tegas.
"Makasih, Da." Rani bersorak girang. Akhirnya bisa juga ia punya baju mahal.

Tak berapa lama, Siska dan Rani ke luar dari ruang dalam butiq. Tangan mereka menenteng tas besar yang terbuat dari bahan kertas. Logo SF tertulis di bagian depan kantong berwarna merah maron itu. Ada lima kantong besar yang mereka pegang. Siska dan Ria pun menyerahkannya pada Tama.

"Ini, Pak."
"Oke, makasih. Saya bayar aja pakai kartu ya, biar pembukuan dan laporan  kalian nanti ga bermasalah." Tama pun menyerahkan kartu debitnya pada Debby, kasir di butiq ini. Debby menerimanya dengan tersenyum.

"Rani, sekalian bawa ke sini, ya." Tama memanggil Rani yang masih asyik melihat-lihat gamis. Rani pun berjalan mendekat ke meja kasir dan menyerahkan gamis pilihannya.

Setelah selesai transaksi, Tama pun menenteng kantong-kantong belanjaan buat Laila ke mobil. Tama hanya merasa bertanggung jawab telah memberikan seluruh pakaian Laila pada Rani kemarin. Tak apalah jika ia menggantinya dengan yang lebih bagus.

Tapi begitu ke luar Mall sebelum sampai di parkiran, seseorang menghentikan langkah mereka.
"Laila!" seorang laki-laki yang akan memasuki mall tiba-tiba memanggil Laila. Laila menoleh.
"Kak Fadil?" mata indah Laila mengerjap, tak percaya ia bisa bertemu dengan kakak kelasnya itu di sini. Ada debaran halus di dadanya begitu melihat laki-laki di hadapannya ini. Fadil  pernah menyukai Laila dan Laila pun pernah menyukainya. Tapi Laila terpaksa menolak cinta laki-laki itu karena tak ada istilah pacaran dalam keluarga besar mereka.

"Lagi apa di sini?" tanya Fadil tanpa mengalihkan tatapannya pada perempuan cantik di depannya ini. Bertahun ia mencoba menghilangkan perasaannya pada Laila, tapi ia tak pernah mampu. Cinta di hatinya untuk Laila masih bertahta dengan indah.

"Kenalkan, Kak, ini suami Laila." Laila menangkap sikap tak bersahabat Tama pada Fadil.
"Oh, kamu sudah menikah?" terdengar suara kecewa Fadil. Raut wajah laki-laki itu pun berubah. Sungguh tak dapat ia menyembuyikan  luka hatinya mendengar Laila telah menikah. Pupus sudah harapannya. Dengan lemah, Fadil mengulurkan tangannya pada Tama. Tama menyambutnya dengan gagah.

"Fadil."
"Tama."
"Ayo, Laila." Tama berjalan mendahului, diikuti Rani yang tersenyum senang. Bakal ada jalan nih, bisik hati Rani.
"Laila pamit, Kak." Laila pun menyusul langkah Tama.
"Laila!" suara Fadil kembali memanggil Laila. Laila menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Fadil, begitu juga dengan Tama.
"Apa itu artinya kamu tak akan pernah mengejar impianmu? Mengajar bahasa Indonesia ke luar negeri?" suara Fadil terdengar parau. Laila tertegun mendengar pertanyaan Fadil. Dada Laila terasa sesak. Kata-kata Fadil mengusik lagi bilik hatinya tentang impian dan cita-citanya yang belum sempat terwujudkan.

"Entahlah, Kak." Laila hanya menggeleng. Laila berbalik dan  kembali melanjutkan langkahnya. Tama menggenggam kuat tali kantong pakaian di tangannya. Itukah alasan perempuan ini meninggalkannya di malam pernikahan mereka? Tama kembali diingatkan dengan malam menyakitkan itu. Ada yang kembali berdarah di hatinya.

*****
(side b)

Tama masuk ke dalam mobil tanpa bicara apa-apa. Laila dan Rani pun menyusul. Mereka bertiga diam dengan pikirannya masing-masing. Mobil ke luar dari parkiran Senayan City, memasuki jalanan Jakarta yang selalu padat.

"Romantis banget ya, manggil kakak." tiba-tiba Tama bicara tanpa menoleh pada Laila. Suara laki-laki itu terdengar amat sinis. Laila tercekat mendengar ucapan Tama.
"Uda kan ga mau dipanggil dengan panggilan yang lebih romantis lagi. Bilangnya, 'Saya lelaki Minang, panggil saya dengan Uda'," Laila meniru ucapan Tama ketika pertama kali Laila datang ke Jakarta.

Hati Tama yang tadi membara tak ayal tersipu mendengar ucapan Laila. Padahal sebenarnya ia masih ingin marah. Sebenarnya ia masih merasa sakit hati. Tapi ia tak akan menunjukkannya di depan Rani. Tama tak akan memberi celah pada gadis di belakangnya ini.

"Jadi manggil Abang itu karena pengen romantis?"
"Ya, biar beda aja sih ama yang lain. Kan semua orang udah manggil Uda."
"Kalau gitu, panggil sayang aja," ucap Tama santai.
Haaa? Laila hampir tersedak meski tak lagi makan. Manggil sayang? Gimana  rasanya tuh ya. Ih, Laila tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalanya.

Rani yang berada di belakang merasa heran melihat Tama. Kenapa laki-laki itu terlihat biasa-biasa saja setelah kejadian tadi? Apa itu artinya Tama tak memiliki perasaan apa-apa pada Laila sehingga Tama tak merasa sakit hati pada Laila melihat tatapan mata laki-laki bernama Fadil tadi?  Berbagai pertanyaan muncul di benak Rani.

Sementara Laila masih merasa galau dengan perkataan Fadil tadi. Laila sendiri tak yakin akan seperti apa perjalanan pernikahannya dengan Tama.
Tama pun akhirnya memilih diam. Mereka bertiga melewati perjalanan dalam hening.

Sebelum sholat magrib, mereka pun sampai di rumah. Setelah memarkirkan mobil, Tama memanggil mak Eti untuk membantu membawa barang-barang Laila ke lantai dua. Tapi, Laila telah membawa sendiri sebagian kantong belanjanya. Mak Eti membawa kantong yang masih tersisa di bagasi mobil.
Tama, Laila dan Mak Eti langsung menuju ke kamar Tama. Sementara Rani masuk ke kamar tamu. Rani sudah tak sabar ingin mencoba baju-baju yang tadi diambilnya di toko Tama.

Sesampai di kamar Tama, Laila dan mak Eti meletakkan kantong-kantong belanjaan di sudut kamar. Mak Eti sedikit heran melihat belanjaan segiitu banyaknya.

"Mak, ini daster buat Mak Eti. Semoga Mak Eti suka, ya." Laila menyerahkan sebuah kantong berwarna putih pada mak Eti.
"Wah, Mak Eti dapat juga, Nak Laila?" mata mak Eti berbinar.
"Hehe, iyalah, Mak. Ga mungkin Laila lupa sama Mak Eti." Laila menyentuh pundak mak Eti dengan lembut.
"Makasih, ya nak Laila. Mak Eti pamit turun dulu, ya. Mau magrib." Mak Eti pun bergegas ke luar dari kamar dan membawa kantong pemberian Laila tadi.

"Uda mau mandi duluan?" Laila melihat Tama asyik dengan ponselnya.
"Kamu aja duluan." mata Tama tak beralih dari ponselnya. Laila pun mencari kantong baju tidur yang tadi dipilihnya di toko teman Tama. Laila memilih setelan baju tidur berwarna maroon. Setelah itu, Laila pun bergegas ke kamar mandi.

Tama bangkit dan menuju ruang sebelah. Rasanya ia ingin membaringkan tubuhnya dan beristirahat sejenak. Hati dan pikirannya entah mengapa rasanya tak nyaman. Kata-kata teman Laila tadi kembali terngiang-ngiang di telinga Tama.

Beberapa waktu ini, sejak Laila datang ke rumahnya diantar sang ayah, Tama mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Tama mencoba menerima kehadiran Laila. Meski terkadang sikapnya tak bisa baik dan ramah pada Laila. Tapi setiap saat, Tama selalu mencoba untuk membuka hatinya agar bisa memaafkan Laila. Memaafkan apa yang telah diperbuat laila padanya.

Tapi ucapan Fadil, teman Laila tadi, benar-benar mengusik pikiran Tama.
"Uda, Laila udah selesai. Uda mau mandi sekarang?" Laila tiba-tiba telah berada di pintu penghubung kamar Tama dan ruangan teater.

Tama mendudukkan tubuhnya di sofa. Lalu bangkit dan melewati Laila dengan diam. Laila merasa heran, kok sikap laki-laki ini berubah dingin lagi ya? Apalagi yang salah? Laila bertanya-tanya dalam hati. Apa karena Fadil tadi? Tapi rasanya tidak mungkin. Hati Laila menjadi tak karuan.

"Ini handuknya, Da." Laila mengulurkan handuk yang masih dilipat pada Tama sebelum laki-laki itu masuk ke kamar mandi. Tama menerimanya tanpa melihat pada Laila.

Uh, Laila merasa bingung. Laki-laki ini ternyata susah juga ditebak. Laila membuka lemari dan mengambilkan sarung serta baju koko untuk Tama. Mengambilkan pakaian dalamnya juga. Lalu diletakkannya semua itu di atas kasur. Setelah itu Laila memakai mukenanya dan turun ke bawah. Tak berapa lama azan magrib pun berkumandang.

Tak berapa lama, Tama  ke luar dari kamar mandi. Mata Tama tertuju ke atas kasur, dilihatnya sarung, baju koko dan pakaian dalamnya telah tersedia di sana. Tiba-tiba Tama tersenyum. Ada yang menghangat di hatinya. Seperti inikah rasanya punya istri? Disediakan pakaiannya, makannya, ditemani juga tidurnya. Ups ... Tama menepuk jidatnya. Lagi-lagi pikirannya menjadi sedikit kurang waras.

Tama pun memakai pakaian yang telah disediakan Laila. Lalu ia pun segera turun. Di ruang sholat, Laila, Rani, Mak Eti telah menunggu kedatangannya. Mak Eri pun terlihat telah mengambil tempat di bagian depan. Di posisi imam.

Setelah sholat magrib, Laila melanjutkan dengan sholat sunnah, setelah itu Laila mengambil mushaf yang ada di ruang sholat itu. Laila memang sudah terbiasa mengaji setelah sholat magrib. Sejak masih di bangkus SD, orang tuanya telah mengajarkannya untuk rutin membaca Al_Quran setelah sholat magrib. Lalu suara merdu Laila pun mengalun lembut.

Tama, mak etek Eri, dan Rani beranjak ke ruang keluarga. Tama menghidupkan televisi dan memilih canel sport seperti biasanya. Sementara mak Eti dan Anita telah menyiapkan makan malam. Laila menyelesaikan dua halaman bacaan Al-Qurannya, lalu setelah melipat mukena, Laila pun bergabung dengan mak Eti dan Anita. Setelan baju tidur celana panjang dengan lengan juga panjang dipadu dengan jilbab instan warna hitam, Laila terlihat cantik alami.

Mereka telah selesai menghidangkan makan malam. Laila memanggil Tama, mak Etek Eri dan Rani untuk makan bersama. Ketiga orang yang asyik menonton televisi di ruang keluarga itu pun bangkit dan menuju meja makan. Laila bingung, mau ikut makan atau tidak. Ia masih bisa menangkap wajah dingin Tama. Laila merasa tak enak hati. Laila ingin naik ke kamar saja, tapi tiba-tiba Tama meraih tangannya.

"Mau ke mana?"
"Laila mau ke kamar, Da,"
"Makanlah dulu." suara Tama tiba-tiba terdengar lunak. Uh, Laila mendesah dalam hati. Laila benar-benar tak mengerti dengan sikap laki-laki ini.

Tapi Laila tetap menurut. Tatapan mata mak etek Eri dan Rani membuat Laila mau tak mau harus duduk di samping Tama. Meski hatinya pun sedang tidak nyaman. Sikap Tama yang sedetik baik dan sedetik kemudian dingin, membuat Laila merasa serba salah.

Laila duduk di samping Tama. Mak etek Eri terlihat mengambil nasi, lalu kemudian Rani. Setelah itu Laila mengambil piring Tama dan menyendokkan nasi ke piring tersebut. Laila meletakkannya kembali di depan Tama.
"Makasih," ucap Tama tulus. Laila mengangguk.
"Mau pake apa, Da?" tanya Laila.
"Goreng belut aja." Laila lalu mengambilkan goreng belut cabe hijau untuk Tama. Setelah itu ia baru menyendok nasi untuk dirinya sendiri.

Laila benar-benar tak berselera. Padahal biasanya goreng belut membuat nafsu makanya bertambah. Laila hanya mengambil nasi sedikit dan sayur bayam sedikit. Ia makan tanpa lauk. Tama menoleh pada Laila. Tama heran melihat gaya makan Laila. Apa perempuan ini sedang diet? Tanya hati Tama. Tapi tubuhnya telah sangat pas. Kenapa masih harus menjaga makan lagi.

"Makannya kok seperti itu, Laila?"
"Masih kenyang, Da."
"Tambah dikit lagi, ya?" Tama tiba-tiba menyendokkan nasi ke piring Laila.
"Da, nanti ga habis." Laila protes.
"Nanti kamu kurus kalau makan dikit kayak gitu."
"Ya, ga pa pa lah kurus, Da. Asal sehat."
"Bundo pikir nanti anaknya ga dikasih makan." ucap Tama seraya kembali menambahkan lauk ke piring Laila.

Mak etek Eri dan Rani melihat perlakuan Tama pada Laila dengan wajah tak suka.
"Tama, bisa carikan tiket besok buat Mamak?" tiba-tiba mak etek Eri mengalihkan perhatian Tama dari Laila.
"Mak Etek sudah mau pulang?"
"Ya, banyak yang harus Mamak urus di kampung. Tak bisa juga lama-lama di sini. Maksud Mamak ke sini kan memang hanya mengantarkan Rani."
"Oh, iya Mak. Nanti Tama carikan ya, Mak."
"Pekerjaan untuk Rani sudah kamu pastikan?" Mak Etek Eri menatap Tama dalam-dalam. Tama merasa resah.
"Ya, Mak. Tapi, seperti yang sudah Tama sampaikan pada Rani tadi siang, Mak, kalau Rani memang mau bekerja di Jakarta, Rani harus tinggal di rumah karyawan yang dekat dengan kantor, Mak." Tama mencoba bicara dengan jelas dan tegas.

Mak etek Eri terlihat terperangah dengan kata-kata Tama.
"Kamu mengusir Rani?" suara mak etek Eri terdengar penuh emosi. Lalu laki-laki setengah baya itu segera mencuci tangannya dan bergegas bangkit dari kursi meja makan. Laila bergidik. Laila tak ingin suasana menjadi panas.

"Bukan begitu, Mak." suara Tama masih terdengar lunak.
"Tak baik juga lah Mak, Rani tinggal di sini. Dalam agama kami ini tak memiliki hubungan darah yang bisa membuat kami halal jika berdekatan." Tama mencoba memberi pengertian.
"Ah, sok paham agama kau sekarang. Bilang saja kalau istrimu keberatan Rani tinggal di sini."
"Mak, Laila tak ikut campur dalam masalah ini. Ini semua adalah keputusan Tama." Laila menunduk mendengar ia dipersalahkan. Laila mencuci tangannya dan bergegas membereskan meja. Sementara Rani juga terlihat telah menyelesaikan makannya.

"Si Anita saja, ntah anak siapa itu, kau izinkan tinggal di sini. Memang tak berpatut-patut kau jadi kemenakan." mak etek Eri lalu menuju sofa ruang keluarga dan menghempaskan tubuhnya di sana. Wajahnya terlihat merah menahan amarah. Tama yang juga telah selesai makan menyusul mamaknya.

"Anita itu di sini dengan Ibunya, Mak. Ada yang menjaga dan menemaninya. Sehingga tak akan timbul fitnah insyaAlloh di antara kami."
"Sudahlah, tak perlu kau jelaskan panjang lebar. Besok Rani akan ikut pulang denganku. Tak perlu kami mengemis apapun padamu." Lalu mak etek Eri bangkit dan berniat masuk ke kamarnya.
"Rani, kamu bereskan barang-barangmu. Besok kita pulang ke Padang."
"Ya, yah." suara Rani terdengar lirih. Rani pun masuk ke kamarnya. Gadis cantik itu tak dapat lagi menahan air matanya. Apakah ia harus kalah? Padahal ia belum berjuang apa-apa. Tapi apa Rani bisa menolak perintah ayahnya? Ayahnya laki-laki keras. Jika ia telah tersinggung, pantang baginya untuk menarik ucapannya.

Mata Laila pun memerah menahan air mata yang ingin tumpah. Mak Eti yang melihat kondisi Laila yang kurang baik, mengelus punggung Laila lembut.
"Tak usah dipikirkan. Naiklah ke atas. Istirahatlah." suara mak Eti terdengar begitu lembut. Laila mengangguk.
"Ya, Mak. Makasih, ya." Laila pun beranjak meninggalkan mak Eti dan menuju ke lantai dua.

Begitu membuka pintu kamar, terlihat Tama sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. Laila masuk dengan ragu. Tapi akhirnya Laila pun masuk dan menuju ke ruang sebelah. Laila duduk dan menyandarkan punggungnya ke sofa tidur itu. Laila memejamkan matanya. Rasanya tubuh dan hatinya begitu lelah.

Laila merasa menjadi biang masalah antara Tama dengan mamaknya. Andai ia tak ada, tentu Tama akan menerima Rani menjadi istrinya. Toh Tama juga tidak mencintai dirinya.

"Laila." tiba-tiba Tama telah berdiri di samping televisi di depan Laila.
"Ya, Da?"
"Istirahatlah di kamar, biar Uda yang di sini."
"Ya, Da." Laila bangkit dan berjalan menuju kamar sebelah.
Tapi sebelum sampai di pintu kamar, Laila berhenti dan berbalik.
"Da, biarlah Rani tetap tinggal di sini. Apa kata orang kampung nanti jika tahu Uda tak mau menampungnya di sini."
Tama menatap Laila tajam. Perempuan ini benar-benar tak memiliki perasaan padanya. Begitu entengnya dia menyuruh Rani untuk tetap tinggal di rumah ini. Mungkin memang Laila tak memilki perasaan padanya, tapi setidaknya, apakah perempuan di depannya ini tak ingin menjaga statusnya sebagai seorang istri?

"Tak usah pikirkan pandangan orang kampung." Tama berucap pendek dan duduk seraya menjangkau remot TV.
"Tapi, Da. Laila benar-benar tak enak jika dianggap sebagai orang yang melarang-larang Uda untuk menerima saudara di rumah ini." Laila memilin jilbabnya dengan resah. Tama merasa kesal mendengar perempuan ini tak juga paham-paham.
"Laila tak ingin dianggap sebagai penghalang antara Uda dan Rani," ucap Laila lirih. Tapi hati Laila mendadak terasa perih ketika mengatakan semua itu. Tama kembali mendongak memandang Laila. Dilihatnya pipi Laila basah oleh air mata.

"Ada ataupun tidak ada kamu, aku pun tak akan pernah menerima Rani. Aku dari kecil sudah terlanjur menganggap Rani sebagai adik sendiri. Perasaanku pada Rani hanya sebatas saudara, meski kami tak memiki hubungan darah."
Hati Laila sedikit lega mendengar ucapan Tama.
"Istirahatlah," ucap Tama lembut. Sebenarnya Tama tak tega juga melihat air mata Laila. Tapi ia tak akan bertindak jauh juga sebelum mengetahui hati dan persaan Laila padanya. Biarlah waktu yang akan menjawab semua itu.

"Da, makasih."
"Untuk?"
"Untuk hari ini dan untuk baju-baju yang sudah Uda berikan." Laila tersenyum dengan mata yang masih basah. Tama terpana. Perempuan di depannya ini benar-benar mempesona.  Ck, ada yang bergejolak di hati Tama.

"Ya, semoga kamu suka. Sudah menjadi kewajiban saya untuk memenuhi semua kebutuhanmu." Tama buru-buru mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Laila yang terlihat begitu seksi dengan mata dan pipi basah seperti itu. Mata Laila mengerjap. Kata-kata Tama terdengar begitu indah.

Laila lalu berbalik. Kali ini ia benar-benar ingin membaringkan tubuh.
"Laila." suara Tama kembali menghentikan langkah Laila. Aduh ini kapan selesainya, bisik hati Laila. Laila berbalik lagi dan menatap Tama.
"Ya, Da?"
"Bisakah kalau di kamar kamu tak usah memakai jilbab?" Entah mengapa Tama merasa ada bilik hatinya yang tersinggung melihat Laila selalu mejaga auratnya di hadapan Tama, suaminya sendiri. Meski memang mereka belum pernah bersikap dan berbuat layaknya suami istri. Tapi tidakkah ia telah halal untuk melihat perhiasan wanita di hadapannya ini?

"Ya, Da." Laila mengangguk dan berjalan tergesa menuju kamar Tama. Kali ini Laila bernafas lega, ia bisa segera membaringkan tubuhnya di kasur. Laila pun membuka jilbab, lalu segera membaringkan tubuhnya di kasur.

Hari yang penuh warna, bisik hati Laila.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER