(side a)
Ayah menatap Tama dengan mata penuh harap. Tama kembali melirik perempuan di depannya. Tapi perempuan berjilbab maroon itu masih tetap menunduk.
"Belum, Pak. Tama belum mentalak Laila."
"Alhamdulillah, terima kasih, Nak. Untuk itu hari ini Ayah kembalikan Laila kepadamu, Nak," suara ayah terdengar bergetar. Tama tertegun. Apa memang seperti ini takdir yang ditetapkan Alloh untuknya? Tapi tatapan laki-laki tua di depannya ini penuh luka. Tama merasa tak sanggup menambah kepedihannya. Ah, apa mungkin ia laki-laki yang lemah? Dada Tama bergejolak.
"Baiklah, Nak Tama, Ayah tidak bisa lama. Kondisi Bundo masih belum terlalu baik. Ayah langsung pulang sekarang," ucapan ayah menyadarkan ketermanguan Tama. Terlihat Laila mengeratkan genggaman tangannya pada tangan ayahnya. Entah mengapa ia merasa takut ditinggal oleh ayahnya di sini, di rumah lelaki yang telah menjadi suaminya ini.
Ayah mengusap punggung tangan Laila dengan lembut.
"Baik-baik di sini, Nak. Inilah hidupmu sekarang. Turuti apa kata suamimu. Berbaktilah padanya, karena sekarang dialah imammu." Ayah melepaskan genggaman tangan Laila. Lalu segera bangkit.
"Kenapa begitu buru-buru, Pak? Istirahatlah semalam atau dua malam di sini." Tama akhirnya bersuara.
"Tidak, Nak. Tujuan Ayah ke sini hanya mengembalikan Laila padamu. Maafkanlah kesalahan yang telah diperbuatnya. Beri dia kesempatan untuk memperbaiki diri." Bapak mendekati Tama dan mengulurkan tangan pada menantunya itu. Tama menyambut uluran tangan mertuanya dengan tergesa. Lalu menciumnya dengan takzim. Sementara Laila mulai terisak.
"Tama antar ke bandara ya, Pak," Tama menawarkan diri untuk mengantar ayah mertuanya.
"Tidak usah, Nak. Ayah ditunggu oleh sopir uda Andi di depan," tolak ayah seraya beranjak menuju pintu.
"Ayah ...." Laila tiba-tiba sudah memeluk ayahnya dari samping. Wajah cantiknya telah basah oleh air mata. Ayah mengusap puncak kepala anak gadisnya dengan lembut.
"Sudah, jangan nangis lagi. Kalau kangen Ayah dan Bundo, kamu kan bisa telphon Ayah dan Bundo kapan saja," ayah mencoba tersenyum. Meski mata tuanya pun mulai terlihat kabur karena menahan aliran bening di kedua matanya.
Ayah pun melepaskan pelukan erat Laila. Laila merasa begitu berat melepas kepergian ayahnya.
"Ayah pamit, Nak Tama."
"Ya, Pak. Hati-hati di jalan. Salam untuk ibu di kampung."
"Bisakah mulai hari ini Nak Tama memanggil Ayah pada Bapak?" Tama kembali tertegun mendengar ucapan mertuanya ini.
"Ya, Pa... eh Yah," Tama menjadi terbata. Ayah tersenyum hangat.
"Terima kasih, Nak," ucap ayah tulus. Lalu ayahpun segera bergegas ke luar dan menuju mobil yang telah menunggunya di luar pagar.
Tama pun berbalik dan melewati Laila begitu saja. Ia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Mengambil tas dan laptopnya, lalu kembali bergegas turun. Dilihatnya Laila masih berdri seperti posisi tadi. Entah mengapa kecewa, sakit hati, dan amarah yang ditahannya sejak dua minggu lalu kembali mencuat memenuhi rongga dadanya. Ia bukanlah malaikat yang tak punya rasa sakit hati. Ia manusia biasa yang juga bisa marah dan benci. Tapi melihat perempuan di depannya ini masih berurai air mata, Tama pun mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dicobanya menahan semua ucapan dan perkataan yang ingin dimuntahkannya di depan perempuan ini.
"Aku ke kantor dulu. Ada Mak Eti nanti di rumah. Ia sedang belanja ke pasar." wajah Tama terlihat tanpa ekspresi. Laila hanya mengangguk tanpa berani menatap laki-laki di depannya itu. Tama pun melewati Laila begitu saja. Laila menggeser tubuhnya memberi jalan pada Tama.
"Kunci pintu baik-baik," pesan Tama sebelum hilang dibalik pintu. Laila pun menutup daun pintu dan menguncinya dari dalam.
Tak lama kemudian terdengar bunyi mesin mobil yang meninggalkan halaman rumah. Laila mendudukkan pantatnya di kursi tamu. Ia merasa bingung harus bagaimana. Tama tak menawarkannya beristirahat di salah satu kamar. Padahal tubuhnya terasa begitu lelah. Akhirnya Laila menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dan mencoba memejamkan matanya.
Rasa asing dan bingung kembali menghinggapi perasaannya. Apa yang akan dihadapinya ke depannya? Jelas sikap laki-laki itu tadi tak memperdulikannya. Tak menawarkan kamar untuk istirahat, tak menawarkan minum, tak menawarkan makan.Tapi bukankah semua memang karena kesalahannya sendiri? Kesalahan yang bagi laki-laki itu pastilah teramat fatal. Ah, jika tidak karena bundo, tak akan dijilatnya ludah yang telah ia keluarkan.
Tak sadar, akhirnya Laila tertidur sambil duduk bersandar pada sofa. Tiba-tiba didengarnya suara ketukan di pintu. Laila terbangun dan bergegas menuju pintu. Sebenarnya ia ragu untuk membukanya. Tapi siapa tahu itu Mak Eti yang pulang dari pasar. Laila memutar anak kunci dan manarik handelnya, pintu terbuka sebagian. Sesosok wanita paruh baya dengan jilbab instan warna hitam berdiri di depan pintu. Di belakang perempuan itu berdiri seorang laki-laki yang rambutnya sudah memutih sebagian, di tangannya ada dua kantong belanjaan.
"Assalammualaikum," ucap mereka bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Laila seraya membuka daun pintu lebih lebar.
"Mak Eti, ya?" tanya Laila dengan ramah. Wanita itu mengangguk dengan wajah bingung.
"Saya Laila, Mak." Laila mencoba meraih tangan wanita di depannya. Mak Eti meletakkan belanjaannya di lantai dan menyambut uluran tangan Laila.
"Oh, Laila." Mak Eti dan laki-laki di belakangnya memperhatikan wajah Laila, lalu mereka sama-sama tersenyum ramah pada Laila.
"Ayo, kita masuk." ajak Mak Eti seraya membawa barang belanjaannya.
"Sini biar Laila aja yang bawa, Mak." Laila mencoba menjangkau belanjaan dari tangan Mak Eti.
"Tidak usah, Mak udah biasa begini. Lagian Nak Laila kan baru datang, pasti masih capek," tolak Mak Eti halus. Laila akhirnya hanya mengikuti langkah mak Eti menuju dapur.
Melewati ruang keluarga yang luas, dengan karper-karpet bulu yang lebar dan tebal, mereka sampai di ruang makan yang langsung bergabung dengan dapur. Dapurnya juga luas dan cantik. Laila berdecak kagum. Kok ada orang masih lajang sudah punya rumah begini luas dan bagusnya, batin Laila dalam hati. Dari dapur, Laila bisa melihat halaman belakang yang luas. Ada taman dan sebuah ayunan tertata rapi di sana.
"Laila, duduklah dulu. Mak buatkan teh ya, biar badannya segar," tawar mak Eti.
"Biar Laila bantu masak, Mak Eti," Laila langsung mengambil kantong belanja yang dibawa oleh laki-laki yang bernama Pak Udin.
"Laila, nanti ada yang datang bantu Mak memasak. Mba Susi. Hari ini dia agak telat datangnya, karena mau ke sekolah anaknya dulu. Mau bayar SPP katanya." Laila tak mengacuhkan ucapan Mak Eti. Ia tetap membantu mengeluarkan bahan-bahan memasak dari dalam kantong belanjaan.
"Pak Udin, mau dibikinin kopi apa teh?" tanya Mak Eti pada pak Udin yang telah duduk di kursi meja makan.
"Kopi saja, Mak." jawab pak Udin.
"Kok belanjanya begini banyak ya, Mak?" tanya Laila heran, padahal sepertinya tak banyak orang di rumah ini.
"Iya, Nak. Nak Tama memang selalu menyuruh Mak Eti dan Mba Susi masak agak banyak, biar Mba Susi pulang nanti ke rumahnya bisa bawa lauk dan sayur dari sini. Mba Susi datang pagi, pulang sore. Kerjaannya cuci dan setrika serta bersih-bersih rumah. Pak Udin juga kan tinggal dengan anak istrinya, nanti pulang juga bawa lauk dan sayur dari sini," Mak Eti menerangkan panjang lebar.
Wow, Laila ternganga. Ada ya laki-laki muda yang baik seperti itu. Yang punya kepedulian sampai kepada hal-hal sepele seperti itu, membagi masakannya dengan pembantu dan supirnya. Tak dapat dipungkiri, ada sedikit rasa simpati di hati Laila mendengar cerita mak Eti tentang laki-laki bernama Tama itu.
"Mak, Laila mau dhuha dulu ya, Mak." pamit Laila.
"Oh, iya, Nak. Kamu mau dhuha di ruang sholat apa mau di kamar aja?" tanya mak Eti.
"Di ruang sholat aja ya, Mak."
"Ya udah, itu yang di samping ruang keluarga, ya. Mukenanya sudah lengkap di sana."
"Ya, Mak." Laila pun bergegas menuju ruang sholat yang tadi sudah dilihatnya sekilas.
Sambul berjalan, Laila tersenyum sendiri. Masa mak Eti bilang mau di kamar. Memang kamarnya di mana? Travel bagnya aja masih tergelatak di ruang tamu. Uh, Laila merasa bingung. Bagaimanakah nanti dan seterusnya ia akan menghadapi laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya itu? Laki-laki yang ditinggalkannya pada malam pertama mereka? Akankah laki-laki itu mau memaafkannya dan bersikap baik padanya? Ah, Laila mengusap wajahnya kasar. Mudah-mudahan dengan wudhu dan sholat dhuha, kebingungan dan kegalauannya bisa sedikit berkurang.
*****
(side b)
Laila menadahkan tangan memohon ampunan pada Tuhan. Laila sadar, apa yang diperbuatnya pada laki-laki yang telah sah menjadi suaminya itu adalah suatu dosa. Tak seharusnya Laila berbuat seperti itu. Tapi semua telah terjadi.
Padahal sebenarnya Laila adalah perempuan yang cukup taat dalam beragama. Ia berusaha tidak hanya melaksanakan ibadah-ibadah wajib, tapi juga menyempurnakannya dengan ibadah-ibadah sunnah. Seperti sholat duha, Laila berusaha untuk melaksanakannya secara rutin.
Begitu banyak fadilah dari sholat dhuha yang pernah didengarnya dari pengajian-pengajian rutin di kampusnya. Salah satunya adalah Diampuni dosa-dosanya meski sebanyak buih di lautan. "Siapa pun yang melaksanakan sholat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Alloh sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan," (HR Tirmidzi).
Pada hadist yang lain dikatakan akan dibangunkan rumah di surga. "Barang siapa mengerjakan shoalt dhua sebanyak 12 rakaat, maka Alloh akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga," (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan masih banyak fadilah serta keutamaan sholat dhuha yang lainnya, yang membuat Laila merasa rugi jika tidak melaksanakannya.
Setelah selesai berdoa, Laila melipat mukenanya dan kembali ke dapur membantu Mak Eti. Ternyata mba Susi yang tadi diceritakan mak Eti telah datang dan ikut membantu memasak. Melihat kedatangan Laila, mba Susi langsung menghampiri dan menyalami Laila.
"Wah, ayu tenan," mba Susi menatap Laila dengan tatapan terpesona.
"Pantas ya, Pak Tama kesengsem," imbuhnya lagi. Ucapan mba Susi membuat Laila tersipu malu.
"Ah, Mba Susi bisa aja," Laila menyentuh pundak mba Susi ramah. Laila memang ramah dan cepat akrab dengan orang. Sehingga wajar begitu ketemu orang langsung suka dan senang dengannya. Seperti mba Sri dan mak Eti, meski baru bertemu Laila, tapi mereka langsung merasa senang dengan Laila.
Lalu mereka bertiga pun asyik memasak seraya berbagi cerita. Lagi-lagi Laila mendapatkan informasi yang membuat hatinya tertegun. Mba Susi tak sengaja cerita kalau biaya sekolah dua orang anaknya dibantu oleh Tama. Mba Susi seorang janda. Suaminya meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Tama lah yang banyak membantu mba Susi dan anak-anaknya.
"Goreng petei dan ikan asin dengan cabe ijau ini kesukaan, Pak Tama, Uni Laila," ujar mba Susi yang telah sibuk menata makanan di atas meja makan.
"Oh, iya Mba," Laila mengangguk seraya ikut membantu menata meja makan.
Beberapa buah rantang telah diisi dengan lauk dan sayur untuk bekal mba Susi dan pak Udin nanti jika pulang. Biasanya sebelum magrib mereka berdua pulang ke rumah kontrakan masing-masing.
"Assalammualaikum," terdengar salam dari pintu depan. Mba Susi bergegas ke depan membukakan pintu.
"Waalaikumsalam," ujar mba Susi seraya melebarkan daun pintu.
"Wah, tumben Pak Tama pulang makan siang ya," suara mba Susi terdengar heboh.
"Pasti karena ada istrinya ya, Pak Tama," mba Susi mengikuti langkah Tama ke ruang keluarga. Laila membeku di samping meja makan.
"Ada faktur toko yang tertinggal, Mba Susi," jawab Tama seraya bergegas ke lantai dua menuju kamarnya.
"Ayo, Uni Laila. Disusul itu suaminya. Siapa tahu perlu sesuatu," mba Susi tiba-tiba telah berada di samping Laila dan menyikut tangan Laila serta mengerlingkan matanya dengan tatapan menggoda.
"Apaan sih, Mba Susi," Laila lalu beranjak ke dekat mak Eti. Mba Susi terkekeh melihat tingkah malu-malu Laila.
"Ada lagi yang perlu Laila bantu, Mak?"
"Udah selesai semua, Nak Laila. Pergi lah ke kamarmu di atas. Istirahatlah," ujar mak Eti seraya tersenyum pada Laila. Laila terdiam. Sebenarnya ia ingin sekali membaringkan tubuhnya. Tapi ia bingung mau masuk kamar yang mana.
"Mak Eti, tolong masukkan travel bag yang di ruang tamu ke kamar di samping ruang sholat, ya," tiba-tiba Tama telah berdiri di dekat ruang makan.
"Oh, iya, Nak Tama," mak Eti tergopoh menuju ruang tamu.
Tapi sedetik kemudian wanita paruh baya itu kembali ke ruang makan. Tama telah duduk dan bersiap untuk makan siang. Sementara Laila hanya berdiri dengan bingung. Mba Susi telah ke ruang cuci di belakang.
"Eh, maaf, Nak Tama, apa tidak sebaiknya langsung aja Mak Eti bawa ke atas? Ke kamar, Nak Tama?" Tama menatap mak Eti dengan kaget, begitu pun dengan Laila. Tapi sejenak kemudian, ia kembali terlihat biasa-biasa saja.
"Biar Laila di kamar tamu aja dulu, Mak Eti. Kasihan nanti dia kecapean naik turun tangga," jawab Tama santai. Laila menelan ludahnya yang terasa pahit.
Ya, ini lebih baik. Ia pun belum siap sekamar dengan laki-laki yang telah berstatus suaminya itu.
"Biar Laila aja yang bawa, Mak." Laila bergegas mengejar mak Eti.
"Ga pa pa, Mak Eti aja. Nak Laila temani aja Nak Tama makan, ya," ujar mak Eti seraya mendorong travel bag Laila ke kamar tamu.
"Laila belum lapar, Mak. Nanti aja." ucap Laila dan mengikuti langkah mak Eti ke kamar. Sementara Tama telah makan dengan lahapnya, tanpa menawari dan mengajak istrinya itu untuk ikut makan.
Sesampainya di kamar, Laila langsung duduk di atas tempat tidur ukuran jumbo yang ada di kamar tersebut. Kamar dengan nuansa hijau itu terlihat segar dan nyaman. Laila tiba-tiba ingin merebahkan badannya dan tidur sejenak.
"Mak, Laila pengen baring bentar, ya."
"Ga makan dulu, Nak?"
"Nanti aja, Mak. Laila pengen istirahat bentar. Nanti habis sholat zuhur, Laila makan, ya." Laila tersenyum manis pada mak Eti yang menatapnya dengan tatapan iba.
"Iyalah. Mak tinggal dulu, ya. Mungkin Nak Tama mau balik lagi ke kantor atau ke tokonya," pamit mak Eti.
"Ya, Mak. Makasih, ya, Mak." ucap Laila tulus. Mak Eti mengangguk dan menutup pintu kamar.
Mak Eti menuju ruang makan dan melihat Tama telah selesai dengan makan siangnya.
"Dia ga makan, Mak?" tanya Tama yang melihat kedatangan mak Eti.
"Dia siapa, Nak Tama?" mak Eti menatap Tama bingung.
"Laila lah, Mak." Tama mencoba tersenyum pada mak Eti.
"Oh, istri Nak Tama? Nanti katanya, Nak Tama. Mungkin segan ga ditawari sama suaminya tadi," sindir mak Eti. Tama hanya mengangkat bahu. Setelah menyelesaikan makan dan mencuci tangannya, Tama pun segera bangkit.
"Mak, saya balik ke kantor. Nanti kayaknya ada kiriman mukena dari Bukit Tinggi. Letakkan aja dulu di ruang sholat ya. Itu mau dibagi-bagi ke mushalla ya, Mak. Suruh besok Pak Udin keliling narok di tiap-tiap mesjid dan mushalla di sekitar perumahan ini," ujar Tama sebelum ke luar dari pintu depan.
"Iya, Nak Tama. Tapi apa Nak Tama ga pamit dulu sama Nak Laila?" mak Eti menatap Tama dengan tatapan menyelidik. Heran juga mak Eti melihat sikap acuh majikan yang telah dianggapnya seperti anaknya ini.
"Saya buru-buru, Mak. Biarkan aja dia istirahat," jawab Tama lalu segera berlalu menuju mobilnya. Mak Eti hanya mengangguk.
***
Sementara di kamar, Laila mencoba memejamkan mata. Tapi yang ada matanya malah terbuka semakin lebar. Masih terbayang sikap acuh suaminya itu. Jangankan menyapa, menolehpun tidak. Tapi ... bukankah ia pantas mendapatkan perlakuan seperti itu? Bukankah ia harus bersabar seperti kata ayah? Toh ia juga tak memiliki perasaan apa-apa pada laki-laki itu, lalu buat apa ia harus memikirkan sikapnya?
Laila bangkit dari tidurnya. Ia buka jilbab instannya. Ian ingin mandi sebelum sholat zuhur. Tapi tiba-tiba perutnya terasa lapar. Setelah sholat zuhur nanti ia akan makan. Ia tak akan terlalu merisaukan sikap dan perlakuan suaminya itu. Yang ada di pikiran Laila saat ini hanya bundonya. Bundonya harus sehat seperti sedia kala.
Setelah mandi, sholat zuhur, dan makan siang bersama mak Eti, mba Susi dan pak Udin, akhirnya Laila bisa tertidur juga. Ternyata masih ada satu lagi penghuni rumah yang baru ditemui Laila tadi pas makan siang. Anita, anak gadis mak Eti yang ikut dengan mak Eti tinggal di rumah ini. Anita kuliah di UNJ, jurusan Pendidikan Matematika. Ia ingin menjadi guru matematika katanya. Anaknya cantik dan baik. Dan satu lagi kejutan buat Laila, Anita ternyata juga dikuliahkan oleh Tama.
Masih muda, sukses di usaha, tapi masih peduli pada sesama. Mengapa Laila baru mengetahui semua itu sekarang ya?
Bersambung #3
Ayah pun melepaskan pelukan erat Laila. Laila merasa begitu berat melepas kepergian ayahnya.
"Ayah pamit, Nak Tama."
"Ya, Pak. Hati-hati di jalan. Salam untuk ibu di kampung."
"Bisakah mulai hari ini Nak Tama memanggil Ayah pada Bapak?" Tama kembali tertegun mendengar ucapan mertuanya ini.
"Ya, Pa... eh Yah," Tama menjadi terbata. Ayah tersenyum hangat.
"Terima kasih, Nak," ucap ayah tulus. Lalu ayahpun segera bergegas ke luar dan menuju mobil yang telah menunggunya di luar pagar.
Tama pun berbalik dan melewati Laila begitu saja. Ia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Mengambil tas dan laptopnya, lalu kembali bergegas turun. Dilihatnya Laila masih berdri seperti posisi tadi. Entah mengapa kecewa, sakit hati, dan amarah yang ditahannya sejak dua minggu lalu kembali mencuat memenuhi rongga dadanya. Ia bukanlah malaikat yang tak punya rasa sakit hati. Ia manusia biasa yang juga bisa marah dan benci. Tapi melihat perempuan di depannya ini masih berurai air mata, Tama pun mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dicobanya menahan semua ucapan dan perkataan yang ingin dimuntahkannya di depan perempuan ini.
"Aku ke kantor dulu. Ada Mak Eti nanti di rumah. Ia sedang belanja ke pasar." wajah Tama terlihat tanpa ekspresi. Laila hanya mengangguk tanpa berani menatap laki-laki di depannya itu. Tama pun melewati Laila begitu saja. Laila menggeser tubuhnya memberi jalan pada Tama.
"Kunci pintu baik-baik," pesan Tama sebelum hilang dibalik pintu. Laila pun menutup daun pintu dan menguncinya dari dalam.
Tak lama kemudian terdengar bunyi mesin mobil yang meninggalkan halaman rumah. Laila mendudukkan pantatnya di kursi tamu. Ia merasa bingung harus bagaimana. Tama tak menawarkannya beristirahat di salah satu kamar. Padahal tubuhnya terasa begitu lelah. Akhirnya Laila menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa dan mencoba memejamkan matanya.
Rasa asing dan bingung kembali menghinggapi perasaannya. Apa yang akan dihadapinya ke depannya? Jelas sikap laki-laki itu tadi tak memperdulikannya. Tak menawarkan kamar untuk istirahat, tak menawarkan minum, tak menawarkan makan.Tapi bukankah semua memang karena kesalahannya sendiri? Kesalahan yang bagi laki-laki itu pastilah teramat fatal. Ah, jika tidak karena bundo, tak akan dijilatnya ludah yang telah ia keluarkan.
Tak sadar, akhirnya Laila tertidur sambil duduk bersandar pada sofa. Tiba-tiba didengarnya suara ketukan di pintu. Laila terbangun dan bergegas menuju pintu. Sebenarnya ia ragu untuk membukanya. Tapi siapa tahu itu Mak Eti yang pulang dari pasar. Laila memutar anak kunci dan manarik handelnya, pintu terbuka sebagian. Sesosok wanita paruh baya dengan jilbab instan warna hitam berdiri di depan pintu. Di belakang perempuan itu berdiri seorang laki-laki yang rambutnya sudah memutih sebagian, di tangannya ada dua kantong belanjaan.
"Assalammualaikum," ucap mereka bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawab Laila seraya membuka daun pintu lebih lebar.
"Mak Eti, ya?" tanya Laila dengan ramah. Wanita itu mengangguk dengan wajah bingung.
"Saya Laila, Mak." Laila mencoba meraih tangan wanita di depannya. Mak Eti meletakkan belanjaannya di lantai dan menyambut uluran tangan Laila.
"Oh, Laila." Mak Eti dan laki-laki di belakangnya memperhatikan wajah Laila, lalu mereka sama-sama tersenyum ramah pada Laila.
"Ayo, kita masuk." ajak Mak Eti seraya membawa barang belanjaannya.
"Sini biar Laila aja yang bawa, Mak." Laila mencoba menjangkau belanjaan dari tangan Mak Eti.
"Tidak usah, Mak udah biasa begini. Lagian Nak Laila kan baru datang, pasti masih capek," tolak Mak Eti halus. Laila akhirnya hanya mengikuti langkah mak Eti menuju dapur.
Melewati ruang keluarga yang luas, dengan karper-karpet bulu yang lebar dan tebal, mereka sampai di ruang makan yang langsung bergabung dengan dapur. Dapurnya juga luas dan cantik. Laila berdecak kagum. Kok ada orang masih lajang sudah punya rumah begini luas dan bagusnya, batin Laila dalam hati. Dari dapur, Laila bisa melihat halaman belakang yang luas. Ada taman dan sebuah ayunan tertata rapi di sana.
"Laila, duduklah dulu. Mak buatkan teh ya, biar badannya segar," tawar mak Eti.
"Biar Laila bantu masak, Mak Eti," Laila langsung mengambil kantong belanja yang dibawa oleh laki-laki yang bernama Pak Udin.
"Laila, nanti ada yang datang bantu Mak memasak. Mba Susi. Hari ini dia agak telat datangnya, karena mau ke sekolah anaknya dulu. Mau bayar SPP katanya." Laila tak mengacuhkan ucapan Mak Eti. Ia tetap membantu mengeluarkan bahan-bahan memasak dari dalam kantong belanjaan.
"Pak Udin, mau dibikinin kopi apa teh?" tanya Mak Eti pada pak Udin yang telah duduk di kursi meja makan.
"Kopi saja, Mak." jawab pak Udin.
"Kok belanjanya begini banyak ya, Mak?" tanya Laila heran, padahal sepertinya tak banyak orang di rumah ini.
"Iya, Nak. Nak Tama memang selalu menyuruh Mak Eti dan Mba Susi masak agak banyak, biar Mba Susi pulang nanti ke rumahnya bisa bawa lauk dan sayur dari sini. Mba Susi datang pagi, pulang sore. Kerjaannya cuci dan setrika serta bersih-bersih rumah. Pak Udin juga kan tinggal dengan anak istrinya, nanti pulang juga bawa lauk dan sayur dari sini," Mak Eti menerangkan panjang lebar.
Wow, Laila ternganga. Ada ya laki-laki muda yang baik seperti itu. Yang punya kepedulian sampai kepada hal-hal sepele seperti itu, membagi masakannya dengan pembantu dan supirnya. Tak dapat dipungkiri, ada sedikit rasa simpati di hati Laila mendengar cerita mak Eti tentang laki-laki bernama Tama itu.
"Mak, Laila mau dhuha dulu ya, Mak." pamit Laila.
"Oh, iya, Nak. Kamu mau dhuha di ruang sholat apa mau di kamar aja?" tanya mak Eti.
"Di ruang sholat aja ya, Mak."
"Ya udah, itu yang di samping ruang keluarga, ya. Mukenanya sudah lengkap di sana."
"Ya, Mak." Laila pun bergegas menuju ruang sholat yang tadi sudah dilihatnya sekilas.
Sambul berjalan, Laila tersenyum sendiri. Masa mak Eti bilang mau di kamar. Memang kamarnya di mana? Travel bagnya aja masih tergelatak di ruang tamu. Uh, Laila merasa bingung. Bagaimanakah nanti dan seterusnya ia akan menghadapi laki-laki yang telah berstatus sebagai suaminya itu? Laki-laki yang ditinggalkannya pada malam pertama mereka? Akankah laki-laki itu mau memaafkannya dan bersikap baik padanya? Ah, Laila mengusap wajahnya kasar. Mudah-mudahan dengan wudhu dan sholat dhuha, kebingungan dan kegalauannya bisa sedikit berkurang.
*****
(side b)
Laila menadahkan tangan memohon ampunan pada Tuhan. Laila sadar, apa yang diperbuatnya pada laki-laki yang telah sah menjadi suaminya itu adalah suatu dosa. Tak seharusnya Laila berbuat seperti itu. Tapi semua telah terjadi.
Padahal sebenarnya Laila adalah perempuan yang cukup taat dalam beragama. Ia berusaha tidak hanya melaksanakan ibadah-ibadah wajib, tapi juga menyempurnakannya dengan ibadah-ibadah sunnah. Seperti sholat duha, Laila berusaha untuk melaksanakannya secara rutin.
Begitu banyak fadilah dari sholat dhuha yang pernah didengarnya dari pengajian-pengajian rutin di kampusnya. Salah satunya adalah Diampuni dosa-dosanya meski sebanyak buih di lautan. "Siapa pun yang melaksanakan sholat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Alloh sekalipun dosa itu sebanyak buih di lautan," (HR Tirmidzi).
Pada hadist yang lain dikatakan akan dibangunkan rumah di surga. "Barang siapa mengerjakan shoalt dhua sebanyak 12 rakaat, maka Alloh akan membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga," (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan masih banyak fadilah serta keutamaan sholat dhuha yang lainnya, yang membuat Laila merasa rugi jika tidak melaksanakannya.
Setelah selesai berdoa, Laila melipat mukenanya dan kembali ke dapur membantu Mak Eti. Ternyata mba Susi yang tadi diceritakan mak Eti telah datang dan ikut membantu memasak. Melihat kedatangan Laila, mba Susi langsung menghampiri dan menyalami Laila.
"Wah, ayu tenan," mba Susi menatap Laila dengan tatapan terpesona.
"Pantas ya, Pak Tama kesengsem," imbuhnya lagi. Ucapan mba Susi membuat Laila tersipu malu.
"Ah, Mba Susi bisa aja," Laila menyentuh pundak mba Susi ramah. Laila memang ramah dan cepat akrab dengan orang. Sehingga wajar begitu ketemu orang langsung suka dan senang dengannya. Seperti mba Sri dan mak Eti, meski baru bertemu Laila, tapi mereka langsung merasa senang dengan Laila.
Lalu mereka bertiga pun asyik memasak seraya berbagi cerita. Lagi-lagi Laila mendapatkan informasi yang membuat hatinya tertegun. Mba Susi tak sengaja cerita kalau biaya sekolah dua orang anaknya dibantu oleh Tama. Mba Susi seorang janda. Suaminya meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Tama lah yang banyak membantu mba Susi dan anak-anaknya.
"Goreng petei dan ikan asin dengan cabe ijau ini kesukaan, Pak Tama, Uni Laila," ujar mba Susi yang telah sibuk menata makanan di atas meja makan.
"Oh, iya Mba," Laila mengangguk seraya ikut membantu menata meja makan.
Beberapa buah rantang telah diisi dengan lauk dan sayur untuk bekal mba Susi dan pak Udin nanti jika pulang. Biasanya sebelum magrib mereka berdua pulang ke rumah kontrakan masing-masing.
"Assalammualaikum," terdengar salam dari pintu depan. Mba Susi bergegas ke depan membukakan pintu.
"Waalaikumsalam," ujar mba Susi seraya melebarkan daun pintu.
"Wah, tumben Pak Tama pulang makan siang ya," suara mba Susi terdengar heboh.
"Pasti karena ada istrinya ya, Pak Tama," mba Susi mengikuti langkah Tama ke ruang keluarga. Laila membeku di samping meja makan.
"Ada faktur toko yang tertinggal, Mba Susi," jawab Tama seraya bergegas ke lantai dua menuju kamarnya.
"Ayo, Uni Laila. Disusul itu suaminya. Siapa tahu perlu sesuatu," mba Susi tiba-tiba telah berada di samping Laila dan menyikut tangan Laila serta mengerlingkan matanya dengan tatapan menggoda.
"Apaan sih, Mba Susi," Laila lalu beranjak ke dekat mak Eti. Mba Susi terkekeh melihat tingkah malu-malu Laila.
"Ada lagi yang perlu Laila bantu, Mak?"
"Udah selesai semua, Nak Laila. Pergi lah ke kamarmu di atas. Istirahatlah," ujar mak Eti seraya tersenyum pada Laila. Laila terdiam. Sebenarnya ia ingin sekali membaringkan tubuhnya. Tapi ia bingung mau masuk kamar yang mana.
"Mak Eti, tolong masukkan travel bag yang di ruang tamu ke kamar di samping ruang sholat, ya," tiba-tiba Tama telah berdiri di dekat ruang makan.
"Oh, iya, Nak Tama," mak Eti tergopoh menuju ruang tamu.
Tapi sedetik kemudian wanita paruh baya itu kembali ke ruang makan. Tama telah duduk dan bersiap untuk makan siang. Sementara Laila hanya berdiri dengan bingung. Mba Susi telah ke ruang cuci di belakang.
"Eh, maaf, Nak Tama, apa tidak sebaiknya langsung aja Mak Eti bawa ke atas? Ke kamar, Nak Tama?" Tama menatap mak Eti dengan kaget, begitu pun dengan Laila. Tapi sejenak kemudian, ia kembali terlihat biasa-biasa saja.
"Biar Laila di kamar tamu aja dulu, Mak Eti. Kasihan nanti dia kecapean naik turun tangga," jawab Tama santai. Laila menelan ludahnya yang terasa pahit.
Ya, ini lebih baik. Ia pun belum siap sekamar dengan laki-laki yang telah berstatus suaminya itu.
"Biar Laila aja yang bawa, Mak." Laila bergegas mengejar mak Eti.
"Ga pa pa, Mak Eti aja. Nak Laila temani aja Nak Tama makan, ya," ujar mak Eti seraya mendorong travel bag Laila ke kamar tamu.
"Laila belum lapar, Mak. Nanti aja." ucap Laila dan mengikuti langkah mak Eti ke kamar. Sementara Tama telah makan dengan lahapnya, tanpa menawari dan mengajak istrinya itu untuk ikut makan.
Sesampainya di kamar, Laila langsung duduk di atas tempat tidur ukuran jumbo yang ada di kamar tersebut. Kamar dengan nuansa hijau itu terlihat segar dan nyaman. Laila tiba-tiba ingin merebahkan badannya dan tidur sejenak.
"Mak, Laila pengen baring bentar, ya."
"Ga makan dulu, Nak?"
"Nanti aja, Mak. Laila pengen istirahat bentar. Nanti habis sholat zuhur, Laila makan, ya." Laila tersenyum manis pada mak Eti yang menatapnya dengan tatapan iba.
"Iyalah. Mak tinggal dulu, ya. Mungkin Nak Tama mau balik lagi ke kantor atau ke tokonya," pamit mak Eti.
"Ya, Mak. Makasih, ya, Mak." ucap Laila tulus. Mak Eti mengangguk dan menutup pintu kamar.
Mak Eti menuju ruang makan dan melihat Tama telah selesai dengan makan siangnya.
"Dia ga makan, Mak?" tanya Tama yang melihat kedatangan mak Eti.
"Dia siapa, Nak Tama?" mak Eti menatap Tama bingung.
"Laila lah, Mak." Tama mencoba tersenyum pada mak Eti.
"Oh, istri Nak Tama? Nanti katanya, Nak Tama. Mungkin segan ga ditawari sama suaminya tadi," sindir mak Eti. Tama hanya mengangkat bahu. Setelah menyelesaikan makan dan mencuci tangannya, Tama pun segera bangkit.
"Mak, saya balik ke kantor. Nanti kayaknya ada kiriman mukena dari Bukit Tinggi. Letakkan aja dulu di ruang sholat ya. Itu mau dibagi-bagi ke mushalla ya, Mak. Suruh besok Pak Udin keliling narok di tiap-tiap mesjid dan mushalla di sekitar perumahan ini," ujar Tama sebelum ke luar dari pintu depan.
"Iya, Nak Tama. Tapi apa Nak Tama ga pamit dulu sama Nak Laila?" mak Eti menatap Tama dengan tatapan menyelidik. Heran juga mak Eti melihat sikap acuh majikan yang telah dianggapnya seperti anaknya ini.
"Saya buru-buru, Mak. Biarkan aja dia istirahat," jawab Tama lalu segera berlalu menuju mobilnya. Mak Eti hanya mengangguk.
***
Sementara di kamar, Laila mencoba memejamkan mata. Tapi yang ada matanya malah terbuka semakin lebar. Masih terbayang sikap acuh suaminya itu. Jangankan menyapa, menolehpun tidak. Tapi ... bukankah ia pantas mendapatkan perlakuan seperti itu? Bukankah ia harus bersabar seperti kata ayah? Toh ia juga tak memiliki perasaan apa-apa pada laki-laki itu, lalu buat apa ia harus memikirkan sikapnya?
Laila bangkit dari tidurnya. Ia buka jilbab instannya. Ian ingin mandi sebelum sholat zuhur. Tapi tiba-tiba perutnya terasa lapar. Setelah sholat zuhur nanti ia akan makan. Ia tak akan terlalu merisaukan sikap dan perlakuan suaminya itu. Yang ada di pikiran Laila saat ini hanya bundonya. Bundonya harus sehat seperti sedia kala.
Setelah mandi, sholat zuhur, dan makan siang bersama mak Eti, mba Susi dan pak Udin, akhirnya Laila bisa tertidur juga. Ternyata masih ada satu lagi penghuni rumah yang baru ditemui Laila tadi pas makan siang. Anita, anak gadis mak Eti yang ikut dengan mak Eti tinggal di rumah ini. Anita kuliah di UNJ, jurusan Pendidikan Matematika. Ia ingin menjadi guru matematika katanya. Anaknya cantik dan baik. Dan satu lagi kejutan buat Laila, Anita ternyata juga dikuliahkan oleh Tama.
Masih muda, sukses di usaha, tapi masih peduli pada sesama. Mengapa Laila baru mengetahui semua itu sekarang ya?
Ceritanya menggugah hati
BalasHapus