Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 12 November 2020

Masih Adakah Surga Untukku #1

Cerita bersambung
Oleh : Naya Rindu

(side a)
Pesta telah usai. Malampun mulai menjelang. Laila masuk kamar ingin segera menghapus riasan di wajah yang membuatnya tidak nyaman. Ingin mengganti baju pengantin yang membuatnya merasa sesak dan gerah. Perasaan hati tentu ikut berpengaruh terhadap semua yang melekat di tubuhnya.

Terlebih dahulu Laila mengunci pintu kamar sebelum menanggalkan semua yang melekat di tubuhnya.

Lalu secepat mungkin ia membersihkan diri di kamar mandi. Baru saja ia selesai memakai pakaian tidur yang panjang, Laila mendengar ketukan di pintu kamar. Laila pun segera menyambar jilbab instannya sebelum membuka pintu.

Laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya, telah berdiri tepat dihadapannya ketika ia membuka pintu kamar. Laila menggeser tubuhnya memberi jalan pada laki-laki yang masih mengenakan baju pengantinnya itu.
Mereka berdua terlihat begitu canggung. Namun tak ada debaran atau rasa merona seperti yang biasa didengar Laila dari teman-temannya yang bercerita tentang malam pertama mereka.


"Aku ganti baju dulu ya ke kamar mandi, kamu kalau mau duluan tidur, tidur aja," ucap laki-laki bernama Tama itu.
"Ya, Bang," jawab Laila seraya menutup pintu kembali. Lalu dilihatnya laki-laki itu mengambil pakaian dari dalam travel bagnya yang berada di sudut kamar. Setelah dilihatnya Tama masuk kamar mandi, Laila pun bergegas ke luar kamar. Ia akan melaksanakan sholat isya di ruang sholat saja.

Setelah sholat isya, Laila kembali menuju kamarnya. Rumah terlihat sudah sepi. Pastilah semua sudah beristirahat karena lelah seharian mengurus pestanya. Sampai di kamar, Laila melihat Tama sedang sholat. Laila pun segera naik ke atas tempat tidur, mengambil posisi paling pinggir arah ke tembok.
Tanpa membuka jilbabnya, laila mencoba tidur karena ia merasa tidak perlu menunggu laki-laki itu selesai sholat. Ia menyelimuti seluruh tubuhnya sampai ke leher. Udara malam terasa mulai dingin.

Kampungnya memang terletak di sebuah lereng gunung. Gunung Sago namanya. Sehingga udara di kampungnya ini masih terasa begitu dingin. Apalagi nanti jika sebelum subuh, dinginnya membuat tubuh menggigil. Tidak berapa lama, Laila merasakan tempat tidur di sampingnya bergerak. Berarti laki-laki itu telah ikut merebahkan tubuhnya di samping Laila. Laila tadi telah menyediakan selimut satu lagi untuk suaminya itu, agar mereka tak perlu berbagi selimut.

Tidak berapa lama, Laila mendengar dengkuran halus dari laki-laki di sampingnya. Laila kembali telentang. Ditatapnya langit-langit kamar. Pikirannya menari-nari tak tentu arah. Mengapa begini tragis nasibnya. Menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Jangankan cinta, bertemu juga baru beberapa kali. Bagaimana ia akan menjalani hari-hari dengan seseorang yang tidak dicintainya sama sekali?

Laila menoleh ke samping. Ditatapnya laki-laki yang telah tertidur lelap di sampingnya. tak ada getaran sedikitpun di hatinya berdekatan dengan laki-laki ini. Tak ada sedikitpun rasa senang apalagi bahagia mengingat ia telah menjadi seorang istri. Yang ada hanya rasa kecewa, sakit, benci dengan semua yang telah ia alami. Tidak pernikahan seperti ini yang Laila harapkan. Laila ingin menikah dengan laki-laki yang mencintainya dan dicintainya. Menjalani ijab kabul dengan suka cita, bersanding di kursi pengantin dengan penuh kebahagiaan, dan melewati malam pertama dengan debaran dan kepuasan.

Sebulir cairan bening mengalir dari sudut-sudut mata Laila. mengapa begitu sakit rasanya. Ia tak ingin menghabiskan hari-harinya dengan orang yang tidak dicintainya. Laila ingin melewatkan hari-hari dengan tawa, canda, kemanjaan dengan laki-laki yang dicintainya. Bukan dengan laki-laki di sampingnya ini.

Malam makin larut. Tapi mata Laila belum  juga terpejam. Terbayang kehidupan kelima saudara perempuannya. Semuanya menikah karena perjodohan. Bundo dan ayah Laila adalah orang-orang yang memegang teguh agama. Sehingga tak ada satupun anak-anaknya yang dibolehkan berpacaran. Semua menikah atas pilihan mereka. Ayah dan Bundonya juga orang yang masih kolot memegang adat. Mereka hanya mau bermenantu orang dari kampung sendiri.

Laila bisa melihat kehidupan kelima kakak perempuannya begitu monoton. Tak ada yang menarik. Meski memang kehidupan kelima kakaknya dekat dengan agama dan secara materi tak ada yang kekurangan. Tapi Laila ingin sesuatu yang berbeda. Laila ingin kehidupan yang lebih berwarna. Dari kecil, Laila memang terlihat berbeda dari kelima kakak perempuannya. Laila adalah gadis yang ceria, pintar, sedikit susah diatur. Ia selalu bisa melakukan negosiasi dengan Ayah dan Bundonya jika memiliki suatu rencana atau keinginan. Sehingga akhirnya bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya.

Tapi tidak untuk yang satu ini. Untuk urusan perjodohan, Laila tidak bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya. Berbagai cara telah dilakukan Laila untuk menolak dan membatalkan perjdohannya dengan laki-laki yang katanya pengusaha tekstil di Tanah Abang, Jakarta.

Laila sebenarnya juga sudah berusaha membuka hatinya untuk laki-laki berusia 30 tahun ini. Tetapi, tak ada sedikitpun rasa di hatinya untuk laki-laki ini. Laila menghapus air mata di kedua pipinya. Pelan ia bangkit. Dilihatnya jam tangan di atas meja riasnya. Pukul 02.30. Laila membuka lemari pakaiannya. Mengambil beberapa gamis, jilbab pasmina instannya, beberapa pakaian dalamnya dan memasukkannya ke dalam sebuah ransel. Laila melakukannya dengan begitu pelan dan hati-hati. Diliriknya Tama yang tak sedikitpun terganggu dengan gerakannya. Pastilah laki-laki ini begitu lelah sehingga tidur dengan begitu nyenyaknya.

Laila mengambil secarik kertas dan pena. Dengan tergesa ia menuliskan sesuatu di kertas tersebut. Lalu meletakkannya di atas meja riasnya. Setelah itu Laila membuka pintu kamar tidurnya dengan hati-hati. Dilewatinya ruang keluarga dan ruang tamu dengan dada berdebar-debar. Lalu dibukanya pintu depan dengan tangan gemetar. Laila ke luar dari rumah dengan mengendap-endap. Sedikit bergegas, Laila melewati halaman rumahnya yang lumayan luas. Dengan berjingkat iapun berhasil keluar dari pagar rumahnya.

Tujuan Laila adalah ke rumah uni Feni. Kakaknya yang nomor tiga. Dibanding keempat kakaknya yang lain, uni Feni lah yang paling dekat dengan Laila dan yang paling tidak tegaan orangnya. Jarak rumah uni Feni dengan rumah orang tua mereka hanya 300 meter. Tidak berapa lama, Laila telah sampai di depan rumah uni Feni. Dibukanya pintu pagar dengan hati-hati. Masih dengan debaran dada yang tidak menentu, Laila mengetuk jendela kamar uni Feni.

Tidak menunggu lama, Laila mendengar suara pintu kamar dibuka. Laila menunggu di depan pintu samping rumah uninya agar tak ada yang melihat kedatangannya di rumah kakaknya ini dimalam buta seperti ini.
"Laila!" uni Feni kaget melihat adik bungsunya telah berdiri di hadapannya dengan sebuah ransel di punggungnya.
"Ada apa, dek" uni Feni menarik tangan Laila untuk masuk.
"Uni, tolong Laila, Ni. Laila ga bisa, Ni." Laila menangis dan tubuhnya luruh di lantai. Uni Feni ikut menangis melihat adiknya. Hal ini pernah dirasakannya 12 tahun yang lalu. Tapi ia wanita yang hanya bisa menerima takdir hidupnya dengan sabar dan iklas.

"Jangan seperti ini, dek" parau suara uni Feni merengkuh bahu Laila. Mereka berpelukan dalam tangisan.
"Laila ga bisa, uni. Bukan hidup seperti ini yang Laila harapkan. Laila bukan uni Lili, bukan uni Rini, bukan uni Feni, ataupun uni Maya dan uni Linda," kerongkongan Laila terasa sakit mengucapkan kata-kata itu. Uni Feni hanya bisa memeluk erat adik bungsunya. Ia bisa merasakan rasa sakit adiknya ini. Karena dulu ia juga pernah merasakannya.

"Aku ingin mengejar impianku, Uni. Aku ingin mendapatkan laki-laki yang aku cintai dan mencintaiku. Aku ingin menikah dengan rasa bahagia. Tolong aku sekali ini saja, Uni. Antarkan aku ke pasar, jam empat nanti ada travel yang menuju ke Padang. Akan aku ingat pertolongan uni ini sampai kapanpun," ucapan Laila mencabik hati uni Feni. Beginikah akhirnya? Mengapa adiknya begitu berbeda dengan kelima kakaknya?

"Uni, tidak bisa Laila. Bagaimana nanti Ayah, Bundo, suamimu, dan seluruh sanak saudara jika kamu pergi meninggalkan suamimu," uni Feni terisak. Ia melepaskan pelukannya dan berdiri dengan tubuh bergetar. Tapi Laila tersungkur dan memegang kedua kaki uninya.
"Laila mohon, uni. Ini takdir Laila. Yakinlah uni, apapun yang akan terjadi, semua pasti atas izin-Nya. Begitu juga dengan jalan hidup yang harus Laila jalani," Laila tak melepaskan kedua kaki uninya.

"Jangan begini, Laila. Uni mohon, jangan seperti ini," dada uni Feni terasa begitu sakit. Ia begitu terluka melihat adiknya seperti ini. Adiknya yang biasanya selalu ceria, yang selalu bisa membuat suasana jadi penuh tawa, yang selalu punya ide-ide cemerlang untuk keluarga besar mereka. Laila yang pintar, yang baik hati, yang disukai oleh orang-orang disekelilingnya. Tak ada masyarakat di sekitar mereka yang tidak menyukai Laila. Karena Laila selalu ramah pada siapa saja. Ia selalu siap membantu orang-orang kampung yang membutuhkan bantuannya.

Uni feni tiba-tiba mengambil jilbab instannya dan menyambar kunci motornya dengan tergesa.
"Ayo," ucapnya dengan suara bergetar. Laila mengerjab tak percaya. Dengan cepat, Laila mengikuti uninya ke luar. Feni mendorong motornya ke luar pagar rumahnya dengan pelan. Setelah di laur pagar ia pun menghidupkan mesin motornya. Dengan sigap Laila naik ke boncengan uninya. Motor pun melaju dalam dinginnya malam. Laila memeluk pinggang uninya dengan erat.

Dua puluh menit mereka sampai di pasar. Benar ternyata, ada travel yang akan segera berangkat menuju ke Padang.
"Terima kasih, Uni," Laila memeluk uninya dengan erat.
"Jaga dirimu baik-baik," uni Feni kembali menghapus air matanya dengan ujung jilbabnya.
"Ini, sedikit untuk bekalmu, Dek," uni Feni meletakkan beberapa lembar uang 100rb di tangan Laila. Laila menerimanya dengan terisak. Lalu Laila pun segera naik ke atas travel yang telah berisi tiga orang penumpang. Feni pun segera menghidupkan motornya dan segera berlalu pulang.

Air matanya tak henti mengalir. Ia tak tahu, apakah yang telah dilakukannya ini salah atau benar. Tapi sungguh ia tidak tega melihat luka di mata adiknya itu. Laila gadis yang baik. Ia pantas bahagia.
***

Rumah besar bundo Laila heboh setelah sholat subuh. Tama menyerahkan surat yang ditinggalkan Laila kepada wanita berusia 60 tahun itu. Bundo luruh ke lantai setelah membaca surat singkat dari Laila untuk suaminya. Tak ada kata yang keluar dari mulut wanita yang terkenal sabar luar biasa itu. Tapi, tiba-tiba tubuh wanita yang telah melahirkan enam orang anak perempuan itu menegang. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya.

"Bundo!" uni Lili yang tidur di rumah besar karena ia memang tinggal di luar pulau, merengkuh tubuh wanita terkasihnya itu.
"Bundo, isttighfar, Bundo," uni Lili menciumi wajah bundonya dengan pipi yang telah basah oleh air mata. Tangan bundo menunjuk-nunjuk ke pintu depan. Tapi masih saja tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Wanita itu merasakan kedua belah kakinya kaku tak bisa digerakkan.

Ayah berteriak memanggil seisi rumah. Tama yang tadi telah masuk kamar untuk membereskan barang-barangnya, segera ke luar mendengar suara teriakan ayah mertuanya. Tak bisa ia gambarkan bagaimana perasaannya saat ini. Ditinggalkan oleh wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu di malam pertama mereka. Rasa marah, sakit, dan kecewa mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Tama tahu, belum ada cinta di hati Laila untuknya, begitu juga sebaliknya, belum juga ada cinta di hatinya untuk perempuan cantik itu. Tapi pantaskah Laila melakukan hal ini padanya?

Kalau ia memang itdak menginginkan pernikahan ini, kalau memang ia menolak pernikahan ini, kenapa ia tak melakukannya dari awal? Mengapa ia tak mengatakannya sebelum ijab kabul? Mengapa baru sekarang? Apa salah dirinya yang membuat perempuan itu melakukan hal sekejam ini padanya. Di mana akan disurukkannya rasa malu ini. Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan sanak saudaranya, teman-temannya, pegawai-pegawainya di Jakarta sana.

"Tolong, Nak Tama. Tolong bawa Bundo ke rumah sakit,' suara memohon ayah mertuanya menyadarkan Tama dari lamuannya.
"Iya, Pak. Ayo kita bawa ibu ke mobil," Tama bergegas membantu wanita yang telah resmi menjadi mertuanya itu ke mobil. Tama memang telah mengantongi kunci mobilnya dari tadi begitu mendapatkan surat dari Laila. Tama tadi telah berniat untuk segera pergi juga meninggalkan rumah besar mertuanya ini. Tapi tentu ia tidak akan bisa membiarkan wanita yang telah melahirkan istrinya itu tak tertolong. Walau bagaimanapun perasannya saat ini, Tama harus melupakannya untuk sejenak.

Setelah membaringkan bundo Laila di kursi tengah dengan kepalanya dipangku uni Lili dan uni Rini, Tama pun segera menjalankan mobilnya ke luar halaman rumah. Ayah Laila telah duduk di samping Tama dengan mata basah. Ia begitu khawatir dengan kondisi istrinya saat ini. Untuk sejenak laki-laki tua yang masih terlihat gagah itu melupakan masalah anak bungsunya Laila. Uda Rudi suami uni Lili dan uda Akmal suami uni Rini ikut serta ke rumah sakit. Mereka berdua menyusul dengan mobil sendiri dan singgah dulu ke rumah uni Feni untuk memberitahukan kondisi bundo.

Uni Feni seketika pucat mendengar berita yang disampaikan kedua kakak iparnya itu. Berdua dengan suaminya, uni Feni ikut ke rumah sakit. Keempat anaknya ditipkannya kepada kedua mertuanya yang beberapa malam ini menginap di rumah mereka karena menghadiri pesta Laila.

Air mata Feni kembali mengalir. Berarti apa yang telah dilakukannya dini hari tadi adalah kesalahan besar. Ia mencoba menghubungi ponsel Laila, tapi seperti dugaannya, ponsel adiknya itu sudah tidak aktif lagi. Feni menutup mulutnya menahan isak tangis. Ia merasa sangat berdosa kepada bundonyo. Uda Rizal memeluk pundak istrinya, merengkuh tubuh wanita yang sedang berduka itu ke dalam pelukannya.

"Sudah, jangan menagis terus. Lebih baik umi doakan bundo ya, semoga bundo baik-baik saja," suara uda Rizal terdengar lembut. Feni mengucapkan istighfar dalam hati. Lalu ia mulai merapalkan doa untuk bundo tercintanya. Semoga bundo masih dilindungi oleh Alloh SWT. Feni tidak ingin Laila menjadi anak durhaka jika sesuatu yang buruk terjadi pada bundo mereka. Membayangkan semua itu, wanita cantik ini kembali terisak. Uda Rizal kembali mengeratkan pelukannya. Diciumnya kening istrinya dengan penuh kasih.

Mereka juga dulu dijodohkan. Awal pernikahan terasa begitu berat. Tak ada sedikitpun rasa di antara mereka. Tapi Feni, wanita yang cantik dan baik. Tak ada alasan bagi Rizal untuk tidak belajar menyukai dan mencintai wanita di sampingnya ini. Sejalan berlalunya waktu, melewatkan hari-hari bersama, tidur dan makan berdua, akhirnya getaran dan rasa cinta itu mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Begitu indah proses mencinta mereka dalam ikatan yang halal. Dan saat ini, tak ada celah lagi di dada masing-masing yang tak berisi cinta dan kasih buat salah satu di antara mereka. Hidup mereka penuh tawa dan bahagia. Meski tentu juga ada ujian dan air mata.
***

Tak butuh waktu lama mereka semua sampai di rumah sakit umum di kabupaten. Semuanya bergegas membantu menurunkan bundo. Petugas rumah sakit pun cepat tanggap. Bed pasien telah menanti Bundo di depan ruang UGD. Lalu dua orang perawat dan seorang sekuriti mendorong bed bundo masuk keruang UGD. Sesampai di ruang UGD, dokter yang berjaga segera menangani bundo. Mata bundo masih terbuka, tapi tangan dan kaki bundo masih tak bisa digerakkan. Suara pun tak bisa keluar dari mulut bundo.

Uni Lili, uni Rini, uni Feni dan uni Linda yang juga telah datang menyusul dengan suaminya bertangisan di ruang tunggu UGD. Mereka memang diminta untuk menunggu bundo di luar, agar dokter dan perawat bisa lebih leluasa memeriksa bundo.

Feni melirik Tama yang berdiri di samping meja resepsionis. Ekspresi wajahnya sulit diartikan. Lalu ketika Tama mengedarkan pandangannya ke arah ia dan saudara-saudaranya duduk, Feni menundukkan kepalanya. Ada rasa bersalah di hati Feni karena telah membantu Laila kabur.  Bagaimanakah perasaan laki-laki tampan itu? Mengapa Laila merasa tak tertarik sedikitpun pada laki-laki ini? Padahal secara fisik, laki-laki ini memiliki syarat untuk digilai kaum wanita. Apalagi Feni dengar, adik iparnya ini juga seorang pengusaha yang sukses di Jakarta. Harusnya Laila belajar membuka hatinya untuk laki-laki yang telah resmi menjadi suaminya ini. Sepertinya terlalu cepat Laila menyerah.

Ah, akan kemanakan adik bungsunya itu sebenarnya?

*****
(side b)

Ayah terlihat syok mendengar keterangan dokter jika bundo terkena stroke. Dokter menyarankan bundo dibawa ke rumah sakit spesialis stroke di Bukit Tinggi. Di sana peralatan dan dokter-dokternya lebih lengkap untuk penyakit seperti bundo. Ayah dan keempat orang anak perempuannya menyetujui saran dokter. Bagi mereka yang terpenting adalah kesehatan dan kesembuhan bundo.

Uda Rizal dan uda Rudi langsung mengurus admistrasi dan surat rujukan dari dokter. Sementara uni Lili dan ketiga orang adiknya duduk di samping kiri dan kanan ayah. Mereka pun sama seperti ayah, bersedih melihat kondisi bundo. Tama yang sedari tadi hanya berdiri di samping ruang UGD berjalan mendekati ayah.

"Pak, maaf ... sepertinya Tama tidak ikut mengantar Ibu ke Bukit Tinggi." Ayah menatap Tama dengan tatapan perih.
"Iya, Nak. Tak Apa." suara ayah terdengar parau. Tama jongkok di depan ayah.
"Tama hanya bisa berdoa, semoga ibu secepatnya pulih, ya Pak dan bisa pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat seperti sedia kala."
"Iya, Nak terima kasih. Ayah dan semua keluarga mohon maaf atas semua yang terjadi." ayah menunuduk. Tak dapat ditahannya. Bulir-bulir bening itu membasahi pipinya yang telah mulai keriput. Bahu ayah berguncang menahan isak tangis.

"Tak apa, Pak. Bapak ga usah pikirkan dulu yang lain. Fokus aja dulu pada pengobatan dan kesembuhan, Ibu." Ayah semakin sedih mendengar kata-kata Tama. Ternyata ia tak salah memilih menantu. Sementara uni Lili, dan yang lainnya juga tak dapat menahan tangis.

"Sekalian Tama mau pamit, Pak. Mungkin dalam dua hari ke depan, Tama kembali ke Jakarta."
"Mengapa begitu cepat? Tidak kah Nak Tama bisa menunggu beberapa saat lagi? Siapa tau Laila pulang?" mata ayah menatap Tama penuh harap. Tama mencoba tersenyum.
"Tidak bisa sepertinya, Pak. Sudah terlalu lama Tama meninggalkan pekerjaan."

"Baiklah, Nak. Tapi Ayah janji, jika kondisi Bundo sudah membaik, Ayah akan menyelesaikan masalah Laila." ayah menyentuh bahu Tama dengan lembut. Tama mengangguk. Lalu diambilnya tangan ayah, disalami dan diciumnya dengan takzim. Sesaat kemudian laki-laki gagah itu telah meninggalkan ayah mertua dan keempat kakak iparnya. Ayah menatap kepergian menantunya dengan dada yang terasa perih. Uni Feni dan uni Rini menyusut air mata mereka dengan ujung jilbabnya. Ada yang terasa hilang di hati mereka.
***

Tama duduk di hadapan bapak dan ibunya serta kedua orang kakak perempuannya di ruang tamu. Berita kaburnya Laila telah menyebar ke seluruh pelosok kampung. Bapak dan ibu Tama serta seluruh keluarga merasa sangat malu dan juga merasa tersinggung. Tapi mereka tak dapat berbuat banyak, bukankah Laila gadis pilihan mereka untuk Tama?

"Sebenarnya apa yang terjadi, Nak? Mengapa tiba-tiba Laila kabur?" bapak menatap Tama yang terlihat begitu letih.
"Tama juga ga tau, Pak. Tama juga merasa bingung," Tama mendesah berat. Dadanya terasa begitu sesak. Tatapan bapak, ibu dan kedua kakak perempuannya semakin membuat Tama sakit.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?"
"Saat ini Tama belum bisa berpikir apa-apa, Pak."
"Kamu tak ingin mencarinya?"
"Buat apa, pak? Jika kami memang ditakdirkan untuk bersama, Alloh pasti akan mempertemukan kami kembali. Tapi jika memang dia bukan jodoh Tama, sekuat apapun kita berusaha, tetap saja tak akan berhasil."
"Maafkan Bapak dan Ibu." lirih suara bapak. Sementara ibu dan kedua kakak perempuan Tama hanya bisa mengusap mata yang kembali basah.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Pak. Bapak dan Ibu tidak salah. Semua sudah atas kehendak-Nya." Tama merengkuh pundak bapaknya dengan penuh kasih. Laki-laki yang telah banyak berjasa dalam hidupnya.
"Terima kasih, kamu tidak marah pada kami." Tama mencoba tersenyum.
"Tidak mungkin Tama marah pada Bapak dan Ibu. InsyaAlloh ada hikmah di balik semua ini, Pak." Bapak dan Ibu Tama semakin terluka melihat ketegaran anak bungsu mereka.

Tetap saja mereka merasa bersalah. Mereka lah yang bersikeras membujuk Tama untuk menikah dengan Laila. Mereka tidak ingin Tama mendapatkan jodoh dari tempat yang jauh. Apalagi jika perempuan dari pulau seberang. Mereka sudah tua, mereka ingin anak-anak tetap datang dan pulang setiap tahun, setidaknya setiap lebaran. Jika Tama berjodoh dengan perempuan sekampung, tentu tak perlu risau lagi dengan masalah tersebut.

"Oh, iya, Pak, Bu, lusa Tama balik ke Jakarta." tiba-tiba Tama menyadarkan ketermanguan bapak dan ibunya. Semua menatap Tama dengan kaget.
"Kenapa secepat itu, Nak?" ucap ibu. Ada kecemasan dalam nada suara ibu.
"Banyak yang harus Tama selesaikan di Jakarta, Bu. Kapan-kapan Bapak dan Ibu kan bisa ikut menyusul ke Jakarta," ucap Tama lalu beralih memeluk perempuan berusia 60 tahunan itu dengan penuh cinta. Bapak dan ibu mengangguk mencoba mengerti.

"Kalau Bapak dan Ibu ada waktu, pergilah ke Bukit Tinggi. Lihat kondisi bundo Laila. Walau bagaimanapun mereka masih besan Bapak dan Ibu," ujar Tama mengejutkan mereka semua. Anak laki-laki mereka telah tumbuh menjadi anak yang baik. Ada rasa haru dan bangga di hati keduanya.
"Ya, Nak. InsyaAlloh Bapak dan Ibu akan pergi membezuk." bapak menepuk pundak Tama lembut.
"Tama istirahat dulu ya, Pak, Bu," pamit Tama seraya berdiri.
"Makan lah dulu, Dek," ujar uni Rima mencoba menahan langkah Tama.
"Nantilah, Uni. Tama belum lapar." Uni Rima dan uni Soraya menarik napas berat. Mereka bisa merasakan apa yang dirasakan oleh adek mereka. Tapi apalah yang bisa mereka lakukan. Semua yang terjadi pada Tama benar-benar di luar nalar mereka.
***

Sudah lebih satu minggu bundo dirawat. Belum terlalu banyak kemajuan pada kesehatan bundo. Bundo masih belum bisa bicara. Bibir bundo pun masih terlihat sedikit miring. Syukurnya kaki dan tangan sudah mulai bisa digerakkan, meski masih lemah. Dokter mengatakan dua hari ke depan bundo sudah boleh pulang. Bundo bisa rawat jalan sekali seminggu untuk kontrol dan terapi.

Keempat kakak perempuan Laila selalu bergantian menjaga bundo. Sementara ayah tak pernah beranjak dari sisi bundo. Ayah mengurus bundo dengan telaten dan penuh kasih sayang. Laila masih juga belum bisa dihubungi. Telah puluhan kali keempat orang kakaknya mencoba menelphon dan mengirim sms. Tapi ponsel gadis cantik itu masih juga tak dapat dihubungi.

Uda Rizal dan uda Rudi juga telah berusaha mencari ke kota Padang. Ke tempat-tempat saudara dan teman-teman Laila. Hasilnya nihil. Laila seperti lenyap ditelan bumi. Mereka sudah kehabisan akal, bagaimana cara menemukan Laila. Padahal mungkin saja dengan kepulangan Laila, kondisi bundo akan lebih membaik.

Sementara itu, di sebuah rumah kos sederhana di pinggiran kota Padang, Laila berdiri di pinggir jendela kamar kosnya. Ditatapnya pantai Padang yang terlihat tenang di siang hari ini. Angin yang berhembus membuat ombak datang dan pergi membawa suara deburan yang begitu indah di telinga. Laila menyukai pantai. Tak pernah bosan ia menatap hamparan biru yang membentang sampai batas langit di ujung sana itu.

Tapi kali ini tak ada ketenangan di hatinya ketika menatap keindahan alam di hadapannya ini. Ada keresahan di dalam hatinya yang tak dapat ia sembunyikan. Dua hari lagi ia akan berangkat ke Jakarta. Ia menerima email, panggilan untuk ikut tes mengajar BIPA ke luar negeri. Pilihannya ada Mesir, Thailand, Uzbekistan, Prancis, Singapura, dan Austarlia. Laila berharap ia dapat lolos untuk pengajar yang ke Mesir. Dari dulu ia ingin sekali mengunjungi negeri pemilik piramida dan mummi itu.

Diraihnya ponsel yang beberapa waktu ini tak pernah diaktifkannya. Tangannya gemetar ketika akan menekan tombol hijau. Dadanya bergemuruh. Tapi ia merasa sudah waktunya untuk menghidupkan ponselnya dan berkirim kabar kepada uni Feni. Ia harus mengatakan kondisinya saat ini baik-baik saja. Laila yakin semua keluarganya pasti sedang mencemaskan dirinya saat ini.

Bunyi khas ponselnya menambah kencang degup di dada Laila. Lampu layar di depannya pun menyala. Lalu tak menunggu lama, puluhan notifikasi memenuhi layar ponselnya. Puluhan panggilan tak terjawab dan puluhan sms. Laila membuka salah satu sms dari uni Feni.
Deg. Jantungnya serasa berhenti berdetak membaca isi sms tersebut. Bulir-bulir air mata membasahi pipi mulusnya.

"Pulanglah untuk beberapa saat dek, meski ada atau tak ada lagi harapan untuk Bundo."
Laila terisak. Apa yang terjadi dengan bundo? Apakah ini hanya akal-akalan uni Feni saja? Apakah ini hanya sekedar gertakan? Tapi kalau sms itu benar, kalau bundo sedang kenapa-kenapa, kalau kondisi bundo sedang tidak baik-baik saja? Apakah ia akan bisa memaafkan dirinya jika sesuatu yang buruk terjadi pada bundonyo? Wanita terbaik yang amat dikasihinya?

Laila membereskan beberapa helai pakaian dan jilbabnya lalu memasukkannya ke dalam ransel. Dengan tergesa, ia menelpon travel ke kampungnya. Apapun yang terjadi, ia harus pulang. Laila tak mau jadi anak durhaka. Teringat kasih sayang bundo padanya, kesabaran bundo, perjuangan bundo membesarkannya, menyekolahnnya. Laila kembali terisak. Ia merasa telah begitu jahat pada perempuan berhati mulia itu.
***

Senja telah turun. Temaram membuat suasana kampung Laila terlihat sendu dan senyap. Laila melangkahkan kaki memasuki halaman rumahnya. Dadanya bergemuruh kencang membayangkan apa yang akan dihadapinya nanti di dalam rumah. Dengan kaki gemetar, Laila membuka pintu dan melangkahkan kaki memasuki rumah. Ayah, bundo dan keempat kakak Laila sedang berkumpul di ruang keluarga. Sementara riuh suara anak-anak terdengar dari arah paviliun.

Laila terpana, tatapannya terpaku pada sosok bundo yang sedang duduk di kursi roda. Tak dapat ditahannya air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Laila melemparkan tas ranselnya dan berlari memeluk ibunda terkasihnya.
"Bundo, maafkan Laila. Maafkan Laila." jeritt Laila pilu. Bundo diam tak bergeming. Hanya air mata yang menetes di kedua sudut mata wanita yang sudah mulai terlihat tua dimakan usia. Tubuh Laila luruh ke lantai. Ia memegang kedua kaki bundo. Tangan bundo terangkat pelan, lalu menyentuh puncak kepala anak gadisnya yang tertutup jilbab.

Semua mata terpaku melihat adegan di depan mereka. Tak ada yang dapat menahan isak tangis melihat Laila dan bundo. Ayah pun hanya mampu terdiam. dadanya terasa berat. Kemarahan yang terpendam sejak beberapa waktu lalu, entah mengapa menguap begitu saja melihat kondisi anak gadis yang teramat dicintainya itu.

Laila lalu bangkit dan mendekati ayahnya. Tubuh Laila kembali luruh di depan ayahnya.
"Ayah, antarkan Laila ke rumah suami Laila." suara Laila terdengar begitu lirih namun juga terdengar penuh keyakinan. Ayah menyentuh kedua pundak Laila, dan mengangkatnya ke atas. Lalu direngkuhnya tubuh anak gadis yang amat disayanginya itu ke dalam pelukannya. Ayah kembali menangis. Padahal dulu ayah adalah laki-laki yang begitu pantang mengeluarkan air mata. Begitu juga dengan keempat kakak Laila, mereka terisak dalam diam.
***

Ayah dan Laila berdiri di depan pintu rumah yang terlihat begitu megah. Tak salah orang kampung mengatakan laki-laki muda ini merupakan perantau yang telah sukses. Ayah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sementara Laila hanya menunduk, meremas tangannya yang terasa begitu dingin. Debaran di dadanya begitu heboh, membuat ia berkeringat dingin.

Tak lama kemudian pintu besar di depan mereka terbuka. Sosok laki-laki gagah itu berdiri di hadapan mereka.
"Assalammualaikum, Nak Tama," Bapak mencoba menatap wajah Tama yang terlihat amat terkejut. Bapak menggenggam tangan Laila dengan erat mencoba memberi kekuatan pada anak gadisnya itu.
"Waalaikum salam, Pak." Sejenak mereka sama-sama terdiam. Terasa begitu canggung.
"Maaf, Nak Tama. Ada yang perlu Ayah bicarakan dengan Nak Tama," ucap ayah menyadarkan ketermanguan Tama.
"Oh iya, Pak. Maaf. Silakan masuk, Pak." Tama membuka daun pintu lebih lebar dan memberi jalan pada ayah dan Laila. Ayah melangkahkan kakinya memasuki rumah Tama tanpa melepaskan genggaman tangannya pada Laila. Sementara tangan ayah satu lagi mendorong travel bag milik anak gadisnya itu.

"Silakan duduk, Pak." Ayahpun mengambil posisi di depan Tama. Laila ikutan duduk di samping ayahnya. Ruang tamu yang besar itu terlihat begitu indah dan mewah. Tapi suasana terasa begitu sepi.

"Maksud kedatangan Ayah ke sini adalah ingin mengantarkan Laila kembali pada Nak Tama." Ayah mencoba menatap wajah menantu di depannya. Tapi ekspresi wajah  Tama terlihat sulit untuk diartikan. Sementara Laila tak pernah mengangkat wajahnya dari tadi. Ia masih tak melepaskan genggaman tangan ayahnya. Entah mengapa hatinya begitu ketakutan menghadapi semua ini. Tak ada lagi kehebatannya, keberaniannya, kekonyolannya menghadapi berbagai hal-hal sulit seperti yang selama ini ia lakukan.

Tama masih terdiam. Kejutan kali ini tak jauh berbeda dengan kejutan pertama yang dilakukan gadis di hadapannya ini.
"Tapi, sebelumnya ayah ingin memastikan dulu pada Nak Tama." Ayah berhenti sejenak. Laki-laki tua itu berusaha mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya dan mengisi paru-paru serta rongga dadanya penuh-penuh, agar sesak itu sedikit berkurang.
"Apa itu, Pak?"
"Apakah Nak Tama belum mentalak Laila?"
Tama tertegun.

Bersambung #2

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER