Cerita Bersambung
Oleh : Tien Kumalasari
Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Bayangan perempuan yang tadi dilihatnya harus terkejar olehnya. Sudah lama dia menunggu untuk bertemu.
"Arum... Arum... tunggu Arum.." pangggilnya berkali-kali.
Perempuan tinggi semampai berbaju biru kembang-kembang itu hampir terkejar olehnya.
"Arum...!!"
Perempuan itu menoleh. Aryo melompat kedepannya dan menghentikan langkahnya.
Perempuan itu terbelalak, marah.
"Arum, jangan pergi, sudah lama aku menunggu bisa bertemu denganmu, Aku minta ma'af Arum, aku khilaf. Jangan pergi."
"Anda salah orang," jawabnya dengan pandangan kesal.
"Jangan begitu Arum, aku tau itu kamu."
"Saya bukan Arum," katanya sambil menghindar.
"Arum, tunggu Arum, kamu tidak kangen sama anakmu? Angga sudah mau masuk sekolah sekarang, ia kangen sama ibunya," kata Aryo sambil memegangi tangannya.
Perempuan itu cantik, kulitnya putih bersih, pandangan matanya tajam, mulutnya yang tipis pasti akan bertambah manis kalau tersenyum, tapi senyum itu tak ada disana. Ia mengibaskan tangannya dan berjalan cepat meninggalkan Aryo kebingungan. Sebuah taksi lewat, si cantik melambaikan tangannya. Lalu masuk kedalamnya dan berlalu.
Aryo termenung ditepi jalan. Ada sebuah bangku yang mungkin milik pedagang apalah, yang teronggok disana, lalu Aryo duduk sambil memandangi lalu lintas yang hiruk pikuk karena sa'atnya orang pergi bekerja.
"Mengapa dia pergi ? Aku yakin dia Arum. Mengapa tak mengakuinya? Begitu bencikah dia padaku sehingga tidak mau mengakui bahwa dirinya adalah Arum?"
Aryo memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Terbayang kejadian setahun lalu, ketika sang isteri sedang pamit untuk mengunjungi temannya yang sedang sakit. Ia dirumah hanya bersama Angga dan Rini perawatnya. Sebenarnya Arum tidak suka pada Rini. Gadis itu terlalu pesolek dan sedikit genit. Namun dia pintar merawat anak keil, dan rajin, sehingga Arum terpaksa menerimanya.
Malam itu hujan sangat deras. Memang baru pukul delapan ketika itu, namun tiba-tiba lampu padam. Aryo mencari korek api dan menyalakan lilin. Ia pergi kekamar Angga, dengan membawa lilin yang masih menyala. Tak terdengar suara karena Rini tadi sudah mengatakan bahwa Angga sudah tidur. Ia meletakkan lilin diatas meja, agar kalau terbangun nanti Angga tidak menjerit jerit ketakutan seperti biasa kalau tiba-tiba kamarnya gelap.
Remang didalam kamar itu, sepertinya Angga harus menyalakan satu buah lilin lagi. Tiba-tiba tertangkap olehnya pemandangan yang membuatnya terpana. Rini tergolek diranjang, disebelah Angga tertidur. Walau udara dingin, tapi Rini tidur tanpa selimut, dengan pakaian yang tak pantas dilihat mata, apalagi mata lelaki seperti dirinya.
Aryo melangkah keluar dengan debar yang tak diketahui apa penyebabnya. Ia meraba -raba keatas meja dan mengambil lagi sebuah lilin.
Ketika ia memasukkan lagi lilin kedalam kamar, dilihatnya Rini menggeliat, lalu turun dari atas ranjang.
"Pak Aryo, kepala saya tiba-tiba pusing," kata Rini.
"Ambil saja obat di almari, kamu kan tau tempatnya, kata Aryo sambil berjalan kearah ruang tengah. Hanya satu buah lilin menyala disana. Aryo ingin menelpon isterinya karena tak kunjung pulang ketika tiba-tiba Rini mendekat lalu duduk disebelahnya. Masih dengan pakaian minim yang sesungguhnya tidak pantas dilakukannya, apalagi ketika sedang mendekati seorang laki-laki yang bukan apa-apanya.
"Ada aoa?"
"Pak, tolonglah, saya harus menggosokkan minyak gosok ini ke leher saya. Tolong pak, pusing sekali rasanya," kata Rini sambil mengulurkan sebotol minyak gosok.
Aryo bingung. Mau dilakukan, rasanya kok tidak pantas, tapi kalau tidak dilakukan, masa sih, ada orang kesakitan minta tolong tidak mau menolongnya?
Aryo menerima botol itu, membukanya dan menggosokkannya di leher Rini.
Rini membungkukan badannya, dan aroma parfum kemudian berbaur dengan aroma minyak gosok yang dibalurkan ketubuh Rini.
Setan sibuk mengipasi hati manusia, dan mengatakan bahwa dosa itu nikmat. tergodalah iman iman yang lemah, dan dengan nyaman menjilat maksiat.
Tak terasa oleh mereka hujan telah berhenti, dan tiba-tiba seseorang muncul disana. Arum.
Terbelalak matanya melihat pemandangan tak pantas diatas sofa.
Menggelegak darah disekujur tubuhnya, dan menyalalah api sampai keujung kepalanya.
Rini berlari kebelakang, Aryo terpaku diatas sofa.
Arum tak mengucapkan kata sepatahpun. Apa yang dilihatnya cukup mengatakan apa yang terjadi, dan itu tidak terma'afkan. Ucapan tak akan merubah segalanya, dan apa yang terjadi tak bisa diputar ulangnya kembali. Arum membalikkan tubuhnya dan langsung keluar dari rumah. Hujan telah berhenti, tapi gerimis masih rajin meneteskan air.
"Arum tunggu Arum, ma'afkan aku Arum.. aku khilaf.. Arum !!" teriak Aryo sambil mengejar keluar.
Tapi Arum terus saja melangkah, menembus dinginnya alam dan gelapnya malam, entah kemana.
"Aruuum, tunggu Arum !!"
Aryo berlari keluar, mengejar sampai kejalan, tapi bayangan isterinya tak tampak lagi. Hilang ditelan kegelapan.
Aryo melangkah kerumah dengan lunglai. Inilah nikmat sesa'at yang akan menjadi petaka. Ia sudah mencoba menelpon tapi tidak diangkat, mencari kerumah orang tuanya juga tidak ada.
Aryo memasuki kamar anaknya, bocah mungil itu masih terlelap. Didengarnya isak tertahan dikamar itu, tapi Aryo tak perduli.
Ketika setan bersorak penuh kemenangan, maka amarah dan penyesalanlah yang menyelimuti hati dan jiwanya.
Malam itu juga Aryo mengusir Rini.
Rini menangis terisak sambil memegangi kakinya.
"Jangan mencoba merayu aku lagi," hardik Aryo.
"Bukankah bapak juga mengingininya?" sanggahnya tanpa malu-malu.
"Pokoknya lebih baik kamu pergi dan jangan pernah menampakkan wajahmu didepanku lagi," kata Aryo sambil memalingkan muka, tak ingin melihat wajah memelas yang diperlihatkan Rini.
***
Tapi celakanya Angga rewel pada keesokan harinya, karena tak melihat Rini didekatnya. Tertarih berjalan keluar, dan menemui ayahnya yang sedang termenung didepan kamar.
"Bapak..." panggil Angga sambil menangis.
Aryo terkejut dan menoleh. Karena hatinya kacau ia sampai tak melihat ketika Angga menangis didalam kamarnya.
"Oh, kamu sudah bangun ?" katanya sambil menggendong Angga dan diajaknya kedepan.
"Mana Rini..."
"Rini pergi nak, jangan menangis ya.."
"Mana Rini... ?"
"Rini sudah pergi, ayo mencari ibu saja ya?"
"Mana ibu..." Anga masih menangis.
"Tungu, mandi dulu minum susu lalu mencari ibu ya.."
Aryo membawa Angga ke kamar mandi, dan memandikannya dengan air hangat. Agak kikuk karena tak biasa melakukannya. Ia mengambilkan baju sekenanya yang diprotes Angga.
"Bukan ini celananya.." katanya sambil melemparkan celana yang akan dipakaikannya. Aryo bingung, kaos merah dengan gambar pesepak bola kesayangannya itu memang harus dipadu dengan celama merah. Ia mengaduk aduk semuaa pakaian Angga.
"Ituuu.. bapaak." teriak Angga ketika melihat celana yang dimaksud.
"Oh, iya, ma'af bapak lupa."
"Belum pakai bedak dan minyak !" Angga berteriak lagi.
Adduh... rupanya tidak gampang merawat anak. Aryo mengambil bedak, membedaki tubuh Arya dan menggosokkan minyak telon ketubuhnya. Aroma sedap menebar kedalam ruangan itu.
"Kemana ibumu pergi?" bisik Aryo sedih.
"Kemana ibu pergi?" Kata Angga menirukan kata-kata ayahnya.
Arya menggendong anaknya dan mendudukkannya dikursi. Ia bersiap membuat susu untuk Angga. Aduh.. berapa ukurannya. Aryo sibuk membaca aturan minum pada kaleng itu, baru bisa membuatnya lalu menyerahkannya pada Angga.
"Mana Rini?" astaga.. Angga bertanya lagi. Aryo tak menjawab. Rasa sesal memenuhi dadanya. Ini bukan sepenuhnya kesalahan Rini. Kalau Rini menggoda, apa salahnya kalau dia menghindar? Atau mengusirnya pergi menjauh. Tapi setan berkata bahwa dosa itu nikmat, dan Aryo menjilat dosa itu. Sesal kemudian tak ada gunanya. Itu benar bukan?
Sekarang dia merasakan betapa susah nya hidup merawat anak tanpa perempuan.
Berhari-hari lamanya sampai melupakan pekerjaannya, Aryo mencari Arum, tapi isterinya benar-benar menjauh darinya. Ia tak pulang kerumah orang tua, tak menumpang dirumah saudara atau teman.
"Kemana dia?" Aryo masih termenung diatas bangku dipinggir jalan raya itu. Angga dititipkan dirumah orang tuanya, dan dijemput ketika sore hari ketika dia pulang bekerja.
Mendung tampak menggantung, pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Aryo berdiri, lalu menyeberang jalan untuk mengambil mobilnya. Ia baru saja naik keatas mobil dan belum sempat menutup pintunya ketika tiba-tiba seseorang menghampiri.
"Pak Aryo.."
Aryo menoleh, dan kemarahannya memuncak. Rini berdiri dan memegangi pintu mobil erat-erat, takut Aryo memaksa menutupnya.
"Apa maksudmu? Lepaskan tangan itu," hardik Aryo.
"Jangan begitu pak, ijinkan saya menumpang sampai ke terminal, saya mau pulang kerumah orang tua saya."
Aryo ingin mendorong Rini supaya menjauh, ketika gelegar guntur terdengar memekakkan telinga. Lalu hujanpun tiba-tiba turun bagai tercurah dari langit.
"Tolong pak," rengek Rini sambil berlinang air mata.
Aryo menyerah, hujan yang turun sudah membasahkan baju Rini. Keterlaluan kalau dia tak mau menolongnya. Ia membukakan pintu samping dari belakang kemudi, lalu Rini berlari lalu naik keatas.
Aryo menjalankan mobilnya, tanpa menoleh kesamping. Ia tak perduli Rini basah kuyup dan seperti menggigil disampingnya.
Suasana hujan mengingatkannya kembali kepada malam kelam yang membuatnya terjerumus kedalam kubangan dosa. Wajahnya muram.
"Dingin sekali pak," kata Rini sambil menggigil.
Aryo tak bergeming. Ia terus menjalankan mobilnya kearah terminal seperti tadi dikatakan Rini.
"Rasanya badan saya panas," bisiknya lagi.
Tak sepatah katapun Aryo menjawabnya. Sebentar lagi akan sampai di terminal.
"Saya butuh obat pak, bapak punya?"
"Tidak." jawab Aryo singkat.
Terdengar suara lemah, menggigil kedinginan. Aryo masih tak perduli. Mobil itu sudah sampai di terminal. Aryo meminggirkannya, ketempat yang dekat dengan emperan sebuah toko.
"Sudah sampai terminal, sekarang turunlah," perintahnya tanpa menoleh.
"Bapak tega..." bisik Rini menggigil, lalu membuka pintu mobil dan turun.
Aryo meraih pintu sebelah kiri dengan tangannya dan menutupkannya karena Rini membiarkannya terbuka dan tas yang tadi dibawanya tertinggal di jok yang tadi didudukinya.
Ketika mobil akan dijalankan, tiba-tiba terdengar teriakan orang.
"Mas !! Mas..! mBaknya terjatuh !!"
Aryo terkejut, urung menjalankan mobilnya. Ia menggeser duduknya kesamping dan melongok keluar. Dilihatnya Rini tergolek disana.
"Ya Tuhan, apa lagi ini," keluh Aryo yang segera turun.
Mana mungkin membiarkan seseorang terbaring tanpa daya ditengah hujan seperti ini? Semarah apapun hati Aryo, tetap tak tega membarkannya. Ia turun dan mengangkat tubuh Rini, lalu dibawanya masuk kembali kemobilnya.
Satu-satunya jalan adalah membawanya kerumah sakit.
Disepanjang jalan itu Rini terkulai lemah, matanya terpejam. Aryo memegang keningnya, terasa panas.
"Rini.." panggil Aryo.
Tapi Rini tak menjawab sepatah katapun.
Aryo memacu mobilnya terus kerumah sakit, dan menurunkannya disana. Seorang petugas membawanya dengan brankar, keruang IGD. Aryo pergi ketempat pendaftaran, meninggalkan sejumlah uang.
Ia beranya kepada dokter yang merawatnya, tentang seberat apa penyakitnya. Dokter mengatakan bahwa Rini kena radang karena penyakit flu yang dideritanya.
"Biarkan dia beristirahat selama satu dua hari, kemungkinan dia sudah baik."kata dokter.
"Saya menemukan dia dijalan, tapi saya sudah meninggalkan sejumlah uang untuk perawatannya. Kalau uang itu sisa, berikan saja padanya. Kalau kurang ini ada nomor tilpun saya," kata Aryo kepada perawat.
Tak ada yang perlu dikhawatirkannya. Setelah menitipkan tas Rini yang tadi dibawanya keperawat, Aryo pergi meninggalkannya.
***
Ketika sampai dirumah orang tuanya, dilihatnya Angga dan neneknya sudah menunggu di teras. Hujan mulai reda. Angga berlari menyambut ayahnya.
"Bapak, sudah ketemu ibu?" itu pertanyaan yang selalu dilontarkannya setiapa kali Aryo menjemputnya.
"Belum nak," kata Aryo sambil mengangkat tubuh Angga, lalu direngkuhnya erat kedadanya.
Trenyuh hatinya menyaksikan sikap Angga yang tampak sangat rindu pada ibunya.
"Bapak ketemu Rini?"
"Tidak nak, Rini tidak akan kembali, sudah kedesa bersama orang tuanya" jawab Aryo sambil membawanya masuk.
"Hujan sangat deras tadi," ujar bu Nastiti ibunya Arya.
"Iya bu, Angga tidak hujan-hujanan kan?"
"Enggak bapak, Angga tidak nakal kok, ya kan eyang?"
"Betul, Angga anak baik dan pintar," kata bu Nastiti.
" Ayo kita pulang.."
"Tidak makan saja dulu Aryo, Angga tadi juga sudah makan kok."
"Iya bu, sebenarnya Aryo juga lapar."
"Kalau begitu ayo makan dulu, sudah ibu tata dimeja. Angga mau makan lagi?"
"Nggak, Angga mau minum susu saja."
"Baiklah, sementara bapak makan, eyang buatkan susu dulu buat Angga."
Bu Nastiti masuk kedalam. Sedih sebenarnya memikirkan keadaan rumah tangga anaknya seperti itu. Aryo sudah mengatakan semuanya, dan mengakui kekhilafannya.
"Semoga Arum segera bisa ditemukan," gumamnya sambil mengaduk susu dalam gelas."
***
Setiaphari sepulang dari kantor Aryo selalu berputar putar mengelilingi setiap sudut kota, barangkali bisa melihat Arum. Ia lebih mengawasi jalan dimana dia pernah melihat wanita cantik yang menurutnya Arum, tapi tidak mau mengakuinya. Tapi tak pernah lagi dia bertemu si cantik itu.
Sore hari ketika membawa pulang Angga, selalu dengan perasaan yang mengiris dadanya. Lebih-lebih kalau Angga bertanya :" Sudah ketemu ibu?"
Aduhai, kemana perginya Arum? Apakah kata ma'af tetap tak bisa meluluhkan hatinya? Aryo tau, dosanya terlalu besar. Mungkin tak terma'afkan, tapi tak adakah rasa rindu kepada anak semata wayangnya?
Sore itu Aryo menggendong Angga turun dari mobil karena dia tertidur, ketika sudah sampai dirumah. Tiba-tiba diteras rumah dilihatnya seorang wanita, duduk membelakangi halaman, sambil menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi yang didudukinya.
Aryo hampir bersorak karena mengira dia Arum. Ia melangkah cepat dan menaki teras dengan wajah berseri. Ia akan meletakkan tubuh Angga kepangkuannya agar tersentuh hatinya bertemu anaknya. Tapi sebelum itu dilakukannya, Angga terbangun. Aryo menuding kearah wanita yang sepertinya tertidur itu, sambil tangannya diletakkan dibibir, sebagai isyarat agar Angga tak berisik. Aryo hampir meletakkan Angga ke pangkuannya ketika tiba-tiba Angga berteriak.
"Rini !!"
==========
Angga merosot turun dari gendongan ayahnya, langsung merangkul Rini. Tapi Aryo melotot marah. Ditariknya Angga lalu digendongnya lagi.
Rini menegakkan tubuhnya, mengucek matanya.
"Ma'af, saya ketiduran."
"Mau apa kamu datang kemari? Aku sudah mengusir kamu. Kamu pembuat berantakan keluargaku."
"Mengapa bapak selalu menyalahkan saya? Bukan saya saja yang melakukannya, bapak juga menikmatinya." katanya sambil menatap Aryo dengan berani. Sesa'at tak bisa menjawab. Memang dia juga bersalah. Tapi jangan sampai perempuan dihadapannya muncul di kehidupannya lagi.
"Baiklah, aku juga bersalah, tapi lebih baik kamu tidak usah datang kemari lagi.Kamu tau, gara-gara itu isteriku pergi dan belum pulang sampai sekarang.
"Saya baru kembali dari rumah sakit. Hari sudah sore, saya mohon ijinkan saya menginap disini semalam ini saja, besok pagi-pagi saya akan pergi."
"Tidak, lebih baik kamu menginap disebuah losmen," tegas kata Ayo.
"Tapi saya tak punya uang untuk membayar penginapan."
"Ini, aku beri kamu uang," kata Aryo sambil mengambil dompet disakunya, dan memberikan beberapa lembar ratusan ribu yang kemudian diberikannya kepada Rini.
"Ingat, jangan pernah menginjakkan kakimu dirumah ini lagi."
Lalu Aryo membuka pintu rumahnya, masuk kedalam dan menguncinya lagi.
Angga merengek, minta bertemu Rini, tapi Aryo terus membawanya kebelakang, agar Rni tak mendengar tangisan Angga yang akan membuatnya merasa menang.
"Aku mau Rinii.. bapak.. aku mau Rini... Bapak jangan marah sama Rini..." rengek Angga.
"Tidak sayang, Rini harus pergi, karena orang tuanya menunggu. Kamu mau minum susu?"
"Aku mau Rinii.."
"Tidak ada, Rini sudah pergi.."
Dan Rini memang sudah pergi, dengan senyum manis karena membawa beberapa lembar uang ratusan ribu yang diberikan Aryo. Ia bukan mencari penginapan tapi menumpang dirumah salah seorang kawannya.
***
Tapi semalam Angga rewel, menanyakan Rini dan juga menanyakan ibunya. Aryo bisa menghadapi seorang anak, memberikan apa saja yang dia minta, tapi bukan dalam keadaan rewel. Kalau sudah rewel, Aryo selalu kebingungan menghiburnya.
"Angga, ayuk kita jalan-jalan saja, mencari ibu... mau?"
Mendengar kata-kata mencari ibu itu Angga terdiam dari tangisnya. Langsung dipegangnya tangan ayahnya dan ditariknya keluar rumah.
"Sebentar, bapak ambil kunci mobilnya dulu ya," kata Aryo sedikit lega. Lelah seharian bekerja dan pusing mencari isterinya, tak dirasakannya asalkan Angga jangan lagi menangis.
"Kita akan ketemu ibu?" tanya Angga ketika mobil sudah berada dijalanan, diantara lalu lalang lalu lintas yang masih tampak ramai karena hari belum terlalu malam.
"Iya, mudah-mudahan ketemu ya Ngga?"
Angga tertidur karena letih, lalu Aryo membawanya pulang. Lega bisa menidurkan Angga, sehingga rengekan tak lagi mengiris iris hatinya.
***
"Yo, Angga tampaknya ingin sekolah."kata bu Nastiti pada suatu hari.
"Iya benar, kalau melihat anak-anak sekolah selalu dia bilang ingin sekolah."
"Ada play group didekat rumah, biar ibu antar saja kesitu. Barangkali dengan banyak teman dia akan melupakan Rini dan tidak merengek-rengek terus untuk mencari ibunya."
"Ibu benar. Terserah ibu saja. Aryo tidak biasa mengasuh anak, agak bingung setiap kali dia rewel."
Angga yang kebetulan baru keluar dari dalam tampak gembira mendengar dia mau sekolah.
"Angga mau sekolah.. Angga mau sekolah."
Aryo merengkuhnya, menciumi kepalanya dengan gemas.
"Besok Angga sekolah bersama eyang. Ya?"
"Apa eyang juga mau sekolah?"
"Tidak sayang, itu sekolah untuk anak-anak kecil." jawab Aryo sambil tertawa.
Malam itu Angga terlelap dalam tidurnya. Mungkin dia bermimpi bersekolah, mempunyai teman banyak dan bermain dengan mereka sepuasnya.
Aryo masih duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya. Hari-hari yang dilaluinya terasa amat menyiksa. Ia merindukan isterinya, ia ingin bersujud dihadapannya dan meminta ma'af.
"Arum, aku akan melakukan apa saja asalkan kamu mau kembali dan mema'afkan aku," bisiknya lirih dan pilu. Sebelah tangannya meraih bantal yang kemudian dirangkulnya erat, seakan bantal itu adalah isterinya.
"Ma'afkan aku, ma'afkan aku.. aku khilaf... ma'af Arum.." Lalu setetes air mata menitik.. lalu beribu rasa penuh sesal menyesak didadanya.
"Malam itu benar-benar malam jahanam !! Aku gila.. aku gilaaa!!" Tak henti-henti Aryo memaki dirinya sendiri.
Tiba-tiba terdengar tangisan Angga. Aryo melompat kearah kamar anaknya. Dilihatnya Angga sudah duduk sambil menangis.
"Angga, sayang, ada apa?"
"Mana ibu... mana ibu... aku mau sekolah sama ibu.." tangisnya.
Aduhai, ini lagi. Aryo merengkuh anaknya dan menggendongnya sambil menepuk nepuk punggungnya.
"Ssh.. diam Angga, tidur dikamar bapak saja ya?"
Angga merintih pelan, barangkali dia bermimpi bersekolah diantar ibunya. Aryo menepuk nepuk punggungnya, dan berjalan kesana kemari sampai Angga tertidur kembali.
Aryo membawa Angga kekamarnya, dan ditidurkannya disana. Aryo berbaring disisinya setelah menyelimutinya, lalu menepuk-nepuk pahanya sampai Angga terlelap kembali. Barangkali lebih baik Angga tidur bersamanya, sehingga kalau menangis sewaktu-waktu Aryo siap menidurkannya kembali.
"Aryo, biar Angga bersama ibu saja, agar kamu tidak repot merawatnya, sementara kamu kan lelah bekerja seharian," itu kata-kata ibunya pada suatu kali ketika dia menjemput Angga.
"Jangan bu, Aryo tidak bisa jauh dari Angga. Nggak apa-apa kalau lelah sedikit saja, asalkan ada Angga didekat Aryo." jawabnya ketika itu.
Bu Nastiti tak bisa apa-apa. Rasa prihatin seorang ibu, ketika menyaksikan rumah tangga anaknya berantakan, ditahannya. Untunglah Angga tidak begitu rewel asalkan tidak sedang teringat ibunya.
***
Malam itu disebuah kamar Rini sedang berbincang dengan Wuri, temannya ketika masih bersekolah perawat. Mereka berhasil lulus dan Wuri bekerja disebuah rumah sakit, tapi Rini merasa senang menjadi baby sitter. Dia sering mengatakan bahwa bekerja dirumah Aryo sangat menyenangkan.
"Tau nggak sih, yang namanya pak Aryo itu ganteng bangeeett... " katanya ketika itu.
"Kamu itu bilang menyukai pekerjaan kamu, karena ada bos ganteng, atau karena sayang anak?"
"Aku tuh sayang anaknya, tapi juga sayang bapaknya," katanya cengengesan.
"Gila !"
"Aduh, kamu bilang begitu karena belum pernah melihat yang namanya pak Aryo sih."
"Seperti apa sih ?"
"Besok aku fotoin dia ya, aku tunjukin nanti ke kamu, tapi awas ya, jangan sampai kamu jatuh cinta, dia itu milikku."
"Apa? Bukankah dia punya isteri?"
"Punya sih, cantik, sabar, hm.. terlalu sabar itu kurang menyenangkan. Siapa tau pak Aryo lebih suka gadis yang ganas seperti aku." lalu Rini terkekeh senang.
"Dasar wong eddan !" sungut Wuri. Sebenarnya mereka bersahabat, tapi Wuri kurang suka pada sifat Rini yang genit. Dan ketika Rini keluar dari pekerjaannya, Wuri menduga, pasti Rini telah melakukan kesalahan.
Malam itu sebelum tidur Wuri menanyakannya.
"Sebenarnya mengapa kamu keluar dari pekerjaan kamu. Katanya kamu suka bekerja disana."
"Iya, isterinya itu pencemburu. Ia cemburu sama aku, jadi aku diusirnya," bual Rini sambil matanya menerawang menataplangit-langit rumah.
"Kalau seorang isteri cemburu pada perempuan lain, pasti karena perempuan itu terlalu genit pada suaminya, atau justru menggoda suaminya," tuduh Wuri.
"Bukan Wuri, pak Aryo yang suka sama aku."
"Oh ya? Bagaimana mungkin seorang laki-laki beristeri cantik, suka sama perawat anaknya?"
"Kamu itu belum tau ya, bagaimana seorang laki-laki. Menurut aku, laki-laki itu seperti kucing."
"Maksudnya?"
"Kucing itu, sudah dikasih makanan enak, tapi melihat ikan asin juga dia masih rakur kok."
"Ikan asinnya kamu?"
Rini terbahak bahak.
"Rini, aku kasih tau ya, jangan suka mengganggu laki-laki yang sudah beristeri. Nggak bagus itu. Buktinya kamu kehilangan pekerjaan gara-gara kamu genit sama majikan."
"Aduh, aku sama dia itu saling mengganggu, tau!"
"Gimana sih saling mengganggu?"
"Dia suka nyuri-nyuri pandang gitu sama aku, dan aku juga tergoda oleh gantengnya, sorot matanya, kumisnya, eh.. kumisnya yang tipis itu sangat menambah manis wajahnya lho. Aduh, seandainya aku bisa menjadi isterinya.."
"Mimpi 'kali."
"Bagaimana kalau aku berhasil?"
"Mimpi !!"
"Taruhan?!"
"Paling menang aku. Mana mungkin kamu bisa merebut suami orang."
"Bagaimana kalau bisa?"
"Aku akan membenci kamu seumur hidup!" ancam Wuri.
"Yah, jangan gitu Wuri, masa sahabatnya punya cita-cita kok nggak didukung."
"Cita-cita edan, siapa yang mau mendukung?"
Rini kembali terbahak.
"Oh iya Wuri, kamu jadi nyariin aku pekerjaan kan?"
"Ada, merawat kakek-kakek tua, dan sakit-sakitan. Kalau mau aku kasih tau alamatnya."
"Apa? Merawat kakek-kakek tua, sakit-sakitan? Ogah !!"
"Pekerjaan yang lagi ditawarkan cuma itu. Kamu itu perawat pake milih-milih pekerjaan."
"Iya dong, masa mencari pekerjaan yang aku nggak suka menjalaninya. Coba carikan lagi dong Wuri. Merawat cowwok ganteng, yang manja, yang royal kasih uang.. dan.."
"Nggak ada."
"Kok gitu."
"Ya nggak ada, mana ada cowok ganteng butuh perawat. Memangnya nggak bisa merawat dirinya sendiri?"
Rini tertawa keras.
"Ya sudah Wuri, carikan, asal jangan merawat kakek-kakek. Bisa ketularan tua aku nanti."
"Ya sudah besok coba aku tanya ke teman-teman. Sekarang aku mau tidur, jangan berisik !"
"Aku juga mau tidur, semoga mimpi ketemu pak Aryo yang ganteng."
"Dibilang jangan berisik !!"
***
Pagi itu Aryo bangun pagi sekali. Dilihatnya Angga masih terlelap disampingnya. Aryo ingin membangunkan tapi merasa sayang. Ia memilih keluar kamar dan membuatkan susu untuk Angga, diletakkan dimeja kamar, kemudian dia mengambil handuk lalu mandi.
Hari ini ibunya berjanji akan mengantarkan Angga ke sekolah, jadi harus berangkat pagi-pagi.
Tapi ketika dikamar mandi itu didengarnya Angga menangis.
"Ibu... mau susu.." tangis Angga.
Aryo menyambar handuk dan membuka kamar mandi.
Aryo berhenti menangis melihat ayahya mendekat. Tapi kemudian dia berteriak.
"Bapaaaak, malu... !!"
Aryo terkejut, ia baru sadar lilitan handuknya terlalu tinggi. Ia membenarkannya, lalu menyambar piyama yang sudah disiapkannya diatas kasur.
"Ma'af ya.. Angga mau susu? Tuh sudah bapak siapkan. Diminum ya."
"Mana ibu.."
"Angga mau sekolah kan hari ini?"
"Sekolah sama ibu ?" tanya Angga sambil turun dari tempat tidur.
"Susunya diminum dulu ya, terus mandi sama bapak, terus kerumah eyang, lalu sekolah bersama eyang." kata Aryo sambil mengulurkan gelas berisi susu.
Angga menerimanya, lalu meneguknya habis. Aryo tersenyum.
"Angga mau pipis,"
"Baiklah, ayo bapak antar kekamar mandi, sekalian mandi ya?"
Aryo meladeni semua keinginan Angga dengan bersemangat. Ia berharap kerewelan Angga akan berkurang dengan adanya teman-teman bermain disekolah nanti.
"Aku mau makan sama telur ceplok bapak." kata Angga setelah berpakaian rapi dan memakai sepatu.
"Aduh mau makan ya?"
Aryo kebingungan, telur ada didalam kulkas, tapi nasi? Semalam dia lupa menanak nasi, karena mereka sudah makan dirumah ibunya.
"Angga, bagaimana kalau makannya dirumah eyang saja?"
"Tapi Angga mau sekarang."
"Mm.. Angga, dengar, kalau Angga tidak segera berangkat, nanti ketinggalan sekolah. Jadi sebaiknya kita berangkat dulu, lalu makan dirumah eyang, dan Angga siap kesekolah. Bagaimana?"
Karena iming-iming sekolah itulah Angga mengangguk.
Aryo menelpone ibunya.
"Ibu, Angga minta sarapan pakai telur ceplok, Aryo lupa menanak nasi."
"Walaah.. iya , ibu bikinin sekarang." kata bu Nastiti dari seberang.
Aryo tersenyum.
"Ibu pasti maklum lah kalau aku sampai lupa menanak nasi, aku kan duda.. eh jangan.. aku kan lagi sendirian," gumamnya sambil memakai sepatunya.
***
Begitu sampai dirumah ibunya, dilihatnya dimeja sudah siap nasi dan telur ceplok pesanan Angga.
"Nah, ini sarapan buat Angga," kata bu Nastiti.
"Angga mau disuapin bapak?"
"Angga mau makan sendiri," kata Angga sambil duduk dikursi makan.
"Untuk kamu Aryo, nasi goreng."
"Terimakasih bu, Aryo selalu menyusahkan ibu."
"Tidak Yo, yang membuat ibu susah adalah rumah tangga kamu itu," kata bu Nastiti sedih.
"Ma'af bu, Aryo akan selalu berusaha mencari Arum."
"Benar Yo, bina kembali rumah tangga kamu kalau ketemu nanti. Ibu selalu berharap kalian bisa selalu bersama sampai kakek nenek. Sampai maut memisahkan. Seperti ibu ini. Setia bersama bapakmu sampai bapakmu meninggalkan ibu."
"Mohon do'anya ya bu."
"Pastilah, seorang ibu akan selalu berdo'a demi kebahagiaan anak cucunya."
"Terimakasih bu."
"Ya sudah makanlah dulu sarapannya sebelum berangkat bekerja."
Aryo melirik Angga yang dengan lahap makan dengan telur ceplok pesanannya. Aryo tersenyum lalu menyendokkan nasi goreng ke piringnya.
"Apakah itu pedas?" tanya Angga.
"Sangat pedas. Angga mau mencoba?"
Angga menggeleng. Ia tampak agak susah memotong telur ceploknya. Bu Nastiti menghampiri, lalu membantu memotong motongnya agar Angga bisa langsung menyendoknya.
***
Bu Nastiti menggandeng cucunya masuk kehalaman sekolah itu. Banyak anak-anak kecil berlarian, dan Angga melihatnya tanpa berkedip.
"Angga mau bermain disana," kata Angga.
"Sebentar, kita bilang dulu sama ibu guru, ya?"
Bu Nastiti menggandeng Angga masuk kesebuah ruangan dengan tulisan Ruang Guru.
"Selamat pagi," bu Nastiti mengucapkan salam.
"Selamat pagi ibu," seorang guru berdiri dan menyambut bu Nastiti.
Tiba-tiba Angga berteriak.
"Itu ibuuuu."
Bersambung #2
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel