Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 25 November 2020

Setangkai Mawar Buat Ibu #4

Cerita bersambung

"Ibuuu.." teriak Angga yang segera mengacungkan tangannya kearah Ratih. Rini membiarkannya, lalu mengangguk kearah Ratih dan dengan cepat berlalu.
"Terimakasih, bu Ratih," kata Aryo kepada Ratih.
"Mengapa bapak marah sama Rini?"
"Nggak apa-apa, ayo kita ambil mobilmu."
Angga merosot turun dari gendongan Ratih, dan berlari kearah mobil yang tadi dipilihnya.
Ratih mengikutinya dari belakang, sambil bertanya dalam hati siapakah perempuan yang berlagak genit tadi, yang menggendong Angga seperti sudah akrap, tapi Aryo seakan sangat membencinya?
Mobil pilihan Angga sudah dibungkus rapi, Angga tak akan kuat menggendongnya. Ketika Ratih mau mengangkatnya, Aryo memintanya.
"Biar saya saja bu Ratih," katanya sambil tersenyum. Ah, mengapa tersenyum begitu, Ratih mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Ayo kita pulang," kata Angga sambil melangkah keluar.
Angga berlari-lari kecil mengikuti langkah ayahnya, Ratih mengikutinya. Anak kecil yang menggemaskan. Kata batin Ratih.
Begitu memasukkan mobil-mobilan itu kemobil, Angga sudah mendahului masuk kedalam.
"Ibu duduk didepan ya," kata Angga.
Ratih maklum, di jok belakang hampir penuh bungkusan mobil-mobilan itu,
"Mari bu Ratih, biar Angga dibelakang sendiri," kata Aryo.
Ratih memang tidak merasa dirinya istimewa sehingga harus duduk dibelakang. Tadi dia disitu karena Angga memintanya. Memang sebaiknya dia didepan. Tapi ada rasa canggung ketika duduk berdampingan dengan si ganteng berkumis itu.
"Ma'af ya, habisnya Angga ingin memeluk mobilnya," kata Aryo sambil menoleh kebelakang.
Ratih hanya mengangguk.
"Bagaimana kalau kita mampir makan siang dulu?"
"Mobilnya dibawa turun bapak?"tanya Angga yang terus mendekap bungkusan mobil kecilnya.
"Ya enggaklah Ngga, mobil kamu biar dimobil saja, kita turun untuk makan. Kamu suka es krim?"
"Suka, bapak.. kita makan es krim?"
"Ayo kita cari rumah makan yang ada es krim nya ya.."
Ratih menghela nafas. Ia ingin menolak karena sungkan kalau harus makan bersama Aryo, tapi Angga tampaknya suka.
"Bu Ratih tidak keberatan bukan kalau kita mampir makan sebentar?"
"Sebetulnya... saya kenyang," jawabnya sekenanya.
"Kok bisa kenyang? Kita makan masih pagi, dan sekarang sudah sa'atnya makan siang. Nggak percaya ah."
"Benar."
"Nggak apa-apa, nanti pilih menu yang ringan-ringan saja," kata Aryo.
Maksa nih? Batin Ratih. Mana mungkin dia bisa menolak? Hatinya mau, tapi luarnya sungkan. Ya sudahlah, apa boleh buat.
"Ibu, nanti sampai dirumah ibu ajarin Angga naik mobilnya ya."kata Angga.
"Lho, kok ibu, bapak kan lebih canggih," kata Ratih sambil menoleh kebelakang.
"Bapak, sama ibu, nanti main dihalaman bersama-sama."
Waduh, maunya langsung pulang tuh, gimana cara menolaknya? Sungguh Ratih tak ingin Angga kecewa. Anak itu haus kasih sayang ibunya, jadi kalau dia bisa memenuhinya, mana mungkin mengecewakannya?
"Ibu kan capek, Angga," kata Aryo ketika melihat wajah Ratih tampak ragu.
"Apakah ibu capek?" tanya Angga kepada Ratih.
"Mm..iya sih.."
"Kalau ibu capek, nanti tidur dikamar bapak seperti biasanya."
Ratih terperanjat. Tidur dikamar bapak? Iya lah, kan dikiranya dia ibunya, jadi apa salahnya tidur dikamar bapak? Sayangnya Ratih bukan ibunya. Ia adalah seseorang yang hanya mirip dengan ibunya.
"Ibu kan harus bekerja," kata Aryo mencoba menghentikan keinginan Aryo.
"Bapak nggak tau, ibu juga libur seperti bapak, kemarin kan Angga sudah bertanya sama ibu."
Tuh kan, Angga bukan anak biasa. Kecerdasannya sungguh luar biasa. Padahal umurnya belum lima tahun.
"Ah, ya.. bapak lupa," kata Aryo.
"Jadi.. boleh kan nanti ibu tidur dikamar bapak?"
"Tidak Angga," kata Ratih cepat-cepat. Ngeri membayangkan dia masuk kekamar Aryo, lalu berbaring ditempat tidurnya.
"Mengapa ibu?" Angga mengejarnya. Biasa kan anak kecil kalau dikasih tau pasti dia bertanya.. 'mengapa'.
"Mm.. ibu tidur dikamar Angga saja," kata Ratih. Ia berharap nanti setelah Angga tidur dia bisa meninggalkannya.
"Horeee... Angga mau tidur sama ibu," teriak Angga.
Aryo hanya geleng geleng kepala. Sesungguhnya dia bingung, kapankah ini akan berakhir? Pasti Ratih tidak akan selamanya bisa melayani semua keinginan Angga. Dia bukan apa-apanya.
Disebuah rumah makan Aryo menghentikan mobilnya.
***

Angga makan sangat lahap.Rupanya dia juga lapar. Tadi makan pagi-pagi, lalu jam sepuluh lebih baru berangkat. Sekarang tengah hari, sa'atnya makan. Aryo mengawasi anaknya sambil tersenyum.
"Enak ya ayamnya?" tanya Aryo.
"Enak, ini seperti masakan ibu kemarin," jawab Angga sambil menggigit paha yang tersisa.
Melihat mulut Angga berlepotan minyak, Ratih mengambil tissue lalu mengelap mulutnya.
Ibu mengapa tidaka makan nasi?" tanya Angga ketika melihat Ratih hanya makan gado-gado. Sebetulnya Ratih lapar juga sih, tapi tadi terlanjur bilang kalau tidak lapar, jadi sungkan kalau memesan nasi juga.
"Bu Ratih benar, nggak mau makan nasi ?" tanya Aryo.
"Benar pak, ini cukup."
Dari luar tampak seperti sebuah keluarga bahagia, membuat beberapa orang iri melihata keakrapan ibu dan anaknya. Si anak yang cerewet, ibunya menanggapi dengan penuh perhatian. Aryo merasa bahwa kebahagiaan ini hampir cukup. Kurangnya adalah bahwa Ratih bukan isterinya.
Lalu wajah Arum terbayang. Lalu dipandanginya wajah Ratih yang dengan penuh perhatian melayani anaknya.
Aryo menghela nafas, lalu menyuapkan nasinya yang terasa sarat dilehernya. Ia meneguk minumannya sehingga merasa lega.
Ingatannya akan Arum membuat nafsu makannya hampir hilang.
"Bapak, mana es krimnya." kata Angga membuyarkan lamunan ayahnya.
"Oh iya, bapak lupa, tadi Angga pesan rasa apa?"
"Angga mau coklat, sama strobery. Ibu mau apa?"
"Bu Ratih apa?"
"Saya...." Ratih ragu-ragu mengatakannya.
"Bapak, ibu dipesenin sama saja."
"Benar,bu Ratih mau yang seperti Angga?"
"Terserah bapak saja."
"Baiklah, kalau begitu bapak mau pesan tiga." kata Aryo sambil melambaikan tangannya kearah pelayan.
"Tapi makannya dihabiskan dulu Angga, nggak boleh makan es krim kalau makannya nggak dihabisin."kata Aryo.
"Tapi Angga sudah kenyang,bapak."
"Kan baru separo tuh nasinya."
"Tadi porsinya banyak pak, saya kira itu cukup buat Angga."
"Lihat nih, perut Angga sudah gendut," kata Angga sambil menepuk perutnya."
"Baiklah, kalau ibu mengijinkan, bapak ngikut deh."
Ratih tersenyum. Ibu dan bapak, alangkah manisnya.
Hampir jam dua siang ketika acara makan itu selesai.
"Nanti Angga pulang langsung tidur siang lho," kata Ratih.
"Lho, kan belum naik mobil-mobilan." sanggah Angga.
"Baiklah, nanti main sebentar, lalu tidur," kata Aryo.
"Tidur sama ibu kan?" Ratih mengangguk.
 ***

"Wuri, kenapa sih kamu marah-marah terus?" kata Rini ketika berjalan disamping Wuri setelah berbelanja.
"Aku kesal sama kamu. Kemarin kamu menghilang ternyata ada di parkiran. Ini tadi juga menghilang, ketika tiba-tiba kamu berlari kedalam toko mainan. Aku menunggu sampai pegal.
"Ya ampuun, gitu aja marah. Nanti biar aku pijitin kakimu yang pegal, sudah jangan marah-marah lagi."
"Sebenarnya kamu tadi mencari siapa sih?"
"Tadi tuh aku melihat pak Aryo turun dari mobil, sedangkan Angga sudah berlari masuk kedalam. Spontan aku mengikutinya, siapa tau dia mau menambah uang yang malamnya diberikan sama aku."
"Ternyata...?"
"Ternyata dia bukan cuma sama Angga. Aku kurang pemperhatikan Angga masuk sama siapa, Ternyata ada seorang perempuan yang bersamanya, yang semula aku kira orang lain yang ingin membeli sesuatu."
"Lalu?"
"Ternyata lagi, dia itu bu Arum."
"Lhoh, katanya bu Arum masih menghilang, kemudian kamu mau memeras bekas majikan itu."
"Aku juga heran. Kemarin wajahnya pucat waktu keluar dari rumah sakit. Jelas aku melihatnya karena dia lewat persis didepanku, Tapi tadi itu kelihatan segar dan cantik."
"Berarti kemarin kamu salah lihat."
"Nggak mungkin Wuri, aku kan sudah bilang bahwa dia lewat didepanku. Aku sembunyi dibalik meja satpam, pura-pura sedang membuka ponsel. Dan nyatanya kan pak Aryo juga bilang bahwa isterinya belum pulang."
"Berarti semalam isterinya pulang."
"Tapi wajahnya kok segar ya. Bener deh."
"Ya sudah, kamu itu ngurusin rumah tangga orang, hanya karena ingin memerasnya kan? Hentikan perbuatan kamu itu. Kamu sudah bersalah karena menggoda suaminya kan?"
"Ah, salah dia juga kenapa mau sama aku."
"Laki-laki terkadang begitu, tapi salah si perempuan kenapa menggodanya."
"Mengapa hanya perempuan yang disalahkan?"
"Tapi kamu mengaku salah tidak, mengganggu suami orang, ketika isterinya tak ada pula."
"Tapi itu menyenangkan.." kata Rini seakan tak berdosa. Tapi Wuri kesal meladeninya. Sungguh ia kurang suka pada perbuatan temannya. Dia menampung dirumah kost nya karena kasihan, mengingat dulu teman satu sekolah.
"Wuri, kamu kok terus diam, jangan cemberut dong.."
"Aku sebagai teman hanya mengingatkan kamu, bahwa perbuatan kamu itu tidak baik. Jangan teruskan kalau kamu tak ingin celaka."
"Lhah, kok malah menyumpahi aku sih?"
"Bukan menyumpahi, itu benar, siapa menanam maka dia akan menuai."
Rini terdiam, apakah dia akan memakan nasehat sahabatnya? Melihat wajahnya yang menjadi muram, tanpa rasa terimakasih atas ucapan sahabatnya yang menasehatinya, tampaknya susah membuatnya sadar.
***

Semestinya Ratih mau turun dijalan, tapi karena Angga masih menahannya, Ratih terpaksa menurut. Untunglah sebelum berangkat Ratih sudah memasak untuk ayahnya, cukup untuk sehari, sehingga ia tak perlu menghawatirkannya.
Sesampai dirumah, Angga segera meminta ayahnya membuka kardus bungkus mobilnya.
"Angga, cuci kaki tangan dulu, lalu ganti bajumu," teriak bu Nastiti yang keluar dari dalam rumah.
"Ayo, sama ibu..." kata Angga sambil menarik tangan ibunya.
Ratih menggandeng Angga kebelakang. Bu Nastiti mendekati Aryo.
"Kasihan nak Ratih disuruh meladeni Angga terus," kata bu Nastiti.
"Iya bu, Aryo juga sungkan. Tapi bagaimana caranya menghentikan keinginan Angga. Kalau begini terus, kasihan bu Ratih kan bu."
"Menyuruh bu Ratih tinggal disini, lalu kamu memberinya uang tip, bagaimana Yo?"
"Aryo mau saja, tapi apakah dia mau? Didekat Aryo tampaknya dia seperti kikuk, atau gimana, gitu."
"Iya Yo, bisa dimengerti. Kamu kan pria beristeri, sedangkan dia gadis lajang. Dia perempuan baik, mengerti akan jarak yang harus dipegangnya. "
"Itulah bu. Tadi saja waktu makan, kepalanya tertunduk terus, nggak berani menatap Aryo."
"Jangan-jangan kamu yang menatapnya terus, sampai dia malu."
"Ah ibu ada-ada saja. Tapi dicoba saja bu, barangkali dia mau tinggal disini, dia kan bisa tidur bersama ibu."
"Tapi dia kan punya orang tua Yo, mana mungkin meninggalkannya."
"Kalau begitu ya biar seperti ini saja, dia pagi mengajar, disini sampai sore, yang penting Angga bisa merasa dekat dengan ibunya. Nanti Aryo akan memberi dia tip."
"Belum tentu dia mau."
"Cari cara supaya bisa diterima."
"Bapaaak, ayo main mobil-mobilaan !!" tiba-tiba  Angga berlari dari dalam rumah.
"Nggak usah lari-lari, nanti jatuh Angga."
"Ayo ibu,,,"
"Sini, bapak saja yang ngajarin. Ibu biar istirahat sama eyang."
Angga menurut, ia senang ayahnya mengajarinya, bagaimana kalau mau jalan, bagaimana belok dan bagaimana kalau mau berhenti. Angga tampak gembira, ayahnya mengikutinya dari belakang.
"Nak Ratih, pasti capek meladeni Angga yang kemauannya terkadang aneh-aneh," kata bu Nastiti sambil duduk disamping Ratih diteras rumah.
"Nggak bu, saya senang kok. Angga sangat lucu dan menggemaskan. Saya sudah jatuh hati sama dia," kata Ratih sambil tersenyum, tulus. Bu Nastiti memegang tangan Ratih dengan hangat.
"Terimakasih ya nak Ratih, membuat Angga seperti menemukan ibunya kembali."
"Sama-sama bu, jangan sungkan, saya suka melakukannya."
"Tadi terbersit keinginan saya untuk mengajak nak Ratih tinggal saja disini. Tapi kan nak Ratih juga harus melayani ayah kan?"
"Iya bu, saya tidak bisa meninggalkan bapak yang sudah tua. Tapi saya sudah bilang sama bapak, kalau terkadang saya harus pulang sore kalau Angga rewel."
"Bapak tidak marah kalau nak Ratih pulang sore?"
"Tidak bu, bapak senang kalau saya bisa menolong orang lain."
"Syukurlah nak. Mudah-mudahan Arum segera kembali, sehingga tidak merepotkan nak Ratih lagi."
"Saya ikut mendo'akan bu, kasihan Angga."
"Ibuuu... ayo sini.. " tiba-tiba Angga berteriak.
Ratih turun ke halaman. Dilihatnya Angga sudah bisa menjalankan sendiri mobil barunya. Aryo berdiri dibawah pohon sambil memandangi anaknya yang tampak gembira.
"Seandainya ibunya ada, maka pasti akan sempurnalah kebahagiaan ini," bisiknya lirih.
"Angga, tadi kan sudah janji, main mobilnya sebentar saja, karena sa'atnya Angga tidur siang. Ya kan?"
"Nanti boleh main lagi kan?"
"Iya, sekarang bobuk dulu yuk."
Angga turun dari mobil. Aryo menghampiri, membawa mobil itu kerumah.
Ratih menggandeng tangan Angga, diajaknya tidur.
"Ya Tuhan, dia benar-benar seperti Arum. Terkadang aku merasa aneh, terkadang aku memandangnya seperti memandangi isteriku. Bagaimana kalau lama kelamaan aku jatuh hati pada Ratih?

==========

Aryo masih termenung diteras, ketika Ratih keluar diikuti bu Nastiti.
"Pak Aryo, saya mau pulang dulu, Angga sudah tidur," kata Ratih
"Eit, tunggu, biar aku antar," kata Aryo sambil berdiri dan tanpa menunggu jawaban Ratih langsung mengambil kunci mobilnya.
"Tapi...."
"Nggak apa-apa nak Ratih, biar saja. Aryo merasa nggak enak karena selalu merepotkan nak Ratih, jadi biar dia melakukan sesuatu untuk nak Ratih. Tidak seberapa, tapi dia kan tidak kecewa."
Ratih terpaksa menerimanya.
"Ayu bu Ratih, biar saya antar."
Ratih mencium tangan bu Nastiti, kemudian berjalan mengikuti Aryo ke mobilnya. Aryo membukakan pintu, kemudian mempersilahkan Ratih naik.
Merinding Ratih ketika akan menutupkan pintu, tangannya bersentuhan dengan tangan yang sedikit berbulu. Hiih.. kenapa juga aku ini, batin Ratih yang kemudian menata duduknya. Ia terkejut ketika Aryo membuka lagi pintu mobilnya.
"Ma'af, gaunnya kejepit pintu," kata Aryo sambil menunjuk kearah gaunnya yang sebagian masih keluar.
"Eh, iya, ma'af.." kata Ratih sambil menarik gaunnya kedalam.
Lalu Aryo menutupkan lagi pintu itu dan duduk dibelakang kemudi.
Bu Nastiti melambaikan tangannya kearah Ratih, ketika mobil itu berlalu. Lalu masuk kedalam, menjenguk kearah kamar Angga. Dilihatnya Angga masih pulas, Tidur sambil memeluk gulingnya. Bu Nastiti mengusap setitik air matanya ketika menatap cucunya.
"Semoga ibumu segera kembali ..." lalu setitik lagi air matanya menetes dan segera dihapusnya.
***

Aryo berhenti disebuah gang ketika Ratih memintanya.
"Yang mana rumahnya?"
"Masuk kesitu pak, sudah, disini saja."
"Lhoh, kok disini, nggak boleh begitu, masa mengantar kok menurunkannya dijalan."
"Nggak apa-apa pak, terimakasih banyak," kata Ratih sambil membuka pintu mobil dan keluar, dan berjalan memasuki gang.
Aryo mengikutinya turun, lalu berjalan dibelakang Ratih.
Ratih menoleh dan terkejut melihat Aryo mengikutinya.
"Aduh pak Aryo, sudah sampai disini saja."
"Nggak bisa bu Ratih, nanti kalau ternyata bu Ratih nggak pulang kan saya yang dimarahin ayahnya," kata Aryo bercanda.
"Rumah saya jelek," katanya setelah berjalan berdampingan.
"Itu tidak penting, yang penting orangnya cantik," meluncur begitu saja kata-kata Aryo, membuat Ratih deg-degan. Pujian itu cukup membuat hatinya berbunga.
Ratih tak menjawab, menyimpan kebahagiaan itu dibalik senyum tipis yang disunggingkannya.
Disebuah halaman yang tak begitu luas, Ratih berhenti.
"Ini rumah saya, terimakasih banyak."
"Saya harus ketemu bapak."
"Tapi..."
"Saya harus menyerahkan puterinya dalam keadaan utuh kepada bapak."
Ratih tersenyum. Rupanya Aryo suka bercanda. Ia melangkah menuju rumah, Aryo mengikutinya.
Rumah sederhana yang tertata rapi itu tampak sedap dipandang. Ada pot-pot kecil tanaman hias berjajar disepanjang pagar teras yang tak begitu tinggi. Ada bunga-bunga mawar yang beberapa sedang mekar.
"Mengapa kesukaan akan bunga diantara mereka sama? Ratih dan Arum.. bagaimana Tuhan menciptakan kesamaan yang sangat mirip, baik wajah maupun perilakunya? Apakah Tuhan mengirimkan Ratih sebagai pengganti Arum? Tidaaak.. Aryo menampik perasaannya sendiri.
"Sudah pulang Tih?" suara berat seorang lelaki tua terdengar dan Aryo menoleh kearah rumah.
Dilihatnya Ratih sedang mencium tangan laki-laki itu. Laki-laki yang tampak masih tegap dan berpenampilan rapi dengan sarung batik melingkar ditubuhnya.
Aryo mendekat dan menyalami lalu mencium tangannya.
"Ini siapa?" tanya pak Pardi, ayah Ratih.
"Bapak, ini pak Aryo, ayahnya Angga, kata Ratih memperkenalkanAryo.
"Ya bapak, saya Aryo.Mohon ma'af kalau selalu merepotkan bu Ratih."
"O, tidak apa-apa nak, Ratih bilang bahwa dia senang melakukannya. Mari silahkan masuk."
"Ma'af pak, lain kali saya akan berkunjung lebih lama. Ma'af, saya belum mandi juga," kata Aryo tersipu.
"Baiklah, lain kali bapak tunggu nak Aryo main kemari. Tapi ya seperti inilah gubugnya Ratih, tidak seperti rumah nak Aryo yang pastinya sangat bagus dan mewah."
"Oh, tidak kok pak, bagi saya yang penting bukan rumahnya, tapi penghuninya. Sekarang saya mohon pamit, senang bisa berkenalan dengan bapak."
"Terimakasih telah mengantarkan Ratih nak."
"Sama-sama pak, dan saya sekalian mohon ijin untuk bu Ratih, barangkali Angga banyak merepotkan bu Ratih, sehingga harus pulang sampai sore."
"Tidak apa-apa nak, silahkan saja, kasihan anak sekecil itu kehilangan ibunya. Mudah-mudahan isteri nak Aryo segera pulang."
"Terimakasih banyak bapak." kata Aryo sambil mencium tangan pak Pardi.
"Bu Ratih, saya pulang dulu," kata Aryo sambil menatap Ratih, tatapan yang membuatnya gugup.
"Ter..terimakasih, pak Aryo.
***

Bu Nastiti sedang membuat teh panas untuk dirinya sendiri dan Aryo, ketika tiba-tiba didengarnya Angga menangis.
Bu Nastiti setengah berlari menuju kekamar Aryo.. Dalam setiap langkahnya, bu Nastiti berfikir, jawaban apa yang akan diberikannya apabila Angga menanyakan dimana ibunya.Dilihatnya Angga sudah duduk sambil menangis,
"Mana ibu? Mana ibu...?"
Tuh kan.
"O, cucu eyang yang ganteng, ibu tadi tidur bersama Angga, tapi tiba-tiba .. tiba-tiba.. ibu ingat kalau ada yang terlupa. Kunci sekolah terbawa, jadi.. besok kalau yang tukang bersih-bersih ruang sekolah mau bekerja, bingung deh. Karenanya... ibu sekarang mengantarkan kunci itu."
"Nanti ibu kemari ?"
"Mm.. kalau nanti bisa ketemu tukang bersih-bersih.. pastinya kemari. Kalau tidak ya harus menunggu. Ayuk, sekarang Angga mandi dulu."
"Sama ibu..."
"Lho, kalau ibu sampai malam perginya.. ?"
"Angga mau sama ibu.."
"Angga... kan Angga anak pintar. Bukankah kalau anak pintar itu harus menurut apa kata orang tua? Ayo mandi sama eyang, nanti eyang buatkan susu. Ya."
Angga diam, tapi tak beranjak dari tempatnya duduk. Wajahnya muram. Bibir tipisnya cemberut.
"Angga, nanti setelah minum susu, naik mobil lagi. Angga lupa ya kalau punya mobil baru ?"
Mendengar itu Angga bangkit dan turun dari atas pembaringan.
"Angga mau pipis dulu," katanya masih dengan wajah muram.
"Baiklah, pipis, sekalian mandi ya. Angga nanti boleh pilih sendiri baju yang Angga suka."
Ingatan akan mobil itu sedikit meredakan rasa kecewa Angga karena Ratih tak ada disisinya.
"Eyang jangan sampai menyiram lutut Angga ini, masih sakit."
"Baiklah tuan muda, eyang akan hati-hati," kata bu Nastiti sambil menggandeng Angga kekamar mandi.
Selesai mandi dan ganti baju, Angga berlari kedepan mendekati mobilnya.
Bu Nastiti membawakan segelas susu.Sejak tidak lagi minum ASI, Angga dibiasakan minum susu dari gelas. Ia tidak suka minum pakai botol, Karenanya gigi Angga tampak rapi dan tidak menonjol seperti anak kecil yang gemar minum dari botol.
"Diminum dulu susunya."
"Eyang tanya dulu sama ibu, ngasih kuncinya lama tidak."
Bu Nastiti bingung. Tapi ia kemudian mengambil ponselnya, lalu menelpon Ratih, barangkali Ratih bisa menenangkan Angga.
"Hallo bu," sapa Ratih dari seberang.
"Nak Ratih, Angga rewel. Ibu bingung harus menjawab apa ketika dia menenyakan nak Ratih. Tadi ibu jawab sekenanya. Ibu bilang nak Ratih sedang mengantarkan kunci sekolah yang terbawa pulang. Tapi dia tampaknya terus berharap nak Ratih datang. Apa sebaiknya yang ibu katakan?"
"Biarkan saya bicara sama Angga bu."
Bu Nastiti menyerahkan ponselnya kepada Angga.
"Angga, ini ibu mau bicara.."
Angga menerimanya dengan wajah berseri.
"Hallo ibu.."
"Hallo Angga, sudah mandikah anak ibu yang ganteng?"
"Sudah, ini baru mau minum susu."
"Bagus, habiskan dulu susunya sayang."
"Ibu sudah ketemu tukang bersih-bersih sekolah?"
"Oh, belum nak, dengar, Angga tidak usah menunggu ibu, karena ibu harus menyiapkan apa-apa yang besok bisa kita buat untuk bermain."
"Ibu tidak pulang?"
"Angga, besok pagi-pagi sekali ibu akan datang kemari, lalu kita berangkat bersama-sama kesekolah. Bagaimana?"
"Ibu kerumah besok pagi? Angga nggak mau mandi, besok nungguin ibu saja mandinya."
"Oh, baguslah, ibu akan datang pagi-pagi. Sekarang minum susunya, dan jangan rewel ya."
Angga mengangguk. Bu Nastiti tersenyum sambil menerima kembali ponselnya. Angga meneguk susunya sampai habis.
Bu Nastiti menghela nafas lega. Bersyukur karena Ratih ternyata bisa menjadi pengganti Arum.
***

Setelah mengantarkan Ratih, Aryo tidak segera pulang kerumah. Ia berputar-putar disekitar kota, barangkali dia bisa melihat Arum. Ia teringat kata Rini, dia bilang melihat Arum. Walau ragu akan kebenarannya, tapi Aryo akan mencoba mencarinya dikota ini. Tapi kalau benar, mengapa Arum tidak mau segera pulang? Kalau dia begitu marah pada suaminya, apa tidak rindu pada anak semata wayangnya?"
"Arum, ingat anakmu Arum..."
Tiba-tiba dia teringat lagi apa yang dikatakan Rini.Katanya ia melihat Arum dirumah sakit pusat. Bisakah menanyakan ke rumah sakit tentang seseorang yang pernah berobat? Dibagian apa? Penyakit dalam, umum, atau apa. Bisakah menanyakannya?
Aryo memacu mobilnya kearah rumah sakit. Barangkali ada yang bisa memberitahu tentang isterinya yang pernah berobat. Kalau apa yang dikatakan Rini benar. Tapi kalau hanya meng ada-ada?
Apapun yang terjadi Aryo harus menanyakannya.
"Bisa nggak ya?" gumamnya ketika sudah memasuki halaman rumah sakit.
Dengan perasaan ragu dia berjalan menuju kedalam. Aryo tidak tau kemana sebaiknya bertanya. Tapi melihat loket pendaftaran, dia menuju kesana.
"Selamat sore," sapanya.
"Selamat sore bapak, ada yang bisa saya bantu?"
"Bisakah saya menanyakan mmm.. seseorang yang pernah berobat kemari?"
"Maksud bapak?"
"Saya sedang mencari..mm.. salah seorang saudara saya, apakah benar dia berobat kemari pada kira-kira tiga atau empat hari yang lalu."
Penjaga itu saling pandang dengan teman kerjanya.
"Susah ya ? Namanya Arum. Arumsari," lanjut Aryo.
"Tapi... iya pak, memang susah. Coba bapak tanya ke bagian rekam medis, barangkali bisa membantu bapak."
"Bagian rekam medis? Dimana itu mbak?"
"Kalau sore begini tutup pak, coba besok pagi."
"Oh, gitu ya."
Aryo tampak termenung. Ada harapan untuk bertanya, artinya tidak tertutup kemungkinan dia bisa menemukan keterangan disini,sekali lagi kalau apa yang dikatakan Rini itu benar.
"Ya sudah mbak, terimakasih banyak, selamat sore."
"Selamat sore bapak."
Aryo melangkah keluar.
"Semoga besok ada keterangan yang jelas tentang Arum. Kata Rini wajahnya pucat, apa dia sakit? Ya Tuhan, ijinkan hamba bisa menemukan dia," bisiknya perlahan sambil masuk kedalam mobil.
***

Udara mulai remang, Aryo teringat akan anaknya. Apakah Angga rewel ketika tidak menemukan Ratih disampingnya? Begitu risaunya hati Arya memikirkan anak semata wayangnya.
"Arum, apa kamu tega melihat anakmu seperti ini? Dia masih membutuhkan kamu Arum," bisiknya sepanjang menjalankan mobilnya.
Karena khawatir akan anaknya, Aryo menelpon ibunya.
"Ya Aryo, kamu dimana, lama sekali?"tegur bu Nastiti.
"Aryo masih dijalan. Apa Angga rewel?"
"Ya, tadi rewel, tapi kemudian aku minta nak Ratih bicara sama dia, sekarang sudah tenang. Lagi main mobil-mobilan."
"Ah ya, syukurlah, Aryo segera pulang bu, cuma muter-muter saja."
Aryo menghela nafas lega. Berkali-kali Ratih bisa menenangkan anaknya. Bisa menghiburnya, menyenangkannya, menjadi ibunya. Ya Tuhan, menjadi ibunya? Hati Aryo berdebar kencang. Kalau Ratih menjadi ibunya... tidak... jauhkanlah pikiranku dari dia.. pikir Aryo.
Aryo menjalankan mobilnya sangat pelan, karena pikirannya benar-benar kacau. Tapi ada sebersit harapan, rumah sakit itu. Besok dia harus kesana, barangkali nama Arum ditemukan disana sehingga dia bisa melacak keberaadannya.
Tiba-tiba Aryo merasa kepalanya berdenyut-denyut.
"Aduh, kenapa pula kepalaku ini," keluhnya.
Aryo ingin segera sampai dirumah, tapi dia ingat, obat sakit kepala dirumah sepertinya habis. Dia harus membelinya. Lalu dicarinya apotik.
Aryo hampir saja memarkir mobilnya ditepi, ketika dua orang wanita melintas dihadapannya. Aryo menginjak rem dengan kaget. Dilihatnya salah seorang wanita itu terjatuh.
Aro membuka mobilnya, tapi wanita yang satunya sudah menolong yang tadi terjatuh, kemudian berjalan kearah depan. Aryo ingin mengikutinya untuk meminta ma'af,  tapi keduanya keburu masuk kedalam mobil. Aryo menutup mobilnya, lalu berjalan kearah apotik.
Salah satu perempuan tadi, melihat kebelakang, kearah mobil Aryo.
"Ada apa?" tanya yang lebih tua.
"Saya seperti mengenali mobil itu."
" Oh, kalau pengemudinya, kenal tidak?"
"Entahlah, wajahnya nggak jelas."
Kemudian mobil itu berlalu. Kalau saja Aryo tau siapa perempuan yang nyaris ditabraknya.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER