Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 26 November 2020

Setangkai Mawar Buat Ibu #5

Cerita bersambung

Ketika keluar dari apotik itu, tiba-tiba ada rasa menyesal dihati Aryo. Ia sudah membuat seseorang jatuh, tapim tidak sempat meminta ma'af.
"Bodohnya aku. Seharusnya tadi aku bisa mengejarnya, kan mobilnya ada didepanku dan hanya selisih satu mobil. Kasihan, karena kepala pusing jadi kehilangan akal sehatku."
Aryo mengendarai mobilnya, dan berlalu, sambil berharap, mudah-mudahan bisa bertemu lagi suatu sa'at. Tapi bertemu yang bagaimana? Kan wajahnya saja ia tak melihatnya? Hari mulai gelap dan mereka seperti tergesa gesa pergi.
Dan entah mengapa, Aryo terganggu dengan kejadian itu, dan terus menyesalinya.

Ia sampai dirumah, ketika Angga sedang bermain dengan mobilnya. Hanya maju mundur didalam rumah, karena neneknya melarang bermain di halaman ketika hari mulai senja.
"Angga... waduh.. main terus ya.. nggak capek?"
"Bapak, Angga sudah busa sendiri... lihat nih.." lalu Angga memamerkan bagaimana ia menjalankan mobilnya, maju, mundur atau  berputar-putar. mengelilingi tatanan kursi diruang tengah.
"Anak bapak kok pinter sih? Ayo sekarang turun, sudah lama kan naik mobilnya?"
Aryo mengangkat tubuh anaknya lalu didekapnya didadanya.
"Sudah makan belum?"
"Belum, nanti bareng sama bapak. Iih.. bapak kok bau sih.." kata Angga sambil mengernyitkan hidungnya.
Aryo terbahak.
"Bau wangi kan?"
"Bau asem. Bapak belum mandi ya?"
"Iya, sekarang bapak mau mandi dulu. Mana eyang?"
Aryo menurunkan Angga lalu herjalan kebelakang.
"Ibu masak apa?"
"Ini, cuma asem-asem, sama ayam panggang tadi siang. Mandi sana, trus makan sama-sama," kata bu Nastiti.
Aryo membalikkan tubuhnya lalu masuk kekamar, bersiap mandi.
***

"Kemana saja kamu tadi Yo, lama banget perginya," tanya bu Nastiti ketika mereka sedang duduk berdua, sementara Angga sudah tertidur.
"Aryo tiba-tiba teringat ketika Rini bilang, bahwa dia melihat Arum keluar dari rumah sakit.  Mungkin dia bohong, tapi mungkin juga benar. Aryo ingin membuktikannya."
"Kamu datangi rumah sakit itu?"
"Ya, tapi belum mendapat keterangan jelas. "
"Mereka bisa membantu?"
"Entahlah, tapi mereka menyuruh Aryo kembali besok pagi."
"Jadi bisa ?"
"Belum tau bu, ada bagian tertentu untuk Aryo bertanya tentang pasien yang pernah berobat kesana."
"Harus jelas datanya kan, nama lengkap, alamat, umur.."
"Bukankah alamatnya disini bu?"
"Ya, kalau dia memakai alamat disini, bagaimana kalau alamat ditempatnya yang baru?"
Aryo memegang kepalamnya. Rasa pusing yang tadi dirasakannya belum hilang benar, walau dia sudah meminum obatnya.
"Tapi ya tidak ada salahnya berusaha Yo, mudah-mudahan kamu bisa mendapat keterangan tentang isterimu.
Tiba-tiba terdengar dering telephone. Nomor tidak dikenal. Aryo enggam mengangkatnya, paling-paling Rini. Tapi telephone itu terus saja berdering.
"Ibu, tolong ibu angkat, kalau dari Rini, bilang saja Aryo nggak ada," kata Aryo sambil memberikan ponselnya pada ibunya.
"Hallo," sapa bu Nastiti.
"Hallo selamat malam, ini bu Nastiti ya?"
"Iya benar, ini siapa ya, kok pangling suaranya."
"Lho, masa pangling sama suara besannya."
"Oh, ya ampuun, jeng Martono? Suaranya lain."
"Masa bu, saya saja tidak pangling suara ibu."
"Terimakasih jeng, bagaimana, ada berita apa? Oh ya, mau bicara sama Aryo?"
"Iya bu, mau menanyakan tentang Arum. Sedih saya.. sudah dua bulanan lebih kok belum ada kabar beritanya."
"Iya jeng, setiap hari Aryo juga mencarinya. Ini Yo, mertua kamu," kata bu Nastiti sambil memberikan ponselnya pada Aryo.
"Hallo bu, ini Aryo."
"Bagaimana nak... Arum kok belum ada beritanya?"
"Saya sudah berusaha terus mencarinya bu, tapi belum ada hasilnya."
"Apa Angga tidak rewel?"
"Rewel terus bu, itu sebabnya Aryo minta ibu agar tinggal dirumah."
"Kemana anak itu... ibu juga sudah minta tolong ke 'orang pintar', katanya Arum masih ada dikota ini."
"Aryo akan terus berusaha bu."
"Terakhir kali dia menelpon ibu, ketika hujan-hujan malam hari. Dia bilang mau kerumah, apa ibu sudah tidur, ibu jawab belum, ada apa malam-malam kerumah ibu, dia bilang cuma kangen sama ibu. Tapi malam itu dia tak pernah datang. Ibu menunggu sampai pagi, malah nak Aryo juga menelpon ibu, mencari Arum."
"Iya bu.. Aryo ingat."
"Sekali-sekali ajaklah Angga kerumah ibu  , ibu kangen.",
"Baiklah bu, ma'af, karena bingung Aryo sampai nggak kepikiran untuk mengajak Angga kerumah ibu. Besok hari  Minggu saya kemari bu, pati Angga senang."
Aryo termenung setelah menerima telephone dari mertuanya. Pastilah, orang tua mana yang tidak sedih kalau anaknya pergi tanpa berita.
***

Ketika itu...
Arum keluar rumah dengan hati yang terluka. Hujan memang tak lagi selebat tadi. Arum terus melangkah, mengikuti kemana kakinya menginginkannya. Namun gerimis itu hanya sesa'at, hujan deras kembali mengguyur. Arum tetap melangkah, tak perduli badannya basah kuyup, tak perduli tubuhnya menggigil kedinginan. Air mata terus mengucur, berpacu dengan derasnya hujan.
Ia sudah tau, Rini sering menggoda suaminya. Berlagak tak melihat, lalu menabraknya, berlagak menyerahkan Angga digendongannya kepada ayahnya, tapi diam-diam dia melirik kearahnya. Tapi Arum tak mengira iman suaminya setipis itu. Ia yang semula percaya, kemudian terluka oleh pemandangan yang tak pernah dibayangkannya. Antara suaminya sendiri, dan perempuan pengasuh anaknya.

Hati Arum berdarah-darah.  Rasa sakit dan kecewa memenuhi dadanya..
Hujan masih deras mengalir,  tak seorangpun berjalan dibawah hujan sederas itu, walau dengan payung sekalipun. Tapi Arum, membiarkan tubuhnya basah terguyur hujan, lalu langkahnya semakin lemah, lalu jatuh.. lalu tak ingat apa-apa lagi.
Seorang perempuan setengah tua, membawa payung, berteduh dipinggir jalan, dibawah atap sebuah toko yang agak menonjol keluar. Ibu itu melihat Arum terjatuh, lalu menghampiri. Tubuhnya ikut terguyur hujan. Ia bersusah payah menarik tubuh Arum ketepi. Sepi sekelilingnya. Toko disebelah dimana dia tadi berbelanja, dilihatnya sudah tutup. Ibu itu menidurkan tubuh Arum yang dingin dilantai begitu saja. Tak ada apapun yang bisa dipergunakan sebagai alas..
"Tolooong...," ibu itu berteriak. Tapi suaranya lenyap tertelan hujan dan guntur yang menggelegar bertalu-talu.
"Aduh, bagaimana ini," si ibu  kebingungan, lalu teringat bahwa tadi disuruh majikannya membeli minyak kayu putih diwarung itu. Ia mengambilnya di tas belanjaan dan membuka tutupnya, ke menciumkannya dihidung Arum. Ia juga mdenggosokkannya keseluruh tubuh nya. Arum tak bergerak.
"Tolooong," ia berteriak sekali lagi.
Tiba-tiba ponsel yang dibawanya berbunyi. Ibu itu adalah yu Siti, pembantu sebuah rumah tangga yang sedang disuruh membeli sesuatu oleh majikannya. Tadi hujan gerimis, sehingga yu Siti membawa payung. Majikannya menyuruh dia membawa [ponsel, barangkali nanti yang dipesannya ada yang kurang.
"Hallo,"
"Kamu dimana yu?"
"Masih berteduh bu, hujan deras sekali, tapi belanjaan ibu sudah lengkap. Ini.. ada orang pingsan didekat saya bu.."
"Orang pingsan?"
"Seorang perempuan, saya sudah menggosoknya dengan minyak kayu putih yang tadi ibu suruh beli, belum sadar juga."
"Kamu dimana?"
"Saya di sebelah toko Sanjoyo bu. Toko itu malah sudah tutup.
"Tunggu disitu, biar Pono menjemput kamu, dan bawa orang pingsan itu kerumah."
"Baiklah."
Yu Siti sedikit lega,   rumah majikannya tak begitu jauh. Ia terus menggosok tubuh Arum, Dadanya, punggungnya, telapak tangannya. Biar saja dia membuka-buka pakaiannya, kan nggak ada siapa-siapa disitu.
Tak lama kemudian mobil majikannya datang. Yu Siti melambaikan tangannya. Pono mendekatkan mobilnya, lalu turun.
"Tolong No, angkat ke mobil, biar aku bawa payungnya.."
Arum tergolek lemah dimobil itu, tapi tangannya sudah bergerak-gerak. Yu Siti merasa lega. Ia terus menggosok gosok telapak tangan Arum.
"Uuh..." terdengar Arum mengeluh.
"Syukurlah kamu sudah sadar nak."
Begitu sampai disebuah rumah, hujan sudah mulai reda. Pono menggendong Arum dan yu Siti memayunginya dari belakang.
Bu Suryo, pemilik rumah yang menunggu didepan, segera menyuruh yu Siti membawa kekamar kosong disebelah kamarnya sendiri.
"Badannya basah kuyup bu," kata yu Siti.
Arum membuka matanya.
"Ambilkan bajuku dan gantikan baju basahnya. Itu bajunya basah kuyup."
"Baik bu."
Ketika yu Siti sibuk menggantikan baju Arum, bu Suryo kebelakang mengambilkan teh panas, lalu diberikannya pada yu Siti.
Arum sudah berganti pakaian bersih dan kering, tapi tubuhnya masih lemas. Yu Siti menyendokkan teh hangat sesendok demi sesendok ke mulutnya.
"No, masukkan mobil ke garasi, dan kamu boleh pulang. Hujan sepertinya sudah berhenti. Nanti kalau ada apa-apa aku telephone kamu," pesan bu Suryo kepada sopirnya.
"Baik bu."
Pono berlalu, lalu bu Suryo masuk kembali kekamar dimana Arum masih tergolek lemah.
"Bagaimana rasanya?"
"Saya.. dimana?" bisik Arum lemah.
"Kamu dirumahku. Tadi yu Siti pembantuku menemukan kamu pingsan dijalan."
"Oh..."
"Yu Siti, aambilkan makanan dengan sup panas."
Yu Siti bergegas kebelakang untuk memenuhi perintah majikannya. Bu Surya seorang janda yang baik hati dan suka menolong. Ia juga memperlakukan yu Siti  seperti keluarganya sendiri. Sifat suka menolongnya itu tergugah ketika yu Siti mengatakan bahwa ada orang pingsan dijalan.
"Kalau tadi kamu belum sadar juga, aku pasti membawamu kerumah sakit," kata bu Suryo sambil duduk disebuah bangku yang ada didekat pembaringan.
Arum menatap perempuan setengah tua itu. Walau wajahnya tidak cantik, tapi sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia seorang yang ramah. Mata itu begitu teduh.
"Pusing ?"
Arum mengangguk.
"Nanti setelah yu Siti memberi kamu makan, kamu harus minum obat. Dan kalau kamu masih merasa kurang baik juga, besok aku akan membawamu ke rumah sakit."
Arum terdiam.
"Namamu siapa?"
"Arum, jawabnya lirih.
 Bagaimana kamu bisa pingsan ditepi jalan? Kamu tidak membawa apa-apa. Dompet, tas.. atau apa..?"
Arum meraba-raba seperti mencari sesuatu didekatnya.
"Kamu tidak membawa apa-apa, mungkin terjatuh ketika kamu pingsan."
Yu Siti membawa mangkok berisi nasi yang sudah diguyur kuah sup panas.
"Makanlah dulu, aku akan mengambilkan obatnya. Nanti kalau kamu sudah tenang, atau besok, kamu boleh menceritakan apa yang terjadi sama kamu."
Arum mengangguk.
"Rumahmu dimana..  jauhkah ?"
Arum menggeleng. Ia berada dimana saja tidak tau, bagaimana bisa mengatakan rumahnya jauh atau dekat.
Bu Suryo keluar dari kamar.
"Ini nak, makanlah dulu." kata yu Siti.
"Biar saya makan sendiri," kata Arum sambil bangkit. Tapi kepalanya terasa berdenyut.
"Sudahlah nak, kamu masih lemas, biar yu Siti suapin," kata yu Siti sambil mendekat.
Sesendok demi sesendok nasi yang disuapkan yu Siti masuk kemulutnya. Arum merasa lebih nyaman. Ia mengingat ingat bagaimana bisa sampai dirumah itu. Tapi yang dia ingat hanyalah hujan deras, rasa sakit diulu hatinya, dan kemudian tubuhnya merasa lemas, lalu tak ingat apa-apa lagi.
"Ini obatnya, kasihkan dia setelah selesai makan ya yu. Oh ya, ketika kamu menemukan dia, apa ada tas atau dompet yang dia bawa?"
"TIdak ada bu, atau mungkin saya tidak memperhatikannya. Saya hanya melihat dia terjatuh, lalu saya membawanya kepinggir."
"Kamu membawa uang banyak?"
Arum menggelemng. Ia tak pernah membawa banyak uang, tapi ada KTP kartu ATM dan beberapa surat penting lainnya.  Entahlah tas atau dompet itu terjatuh dimana.
"Sudah bu, saya kenyang," kata Arum ketika yu Siti sudah menyuapkannya separo.
"Sedikit lagi?"
Arum menggeleng. Lalu simbok memberikan sebutir obaat untuk sakit kepala dan membantunya bangkit untuk meminumnya.
"Yu, nanti malam kamu tidur disini saja dulu, aku khawatir dia belum sehat benar. Beri dia selimut, biar hangat," kata bu Suryo yang kemudian membalikkan badannya untuk keluar dari kamar.
"Timakasih banyak," bisik Arum.
Bu Suryo menoleh sejenak, kemudian mengangguk sambil tersenyum.Senyum itu meneduhkan.
***

Arum bingung ketika pagi hari ia membuka matanya, menyadari dia tidur disuatu tempat yang asing. Ingatannya masih belum sempurna. Ia juga tak ingat bahwa semalam dirawat oleh seorang wanita setengah tua yang baik hati, bersama pembantunya yang bernama yu Siti.
"Dimana aku ini?" Arum ingin bangkit, tapi kepalanya terasa berat.
"Sudah bangun nak?" yu Siti masuk sambil membawa nampan berisi segelas teh hangat.
"Oh.. ibu yang menolong saya bukan?" kata Arum lemah.
"Semalam nak Arum pingsan.. lalu disuruh bu Suryo membawa kemari."
Arum kemudian teringat. Ketika bajunya diganti dengan baju kering, diberi teh hangat, makan nasi dengan sup panas dan minum obat.
"Iya, saya sudah mengingatnya."
"Syukurlah. Sekarang minum tehnya ini, atau saya suapin?"
"Jangan, saya minum sendiri saja."
Susah payah Arum bangkit, dibantu yu Siti, sambil duduk ia menghirup teh panas beberapa teguk, lalu terbaring kembali.
"Masih pusing?"
Arum mengangguk.
"Sedikit."
"Biar aku gosokkan minyak gosok lagi ketubuh nak Arum, agar  terasa hangat."
Arum menurut. Yu Siti membuka ruisleting bagian belakang baju Arum, lalu menggosoknya dengan minyak kayu putih. Lalu dadanya, dan turun ke perutnya.
Tiba-tiba yu Siti tertegun, ketika melihat ada tahi lalat didekat pusar. Tangannya gemetar tiba-tiba.

==========

Yu Siti terpaku. Dielusnya tahi lalat itu lembut. Adakah orang yang  memiliki seperti ini sama seperti milik Arum? Apakah dia darah dagingku? Tapi kan banyak orang memiliki tahi lalat. Bisa didekat pusar, bisa didada, bisa dimana saja. ? Yu Siti termenung agak lama.
"Bu Siti, ada apa? Sudah saja menggosoknya, sudah terasa hangat."
Yu Siti terkejut, ia mengusap setitik air matanya yang tiba-tiba menetes.
"Bu Siti menangis?"
"Tidak  nak.. tidak apa-apa."
"Tapi bu Siti menangis."
Arum merasa bahwa tak mungkin yu Siti menangisi dirinya yang terkulai lemah dikamar itu.
"Sesungguhnya... sesungguhnya.. yu Siti ini teringat anak yu Siti.."
"Ooh, dimana putranya bu?"
"Entahlah..." katanya pilu, lalu menutupkan kembali baju Arum yang tadi dibukanya.
"Kok entahlah, apa maksudnya bu?"
"Hilang entah kemana.."
"Bagaimana bisa hilang?"
"Aku serahkan pada seseorang yang entah siapa, karena aku tidak mampu merawatnya."
"Ya Tuhan..."
"Kalau dia masih hidup, pasti seumuran sama nak Arum. Bayiku juga perempuan."
Kata-kata yu Siti membuat Arum terharu. Ia teringat pada Angga anaknya, yang juga terpisah dengan dirinya karena ia meninggalkannya. Rasa rindu segera menyergap hatinya. Tak terasa air matanyapun menitik. Pagi ini pasti Angga mencari ibunya. Atau tidak, karena ada Rini disana? Ingatan akan Rini membuat darahnya mendidih.
"Bayiku juga cantik, kulitnya bersih, hidungnya mancung, matanya bundar bulu matanya lentik," lanjut yu Siti sambil terisak.
Arum sejenak melupakan kesedihannya. Dielusnya tangan yu Siti
"Bu Siti .. sudah jangan sedih, saya do'akan pada suatu hari nanti bu Siti bisa bertemu dengan puteri bu Siti."
"Terimakasih nak," katanya sambil mengusap air matanya, kemudian keluar dari kamar."
Alangkah pedih memikirkan kehilangan anak, jauh, entah dimana, seperti dirinya yang merindukan Angga, yang mungkin berada dalam asuhan perempuan busuk yang telah merusak rumah tangganya. Arum menekan rasa rindu itu jauh didasar hatinya.
"Angga, jangan mencari ibumu lagi. Sakit hati ibu kalau harus pulang kembali.." bisiknya [erih.
***

Ketika bu Suryo memasuki kamar Arum, dilihatnya Arum sedang makan bubur buatan yu Siti. Bubur sumsum dengan kuah gula jawa beraroma pandan serta kayu manis yang wangi, dan tampaknya Arum menikmatinya. Bu Suryo tersenyum.
 "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya. Arum meletakkan mangkok yang isinya hampir habis.
"Lebih enak bu, cuma masih sedikit pusing."
"Minum obat pusingnya lagi, tapi kalau sehari ini tidak reda juga, aku antar kamu kerumah sakit."
"Saya sudah sangat merepotkan keluarga ini,"kata Arum sendu.
"Tidak, mengapa kamu berkata begitu ?"
"Saya bukan siapa-siapa, tapi ibu dan bu Siti memperlakukan saya dengan sangat baik dan penuh perhatian."
"Bukankah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya? Aku melihat kamu butuh pertolongan, lalu aku melakukannya. Aku suka melakukannya."
Arum mengangguk.
"Sekarang maukah kamu menceritakan semua yang terjadi? Kamu entah bagaimana, pergi dari rumah tanpa membawa selembar pakaianpun, dan tas atau dompet kamu tercecer entah dimana. Apa yang terjadi?"
Arum menundukkan kepala, berusaha keras agar air matanya tak jatuh menitik.
"Tapi kalau kamu belum siap mengatakannya, aku tidak akan memaksa. Beristirahatlah dulu."
Tak urung berderailah air mata Arum mendapat perhatian yang begitu tulus dari orang yang belum pernah dikenal sebelumnya.
"Sudah, jangan menangis lagi, aku tidak memaksa kok."
"Mengapa... ibu sangat baik kepada saya?" tanyanya terbata.
"Arum, ibu ini hidup sendiri, tak mimiliki seorang anakpun.Suamiku meninggal sudah sepuluh tahun yang lalu. Dulu ketika yu Siti datang kemari untuk mencari  pekerjaan, aku menyesalinya karena dia telah memberikan anak yang belum lama dilahirkannya, kepada orang lain. Kalau saja anak itu dibawa kemari, pasti aku akan bahagia sekali."
"Kasihan..." hanya itu yang bisa diucapkannya.
"Baiklah, istirahatlah dulu, yu Siti akan membawakan obatmu kemari."
 Arum mengangguk. Tiba-tiba kepalanya terasa berat sekali. Ia sungkan kalau tiduran terus, tapi ia harus membaringkan tubuhnya.
Pelan dibaringkannya tubuhnya.
Tak lama kemudian bu Suryo kembali masuk dengan membawa setumpuk pakaian.
"Nak, ini baju-bajuku, baru sekali dua kali aku pakai, tapi sudah tidak muat lagi. Kalau mau, pakailah, tubuhmu kan ramping, mungkin bisa masuk."
Arum bangkit, menahan sakit kepala yang kembali menderanya.
"Terimakasih banyak bu. Saya tidak membawa apa-apa, terimakasih atas semua yang ibu lakukan untuk saya."
Bu Suryo tersenyum teduh.
"Ibu..." panggil Arum ketika bu Suryo mau beranjak keluar.
"Ya..." bu Suryo kembali mendekati Arum.,
"Saya akan menceritakan apa yang terjadi pada saya, sampai saya pingsan dan ditemukan bu Siti."
"Oh, baiklah, aku siap mendengarkan."
Lalu dengan terbata Arum menceritakan apa yang dialaminya, ketika sepulang dari membezoek temannya, begitu memasuki rumah dilihatnya Rini dan suaminya sedang bercumbu mesra. Lalu ia lari dari rumah, menembus hujan dan pingsan, yang kemudian ditemukan yu Siti.
 Bu Suryo terbawa marah ketika mendengar cerita Arum.
"Kurangajar perempuan itu. Dan suamimu mengapa begitu tega menyakiti hati isterinya.  Isteri yang cantik seperti kamu, apakah kekurangannya?"
Arum tertunduk, lalu tanpa permisi merebahkan tubuhnya.
"Ma'af, kepala saya terasa berat."
"Baiklah, tiduran saja," kata bu Suryo sambil menarik selimut lalu diselimutkannya ketubuh Arum.
"Anakmu berapa?"
"Baru satu, belum lima tahun, Angga namanya."
"Apakah pengasuh anakmu yang kurangajar itu masih ada dirumah suami kamu?"
"Entahlah bu, saya kan langsung pergi."
"Apa kamu ingin aku mendatangi rumah kamu dan mendamprat perempuan edan itu?"
"Jangan bu, tidak usah. Kalau ibu tidak keberatan, bolehkah saya tinggal disini sementara? Saya akan mencari pekerjaan."
"Tentu saja boleh, aku merasa iba mendengar kisahmu. Tinggallah disini dan menjadi anakku."
"Terimakasih ibu."
"Dimana orang tuamu?"
"Ada, saya juga belum mengabari ibu. Saya takut ibu nanti memberitahu kepada mas Aryo, suami saya tentang keberadaan saya."
"Kamu tidak kangen sama anak kamu?"
"Sangat kangen, tapi mengingat pengasuh anak saya itu, saya enggan untuk pulang."
"Ya sudah, kamu istirahat dulu disini. Kalau sehari ini kamu masih merasa pusing, aku akan membawa kamu ke dokter."
"Terimakasih ibu," kata Arum berlinang air mata. Kali ini bu Surya mengusap air mata Arum dengan jari tangannya.
"Jangan menangis, kamu berada ditempat yang aman."
Arum mengangguk.
"Tapi menurut aku, kamu harus mengabari ibumu tentang keberadaanmu, kata bu Suryo sambil mengelus kepala Arum.
"Tapi Arum, badan kamu panas sekali," katanya sambil memegang kening, leher dan tangannya.
Lalu bu Suryo berteriak kepada yu Siti.
"Yuu.."
Dengan cepat yu Siti sudah tiba dihadapan bu Suryo.
"Obat untuk nak Arum yu, tapi mungkin sore nanti mau aku ajak ke dokter. Obat-obatan di warung sepertinya tidak cukup bisa mengobatinya.Atau sekarang saja, suruh Pono menyiapkan mobilnya.
***

Hari itu pagi-pagi sekali Ratih sudah selesai bersih-bersih rumah dan memasak. Ia bahkan tidak makan pagi bersama ayahnya, karena sudaah berjanji pada Angga untuk datang pagi-pagi.
"Kamu tidak makan dulu? Tumben pagi-pagi sudah menyuruh bapak sarapan dan menyiapkan makan siang juga."
"Angga minta Ratih datang pagi. Dia tidak mau mandi kalau bukan Ratih yang memandikannya."
"Kasihan anak itu, sudah benar-benar tergantung sama kamu."
"Iya pak, karena dia mengira Ratih ini ibunya. Terkadang Ratih juga berfikir, apakah harus seperti ini terus?"
"Semoga saja ibunya segera kembali."
"Aamiin, pak. Ratih juga berharap demikian."
"Bagaimana mungkin seorang ibu tega meninggalkan anaknya begitu lama?"
"Ratih justru khawatir telah terjadi sesuatu pada bu Arum."
"Ah, semoga semuanya baik-baik saja Tih. Jangan berfikiran yang tidak-tidak."
"Iya pak, cuma kadang-kadang Ratih berfikir begitu, semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk. Ya sudah pak, ma'af kalau kali ini bapak sarapan sendiri ya."
"Tidak apa-apa, pergilah , anakmu sudah menunggu," canda ayahnya sambil tersenyum.
***

Angga berjingkrak kegirangan melihat Ratih datang.
"Tuh nak, Angga tidak mau mandi, tidak mau sarapan, semuanya menunggu nak Ratih, bagaimana ini?" keluh bu Nastiti yang merasa agak sungkan karena menyusahkan Ratih.
"Tidak apa-apa bu, biarkan saja."
"Ayo ibu, Angga mau mandi sekarang." teriak Angga yang sudah mendahului lari kekamar mandi.
Ratih meletakkan tas yang dibawanya, lalu mengikuti Angga ke kamar mandi.
Bu Nastiti heran melihat Aryo belum bersiap dengan pakaian kerjanya.
"Yo, kamu nggak kerja?"
"Kerja bu, tapi Aryo mau kerumah sakit dulu. Kemarin kan belum selesai urusannya."
"Oh, baiklah, semoga mendapat keterangan yang jelas. Kasihan nak Ratih."
"Nanti Aryo sekalian mengantarkan Angga sekolah, setelah itu baru ke rumah sakit."
"Baiklah, aku siapkan makan pagi dulu untuk kalian, aku yakin nak Ratih pasti juga belum sempat makan pagi."
"Aryo ganti baju dulu bu."
Begitu selesai mandi dan memakai pakaian untuk sekolah, Angga sudah duduk dimeja makan. Sepiring nasi dan telur ceplok kesukaannya sudah disiapkan dimeja.
"Nak Ratih, ayo makan sekalian," kata bu Nastiti sambil menggandeng tangan Ratih menuju meja makan.
"Tidak bu, saya sudah makan."
"Jangan bohong nak, sepagi ini pasti nak Ratih sibuk melayani ayahnya dulu, lalu buru-buru berangkat kemari, mana mungkin sempat sarapan."
"Ayo bu Ratih, jangan sungkan." ajak Aryo sambil tersenyum. Ratih benci senyum itu, karena selalu membuatnya bergetar. Bu Nastiti menuntunnya, dan mau tak mau Ratih duduk disebuah kursi didekat bu Nastiti. Tapi rupanya Angga protes.
"Ibuuu....ayo makan.. sini.. dekat bapak, kan biasanya kalau makan juga dekat bapak," kata Angga ketika melihat Ratih duduk disebelah neneknya.
"Disini kan sama saja ," kata Ratih tanpa beringsut dari tempat duduknya.
"Nggak mauuu... ibu harus duduk disini.. ini kan kursi buat ibu?"
Aryo mengangguk kearah Ratih, bu Nastiti juga menyentuh lengannya. Ratih terpaksa berdiri, lalu duduk disamping Aryo seperti permintaan Angga.
Aduhai, seperti sebuah keluarga ya. Ada bapak, ada ibu, ada anak, dan ada mertuanya, pikir Ratih dalam hati. Tapi pikiran itu membuatnya kacau.
"Ibu mengambilkan nasi buat bapak dulu, lalu buat eyang, terus buat Angga."
Ya Tuhan, anak sekecil itu benar-benar membuat Ratih salah tingkah. Dengan gemetar disendoknya nasi goreng buatan bu Nastiti kepiring Aryo. Dan karena gemetar itu banyak nasi tercecer disekitar piringnya. Aryo bukan tak tau, dengan sigap ia memungut ceceran nasi itu, tapi kebetulan Ratih juga melakukannya, sehingga tangan mereka bersentuhan. Ratih menarik tangannya. Ia meraih air putih yang disediakan dan meminumnya seteguk untuk menenangkan hatinya.
"Sudah bu Ratih, biar saya ambil sendiri saja. Angga memang nakal," bisik Aryo ketelinga Ratih.
"Aryo, ayo sekarang makan, tidak usah melihat ibu terus," tegur bu Nastiti karena melihat Ratih tampak gugup.  Bu Nastiti maklum.
"Bisa makan sendiri ?" tanya Ratih kepada Angga.
"Bisa ibu. Kok ibu tidak mengambil nasi gorengnya?" masih saja Angga sok mengatur.
"Iya, ini ibu ambil." kata Ratih sambil menyendok nasi gorengnya."
"Yang banyak nak Ratih, jangan sungkan."
"Iya bu, terimakasih."
Ratih makan dengan perasaan tak menentu. Si kecil Angga banyak mengatur sikap dirinya yang harus seperti sikaunya kepada ayahnya. Ya Tuhan, aku ini kan ibu pura-pura, kata hati Ratih. Jangan-jangan suatu hari nanti dia memaksanya untuk benar-benar tidur dikamar ayahnya. Dan Ratih tiba-tiba tersedak.
"Hati-hati bu Ratih," kata Aryo yang kemudian mengambilkan air minum untuk Ratih.
"Terimakasih, Saya mau kebelakang dulu," kata Ratih yang kemudian berdiri, lalu masuk kekamar mandi. Terdengar oleh semuanya, Ratih terbatuk- batuk beberapa sa'at.
"Kenapa ibu?" tanya Angga.
"Sudah, selesaikan makannya, nanti kesiangan datang kesekolah."
"Kata bapak, nanti bapak akan mengantarkan Angga ke sekolah."
"Iya, tapi selesaikan dulu makannya."
***

Pagi itu terasa heboh bagi Ratih. Ia dipaksa melakukan hal-hal seperti yang dilakukan para isteri pada umumnya. Aduhai. Seandainya itu benar, pasti tak akan segugup ini perasaannya.
Bu Nastiti yang mengerti bahwa Ratih agak kikuk menghadapi Aryo, memilih duduk didepan, sementara Ratih dan Angga dibelakang.
Setiba disekolah, beberapa teman meledekinya karena dia diantarkan oleh Aryo.
"Waduuh.. benar-benar seperti seorang nyonya, mengantar anak kesekolah bersama suami," lalu mereka tertawa.
Ratih menoleh kebelakang, untunglah bu Nastiti tidak masuk kedalam ruang kantornya, sehingga tak mendengar ledekan kawan-kawannya.
"Ssst, hati-hati ngomongnya, ada neneknya Angga tuh," bisiknya pelan.
"Diam kalian, Ratih takut karena adaa mertuanaya," lalu tawa beberapa guru terdengar riuh.
"Ssssstttt..." Ratih meletakkan jari telunjuk kebibirnya.
***

Aryo menujuk rumah sakit. Ia mencari ruang yang kemarin ditunjukkan oleh bagian pendaftaran. Rekam medis? Tapi ternyata disana diaa ditolak.
"Bapak coba ke bagian informasi."
Aryo berjalan kearah yang ditunjuk.
"Selamat pagi." sapanya.
"Selamat pagi bapak, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin bertanya, bisakah saya menanyakan ... seorang.. saudara saya.. yang... aduh bagaimana ngomongnya."
"Gimana pak?"
"Begini. Salah seorang saudara saya sekitar tiga atau empat hari yang lalu mengatakan akan berobat kemari. Bisakah saya tau apakah benar dia kemari?"
"Mengapa bapak tidak menanyakan ke saudara bapak saja apakah dia jadi berobat kemari atau tidak?"
"Waduh..  begini..."
Aryo menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Aryo susah mengatakannya.
"Begini mas, saya kehilangan kontak dengan saudara saya itu. Kalau benar dia berobat kesini, saya mau tanya juga dia tinggal dimana."
"Gimana ya pak, kalau bapak menanyakan hal itu, kami bisa memberikan keterangan, tapi siapa nama saudara bapak itu?"
"Arum... Arumsari.."
"Alamatnya dimana, lalu dia periksa di klinik apa. Itu harus jelas dulu. Rumah sakit ini kan luas. Ada klinik-klinik untuk penyakit tertentu."
Aryo kembali menggaruk kepalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER