Cerita bersambung
Keluar dari rumah sakit itu Aryo terus berfikir. Ke poliklinik apa ya kalau Arum benar-benar berobat? Banyak poliklinik dengan pengobatan bagi penyakit tertentu . Apakah Arum mengidap suatu penyakit? Mungkin hanya sakit biasa. Atau harus mengatakan bahwa dia berobat ke poli umum? Lalu Aryo membalikkan badannya, mengatakan kepada bagian informasi bahwa sahabatnya itu berobat di poliklinik umum.
"Namanya?"
"Arum.. Arumsari.."
"Alamat ?"
Aryo bingung, akhirnya disebutkannya alamat rumahnya."
"Jl. Amarta no 94.
"Kapan dia periksa?"
"Kira-kira empat atau lima hari yang lalu."
Aryo menunggu, beberapa sa'at lamanya. Hatinya berdebar. Namun keterangan dari petugas sangat membuatnya kecewa.
"Ma'af pak, ada tiga tanggal yang saya cari, tapi tidak saya ketemukan nama itu."
"Oh, begitu ya pak?" jawab Aryo lemah.
Aryo benar-benar keluar dari sana, lalu menuju pulang.
"Berarti Rini bohong !! dasar perempuan mata duitan !" umpatnya dalam perjalanan pulang.
Lalu terpikir lagi olehnya bahwa mungkin isterinya mengidap suatu pengakit? Kemudian dia periksa ke poli penyakit dalam.. Lalu dikibaskannya perasaan itu. Ia yakin Arum tidak memiliki penyakit yang serius. Isterinya selalu sehat, tak pernah mengeluhkan tentang sesuatu. Dan tetap dianggapnya bahwa Rini telah berbohong.
Sesampai dirumah, dengan hati masih kacau, Aryo mengganti pakaian dinas dan langsung pergi kekantor.
***
"Wuri, belum ada juga ya pekerjaan untuk aku?" rengek Rini kepada Wuri ketika mereka sedang bersantai dirumah.
"Belum ada, kalau sudah ada pasti kamu aku beri tau."
"Sebel nih, duti sudah menipis."
"Makanya jangan boros-boros. Uang dipergunakan kalau perlu saja."
"Sedihnya aku sudah ngutang juga sama kamu."
"Nggak apa-apa, jangan difikirkan. Kalau butuh uang lebih baik hutang, daripada memeras orang."
"Iih, nyindir ya?"
"Bukan nyindir, kebiasaan kamu itu, aku hanya mengingatkan. Itu nggak baik kamu lakukan."
Rini termenung. Selama ini dia hidup cukup karena mendapat gaji lumayan dari keluarga Aryo. Uang itu utuh karena segala macam sabun sikat pasta gigi dan makan, bu Arum mencukupinya. Hanya pakaian ia membeli sendiri. Tapi setelah tidak lagi bekerja disana, Rini bingung karena lama kelamaan uang simpanan pasti habis.
"Pekerjaan itu jangan milih-milih, yang penting halal," lanjut Wuri.
"Bolehkah aku bantu-bantu dirumah sakit? Maksudnya membantu kamu. Aku nggak minta gaji, cuma kalau dirumah sendiri aku kan kesepian. "
"Besok aku tanyakan pada pimpinan aku, bolehkah ada yang membantu tanpa minta gaji."
"Yang penting aku punya kesibukan."
"Baiklah, soalnya kalau lowongan pekerjaan belum ada. Cuma saja kalau aku yang minta agar ada yang membantu aku, entahlah. Semoga saja bisa."
Agak berat sebenarnya, bekerja tanpa gaji, tapi hanya itu yang bisa dilakukan Rini, daripada pikiran ngelantur kemana-mana.
***
Sudah dua bulan Arum tinggal bersama keluarga Suryo. Diperlakukan dengan sangat baik oleh bu Suryo seperti kepada anaknya sendiri. Kelembutan hati Arum dan derita yang disandangnya, membuat bu Suryo sangat merasa kasihan. Harus ada orang yang selalu dekat dengan dirinya, mengasihinya, sehingga Arum merasa terhibur walau rasa kangen terhadap anaknya tak dapat dibendungnya. Apalagi yu Siti merawatnya tanpa mengenal lelah. Malam sebelum tidur, yu Siti memijit-mijit kakinya, padahal dia tidak banyak melakukan aktivitas dirumah itu. Hanya boleh membersihkan kamarnya sendiri. Bersih-bersih seluruh rumah bu Siti yang melakukannya
"Sedang apakah Angga, apakah setelah ibunya tak ada maka Rini selalu memanjakannya seperti biasa? Jangan-jangan malah sebaliknya, karena Rini hanya perhatian kepada ayahnya Angga." keluh Arum pada suatu malam.
Ingatan akan Rini membuat buyar semua keinginannya menemui anaknya. Pasti akan menyakitkan seandainya dia pulang dan melihat Rini masih ada disana. Tapi kalau bukan Rini, siapa lagi yang bisa melayani Angga, menghentikan tangisnya, bahkan menghiburnya ketika Angga merindukan ibunya? Arum menitikkan air mata.
Akhir-akhir ini Arum merasa tubuhnya semakin lemah. Entah penyakit apa yang dideritanya, bu Suryo yang rajin memeriksakan Arum ke dokter tak mau mengatakannya. Padahal dia tau pada suatu hari, dokter ingin bicara dengan bu Suryo, berdua saja tanpa dirinya.
"Apa kata dokter bu?" tanya Arum waktu itu.
"Tidak apa-apa, dokter itu hanya mengatakan bahwa kamu harus banyak istirahat dan rajin minum obatnya."
Arum menurut saja apabila bu Suryo mengajaknya kerumah sakit, menyuruhnya periksa darah, dan urin, dan yang terakhir dia pernah menjalani ct scan. Tapi hasilnya tak pernah dia mengetahuinya. Arum sudah pasrah. Dia merasa sehat, tapi bu Suryo selalu mengajaknya kontrol. Apalagi setelah dia mengalami perdarahan hebat, dan itu bukan menstruasi.
Tapi ketika itu bu Suryo mengatakan bahwa itu terjadi karena Arum banyak pikiran.
Hari itu ketika sedang beristirahat dikamarnya, tiba-tiba yu Siti datang, membawakan jus jeruk yang segar.
"Mengapa bu Siti repot-repot membawa ini kekamar? Saya kan bisa keluar dan minum dimeja makan."
"Ibu yang menyuruh nak, karena tampaknya nak Arum lelah."
"Nggak bu, Arum tidak melakukan a-a-apa, mana bisa lelah?"
Yu Siti .. entah mengapa.. seperti merasakan kedekatan antara dirinya dan Arum. Karena tahi lalat didekat pusar itukah penyebabnya? Entahlah, tapi perhatiannya terhadap Arum menjadi sangat berlebih. Ia masih berharap, Arum adalah darah dagingnya.
"Sudahlah, jangan membantah nak, ibu itu kan melakukan semua ini demi kebaikan nak Arum. Jadi ayolah diminum sekarang. Banyak makan dan minum santapan bergizi itu perlu."
Arum tersenyum. Diteguknya jus yang diberikan yu Siti sedikit demi sedikit, hingga habis.
"Sebenarnya aku kangen saba ibuku. Dua bulan lebih aku tidak mengabarinya."
"Kalau begitu kunjungilah ibn nak, saya yakin ibunya nak Arum juga pasti merindukan nak Arum."
"Sebenarnya aku takut kalau ibu memberi tau keberadaanku pada mas Aryo."
"Memangnya kenapa Arum?" tiba-tiba bu Suryo sudah ada didalam kamar Arum.
"Iya bu, Arum tidak kepengin ketemu mas Aryo lagi."
"Kalau Angga? Masa tidak perduli juga pada anak kamu?"
"Dia ada bersama Rini bu, Arum belum bisa menghilangkan luka hati Arum, apalagi kalau melihat perempuan itu."
"Baiklah, tapi keinginanmu menemui ibu kamu itu harus segera kamu lakukan. Kasihan, dia pasti sedih tak mengetahui keberadaan kamu. Kalau kamu tak ingin suamimu mengetahuinya, bilang saja pada ibu, jangan memberitahukan tentang diri kamu sama dia."
"Baiklah bu."
"Biar Pono mengantar kamu besok pagi."
"Terimakasih ibu."
"Yu Siti, siapkan makan siang, sudah sa'atnya kita makan bukan? Lagian Arum harus minum obatnya setelah makan."
"Sudah Siti siapkan dimeja makan bu, sekalian obatnya nak Arum yang harus dimakan siang ini."
"Baiklah, Arum, ayo kita makan."
***
"Sejak bu Nastiti ada dirumahnya, Aryo selalu makan siang dirumah. Kecuali Angga lebih suka makan siang bersama bapaknya, ada Ratih yang ikut menemaninya makan, dan yang selalu dipaksa Angga untuk duduk disampingnya. Seakan benar-benar ada isteri yang mendampinginya. Apakah Aryo juga seperti Angga bisa menganggap Ratih sebagai bagian dari hidupnya?
"Semoga saja tidak," bisiknya pelan. Tapi bisikan itu terdengan oleh Ratih dan juga abu Nastiti.
"Apa yang semoga tidak Yo? tanya bu Nastiti.
"Oh, eh.. Aryo bilang apa?" jawabnya terkejut. Bisikan itu terlontar begitu saja ketika kepalanya dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang sesungguhnya bukan yang diharapkannya.
"Kamu tadi bilang, semoga saja tidak.. Lagi ngelamunin apa?"
"Oh, iya.. ya ampun.. itu masalah pekerjaan yang tadi belum selesai Aryo kerjakan. Ma'af ya."
"Bapak, besok kan hari Minggu, kata ibu besok libur satu hari," kata Angga menyela.
"Oh iya benar."
"Bolehkah besok kita jalan-jalan sama ibu?"
"Mm... begini Angga, besok ibu kepengin istirahat, katanya capek."
"Betul ibu?"
Ratih mengangguk sambil tersenyum. Ia tau Aryo sedang memberinya waktu untuk mengurus ayahnya.
"Jadi.. biar besok ibu beristirahat dulu. Begini, Angga ingat eyang Martono kan? Eyang kangen banget sama Angga. Jadi kita besok mau kesana."
"Lhah, berari itu kan ibunya ibu. Ibu ikut dong."
Waduh, Aryo terdiam sekarang. Kata-katanya justru memberi umpan kepada Angga untuk tetap mengajak Ratih bersamanya.
"Tapi.. apa ibu nggak capek?"
"Ibu kan anaknya eyang. Ya harus ikut dong."
Ratih geleng-geleng kepala.Bu Nastiti pun tak bisa berkata-kata. Benar sih, masa mau ketemu ibunya malah akan tinggal dirumah. Alasan apa lagi yang bisa diutarakan agar Angga membiarkan Ratih istirahat?
"Baiklah, nggak apa-apa saya ikut." tiba-tiba kata Ratih.
"Horeeeee... ibu ikuttt! sorak Angga kegirangan.
Bu Nastiti dan Aryo merasa lega.
***
"Aryo, kamu belum mengatakan, bagaimana hasilnya ketika kamu kerumah sakit mencari keterangan tentang isteri kamu?" kata bu Nastiti pada suatu malam.
"Oh iya bu, Aryo lupa mengatakannya. Tidak ketemu bu, tidak ada yang berobat di poliklinik itu yang bernama Arumsari.
"Benarkah?"
"Rini itu tukang bohong bu. Orang seperti itu mana punya itikat baik. Ia hanya butuh uang."
"Lalu kemana perginya Arum ya Yo. Biar marah sama suaminya, tapi kok tega sama anaknya. "
"Itulah yang Aryo juga fikirkan. Masa sama sekali dia tak ingin kembali demi anaknya."
"Jangan-jangan dia mengira Rini masih ada disini sehingga dia nggak mau pulang."
"Begitukah ?"
"Mungkin saja."
"Seandainya bisa berkomunikasi.... pasti dia tau bahwa Aryo sudah mengusir Rini malam itu juga."
"Bagaimana mau berkomunikasi, Bisa nyambung saja enggak."
Tiba-tiba terdengar ketukan dipintu. Aryo keluar untuk melihat siapa yang datang.
"Selamat malam, sapa seorang lelaki tinggi besar yang belum pernah dikenal Aro sebelumnya.
"Selamat malam, mau cari siapa ya pak?"
"Disini rumah ibu Arumsari?"
Aryo terkejut.
"Iya benar, ada apa ya?"
"Saya menemukan tas ini, ada kartu nama dan kartu penduduk atas nama ibu Arumsari."
Aryo menerima tas itu dengan gemetar. Sudah dua bulan lebih Arum pergi, lalu tas ini diketemukan dan baru saja diberikan? Tas tangan yang dibawanya ketika pergi, sekarang tampak kotor dan lembab.
"Kapan bapak menemukan ini, dan dimana?
"Saya menemukan baru kemarin, ditepi jalan. Agak jauh diluar kota. Tas itu kotor bukan, mungkin sudah kehujanan dan terkena lumpur."
Aryo membuka tas itu, ada dompet didalamnya, yang ketika dibuka sudah tak ada isinya.
"Saya membukanya, dan membaca Kartu Tanda Penduduk yang ada didalamnya. Isi lainnya saya tidak tau."
"Baiklah, terimakasih banyak."
"Saya tadi naik taksi kesini, karena tidak bisa menemukan alamat dengan jalan kaki."
Aryo maklum apa yang dimaksud, diambilnya uang ruaratus ribu dari dalam rumah dan diberikannya.
"Terimakasih pak."
"Terimakasih kembali."
Aryo membawa masuk tas isterinya yang sudah kumal.
Dibukanya lagi isi dalam tas itu, hanya KTP dan nota-nota pembelian yang tidak penting.
"Pasti isinya sudah dikuras oleh orang yang menemukannya, lalu membuang tasnya sembarangan," kata bu Nastiti.
"Benar bu, tempat ditemukannya tas ini juga sudah tak bisa dibuat ancar-ancar kemana perginya Arum, karena mungkin si penemu membuangnya disembarang tempat.
"Ya ampuun. Pergi tanpa membawa bekal apapun. Apa yang terjadi," keluh bu Nastiti sedih.
***
"Arum, kamu jadi akan menemui ibumu hari ini?" tanya bu Nastiti pagi itu.
"Iya bu, tidak apa-apa kan?"
"Tidak nak, tentu saja boleh, itu penting buat kamu. Kasihan kalau ibu kamu kelamaan memikirkan kamu."
"Baiklah bu, Arum akan bersiap-siap sekarang," kata Arum lalu masuk kekamarnya.
"Yu Sitiii," panggil bu Suryo.
"Ya bu.."
"Suruh Pono menyiapkan mobil, dia akan mengantarkan Arum kerumah ibunya."
"Baiklah bu."
Sebenarnya terbersit keinginan yu Siti untuk ikut, tapi diurungkannya, karena pagi tadi bu Nastiti sudah membrinya perintah utnuk belanja dan memasak.
"Ibu saya sudah siap."
Yu Siti sedang memanggil Pono untuk menyiapkan mobilnya. Sampai nanti salam saya untuk ibu ya? Jangan marah puterinya aku ambil sebagai anakku juga," kata bu Suryo sambil tersenyum lalu merangkul Arum dengan hangat. Ini membuatnya sangat nyaman.
"Baiklah bu, pasti ibu saya akan senang. Puterinya dirawat disini penuh kasih sayang."
"Sungguh aku merasa mendapatkan anak, jangan pergi dari aku ya Rum?" kata bu Suryo berlinang air mata.
Arum memeluknya, juga dengan linangan air mata.
"Aku menyayangi kamu."
"Arum juga menyayangi ibu."
***
"Ibu, ini Aryo.." kata Aryo ketika menelpon ibu mertuanya.
"Oh ya Aryo, kalian jadi mau datang kesini bukan?"
"Iya ibu, tapi nanti Aryo akan datang juga bersama Ratih."
"Siapa Ratih? Kamu sudah mendapatkan isteri baru?" kata bu Martono sedikit meninggi.
"Bukan ibu, Ratih itu sesngguhnya gurunya Angga disekolah, tapi dianggapnya dia itu Arum oleh Angga."
"Bagaimana mungkiin? "
"Angga mengira Arum itu ibunya, karena wajahnya mirip sekali dengan Arum."
"Masa?"
"Iya bu, nanti ibu dapat melihatnya sendiri. Aryo tidak bisa mencegahnya, karena dengan Ratih Angga seperti menemukan Arum. Dan Aryo bersyukur Ratih mau membantu. Semoga Arum segera ditemukan ya bu."
"Baiklah, segera datang, karena ibu sudah memasak buat kalian. Ibumu ikut kan?"
"Iya bu, ibu juga kangen, sudah lama tidak bertemu."
***
"Dimana beloknya mbak, beritahu Pono sebelumnya ya, so'alnya ini jalan satu arah, kalau kebablasan harus muter lewat sana lagi." kata Pono ketika mengantarkan Arum.
"Iya mas Pono, nanti, setelah perempatan itu, belok kiri, hanya kira-kira limapuuhan meter kok."
"Baiklah."
Hati Arum berdebar-debar. Sudah lama dia tidak ketemu ibunya, dan juga sudah lama ia membuat ibunya harap-harap cemas menunggunya. Sungguh ia merasa berdosa.
Mobil yang dibawa Pono sudah belok kekiri.
"Sebentar mas, berhenti dulu," tiba-tiba kata Arum.
"Disini mbak?"
"Ya, berhenti disini dulu."
Arum melongok kedepan. Dilihatnya Aryo turun dari mobil, lalu bu Nastiti, Lalu Angga. Tidak, masih ada satu lagi. Arum tak berhedip ketika satu kaki kelihatan muncul dipintu belakang. Kaki perempuan. Seketika darahnya mendidih. Nafasnya terengah engah menahan emosi.
"Mas Pono, balik saja."
"Apa?"
"Kita balik saja. Cepat mas Pono, putar mobilnya!!" kata Arum agak keras.
==========
Mobil yang membawa Arum berbalik arah.
"Kita kemana mbak?" tanya Pono bingung.
"Pulang saja mas."
"Pulang? Nggak jadi kerumah ibu?"
"Nggak."
"Karena kelihatannya banyak tamu itu ya?"
"Ya.." singkat semua jawaban Arum. Rasa kesal, hati panas, dan kecewa, bercanpur aduk menjadi kemarahan yang menyala-nyala..
Pono yang mengerti bahwa Arum sedang kesal tak melanjutkan percakapan,. Hanya diam sampai kemudian tiba kembali dirumah bu Suryo.
Begitu memasuki rumah, bu Suryo menyambutnya dengan heran.
"Kok sudah kembali? Nggak ketemu ibu?"
Arum tak menjawab, tapi merangkul bu Suryo sambil menangis. Tak tahan menanggung amarah yang telah membakar jiwa raganya pagi itu.
"Ada apa ini? Ayo duduklah dan ceritakan semuanya."
Arum melepaskan pelukannya, bu Suryo merangkulnya dan mengajaknya duduk disofa.
"Ada apa? Ibu pergi? Rumah kosong? Atau kamu malah dimarahi ibumu?"
Arum menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.
"Lalu apa nak? Wajahmu pucat, tapi matamu memancarkan kemarahan."
"Ketika saya datang, mobil suami saya juga kebetulan baru datang."
"Wah, kebetulan dong. Atau karena itu kamu marah pada suami kamu, lalu kamu langsung pulang? Anakmu ada?"
"Saya hampir turun dan berlari untuk memeluknya,"
"Nah, kenapa enggak?"
"Ada perempuan itu bersama mereka." Lalu pecahlah tangisnya.
"Ya Tuhan, mengapa suamimu masih bersama perempuan itu ?" kata bu Suryo penuh sesal, sambil merengkuh pundak Arum.
"Ya sudah, kamu harus sabar. Teruslah berdo'a agar suamimu sadar akan kesalahannya. Lalu kalian bisa membangun kehidupan yang bahagia bersama anak dan suami kamu."
Yu Siti yang berdiri dibalik pintu, mendengarkan keluhan Arum, bagai teriris hatinya mendengar tangisnya yang mengharu biru. Kemudian ia masuk kedapur, mengambil segelas air dan dibawanya kedepan.
"Nak Arum, minumlah agar hatimu tenang."
Bu Suryo menerima gelas itu, lalu diangsurkannya kepada Arum.
"Minumlah barang seteguk, agar hati kamu lebih tenang."
Arum menerimanya lalu meneguknya.
"Ayo kita kebelakang, yu Siti tadi masak kolak pisang, baunya saja sudah tercium sedaaaap sekali."
"Iya nak, ayo.. tapi cuci tangan dan kakimu dulu, yu Siti siapkan semuanya dimeja makan. "
Bu Suryo menarik tangan Arum, menuntunnya kekamar mandi.
"Mau ganti baju dulu? Yu Siti, siapkan baju ganti untuk Arum."
Tanpa diperintah dua kali yu Siti sudah menghambur kekamar Arum, memilihkan baju rumahan yang bersih agar Arum merasa nyaman memakainya.
Arum merasa sedikit terhibur atas perlakukan bu Suryo dan yu Siti yang sangat memperhatikannya. Bahkan Arum merasa seakan dirinya adalah puteri raja yang segalanya harus dilayani. Terkadang sungkan juga menghadapi kebaikan mereka, tapi mereka selalu memaksa.
"Yu Siti, nanti sehabis makan kolak, kamu ke pasarnya sama Pono saja, nggak usah naik becak. Kan Pono sudah kembali," kata bu Suryo ketika mereka sedang menyantap kolak pisang buatan yu Siti. Yu Siti yang juga duduk semeja mengangguk
"Ya bu."
Yu Siti memang bukan pembantu biasa. Artinya bu Suryo menganggapnya sebagai keluarga. Mereka makan semeja, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan saling bantu.
"Enak bukan, kolak buatan yu Siti?" tanya bu Suryo kepada Arum, ketika dilihatnya Arum seperti enggan memasukkan kolak itu kemulutnya. Mungkin karena hatinya masih diliputi kemarahan, jadi makan apapun terasa tak enak.
"Ketika makan, jangan memikirkan hal lain, apalagi hal yang membuat kesal. Nikmatilah apa yang bisa kamu santap."
Arum mengangguk, lalu memasukkan sesendok kolak kemulutnya.
"Enakkah?
"Enak bu, enak sekali."
"Yu Siti, apakah ada obat yang harus diminum Arum pagi hari?"
"Ada bu, tapi sudah diminum tadi setelah sarapan."
"Oh, syukurlah."
"Catatan belanjaan ditaruh ibu dimana?"
"Oh, aku lupa yu, masih dikamar, sebentar aku habiskan ini dulu. Kok kamu sudah selesai yu? Masakannya sendiri ya harus banyak makannya."
"Sudah kenyang bu, nanti lagi. Saya ambil tas belanjaan dulu bu," kata yu Siti sambil berdiri.
***
Bu Martono memeluk Aryo, bu Nastiti dan Angga bergantian. Matanya berkaca-kaca melihat menantu, besan dan cucunya berdatangan. Tapi ketika Ratih mengulurkan tangan lalu menciumnya, bu Martono tertegun. Inikah yang dikira Angga adalah ibunya? Angga tidaak salah. Gadis ini sangat mirip anaknya. Aneh.
"Bagaimana mungkin ada kejadian seaneh ini? Menurutku Arum tidak dilahirkan kembar," kata bu Martono sambil menatap Ratih lekat-lekat.
Ratih hanya tersenyum, tersipu.
"Eyang, kok tidak memeluk ibu? Apa eyang tidak sayang sama anaknya?" tuh, si kecil cerdas sudah memprotes.
Bu Martono yang sedang menatap Ratih terkejut. Ia lupa pada pesan Aryo bahwa Angga mengira Ratih adalah ibunya. Segera begitu mendengar teriakan Angga, bu Martono memeluk Ratih dengan hangat.
"Ibu kangen sama kamu," bisiknya.
"Saya juga kangen sama ibu."
Hm, Ratih benar-benar pintar bersandiwara, guna menyenangkan 'anak' nya.
"Ayo.. ayo.. kok pada berdiri saja. Duduk. Itu semuanya sudah ibu siapkan. Minuman hangat, camilan pisang goreng. Itu pisang dari kebun sendiri lho. Baru tiga hari yang lalu ditebang oleh tukang kebunku."
"Waah.. ini pisang kepok kuning, rasanya sangat legit," timpal bu Nastiti.
"Ayo diminum dulu dan habiskan pisang gorengnya. Nanti makan siang disini kan? Ibu sudah masak buat kalian."
"Wah, ibu masak apa nih?" kata Aryo.
"Ada rendang kesukaan kamu, sayur bening tempe mendoan, eh.. ayam goreng untuk cucuku yang ganteng."
"Kalau kesukaan ibu apa eyang?"
"Oh, ibumu.. ibumu itu..." bu Martono tampak berfikir, sambil menatap Ratih minta bantuan.
"Angga, sama seperti kamu, ibu juga suka ayam goreng." kata Ratih yang tanggap akan kebingungan bu Martono.
"Naaah, itu.. ayam goreng kesukaan ibu kamu juga. Itu sebabnya eyang menggoreng ayam agak banyak."
"Ibu juga pinter masak lho eyang."
"Oh iya, dulu eyang yang mengajarinya."
"Ibu, nanti kita jalan-jalan dikebun seperti dulu ya? Apa pohon mangga eyang ada buahnya?"
"Oh, ini belum musim mangga lagi, adanya jambu, Angga suka jambu?"
"Nggak suka eyang, Angga suka mangga."
"Yaa, besok kalau musim mangga pasti Angga eyang kirimin yang buanyak."
Sangat akrap mereka berbincang, tapi Ratih yang merasa asing disana tidak banyak bicara kecuali Angga mengajaknya.
Bu Martono suka dengan sikap Ratih yang sopan dan tidak berlebihan. Sangat mirip dengan Arum. Hanya Arum mitu lebih banyak bicara, cerewet, dan terkadang galak. Ah, rundunya aku sama Arum, bisik batin bu Martono.
Ketika sa'atnya makan siang, Ratih ikut menata meja dan mengatur tatanan dimeja makan. Seperti biasa Angga minta Ratih duduk disamping ayahnya.
"Kenapa ibu seperti malu sama bapak? Apa bapak suka marah sama ibu?"
"Enggak kok, ibu nggak malu. Bapak nggak pernah marah sama ibu," kata Aryo.
Ratih mengangguk sambil tersenyum.
"Ibu, ambilkan nasi untuk bapak ya," sambung Aryo lagi. Dan kembali dengan gemetar Ratih menyendokkan nasi kepiring Aryo.Untunglah kali ini tidak tercecer, karena Aryo sudah lebih dulu mendekatkan piringnya kedekat mangkuk nasi.
"Ayam goreng eyang enak, seperti masakan ibu," celetuk Angga.
"Angga, kan eyanag sudah bilang kalau lagi makan jangan banyak bicara. Ayo dihabiskan makannya dulu. Nanti kalau sudah selesai makan, kamu boleh ngomong sesuka kamu," tegur bu Nastiti.
Angga mengangguk angguk sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang tergantung dikursi makan.
Bu Martono senang, Ratih ikut membersihkan meja makan dengan bterampil, lalu mencuci semua piring kotor didapur.
Bu Martono mengejarnya ke dapur.
"Sudah nak, nanti ada simbok yang akan mencuci semuanya."
"Bu, biar Ratih saja, supaya Angga tidak curiga kalau saya bersikap seperti tamu."
"Anak baik, terimakasih telah membuat cucuku bahagia dan merasa mendapatkan ibunya kembali." kata bu Martono sambil mengelus punggung Ratih.
***
Seharian mereka ada dirumah bu Martono. Aryo mengajak pulang ketika hari menjelang sore. Ia merasa tak enak dihari Minggu Ratih juga harus momong anaknya, sementara dia punya seorang bapak yang juga butuh perhatiannya.
"Sering-seringlah datang kemari, agar ibu tidak kesepian."
"Baik ibu."
Tapi dalam perjalanan pulang Angga merengek meminta Ratih agar tidur dirumahnya.
"Mengapa ibu tidak pernah tidur dirumah?" protesnya.
"Angga, ibu punya banyak tugas yang dikerjakannya setiap malam."kata Aryo.
"Tugas disekolah?"
"Iya. Kalau ibu tidak besok paginya anak-anak tidak bisa bermain dengaan sangat menyenangkan. Iya kan bu?"
Ratih deg-degan karena Aryo meliriknya dari spion didepannya, sambil tersenyum. Memanggil 'bu' lagi, seperti benar-benar memanggil isterinya.
"Iya tidak bu?" Aryo mengulangnya karena Ratih diam dan justru menundukkan kepala.
"Iya," jawabnya singkat sambil mengelus kepala Angga."
"Tapi kasihan kan, setiap hari bapak tidur sendiri."
Tuh kan, si kecil itu memang cerewet. Kadang-kadang apa yang diungkapkannya membuat jengkel tapi juga membau Ratih berdebar-debar.
"Bapak kan sudah besar. Ya nggak apa-apa tidur sendiri. Kan Angga juga tidur sendiri."
"Tapi kamar Angga kan kecil, kamarnya bapak besar."
Ah, perkataan apa lagi tuh. Kemudian tak ada yang menanggapi, karena mobil sudah memasuki halaman rumah.
"Ibu boleh pergi sekarang?" tanya Ratih lembut.
"Mengapa sekarang? Angga kan belum mandi."
"Angga, hari ini bapak ingin sekali memandikan Angga. Sudah lama kan Angga tidak dimandiin bapak?" kata Aryo merayu anaknya.
"Iya sih,"
"Nah, bapak ngiri dong sama ibu, masa semua-semua ibu, mana bagian bapak memanjakan Angga?"
"Trus ibu mau kemana?"
"Kalau hari Minggu malam itu, pekerjaan ibu banyak, harus dikerjakan sejak sore," lanjut Aryo dengan sedikit khawatir kalau nanti Angga menolak usulnya.
"Benar ibu?" tanya Angga sambil menatap ibunya.
"Benar Angga," kata Ratih sambil mencium pipi Angga.
"Anak baik, harus nurut sama orang tua kan?" lanjutnya.
Angga akhirnya mengangguk, dan Aryo merasa lega.
"Sekarang Angga masuk rumah dulu sama eyang, bapak mau mengantar ibu. Ya?" rayu Aryo lagi.
"Ayo, sama eyang, nanti eyang buatkan susu dulu buat Angga, siang tadi belum minum susu kan?" bu Nastiti menarik tangan Angga.
Angga melambaikan tangan kecilnya, membuat Ratih terharu.
"Pak Aryo, mengapa harus mengantar saya? Biar saya pulang sendiri," kata Ratih.
"Tidak bu, saya hanya mengantarkan pulang saja, masa nggak boleh, sedangkan bu Ratih telah berbuat banyak kepada keluarga saya."
"Tapi saya suka melakukannya."
"Saya biarkan bu Ratih suka melakukannya, tapi biarkan juga saya suka melakukannya. Mengatar bu Ratih setiap hari. Hanya mengantar, kata Aryo sambil menarik lengan bu Ratih untuk naik kemobilnya.
Aduhai, mengapa sih pegang-pegang lengan segala? kata batin Ratih sambil menahan debaran jantungnya.
***
Hari itu Wuri pulang agak sore, karena pekerjaan belum terselesaikan. Jadi dia lembur beberapa jam. Rini menunggunya sambil cemberut.
:Jam segini baru pulang, ya ampuun.. pasti mampir-mampir." keluh Rini.sambil cemberut.
"Enak aja, pekerjaanku banyak, tau!"
"Hm, kasihan, habisnya dibantuin nggak mau."
"Eh siapa bilang nggak mau, aku baru minta ijin kepala bagian, dan baru diijinkan hari ini."
"Benarkah?"
"Benar, mulai besok kamu bisa ikut aku ke pekerjaan."
"Aduuh, terimakasih banyak ya, kamu memang sahabatku yang paliiing cantik."
"Hm, kalau begini baru tuh, muji-muji aku."
"Ngomong-ngomong aku lapar nih."
"Kan tadi pagi kita masak banyak."
"Habis untuk aku makan siang. Sore ini jangan harap ada makanan untuk disantap, kecuali nasi dan kecap."
"Ya sudah, nggak apa-apa, nasi sama kecap kan juga enak."
"Ya nggak enak. masa sama kecap aja. Aku sebetulnya mau menggoreng telur. Tapi telur simpanan juga sudah habis."
"Ya ampuun, apa nggak bisa beli diwarung?"
"Ogah aku, penjualnya sudah tua, galak lagi."
"Dasar kamu itu malas."
Wuri meninggalkan Rini yang bersungut-sungut karena Wuri memarahinya. Tapi dia senang kalau besok bisa ikut ke rumah sakit dan membantu Wuri.
***
"Ibu, bolehkah saya berjalan jalan sebentar?" kata Arum kepada bu Suryo.
"Mau jalan-jalan kemana? Biar Pono mengantar kamu."
"Tidak bu, hanya jalan saja sih penginnya."
"Baiklah, jangan jauh-jauh jalannya," pesan bu Suryo.
Sesungguhnya Arum ingin pergi kerumah ibunya, tapi diurungkannya. Rasa kesal karena melihat Rini, yang pasti diterima ibunya dengan baik karena ibunya tak tau permasalahannya, membuatnya enggan datang kesana.
Arum hanya ingin berjalan jalan saja. Tapi ketika kakinya terasa penat, dia memanggil taksi.
"Mau kemana mbak?" tanya pengemudi taksi.
"Jalan saja pak, saya memang ingin jalan-jalan." kata Arum sekenanya.
Taksi itu memutari kota dan entah sudah berapa lama ia satu persatu jalan dilaluinya. Tiba-tiba Arum minta pengemudi taksi menghentikan mobilnya.
Arum berdebar, karena ketika melewati sebuah sekolah ia seperti melihat Angga.
"Mundur sedikit pak," perintahnya kepa pengemudi taksi. Taksi itu dimundurkan.
Arum membuka jendela, dan mengamati anak-anak kecil berlarian disana.
"Mana dia, aku tadi melihat Angga," bisiknya.
Lalu Arum mebuka pintu taksi dan turun, mendekati pagar sekolah. Diamatinya lagi hingar bingar anak-anak berlarian.
"Oh itu dia, Angga," bisiknya.
Arum mendekat. Dan entah oleh kekuatan apa, Angga tiba-tiba menoleh kearahnya. Angga berhenti berlari. Seperti bermimpi melihat sesosok perempuan yang dikenalnya.
"Ibuuu," Angga berteriak.
Bersambung #7
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel