Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 13 Desember 2020

Rengganis #1

Cerita bersambung

(side a)
"Buka bajunya, cepat. Akan kuhamili gadis sombong ini!"
Samar terdengar tawa dari belasan orang pria. Berdiri dan menyeringai melampiaskan nafsu birahi mereka.

Rengganis hanya merintih, menahan perih dan sakit yang datang dari sekujur tubuhnya. Sungguh, suci diri dan kecantikan wajahnya kini seperti tiada arti.

Di atasnya, bergantian mereka menikmati kemolekannya. Mulusnya kulit yang merah muda bak porselen yang tak pernah tersentuh noda, indah tubuh yang terbentuk sempurna. Kini terbaring tiada daya, sakit yang tadi menyiksa, kini tak lagi ia rasa.
Mati rasa. Seluruh tubuhnya tak lagi menerima rangsangan apa-apa.
"Tinggalkan dia, biarkan binatang buas memangsanya."

Segerombolan pemuda yang menaruh sakit hati lantaran pernah ditolak olehnya, melangkah pergi. Meninggalkan tubuh kotor berlumur air m*n* itu tergeletak di tepi sungai jauh dari pemukiman.

Rengganis tak lagi menangis. Air matanya mengering, perih kini hinggap langsung di sudut kalbu. Bukan hanya tubuhnya yang kotor, kesuciannya pun telah direnggut paksa. Hilang, seolah tiada arti, pun harga diri.
Malang sungguh nasib gadis yang dulu selalu tersenyum manis itu.
Lalu bagaimana bisa belasan pemuda merasa sakit hati terhadapnya?
Padahal ia adalah gadis ramah yang sikapnya lembut disukai banyak orang.
***

"Rengganis, ikut ke pasar?" Fitri menghampiri Rengganis yang tengah sibuk merapikan rambut panjangnya yang hitam. Berkilau indah terlebih saat sinar mentari jatuh di atasnya.

"Kau pergilah lebih dulu, Fit. Aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Rengganis tersenyum manis kepada sahabat baiknya itu.
"Sungguh cantik sahabatku ini. Wajahnya berkilau, tubuhnya molek dengan kulit merah muda, lihat rambutmu itu, selembut sutra. Lalu ...."
"Fitri." Rengganis menghentikan ucapan gadis hitam manis itu, ia tahu arah pembicaraan Fitri akan ke mana.
Namun, Fitri memang suka menggodanya. "Kapan kamu menikah?"
"Aku menikah setelah melihatmu menikah," sahut Rengganis sambil mengikat rambutnya.
"Faktanya, kau yang lebih sering dilamar. Justru sepertinya aku yang akan mendapat jodoh setelah kau menikah." Fitri duduk bersandar seraya menatap mata bulat sahabatnya.
"Kenapa kau berpikir begitu?" Lembut Rengganis bertanya.
"Karena para pemuda dari kampung ini, tetangga kampung, tetangga dari kampung tetangga, dan seterusnya ... mereka masih bergantian mengejarmu. Kalau kau sudah menikah, maka aku yakin, semua gadis di kampung ini akan habis."

Rengganis tertawa melihat rona wajah Fitri saat bicara. "Kau sungguh berpikir aku ini menarik, Fit?" tanyanya seraya menatap bayangan wajah di cermin.
"Kau menarik, Rengganis. Cantik tanpa harus bersolek. Lihat aku, kalau tidak ditutup dengan tepung kanji, warna kulitku tak kalah hitam dengan panci Wak Erna pemilik warung bakso itu." Fitri berdiri mendekati Rengganis. "Apa yang membuatmu selalu menolak setiap lamaran yang datang?"
"Aku tidak menolak mereka. Hatiku yang tidak menginginkannya."
"Apa bedanya?"
"Kemarin malam, saat Adi datang melamar aku tertarik melihat sikapnya yang sopan. Namun, hatiku berkata tidak. Maka, lidahku hanya mengikuti apa yang hati katakan." Rengganis tersenyum tipis, entah sudah berapa pemuda yang ditolaknya. Sebagian bahkan datang jauh-jauh dari kota, menggunakan kendaraan mewah, berwajah tampan tak kalah dari aktor Ibukota.

"Apa yang hatimu inginkan?" Fitri menatap pantulan wajah Rengganis di cermin.
"Aku tidak tahu, hanya saja, ada sesuatu yang diinginkannya. Sesuatu yang tidak ada pada diri mereka semua."
"Kautahu apa yang harus kaulakukan. Tapi ingat, di antara puluhan pemuda itu, pasti menaruh sakit hati kepadamu. Jaga diri baik-baik, kau hanya sendiri di rumah ini." Fitri mencoba mengingatkan.

Rengganis mengangguk pelan. Ia sendiri pun bisa melihat wajah kecewa para pemuda itu, beberapa bahkan mendengus kesal saat ia menolak. Beberapa lagi, menatapnya dengan senyum mengancam.
Rengganis bukan mencari yang sempurna. Ia sendiri bahkan bukan gadis sempurna. Kecuali fisiknya yang tampak tiada cela, ia hanya orang biasa yang tidak memiliki apa-apa.

Hidupnya sebatang kara, hanya memiliki rumah peninggalan orang tua. Bekerja sebagai guide di Kampung Adat Ciptagelar, tak jauh dari tempat tinggalnya, Desa Sirnaresmi.
Ia bukan warga kampung Ciptagelar. Hanya saja, dulu kakeknya berasal dari sana dan cukup disegani. Hal itu membuat Rengganis memiliki kemudahan mencari uang dari para pengunjung yang datang untuk menikmati kentalnya adat sunda di kampung yang terletak di kaki Gunung Halimun itu.
Dari sana pula, banyak wisatawan yang mengenalnya. Menarik mereka untuk datang melamar.
Rengganis bukan gadis yang silau akan harta benda. Maka, ia tidak tergoda saat banyak pelamar datang dengan iming-iming kemewahan.

Baginya, tidak butuh banyak uang untuk hidup di Desa. Bahkan, hasilnya bekerja sebagai pemandu, lebih dari cukup untuk biaya hidup sehari-hari.
Selain parasnya yang cantik, Rengganis juga dikenal sebagai gadis yang ramah. Hal itu membuatnya disukai banyak orang, pria dan wanita, dewasa dan anak-anak.

"Mang Ojan," sapa Rengganis.
Mang Ojan adalah tukang ojek langganannya. Setiap hari mengantar dan menjemput Rengganis. "Apa tidak kepagian, Neng?" tanya Mang Ojan. Pasalnya, hari masih pukul sembilan. Biasanya Rengganis berangkat pukul sebelas.

"Hari ini ada rombongan datang dari Jakarta, Mang. Mereka tiba pagi ini."
Desa Sirnaresmi memang tempat para pengunjung melintas. Karena akses menuju Ciptagelar cukup sulit jika dilalui oleh mobil, maka para pengunjung harus parkir di kantor Desa Sirnaresmi. Dari desa itu, para pengunjung bisa menyewa jasa ojek menuju Ciptagelar.
Menjadi sumber penghasilan bagi penduduk setempat.

Kurang dari lima belas menit --tentu saja dengan kecepatan mengendarai pria 57 tahun-- Rengganis tiba di Ciptagelar. Segera ia menemui Mang Ujang --orang yang ia sebut atasan-- untuk bertemu rombongan yang akan ia pandu.

"Kamu bisa sampai malam, Rengganis?" Mang Ujang memastikan.
"Memangnya kenapa, Mang?"
"Rombongan ini ingin menikmati ketiga zona," ucap Mang Ujang seraya memberikan daftar nama rombongan.

Rengganis mengernyit heran. Pasalnya, rombongan itu semuanya lelaki, dan delapan nama di antaranya terasa familiar baginya. "Mang, kenapa saya? Bukannya kalau laki-laki biasanya Mamang sendiri yang memandu?" tanya Rengganis heran. Perasaannya mulai tak sedap, ia merasa ada sesuatu. Mengapa delapan pria yang pernah ditolaknya itu datang lagi ke tempat ini?

"Mereka sudah pernah berkunjung, dan katanya puas dengan pelayanan kamu. Jadi, mereka mau kamu lagi yang memandu."

Rengganis terdiam. Ia ingat, mereka pernah datang dengan rombongan yang terpisah, tapi saat itu bukan hanya lelaki. Hatinya memaksa untuk menolak, tapi urung ia ucapkan. Karena para pengunjung itu adalah penghasilan bagi Ciptagelar. Kampung yang masih jauh dari jangkauan pemerintah pusat.
Ada tiga zona di Kampung Adat Ciptagelar. Zona terang, senja, dan gelap abadi.
Kampung yang masih kental dengan adat sunda ini memang masih hidup secara tradisional. Jauh dari gemerlap kota. Tidak ada listrik. Saat malam tiba, itulah zona gelap abadi. Para pengunjung hanya dibekali headlamp untuk sumber cahaya.

Ketika siang, sejuk angin berembus. Sawah menghijau menambah asri pemandangan di kampung yang hanya terdapat beberapa rumah itu. Dikelilingi hutan, pengunjung Gunung Agung Pangrango jarang sekali melewatkan kesempatan berkunjung ke Ciptagelar.

Potret Alam yang masih jauh dari kekotoran hati penghuninya. Alam yang benar-benar masih perawan.
***

Pukul lima sore, Rengganis kembali menemui rombongan yang berjumlah enam belas orang itu. Setelah bersiap, mereka menerima headlamp dari Rengganis.

"Apa kabarmu, Rengganis?" tanya Arya, pemuda yang lamarannya baru ditolak lima hari yang lalu oleh Rengganis.
Rengganis hanya tersenyum. Ia tidak ingin menghabiskan masa untuk melayani pemuda itu.

Lima hari yang lalu, Arya melangkah pergi dari rumah Rengganis dengan tatapan dendam. Penolakan Rengganis terasa sangat menyakitkan bagi Arya dan tujuh pemuda lainnya yang berada dalam rombongan itu.
Rengganis tidak pernah menolak dengan kasar setiap lamaran yang datang. Ia selalu menolak mereka dengan kelembutan, layaknya seorang Rengganis yang ramah.
Namun, bagi sebagian pemuda, penolakannya itu serupa penghinaan.

Melewati zona senja yang mempesona. Rengganis menemani rombongan itu menikmati zona gelap abadi. Sunyi, menuju pinggiran kampung tak jauh dari sungai yang menjadi batas dengan hutan.
Arya, dengan kasar membekap mulut Rengganis. Mengangkat tubuh gadis itu menuju pohon di seberang sungai, menjatuhkan tubuh Rengganis dan mengikat tangannya di batang pohon.

Sekuat tenaga Rengganis meronta, tapi percuma. Mereka terlalu banyak dan dikuasai nafsu setan.
Rengganis tidak pernah salah saat mengikuti kata hatinya untuk menolak setiap lamaran yang datang. Namun, hari ini ia melakukan kesalahan dengan mengabaikan apa yang hatinya katakan.

Di tengah gulita, ia merintih tanpa suara. Bahkan jemarinya pun tak sanggup digerakkan.
Perlahan, gulita mengikat dan mengatupkan kedua matanya.

*****
(side b)

Riuh berisik berita tentang Rengganis yang tersebar di desa. Semua orang menangis dan berduka untuk gadis malang itu.

Lima hari sudah kejadian pilu itu berlalu. Rengganis masih terbaring lemah di Rumah Sakit besar di pusat Kota Jakarta.
Para pelaku tak kunjung tertangkap. Polisi mendatangi alamat Arya sesuai identitas yang diberikan saat berkunjung di Ciptagelar. Namun, hanya ada orang tuanya yang tak tahu ia di mana.
Teman-temannya yang lain tak terlacak, karena hanya satu identitas yang diminta oleh pengurus saat itu.

Mang Ujang, merasa bersalah dengan apa yang menimpa Rengganis. Pria itu mencari keberadaan Arya dan teman-temannya, dengan membawa amarah di lubuk hati. Ia marah kepada diri sendiri, mengapa malam itu begitu bodoh melepaskan Rengganis seorang diri.

Matahari tak dapat ditolak sinarnya, angin pun tak dapat dicegah sejuknya. Begitu pula suratan takdir yang sudah ditulis untuk manusia. Malam itu tetap akan terjadi, karena itu sudah menjadi jalan yang ditentukan untuk hidup seorang Rengganis.

"Rengganis, bangunlah." Fitri tak beranjak dari rumah sakit, lima hari ia menemani gadis itu.
Koma. Begitu kata dokter. Tentu saja, bukan hanya satu orang biadab yang menodainya. Tubuhnya penuh dengan lebam saat ditemukan pagi itu.
Siapa pun pasti mengira ia sudah tak bernyawa. Kaku, dingin, dan pucat. Namun, seberat ujian, Tuhan masih ingin melihat Rengganis hidup.

"Ayolah, bangun. Kautahu aku tidak akan beranjak dari sini, Rengganis." Air mata Fitri mengalir membentuk pola tak beraturan di kedua pipinya. "Kau bodoh. Kenapa pergi seorang diri? Sejak kapan kau tidak mendengarkan kata hatimu, hah?" Fitri mengguncang tubuh Rengganis. Ia marah sekaligus terluka. Sahabat yang bersamanya sejak kecil, kini tak berdaya di hadapannya.

Adakah Tuhan memberi asa baru bagi Rengganis?
"Banyak wartawan di halaman." Seorang perawat masuk dengan sebuah dokumen laporan di tangannya. Setiap satu jam sekali mereka akan melihat kondisi Rengganis.
"Mau apa mereka?" tanya Fitri seraya mengusap lembut air matanya.
"Mereka mau meliput kasus ini. Rengganis. Beritanya ada di mana-mana."

Mendengar hal itu, Fitri langsung menyalakan televisi. "Orang-orang tak punya hati," umpatnya. Ia geram. Pasalnya, mereka sudah mengejar berita tentang Rengganis sejak tiga hari yang lalu.

"Begitulah. Mereka tidak akan pergi tanpa berita," ucap perawat itu tenang.
"Berita yang mereka kejar itu adalah kemalangan seseorang." Fitri mematikan televisi dan melempar remot dengan kesal.
"Kita tidak bisa menyalahkan pekerjaan mereka. Sebenarnya, ada untungnya juga jika kasus ini masuk media. Peluang untuk menangkap pelaku lebih besar lagi."
Fitri terdiam sampai perawat itu pergi. Apa pun alasannya, ia tidak ingin sahabatnya mendapati berita itu saat siuman nanti.
"Malang sekali nasibmu, Rengganis. Kau orang yang baik, kenapa binatang-binatang itu tega memperlakukanmu seperti ini?" lirih Fitri.

Rengganis kehilangan kedua orang tua saat terjadi bencana longsor tiga tahun silam. Saat itu ia sedang berada di Bandung, dan saat kembali, banyak kerabatnya telah tiada.

Pukul sembilan malam. Fitri baru saja tertidur di sofa saat samar-samar ia mendengar sahabatnya merintih. Cepat ia membuka mata dan mendapati Rengganis sudah terjaga. Ditekannya tombol darurat yang terletak di dekat ranjang Rengganis.

Tak lama kemudian, tiga orang perawat dan seorang dokter datang.
Fitri kehabisan kata. Ia mundur menutup wajah dengan kedua tangan. "Apa yang harus aku katakan kepadamu nanti?" lirihnya seraya menahan isak yang tertahan.

Dada Rengganis tampak naik turun, matanya merah, kedua tangannya mengepal. Tubuhnya menegang kala mengingat apa yang terjadi malam itu. Di balik alat bantu pernapasan, mulutnya berusaha untuk terbuka, ia ingin berteriak. Namun, suaranya seperti tertahan.

Sesaat kemudian tubuhnya mengejang dan ia kembali kehilangan kesadaran.
Fitri menepi ke sudut ruangan. Tubuhnya terduduk dan gemetar hebat. Ia dapat membayangkan bagaimana takut dan sakitnya Rengganis malam itu.
"Ini bukan hukuman untukmu, sebab kau adalah orang terbaik yang pernah aku temui. Bangunlah, Rengganis, kumohon."

Sungguh, Tuhan tidak pernah menghukum hamba-Nya. Jika ada kepahitan, itulah ujian. Jika tangis datang, itulah ujian. Jika kesulitan menyapa, itu masih ujian.
Sebab Dia tahu. Hanya beberapa orang saja yang mampu melewati beratnya ujian yang diberi oleh-Nya.
Dia ... hanya memberi balasan atas amalan yang manusia lakukan.
***

"Bagaimana, Mang?" Fitri bertanya kepada Mang Ujang yang telah kehilangan beberapa kilo berat badan. Lelaki itu merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Rengganis.
"Masih belum ada kabar."
"Keluarga Arya datang menjenguk Rengganis," ucap Fitri dengan rahang menegang menahan amarah.
"Apa mereka tidak punya malu datang ke sini?" Kedua tangan Mang Ujang mengepal kuat. Emosinya belum sekali pun tersalurkan.
"Mereka mau membiayai pengobatan Rengganis ...."
"Tidak perlu! Kita punya cukup dana untuk itu. Jangan pernah menerima sepeser pun dari mereka." Mang Ujang meninggalkan ruangan dengan langkah tegas.
Fitri mendesah berat. Ia menoleh ke arah Rengganis, dilihatnya gadis itu sedang berusaha membuka mata.
"Rengganis?" Cepat ditekannya tombol darurat.
Fitri menjauh saat tim dokter datang melihat kondisi sahabatnya. "Kumohon, jangan tutup lagi mata itu, Rengganis."
"Silakan tunggu di luar." Seorang perawat mengingatkan.
Setengah berlari Fitri meninggalkan ruangan. Sempat dilihatnya Rengganis menoleh ke arahnya.

Dari kejauhan, Fitri melihat dua orang polisi mendekat dengan langkah berderap.
"Mang Ujang ada?" tanya seorang polisi yang lebih tua.
"Baru saja pergi. Ada kabar apa?" Fitri menatap dua orang berseragam itu penuh harap.
"Kami berhasil menangkap empat orang pelaku ...."
Tubuh Fitri lemas, ia jatuh terduduk di kursi. "Lalu?" tanyanya tak sabar.
"Mereka hanya pemuda jalanan yang menerima bayaran dari Arya. Sisanya masih dalam pengejaran."
"Bajingan!" Tangan Fitri mengepal kuat. Ia tak pernah menyangka, sikap ramah Rengganis justru mengundang bencana.
"Kami harus bicara dengan Mang Ujang." Polisi itu melanjutkan.
"Aku tidak tahu Mang Ujang ke mana," sahut Fitri dengan napas tersengal.
"Kalau begitu kami permisi."
Setelah para polisi itu pergi, tim dokter keluar menemui Fitri.
"Alhamdulillah," lirih para perawat berkata.
"Bagaimana keadaannya?" Fitri berdiri dan menghadang mereka.
"Kondisinya sudah stabil. Tolong ditemani, karena fisiknya memang sudah baik-baik saja, tapi psikisnya masih sangat rawan."
Fitri mengangguk pelan. "Terima kasih," ucapnya seraya melangkah masuk menemui sahabatnya.

Di dalam, ia melihat Rengganis sedang terdiam. Pandangannya jauh entah ke mana. Tak ada air mata, hanya luka yang tampak jelas di kedua mata.
"Rengganis ...."
"Tinggalkan aku sendiri, Fit." Rengganis meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya.

Fitri mundur beberapa langkah. Memberi waktu kepada sahabatnya itu untuk berdiam diri. Ia tahu, jika dipaksa kondisi Rengganis hanya akan bertambah buruk.
Tubuh Rengganis bergetar. Ia melipat kedua kaki dan melingkarkan tangannya kuat. Bayangan malam itu masih terasa menyakitkan. Ia ingat apa saja yang dilakukan oleh sekelompok bajingan itu.
Rengganis menangis. Namun, tak tampak basah yang mengalir di kedua pipinya.
Adakah tangis yang lebih menyakitkan dari itu?
Matanya tak basah, tapi hatinya terendam oleh luka.
Jika ada yang bertanya, luka apakah yang paling menyakitkan? Ialah luka yang membuat air mata jatuh ke dalam.
Rahangnya mengeras saat teringat bagaimana Arya memperlakukannya. Ia jijik. Seolah kotoran berada di seluruh tubuhnya. Dengan tubuh bergetar ia turun dari ranjang dan berlari ke kamar  mandi.

"Rengganis ...."
Fitri tak berhasil menggapai gadis itu. Ia sudah masuk dan mengunci pintu.
"Tinggalkan aku, Fit!" teriak Rengganis dari dalam kamar mandi.
"Aku tidak akan ke mana-mana." Fitri berdiri tak jauh dari pintu.
Sementara itu, Rengganis berdiri di depan cermin. Menatap bayangan diri yang tampak kotor.
"Siapa kau?" gumamnya geram.
Bayangan di dalam cermin itu seolah tersenyum jijik kepadanya.
"Malang betul nasibmu, Rengganis. Wajah cantik yang kaumiliki, tubuh molek nan kautampakkan kala berjalan. Direnggut paksa oleh para bajingan yang kautolak cintanya dengan kelembutan.

Duhai pedih sekali deritamu, Rengganis.
Kini kau meringkuk dalam kesedihan. Tak ada lagi yang bisa kaujadikan alasan kehidupan. Semua telah hilang, melayang serupa daun kering rapuh yang siap memupuk bumi.

Bunuhlah dirimu, Rengganis.
Hidup pun kau tak lagi layak. Wajahmu bukan lagi segala-galanya, tubuhmu kotor, sungguh kau sudah tak suci lagi.
Sobek saja urat nadimu itu, Rengganis.
Tak berguna setiap napas dan detakmu. Hanya kotor yang kautebar ke mana kakimu melangkah ....

"Diam!" Rengganis mulai histeris, bayangan dirinya seolah mencemooh, mentertawakan kemalangan yang menimpa.
"Lihatlah tubuhmu, Rengganis. Adakah lelaki yang layak mendapatkannya?
Kau hanya akan dijadikan fantasi mereka. Kau tak lagi diinginkan oleh mereka.
Maka, apakah lagi yang kauharap dari kemolekan yang telah ternoda itu?"

"Diam ...!" Sekuat tenaga Rengganis memukul cermin di hadapannya. Pecah. Cermin itu jatuh menjadi kepingan kecil. Namun, bayangan itu justru bertambah banyak, tertawa ke arahnya. Mencemooh dan menatapnya jijik.
"Rengganis, buka pintunya!" Di luar, Fitri mulai panik. Ia berlari keluar untuk meminta bantuan.

Rengganis tak peduli pada teriakan Fitri di luar. Diambilnya satu pecahan kecil dari cermin yang berserak di bawah.

"Ya, sobek saja nadimu itu, Rengganis. Detaknya tak lagi berguna, setiap tetes darahmu itu menjijikkan. Kau hina, kau kotor. Bahkan Bumi akan menangis saat kau injak."
Gemetar tangan Rengganis, pelan ia mengarahkan pecahan itu ke pergelangan tangannya.
"Jika luka itu tak tampak, maka biarlah aku membuatnya nyata," lirihnya.

Rengganis tidak pernah tahu, bahwa setiap yang terjadi di Dunia adalah ujian. Harus diselesaikan setiap barisnya.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER