Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 14 Desember 2020

Rengganis #2

Cerita bersambung
(side a)
Brak!

Dokter Ardi mendobrak pintu tepat sebelum Rengganis melekatkan tajam kaca di nadinya.
"Kalau kau ingin mati, aku tidak akan tidur di rumah sakit selama berhari-hari." Dokter Ardi mengeluarkan Rengganis dari kamar mandi dengan paksa.

Tubuh Rengganis menegang, gadis itu mencoba untuk melawan. Dari tangannya mengalir darah akibat jarum infus yang masih menancap saat ia tarik paksa tadi.
"Lepaskan!" Teriakan Rengganis menggema di kamar rawatnya.

"Kemari. Lihatlah ...." Dengan kasar Dokter Ardi mengangkat tubuh Rengganis menuju jendela. "Lihat di bawah sana. Mereka semua adalah orang-orang yang peduli kepadamu. Mereka ingin kau kembali hidup ...."
"Aku sudah tidak punya kehidupan!" Rengganis berteriak melawan ucapan pria 34 tahun itu. Dadanya naik-turun sebab menahan sesak.
"Benarkah? Kau ingin mati? Jangan di sini, kau akan membuat semua orang sulit. Lihat temanmu itu ...." Dokter Ardi mengarahkan telunjuknya kepada Fitri. " ... dia hanya tidur beberapa jam setiap hari, dia menangis menunggu kau membuka mata. Adakah itu berarti untukmu?"

Rengganis terdiam. Tangannya mengepal kuat, dadanya bergemuruh menahan segala perasaan yang tak mampu dimaknai dengan benar. Hanya satu yang pasti, ada luka yang tak tampak di hatinya. Luka yang entah bila akan pulih.
Dokter Ardi melihat ke arah darah yang menetes dari tangan Rengganis, rasa iba muncul di hati pria itu. "Kemarilah," ucapnya seraya membimbing gadis itu menuju ranjang.

Sejak awal Rengganis datang, Dokter Ardi tidak terlelap dengan tenang. Ia bahkan tidak pulang ke rumah. Ada luka yang tak diketahui oleh orang lain ketika melihat kondisi Rengganis yang mengenaskan hari itu.
Bahkan, setetes bening jatuh saat ia membersihkan tubuh gadis itu. Janjinya, tidak akan pulang sebelum sang pasien benar-benar kembali pulih.

"Bunuh diri bukan solusi untuk semua rasa sakitmu. Kau hanya akan menyusahkan orang lain nantinya." Dokter Ardi mendesah pelan seraya menatap Rengganis, "Jika sakit itu terlalu berat kaurasa, maka ingatlah, bahwa langit di atas sana tidak akan membelah saat mendung menggelayut berat."
"Mudah untukmu mengatakan itu. Apa kautahu rasanya menjadi aku?" Rengganis menarik kasar tangannya setelah kembali terpasang infus.
"Bukan hanya kau yang menderita di muka bumi ini," ucap Dokter Ardi tegas. Pria itu tahu betul bagaimana cara menghadapi seseorang yang putus asa.
"Jika ukuran menderita adalah soal materi dan kesulitan hidup. Maka, jangan pernah bandingkan itu dengan apa yang aku alami saat ini. Kautahu? Aku sudah mengalami semua kesulitan itu."
"Kau mungkin sudah mengalami semua jenis penderitaan. Tapi, apa kau pernah menderita karena kehilangan orang yang kausayangi?"

Rona wajah Rengganis menegang, ia merasa pria dengan jas putih itu sedang menantangnya. "Bagaimana caramu kehilangan? Apa kau kehilangan mereka di saat bersamaan? Apa kau menyaksikan tubuh mereka kaku di bawah lumpur dan reruntuhan? Apa kau mencium aroma busuk dari tubuh mereka yang berhari-hari tak ditemukan? Katakan kepadaku, bagaimana caramu kehilangan?" Mata bulat Rengganis menatap Dokter Ardi marah. Ia merasa orang asing yang berdiri di hadapannya itu terlalu lancang memaksanya menerima kondisi diri saat ini.

Tangan Dokter Ardi mengepal kuat, menimbulkan semu putih pada buku jarinya. "Beban moral sebagai dokter bukan hanya kesembuhan fisik pasien, kami juga dituntut untuk mengatasi jiwa putus asa sepertimu. Tapi, kau bukan hanya putus asa. Kau mengumpulkan semua penderitaan dan membandingkannya dengan orang lain ...."
"Hei ...!" Rengganis berteriak keras hingga membuat Dokter Ardi dan Fitri tersentak kaget. "Kau yang membuka semua perbandingan itu. Kautahu? Caramu mengatasi pasien terlalu lancang dan kasar." Rengganis tertawa mencemooh.
"Dengar ... kalau kau memutuskan untuk bunuh diri, pastikan dulu tidak ada orang yang akan kaubuat menderita setelahnya. Karena menyaksikan kematian seseorang yang kausayangi, tidaklah sama sakitnya dengan kehilangan yang lain." Ardi berbalik menatap Fitri seraya berujar, "Pastikan dia minum obat dan istirahat. Jangan biarkan dia turun dari ranjang atau aku akan memberinya obat penenang."
Fitri mengangguk cepat. Ia merasakan ketegangan saat dokter itu bicara.

Rengganis mendengus kesal saat Dokter Ardi berjalan keluar meninggalkannya bersama Fitri.
"Hei ...." Fitri mendekat ragu. Ia tahu, setelah ini semua tak akan sama. Rengganis akan membangun tembok tinggi untuk membatasi diri dari semua orang.
Kedua mata Rengganis kembali basah saat tatapnya bertemu dengan Fitri. Dadanya kembali bergejolak mengingat malam itu.

Menyadari hal itu, dengan cepat Fitri melangkah mendekat. "Jangan menangis lagi. Aku memang tidak tahu apa yang kaurasakan saat ini. Tapi, aku juga terluka cukup besar. Aku melihat tubuhmu di sana, sampai detik ini masih melekat tak memudar dari ingatanku. Jadi, kumohon, Rengganis ... berhenti menangis." Erat ia memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Aku tidak pernah berniat menyaikiti mereka, Fit." Tangis Rengganis pecah di pelukan sahabatnya. "Sentuhan mereka masih terasa bergerak di seluruh tubuhku. Aku jijik," ucapnya lirih.
"Mereka akan mendapatkan hukuman setimpal, tenangkan dirimu. Kita akan kejar keadilan untukmu."

Lama keduanya berpelukan, hingga senja menampakkan jingganya yang memesona. Hangat mentari masuk menembus kaca bening ruang rawat Rengganis, menyelimuti dan membuatnya sedikit tenang.
Jika lidah saja masih bisa tergigit tanpa sengaja, kaki juga tersandung saat berjalan. Maka, bukan tidak mungkin, ujian turun seperti batu besar yang menimpa diri.

Alloh memberi gelap agar manusia dapat memahami waktu. Lalu terang, agar manusia menghargai masa.
***

Rengganis berlari menuju kegelapan, tubuhnya berkeringat, basah merata seluruh tubuh. Ia berteriak sekuat tenaga, tapi tak mengeluarkan suara.
Tubuhnya gemetar saat belasan pria mendekat dengan seringai menjijikkan. Tangan mereka masing-masing memegang sebuah ranting kecil yang tampak berduri.

"Kaupikir kemolekan itu akan abadi, hah?"
Mata Rengganis menatap pemuda yang ia tahu itu adalah Arya. Perlahan ia mundur, tapi percuma. Mereka berdiri mengelilinginya.

"Kemari kau." Pemuda yang tak ia kenal merengkuh tubuh rampingnya.
"Bagaimana kalau wajah cantik itu hancur? Bagaimana jika tubuh yang tampak sempurna itu dipenuhi bekas luka? Akankah ada lelaki yang masih mau melihat ke arahmu?"

Mereka semua mendekat dengan satu tangan terangkat ke udara. Sedetik kemudian, seorang pemuda yang ia kenal bernama Galih memukul wajahnya kuat. Rasa perih menjalar bersama dengan darah yang mengalir perlahan melalui pipinya.
Belum hilang sakitnya, pemuda lain memukul tubuhnya tak kalah kuat.
Tubuh Rengganis menegang, ia merintih dalam kebisuan. Tak lama berselang ia mulai mengejang dengan tangan mengepal kuat.

"Rengganis ... Rengganis ...!"
"Hah ...!" Sekuat tenaga Rengganis berteriak. Saat membuka mata, didapatinya Fitri dan Dokter Ardi tengah menatapnya dengan wajah pucat.
Mimpi. Gadis itu dihantui oleh mimpi yang tak kalah menakutkan. Seringai jahat Arya dan teman-temannya malam itu masih melekat kuat di ingatan. Sekuat tenaga ia meremas selimut yang menutupi setengah tubuhnya.

"Air ...," ucap Dokter Ardi seraya mendekatkan bibir gelas ke arah Rengganis.

Tubuh Rengganis bergerak spontan saat tanpa sengaja Dokter Ardi menyentuh jemarinya. Ia merasakan jijik saat melihat tangan dokter berwajah dingin itu.
"Kau harus bertemu ...."

Tubuh Rengganis seperti tersengat listrik saat Dokter Ardi menyentuh bahu kirinya. Sejenak gadis itu memejamkan mata. Ia tahu dokter itu tidak berbahaya, tapi, tubuhnya memiliki reaksi tersendiri. Cara tubuhnya menolak membuat rasa takut kembali merasuki Rengganis.

Dokter Ardi yang menyadari sikap Rengganis itu memutuskan untuk menjauh. "Kau harus bertemu seseorang nanti sore," ucapnya pelan.
"Siapa?" Fitri menimpali. Ia takut orang yang harus ditemui Rengganis adalah salah satu dari lelaki yang menodainya.
"Adikku. Rengganis butuh seorang psikiater."
Fitri menghela napas lega. Ia menoleh ke arah Rengganis, dilihatnya gadis itu sedang melamun dan tidak mendengar apa yang Dokter Ardi katakan.

"Maaf, Dok, apakah psikiater itu seorang lelaki?" tanya Fitri ragu.
"Bukan. Hanya wanita yang boleh menangani kasus seperti ini," ucap Dokter Ardi tenang. Ia tahu, Rengganis akan selalu menolak bicara dengan lelaki asing. Ingatannya akan kejadian itu pasti menyiksa untuk waktu yang lama.

"Berapa lama dia akan seperti ini?" tanya Fitri lirih. Ia tak sampai hati menyaksikan Rengganis menangisi mahkotanya yang hilang setiap hari.
"Jika kau bertanya rasa sakit apa yang tidak akan pernah sembuh? Ialah sakit yang tak tampak lukanya."
Fitri mengernyit heran. Sekilas dilihatnya mata Dokter Ardi, ada sesuatu di sana. Kelabu yang ia tak tahu apa sebabnya.

"Jangan biarkan dia melewati semua ini seorang diri. Karena yang dapat membuatnya menetralisir rasa sakit adalah teman. Teman yang ada saat ia berusaha bangkit." Dokter Ardi mendesah berat, matanya merah menahan bening yang sudah membayang di sudut mata. "Karena kehilangan yang paling pedih adalah saat kau bisa menyelamatkannya, tapi kau memilih untuk pergi."

Fitri menelan ludah getir. Ia tahu pria itu tanpa sengaja sedang menumpahkan penyesalan yang entah dari mana sumbernya. "Tidak ada luka yang lebih menyakitkan dari penyesalan. Aku akan menemani Rengganis, karena aku tidak ingin menyesal untuk alasan apa pun."

Dokter Ardi meremas ujung jas putihnya. Merasa tertampar oleh ucapan gadis yang berdiri di hadapannya. "Maka, berjagalah agar kau tidak menyesal," ucapnya, seraya melangkah pergi.

Tidak ada yang bisa menebak nasib diri seseorang. Karena misteri yang tak akan pernah terpecahkan adalah takdir diri.
Hidup manusia seperti berada di satu sisi pintu. Tidak seorang pun yang bisa menerka, apa yang telah menunggunya di balik pintu itu.
***

Fitri terbangun saat seorang gadis berkerudung masuk ke ruangan. "Maaf?" Ia berdiri menghampiri gadis berwajah cantik dan lembut itu.

"Assalamualaikum," sapa gadis itu dengan suara lembut.
"Waalaikumsallam ...." Fitri menjawab pelan. Ia masih tidak tahu siapa gadis itu dan mengapa berada di sana.
"Maaf ...." Gadis itu berjalan menghampiri Fitri, "Saya Nazwa, psikiater," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Gadis itu tampak selalu tersenyum ramah.
"Oh, hai. Aku Fitri. Kau adik Dokter Ardi?" Fitri merapikan kerah kemejanya yang terangkat karena tidur tadi.
"Ya, aku adik Kak Ardi. Boleh aku bertanya beberapa hal soal ... Rengganis?" Nazwa mengeluarkan sebuah alat perekam dan meletakkannya di atas meja.
"Boleh," sahut Fitri cepat.
"Sebelum kejadian ini, bagaimana karakternya?" Nazwa memulai wawancaranya.
"Rengganis ... kau bisa melihat, dia sempurna dari segi fisik. Cantik, lemah lembut, ramah, sopan. Jika kau bertanya kekurangannya, aku tidak melihat itu pada diri Rengganis. Seluruh penduduk desa sangat menyayanginya ...." Fitri menghentikan segala pujiannya, hatinya kembali sakit saat melihat sahabatnya terbaring di sana.
"Berapa lama kau mengenal Rengganis?" Nazwa menyentuh punggung tangan Fitri lembut. Ia tahu apa yang gadis itu rasakan saat ini. Melihat orang yang disayangi terbaring karena tragedi yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada itu. "Bantu aku untuk mengembalikan sahabatmu," ucap Nazwa lembut.

Fitri menyeka air mata yang baru akan mengalir. "Maaf, aku hanya ... aku hanya tidak menyangka semua ini akan menimpanya."
"Tidak apa-apa. Aku mengerti."
"Apa tadi pertanyaanmu?"
"Berapa lama kau mengenal Rengganis?" Nazwa mengulangi.
"Oh ... sejak aku dan dia masih sering bertengkar karena memperebutkan boneka yang terbuat dari sarung." Fitri tersenyum mengingat kenangan itu. Rambut mereka sering diikat serupa oleh Ibu Rengganis. Tak jarang mereka meminta baju dan sepatu yang sama kepada ibu masing-masing. Saat itu, mereka adalah gadis kecil yang polos.

"Beruntung sekali Rengganis memiliki sahabat sepertimu," ucap Nazwa seraya menulis jawaban Fitri.
"Aku yang beruntung menjadi sahabatnya. Rengganis menukar masa depannya denganku." Fitri tertunduk dalam. Rasa bersalah hinggap memenuhi hatinya.
"Maksudmu?" Nazwa menatap Fitri tak mengerti.
"Waktu itu, kami berdua mengikuti tes beasiswa untuk masuk sekolah kebidanan. Nasib kami memang berbeda. Dia berhasil menyelesaikan tes terakhir, sementara aku sedang sakit saat itu, dan hanya menjawab beberapa soal saja. Rengganis ... dia menulis namaku di kertas jawabannya ...." Fitri meremas tepian sofa, andai saja Rengganis tidak melakukan hal konyol, ia tidak akan berhasil meraih beasiswa itu. "Aku tahu dia memang tidak ingin sekolah kebidanan, tapi ayahnya memaksa. Orang lain menangis saat tahu tidak lolos, tapi dia justru melompat girang." Fitri tersenyum mengingat masa itu.
Nazwa tersenyum mendengar jawaban Fitri. "Bagaimana sikapnya terhadap lawan jenis?"
"Rengganis selalu bersikap ramah. Di desa kami, dia adalah primadona. Entah sudah berapa pemuda yang datang dari berbagai daerah untuk melamar. Tapi dia selalu menolak dengan sopan." Lagi-lagi Fitri merasakan napasnya berat.
"Terakhir. Apakah Rengganis memiliki trauma masa lalu? Seperti kekerasan yang dialami saat kecil."
"Tidak sama sekali. Dia anak tunggal, ayah dan ibunya bahkan tidak pernah bicara keras kepadanya," ucap Fitri yakin.
"Terima kasih." Nazwa meraih alat perekamnya dan menekan tombol stop.
"Apa yang akan terjadi kepadanya setelah ini?" tanya Fitri lirih.
"Satu yang pasti. Dia akan berperang dengan rasa takutnya sendiri. Kejadian itu bukan lagi membuatnya trauma. Lebih dari itu, dia akan tanpa sengaja kembali pada titik yang sama berulangkali." Nazwa mendesah berat. Ia ingat kejadian serupa tiga tahun silam.
"Lalu, apa yang akan kaulakukan kepadanya?" Lagi. Fitri masih ingin tahu apa saja yang berhubungan dengan sahabatnya itu.
"Aku hanya media untuknya menghapuskan trauma. Tapi, bukan berarti dia tidak akan dihantui oleh tragedi itu. Aku yakin, Alloh sangat menyayangi Rengganis. Jika itu aku ... aku tidak akan hidup sampai detik ini." Nazwa menggigit bibir bawahnya. Ia tak bisa membayangkan jika dirinya yang berada di sana.

"Lepas ...!"
Fitri dan Nazwa berdiri serentak saat Rengganis berteriak seraya mengibaskan tangan di udara.
Nazwa melangkah cepat dan memegang tangan Rengganis erat. Diusapnya kepala gadis itu lembut.
Rengganis membuka mata perlahan, ia terkesiap melihat wajah asing tersenyum kepadanya.

"Hai. Aku Nazwa."
Rengganis melihat ke arah Fitri seolah meminta jawaban.
"Dia adik Dokter Ardi," ucap Fitri seraya berjalan mendekat.
Rengganis berusaha bangkit dan menyeka keringat yang keluar akibat mimpinya tadi. Mimpi yang masih sama. Menyakitkan.

"Bagaimana keadaanmu?" Nazwa memberi Rengganis segelas air.
"Terima kasih," ucap Rengganis parau.
"Fitri. Maaf, bisa tinggalkan kami berdua?" ucap Nazwa pelan.
Fitri tersenyum diiringi anggukan kecil. Setelah meyakinkan Rengganis dengan isyarat, gadis itu meninggalkan mereka berdua.

Setelah yakin Fitri menutup pintu dengan rapat, Nazwa kembali menjalankan alat perekamnya.
"Untuk apa itu?" tanya Rengganis datar.
"Untuk mempermudah pekerjaanku membantumu," ujar Nazwa tenang.
Rengganis mengamati gadis itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mendesah pasrah. Ia tahu, banyak orang sedang menunggu kepulangannya. "Apa yang akan kaulakukan?"
"Bercerita," sahut Nazwa cepat.
Jawaban itu membuat Rengganis mengernyit heran.
"Alloh itu maha segala-galanya, Rengganis. Dia punya cara yang tak terduga saat merindukan hamba-Nya."
"Caraku menilai bukan seperti itu," bantah Rengganis.
Nazwa hanya tersenyum. "Semakin berat ujian yang manusia terima, semakin besar kerinduan Alloh kepadanya."

Rengganis merasa sedang digurui oleh gadis berwajah ramah itu. "Jangan menilai amalanku. Aku tidak pernah meninggalkan shalat dan dzikir kepadanya," ucap Rengganis sinis.
"Terkadang, ketaatan menuntut kesempurnaan, Rengganis. Kewajiban seorang muslimah bukan hanya shalat." Nazwa menangkap rona tak senang di wajah Rengganis. Namun, hal itu tidak membuatnya ragu untuk terus menolong gadis itu.
"Maaf. Kau psikiater atau ustazah?"
"Aku psikiater yang berusaha menolong seseorang dengan cara yang diridai oleh-Nya."
Rengganis terdiam. Ia selalu melakukan kebaikan selama ini. Ibadah yang tidak pernah terlewat, baik wajib maupun sunah. Apa pun ia tinggalkan saat azan berkumandang.

Namun, manusia adalah makhluk yang tidak pernah menyadari kesombongan di dalam dirinya. Merasa telah melakukan kebaikan, merasa taat kepada-Nya. Tanpa sadar, kesombongan itu membuatnya menutup diri dari kekurangan.
Begitu pula dengan Rengganis. Ia merasa telah taat dengan beribadah yang tak pernah tertinggal. Ia lupa, bahwa ada satu kewajiban lagi yang tidak pernah dilakukannya. Menutup aurat.
Sumber fitnah dunia adalah wanita, dan segala fitnah itu datang dari fisiknya.
Rengganis lupa, hatinya terus menolak lamaran yang datang bukanlah tanpa sebab. Selama ini, para pemuda itu hanya menilainya sebatas tampilan fisik saja. Bentuk tubuh yang sempurna, kulit merah muda, rambut hitam berkilau, dan wajah cantik yang selalu menarik. Hanya itu yang menjadi kelebihan diri, bagi pria yang melihatnya.
Rengganis tahu, bahwa menutup aurat adalah wajib. Namun, ketidaksiapan membuatnya lalai.
Bukankah Alloh selalu memberi balasan setimpal dengan amalan?

*****
(side b)

"Kemana kau akan lari, Rengganis? Aroma kotor di tubuhmu tidak akan hilang."
Rengganis berdiri menatap satu per satu wajah pria yang mengelilinginya. Kali ini mereka memegang pisau yang berkilauan ditimpa sinar rembulan.
"Kau lebih kotor dari apa pun, kau busuk mengalahkan bangkai."
Rengganis bergeming. Tangannya mengepal kuat, ia sedang berusaha melawan ketakutan yang muncul. Kakinya tak sedikit pun bergerak. Ia memilih berdiri menantang mereka semua.
"Kau sudah hancur, Rengganis. Debu bahkan lebih bersih dari dirimu, aroma parit lebih harum daripada tubuhmu."
Seorang pria mendekat dan mengarahkan ujung pisau ke wajahnya. "Wajah ini tak lagi menarik. Aku hanya melihat seorang wanita hina di sini," ucap pria itu seraya menempelkan ujung pisau ke wajah Rengganis.
"Larilah, Rengganis. Lari sejauh mungkin, cepat lari!" Pria lainnya turut mendekat. Tangan kasar itu menyentuh pipi Rengganis. "Kau tak lagi ada harganya. Siapa lagi pria yang menginginkanmu?"
Rengganis tetap bergeming. Matanya menantang mereka semua. "Aku tidak takut pada kalian."
"Benarkah?" Pria bertubuh tinggi dan tegap berjalan mendekat. Rengganis tidak mengenali wajah itu. "Bagaimana jika begini?" Tangannya bergerak menyentuh pundak Rengganis.
Sekuat tenaga Rengganis menampar wajah pria itu, hingga menimbulkan bunyi yang menyakitkan.
"Rengganis ... Rengganis ... kembalilah."
Rengganis terbangun mendengar suara Nazwa memanggil. "Hah ...!" Ia terengah dengan keringat mengalir di wajah.
"Kau hebat, Rengganis. Mulai sekarang, lawan semua mimpi itu. Jangan takut untuk menantang hingga mimpi itu terbunuh." Nazwa memberinya segelas air putih.
"Apa yang kaulakukan terhadapku?" tanya Rengganis dengan suara parau.
"Aku tidak melakukan apa-apa, hanya membantu keberanian keluar dari dalam dirimu." Nazwa tersenyum seraya menuliskan hasil terapi Rengganis.

Rengganis berdiri dan berjalan menuju jendela. Fisiknya sudah pulih. Namun, kondisi psikis-nya masih butuh disembuhkan. "Kenapa mereka masih berdiri di sana?" tanyanya ketika melihat sekumpulan wartawan di bawah.

"Lima belas hari dan mereka masih belum mendapatkan keterangan selain dari dokter dan pihak kepolisian. Mereka tidak akan pergi sebelum sang korban bicara," ucap Nazwa dengan napas tertahan. Kembali, kejadian beberapa tahun silam muncul di ingatannya.

Rengganis mendesah berat. Ia bersandar di kaca seraya menatap jauh ke bawa. "Hidup memang tanda tanya. Malangnya, tidak akan ada yang mampu menemukan jawaban atas apa pun."
Nazwa berjalan mendekati Rengganis. "Hidup memang tanda tanya. Hanya bagi mereka yang tidak meyakini takdir-Nya. Bukankah seburuk apa pun, Dia tetap menjanjikan kebaikan? Apa lagi yang perlu kita pertanyakan?"

Rengganis menatap Nazwa sekilas. Gadis yang berdiri di hadapannya, sempurna. Di desa, mungkin dirinya adalah satu-satunya bunga yang menarik kumbang untuk hinggap. Namun, di luar masih banyak keindahan lainnya.
"Apa rencanamu setelah ini?" Nazwa menatap pasiennya itu dengan lembut. Ia tahu Rengganis adalah gadis kuat. Seperti karang, butuh jutaan kali bagi ombak untuk mengikisnya.

"Rencana apa?"
"Kondisimu sudah membaik. Apa yang akan kaulakukan saat kembali ke desa?"
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia tidak memiliki keberanian untuk kembali ke desa itu. Rasa malu membuatnya takut. Ia tahu, warga desa tidak akan memandangnya buruk. Namun, ada banyak pemuda yang pernah ditolaknya, mereka pasti akan tertawa dan mengejek.

"Ada apa?" Nazwa menatap gadis itu heran.
"Nazwa, em ... boleh aku bertanya?" Rengganis meremas kuat ibu jarinya.
"Tentu saja. Ada apa?"
Ragu Rengganis menatap gadis berkerudung merah muda itu.
"Jangan takut, tanyakan saja." Nazwa mengusap lengan Rengganis lembut.
"Apa menurutmu aku harus kembali ke desa?" Ia menatap Nazwa dengan mata berkaca-kaca.

Nazwa menghela napas yang terasa berat. Ia ragu untuk berpendapat, tapi bagaimanapun juga, pendapatnyalah yang paling dibutuhkan oleh Rengganis saat ini. "Sebelum aku memberi saran, jawab dulu pertanyaanku ini ... apa kau ingin kembali?"
Rengganis terduduk di lantai, ia menangis dan menggeleng. "Aku tidak akan sanggup kembali lagi ke sana, Nazwa. Tempat itu ... terlalu kelam bagiku." Pecah. Rengganis meraung meratapi nasib dirinya.

Nazwa memeluk tubuh Rengganis yang semakin kurus, didekapnya erat agar gadis itu merasa tenang. "Maka, jangan kembali. Mulai hidup baru, aku yakin kau membutuhkan suasana baru," lirih Nazwa seraya mengusap air mata Rengganis.
"Ke mana aku harus pergi dengan membawa kotornya diri?"
"Tidak ada yang kotor. Kau hanya sedang menjalani ujian dari-Nya."
Rengganis bangkit dan menatap barisan gedung di luar jendela. "Aku juga tidak bisa tinggal di sini ...," lirihnya.

Nazwa diam sejenak, dilihatnya Rengganis kemudian ia tersenyum. "Apa kau pernah pergi ke Dubai?" tanyanya kemudian.
"Aku hampir tidak pernah keluar dari desa setelah menyelesaikan kuliah."
"Apa gelarmu?"
"Sarjana Ekonomi," sahut Rengganis datar. Ia bahkan tidak pernah menggunakan ijazah untuk bekerja. Dulu, tidak ada alasan apa pun untuknya meninggalkan desa.
"Begini, aku akan kembali ke Dubai satu bulan dari sekarang. Apa kau mau ikut denganku?" tanya Nazwa ragu.
"Apa yang akan aku lakukan di sana? Lagi pula, aku tidak punya uang untuk pergi."
"Bekerjalah denganku ...."
"Bekerja denganmu?" Rengganis memotong ucapan gadis itu.
"Ya, bekerjalah denganku. Aku punya klinik di sana dan membutuhkan seorang asisten pribadi untuk membantu semua pekerjaanku."

Rengganis terdiam. Ia tidak memiliki teman di kota lain yang bisa ia kunjungi. Menolak tawaran Nazwa sama saja melepaskan kesempatan, tapi jika menerima, ia harus siap meninggalkan semua orang.

"Pikirkanlah dulu, jika kau menolak ...."
"Menurutmu aku harus pergi?" Rengganis menatap Nazwa lekat.
"Menurutku kau harus memulai hidup baru, mulai menggambar ulang lukisan untuk masa depan. Di mana pun kau ingin tinggal."
Rengganis menghela napas mendengar ucapan Nazwa. Ia sendiri ingin memulai semuanya dari awal. Namun, semua orang tahu bahwa hidupnya telah hancur, harapannya mati bersama dengan kejadian malam itu.

"Tanyakan kepada-Nya, Rengganis. Mintalah petunjuk. Karena hanya Alloh yang mengerti apa yang kaurasakan, tanpa harus bercerita panjang lebar."

Nazwa melangkah keluar ruangan dengan wajah tersenyum. Ia selalu merasakan kepuasan setiap kali berhasil membuat wajah Rengganis memucat dengan ucapannya. Karena itu berarti, gadis itu tersentuh hatinya.

Sungguh, hanya hati yang bersedia membaiklah yang akan menerima setiap nasihat bijak dengan sedikit berdesir.
***

"Apa kau yakin?" Fitri berdiri dengan mata memerah. Ia tak percaya Rengganis memutuskan untuk pergi.
"Maafkan aku, Fit. Kau tahu aku tidak bisa hidup di desa lagi."
"Kau akan meninggalkan semua orang?"
Rengganis mengangguk pelan. "Ya, aku harus melakukannya."
"Kapan kau akan pergi?" Air mata Fitri jatuh mengingat tak akan ada lagi Rengganis dalam kesehariannya.
"Lusa. Nazwa sudah mengurus semuanya." Rengganis tertunduk. Ia tahu, keputusan itu akan melukai semua warga desa. Mereka menunggunya pulang, bukan justru pergi dan menghilang.
"Kau harus berada di sini, Rengganis. Sidang kasus itu akan segera dilaksanakan. Tiga belas pelaku sudah ditangkap, hanya menunggu waktu untuk menemukan tiga orang lagi. Lelaki yang melakukan ini kepadamu harus menerima hukuman setimpal, dan kau harus berada di sini untuk menyaksikannya ...."
"Menyaksikan apa!" Rengganis berteriak marah. "Menyaksikan wajah-wajah yang telah menghancurkan hidupku? Menyaksikan bagaimana mereka tertawa saat melihatku? Mereka tetap menang meskipun berada di penjara, dan aku tetap kalah meskipun berhasil memenjarakan mereka."

Fitri menggeleng tak percaya, "Aku kecewa dengan sikap putus asa yang terus kau tunjukkan ini, Rengganis." Gadis itu berlari keluar, meninggalkan Rengganis yang masih menahan tangis.
"Hanya aku yang tahu seperti apa rasa kecewa itu, Fitri," gumamnya dengan tangan mengepal.

Sementara itu, Fitri setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia tahu betul mengapa Rengganis memutuskan untuk pergi, tapi ia tidak pernah berpikir akan kehilangan sahabatnya itu untuk kedua kalinya.

"Fitri?"
Gadis itu menghentikan langkah dan melihat Ardi baru keluar dari ruangannya.
"Ada apa? Rengganis baik-baik saja?"
"Ya, dia baik-baik saja. Sepertinya adikmu berhasil."
Ardi mengernyit melihat ekspresi wajah Fitri saat mengatakannya. "Ada apa?" tanyanya pelan.
"Nazwa akan membawa Rengganis ke Dubai."

Dokter Ardi mendesah pelan. Ia tahu itu, Nazwa sudah mengatakan hal itu kepadanya. "Masuklah." Ardi membuka pintu untuk gadis itu. "Duduklah," ucapnya seraya menuangkan segelas air putih.
"Kenapa?" Fitri menatap pria berkemeja biru gelap itu heran.
"Kau tahu, apa yang dialami oleh Rengganis adalah hal besar. Menghancurkan seluruh hidupnya. Jika ia tetap berada di sini, menyaksikan para bajingan itu diadili, itu akan membuatnya semakin sulit bangkit. Ia butuh lingkungan baru, setidaknya sampai luka di hati tak terlalu menyakiti lagi."
Fitri diam. Ia masih belum bisa menerima keputusan Rengganis apa pun alasannya.

"Aku tahu betul rasanya menjadi dirimu. Menyaksikan orang yang kausayangi terluka lahir dan batin. Tapi, tidak ada yang lebih menolong, selain membiarkannya mencari penawar bagi hatinya sendiri. Kau beruntung, Fitri. Masih bisa melihat kedua mata Rengganis terbuka dan mencoba bangkit. Aku tidak seberuntung itu ...." Dokter Ardi berdiri menatap potret yang tergantung di dinding. " ... Ini foto yang diambil saat perayaan ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Hilma sangat bahagia saat itu. Selain aku berhasil menyelesaikan program doktor, saat itu ia tengah mengandung tujuh minggu." Air mata mengalir dari dua sudut netra pria itu. Tubuhnya gemetar.
"Apa yang terjadi?" Fitri bangkit dan membantu Dokter Ardi duduk.
"Malam itu ... aku tidak pulang karena menggantikan seorang teman. Nazwa yang menemani Hilma di rumah, karena trimester pertama membuatnya terus menerus merasa pusing dan mual. Lima perampok masuk ke rumah kami, Hilma melindungi Nazwa sehingga tidak sempat ikut melarikan diri. Mereka bukan hanya merampok harta, mereka juga menodai istriku ...." Tubuh pria itu gemetar semakin hebat. Cepat ia mengambil obat dari saku jas dan menelannya begitu saja. "Aku pikir Hilma akan bangkit, nyatanya tidak. Ia memilih untuk mengakhiri hidupnya. Setelah berjam-jam baru aku tahu bahwa ia sudah tiada. Itulah mengapa aku katakan kepadamu, menyakitkan melihat orang yang kita cintai pergi, padahal seharusnya kita bisa menolongnya tetap hidup."

Tidak ada luka yang menyiksa setiap detak nadi, selain penyesalan. Pria itu membawa luka itu selama bertahun-tahun. Andai saja saat itu ia tidak meninggalkan Hilma seorang diri, istrinya pasti masih ada hingga hari ini.

Ardi memejamkan mata. Bayangan pagi itu benar-benar tak hilang barang sedetik pun. Memukulnya kuat, mengikatnya di tiang kemarahan. Darah yang berasal dari janin istrinya, juga wajah pucat Nazwa yang bersembunyi di balik jendela kamar hingga pagi menjelang. Gadis itu menyaksikan apa yang terjadi pada kakak iparnya. Namun, tidak sekali pun Nazwa menceritakannya kepada orang lain. Ia selalu pandai menutupi ketakutan di dalam diri.

Pagi itu ....

Ardi pulang dengan buah delima di tangan. Ia ingat, Hilma merengek meminta buah berwarna merah tersebut. Kedua alisnya saling bertaut saat melihat pintu rumah terbuka. Bukan kebiasaan Hilma atau Nazwa membiarkan pintu rumah terbuka. Dengan langkah cepat Ardi masuk ke dalam rumah, dilihatnya bekas telapak sepatu berlumpur di lantai. Tadi malam memang hujan.

"Hilma ... Nazwa!" Sekuat tenaga ia berlari menuju kamar. Tubuhnya kaku, matanya memerah, bibir pria itu bergetar hebat.
"Hil--ma ... Hilma!" Ia mendekati tubuh sang istri yang berlumur darah. Wajahnya lebam akibat pukulan para binatang itu. "Hilma ...!" Kuat Ardi berteriak, membuat seorang tetangga mendengar dan bergegas datang bersama warga lainnya.

Ardi berdiri seraya menggendong tubuh sang istri. Darah segar masih menetes dari pangkal pahanya. Bekas cengkeraman di tangan dan kaki tak terhitung lagi jumlahnya.
Ardi bisa mendengar suara istrinya merintih beberapa saat kemudian. "Sayang, jangan pergi," ucapnya, diiringi isak tangis.
Warga yang datang tak kuasa menahan air mata, pria pun wanita. Mereka menangis menyaksikan kondisi wanita yang dikenal sangat baik itu.

Beberapa orang bergegas menghubungi polisi. Beberapa lagi segera mengelilingi rumah, mencari jalan masuk para biadab itu.
Pak Firman, ketua RT setempat berlari saat melihat Nazwa menggigil di bawah jendela kamar kakaknya. "Nazwa? Ya Alloh ... Nazwa ada di sini!" Pria 53 tahun itu berteriak sekeras mungkin.

Gadis itu meringkuk di bawah barisan rak bunga yang diletakkan Hilma beberapa hari yang lalu. Tubuhnya basah karena air hujan. Dengan sigap Pak Firman mengangkat tubuh Nazwa dan membawanya ke dalam rumah.

Sementara itu, Ardi membawa istrinya ke rumah sakit dengan bantuan warga.
Ia tak membiarkan siapa pun menyentuh tubuh sang istri. Dibawanya wanita itu ke ruang UGD dan ia sendiri yang menangani.
Ardi hancur, terluka hingga melebur dengan hatinya. Kehancuran itu kian bertambah saat ia melihat tubuh pucat sang istri dengan darah mengalir dari nadi yang terkoyak. Pergi. Bersama semua rasa sakit, Hilma memilih meninggalkan suaminya dengan penyesalan yang berkepanjangan.

Sungguh, tak ada satu manusia pun yang bersedia menerima rasa pahit. Namun, Alloh memiliki sebaik-baiknya rencana.
***

"Ini terapi terakhir sebelum kita berangkat. Di sana, aku akan tetap mengawasi perkembanganmu." Nazwa duduk di dekat Rengganis yang sudah berbaring di kursi terapinya. "Pejamkan matamu, Rengganis. Berdiri dengan berani untuk menantang mimpi. Tekan mimpi itu sekuat yang kau bisa." Nazwa memutar melodi Moonlight Sonata.

Rengganis memejamkan mata menuruti ucapan Nazwa.
"Gadis sombong ...."
Kini gadis itu kembali ke tempat semula, dengan tangan terikat pada pohon dan tawa para bajingan di atasnya.
Kejadian malam itu terulang kembali. Rengganis merasaka ketakutan yang luar biasa. Ia menjerit sekuat tenaga, meronta, melakukan apa saja yang malam itu tak bisa dilakukannya.

"Kuhamili kau ...."
"Kuhamili kau ...."
"Kuhamili kau ...."
"Haah ...!" Rengganis terbangun dengan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. "Aku tidak sanggup melakukan ini lagi, Nazwa," ucapnya lirih.
"Hanya kau yang bisa melawan ketakutan di dalam dirimu itu, Rengganis. Percayalah, sungguh berat membawa ketakutan sepanjang hidupmu." Nazwa menahan napas sejenak. Berusaha agar air mata --yang selama ini hanya terjatuh saat ia seorang diri-- tak terjatuh di hadapan pasiennya.

Benar adanya, bahwa setiap yang berada di dalam gelap akan merindukan setitik cahaya. Seperti Nazwa yang merasakan dirinya terjebak di kegelapan, di bawah hujan, dan berteman dengan ketakutan.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER