Cerita Bersambung
(side a)
Rengganis berdiri menatap bayangan dirinya di cermin, lama gadis itu mematung mengamati wajah yang hampir tak ia kenali. Di belakangnya, tiga buah koper besar sudah menunggu. Paspor dan segala macam dokumen tergeletak di ranjang.
"Hidup baru ...," gumamnya seraya menyisir rambut dengan ujung jari.
Tak ada yang berubah. Rambutnya masih panjang, hitam, dan berkilau. Kulitnya masih merona, wajahnya tetap cantik dengan dua mata yang berkilau bak purnama bersinar pada puncak malam.
Bentuk sempurna ciptaan-Nya.
"Are you ready?"
Rengganis terkesiap melihat Nazwa melongok melalui celah pintu. Dilihatnya gadis itu selalu tersenyum, seolah tidak ada duka yang pernah ia rasakan.
"Ada apa?" Nazwa masuk dan memastikan kondisi gadis itu.
Rengganis menghela napas, ia tersenyum menatap Nazwa. "Boleh aku bertanya?"
"Ya, silakan," sahut Nazwa seraya duduk di tepi ranjang.
"Kenapa kau memilih Dubai sebagai tempat menetap?" Rengganis berbalik ke arah gadis berkerudung cokelat itu.
"Kupikir karena di sana wanita dihargai."
"Apa bedanya dengan di sini? Bukankah setiap tempat selalu ada penjahat?"
Nazwa tertawa ringan. "Begini. Di Dubai, kejahatan terjadi kebanyakan karena si korban memberi peluang. Pemerintah Dubai sendiri memberikan kenyamanan bagi wanita. Seperti halte khusus, pembatas di kendaraan umum. Peluang untuk seseorang melakukan kejahatan benar-benar diperkecil. Di Indonesia, kendaraan umum bercampur, bahkan di kereta hanya disediakan dua gerbong khusus wanita. Selebihnya, tetap saja berdesakan. Itu adalah satu dari sekian banyak peluang seseorang melakukan kejahatan. Entahlah, aku sendiri merasa tidak nyaman berada di tempat umum. Dubai bukan tempat tanpa maksiat, di sana justru peluang itu lebih besar. Hanya saja, mereka tidak punya waktu untuk memperhatikan satu orang, sebab ada banyak di sekeliling untuk dilihat."
Rengganis sedikit bingung dengan jawaban Nazwa, tapi ia tetap mengangguk dan mencoba untuk memahami.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Nazwa lirih.
"Entahlah ...." Rengganis meremas ujung kemejanya. "Aku hanya bertanya, samakah hidup baru dengan harapan?"
"Hidup baru adalah sebuah permulaan dari akhir yang kautinggalkan. Harapan adalah keyakinan, bahwa setiap yang terjadi akan membawa kita pada kebaikan. Tidak ada harapan yang bisa mati jika kita masih meyakini, bukan sekadar mimpi."
"Aku takut tidak bisa menjalani hidup seperti dulu lagi," lirih Rengganis dengan kepala menunduk dalam.
Nazwa menggigit bibir bawahnya. "Mau mendengarkan ceritaku?" tanyanya ragu.
Rengganis hanya mengangguk.
"Selama bertahun-tahun aku memikul beratnya perasaan bersalah."
Rengganis mengernyit. Ia menoleh dan mendapati wajah Nazwa memerah. "Kenapa?" tanyanya pelan.
"Melihat apa yang kau alami, membuat bayangan masa lalu kembali ...."
Nazwa bercerita tentang apa yang terjadi malam itu. Di bawah hujan, ia meringkuk ketakutan, menyaksikan sang kakak ipar diseret kasar, dipukul dan dilecehkan. Harusnya ia bisa berlari dan meminta pertolongan. Namun, malam itu, perasaan takut membuat tubuhnya kaku, ia hanya mengintip dari balik jendela. Tubuhnya menggigil menyaksikan kejahatan tersebut.
Sejak saat itu, ia merasa membenci diri sendiri. "Apa susahnya berlari dan berteriak meminta pertolongan?" Tangis Nazwa pecah, ia ingat bagaimana tubuh kakak iparnya tergeletak bagaikan sampah.
Rengganis meremas kuat tepian ranjang. Ia tak bisa memberikan komentar apa pun. Nyatanya, kepahitan yang ingin ia hapuskan, dialami pula oleh sosok yang tampak tak memiliki masalah.
"Aku membenci diriku sejak kejadian malam itu. Tidak ada yang tahu kebodohan yang aku lakukan, semua kusimpan sendiri agar tidak dihakimi," ucap Nazwa seraya mengusap air matanya.
Rengganis menghela napas berat. Sedikit ia mengerti, bahwa benar apa yang Nazwa katakan. Alloh selalu bersikap adil.
"Sudahlah, ayo cepat bersiap. Kita bukan pemilik pesawat dan bandara," canda Nazwa diiringi tawa khas yang ringan.
"Kenapa kau tidak pernah terlihat bersedih?" Kali ini Rengganis menatap Nazwa lekat.
"La Tahzan ... La Tahza ... jika sekarang kaurasa terluka dan tersakiti, bisa saja suatu hari nanti, kaulah orang yang paling bahagia." Nazwa menepuk pelan punggung tangan Rengganis. "Di mana pun kau hidup, jika keyakinanmu akan Alloh mati, maka tidak akan ada kebaikan di dalamnya. Sebaliknya, meski berada di dalam kubangan kotor, jika kau yakin akan Dia yang memberimu hidup, maka kebaikan akan terus mengikuti. Karena bukan di mana kau menetap, melainkan apa yang kau percaya akan terjadi."
Tenggorokan Rengganis terasa kering mendengar ucapan gadis itu. Lalu, ke mana ia akan mencari ketenangan, jika Alloh saja jauh dari ingatannya?
"Nazwa ...?"
"Ya?"
"Terima kasih atas semua kebaikan yang kaulakukan untukku. Tapi, izinkan aku menentukan pilihan kali ini ...."
Nazwa tersenyum tipis dengan kedua alis terangkat. Seolah tahu, bahwa Rengganis telah menemukan jalannya.
"Aku tidak bisa ikut denganmu ke Dubai. Sejauh apa pun pergi, tidak akan mengobati luka hati jika tidak kembali kepada-Nya. Kau benar. Aku hanya perlu meyakini bahwa setiap yang terjadi adalah ujian. Bukankah aku harus menyelesaikannya sebelum berpindah kelas?"
Wajah Nazwa tampak berseri. Ia senang, Rengganis mengerti apa yang selama ini ia katakan. "Aku senang kau mengerti," ucapnya lirih.
Rengganis memeluk Nazwa erat. "Aku ingin ikut denganmu, tapi, aku harus menghadapi kenyataan terlebih dahulu. Aku ingin membunuh semua mimpi buruk itu."
"Kau harus menghadapi mereka semua dengan berani. Jangan mundur walau hanya satu senti. Kau mengerti?"
Rengganis mengangguk cepat, "Aku berjanji."
Nazwa mengambil sebuah kunci dan kartu dari tas dan memberikan kepada Rengganis. "Ini ... kunci apartemenku. Tinggalah di sana," ucapnya pelan.
Air mata Rengganis mengalir ketika menyadari, betapa tulus gadis yang saat ini berdiri di hadapannya.
Dengan keyakinan akan menjadi lebih baik lagi, Rengganis melepaskan kepergian Nazwa. Untuk pertama kalinya, senyum ketenangan mengembang di wajah gadis itu.
"Kau tidak jadi pergi?"
Rengganis terkesiap ketika Fitri masuk dan mengagetkannya. "Tidak. Aku harus berada di sini, menghadapi semua dan menyelesaikannya."
Fitri tertawa dan bersorak girang, "Apa yang akan kita lakukan setelah ini?"
"Memulai dan menghidupkan kembali harapan." Kedua netra Rengganis berbinar menatap mentari menjelang sore yang cahayanya hangat menembus jendela kaca.
Harapan tidak akan pernah mati. Percayalah apa yang Alloh berikan selalu baik meskipun tidak diinginkan.
***
Sudah dua pekan Nazwa pergi, sudah hampir dua bulan kejadian yang menimpa Rengganis terjadi.
Meski telah berusaha, nyatanya Rengganis tetap berada dalam ketakutan yang sama, setiap malam.
Pagi ini, Rengganis terjaga dengan kepala yang terasa sangat berat. Sejak tiga hari yang lalu ia kehilangan nafsu makan, bahkan saat minum air putih ia akan langsung memuntahkannya.
Pandangan Rengganis terasa gelap. Ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Perlahan ia berdiri dan meraih gelas berisi air di meja tepi ranjang. Namun, percuma. Baru saja ia menelan, air itu kembali keluar, mendorong hingga kepalanya terasa sakit.
"Ada apa denganku?" Rengganis mencoba mengingat apa saja yang ia makan beberapa hari ini. Namun, ia yakin tidak mengkonsumsi apa pun yang berbahaya. Ia juga tidak memiliki alergi terhadap makanan.
Setelah lama terdiam, tatapannya jatuh pada kalender digital di meja. Seketika tubuhnya bergetar hebat, ia tak memikirkan ini sebelumnya.
Napasnya tersengal. Air matanya mengalir sederas hujan di pagi hari. "Tolong ... kumohon, jangan," lirihnya diiringi isak yang tak lagi bisa ia tahan.
Rengganis bersiap dan keluar secepat yang ia mampu. Di bawah, ada pusat perbelanjaan. Ia bergegas turun dan menuju counter obat, dicarinya benda kecil itu.
"Kumohon ... jangan lakukan ini padaku ...."
Bergetar tangan Rengganis meraih alat tes kehamilan dari rak tertutup di hadapannya. Dengan langkah ragu, ia berjalan menuju kasir.
Dikirimnya pesan kepada Fitri, ia membutuhkan gadis itu di sisinya. Ia tidak sanggup menghadapi semuanya seorang diri. Meski mencoba untuk menolak, Rengganis merasa yakin, ada sesuatu di tubuhnya saat ini.
Setelah kembali ke apartemen, Rengganis bergegas menuju kamar mandi. Bergetar tangannya saat memasukkan benda itu ke cairan urinenya.
Dipejamkannya mata kuat. "Aku tidak ingin membuka mata ini, sungguh. Aku mohon jangan lakukan ini kepadaku," ucapnya dengan napas tertahan.
Namun, mau atau tidak, ia tetap harus menghadapi kenyataan. Pada akhirnya, pahit akan tertelan juga.
Tubuhnya lemas, kedua mata basah menatap hasil tea di tangannya. Ia menangis tanpa suara, hanya isak yang coba ia tahan sesekali terasa menyesakkan dada.
Ia mengandung. Entah benih dari siapa.
Benar adanya, bahwa Alloh tidak akan berhenti menguji hamba-Nya. Dia akan terus memberi lembar soal baru, sesulit apa pun hanya Dia yang tahu batas kemampuan manusia.
***
- Tiga Bulan Kemudian -
"Rengganis, ada telepon dari kantor polisi." Fitri berlari menghampiri Rengganis yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Sudah dua bulan ia mulai bekerja sebagai asisten public relation di perusahaan media yang sedang berkembang di Jakarta. Tidak sesuai dengan jurusannya, tapi, Nazwa yang merekomendasikan dirinya dan berharap ia bisa bersosialisasi dengan baik. Mengembalikan kepercayaan diri yang nyaris terbunuh beberapa bulan yang lalu.
"Ada kabar apa?" tanya Rengganis tanpa meninggalkan pekerjaannya.
"Mereka berhasil menangkap ... Arya."
Jemari Rengganis berhenti bermain di atas keyboard komputer. Wajahnya memerah dan setengah tubuhnya bergetar. Ia mengusap perut yang sudah tampak membesar, air matanya jatuh.
"Maafkan aku, tapi ... polisi memintamu untuk hadir," ucap Fitri ragu. Sejak Rengganis mengandung, Fitri menemaninya menetap di Jakarta, dengan bantuan Ardi, ia bisa bekerja di rumah sakit dan mendapat penghasilan berkali lipat lebih besar dari sebelumnya. Ardi dan Nazwa banyak membantu mereka berdua.
Rengganis meremas kertas kosong di mejanya. Lidahya kelu, tidak tahu harus menjawab apa.
"Baiklah. Aku akan katakan kepada mereka kalau kau tidak bisa datang." Fitri berbalik berniat meninggalkan sahabatnya itu.
Namun, Rengganis menghentikan langkahnya. "Aku akan datang," ucap Rengganis parau.
"Kau yakin?"
"Aku yakin." Rengganis berdiri dan menatap bayangan dirinya di cermin. "Aku tidak akan bersembunyi dari mereka semua," ucapnya tegas.
Ditemani Fitri dan pengacara, Rengganis melangkahkan kaki menuju kantor polisi. Setelah memberikan beberapa keterangan, ia dipertemukan dengan kedua orang tua Arya.
"Siapa mereka?" tanyanya kepada Fitri.
"Orang tua Arya," bisik Fitri diiringi helaan napas ketika dilihatnya Arya masuk dengan tangan diborgol dan kaki pincang. Tampak perban putih membalut kaki kanannya.
Tentu saja, polisi bilang pria itu berusaha melawan saat akan ditangkap.
Rengganis menatap pria itu datar.
"Saya Fatimah, maafkan apa yang telah dilakukan oleh putra kami." Wanita paruh baya itu menangis, seolah menyesali apa yang tidak disesali oleh putranya.
Arya mendekat ke arah Rengganis dengan wajah yang ia buat memelas. Namun, Rengganis tidak akan terjebak dengan sandiwara itu.
"Izinkan aku bertanggung jawab atas itu." Arya menunjuk ke arah perut Rengganis.
"Aku tidak butuh pertanggung jawabanmu atas ini. Tanggung jawabmu akan kau lakukan di balik besi-besi itu." Rengganis menatap kedua mata Arya dengan berani.
"Rengganis. Lihatlah, suamiku lumpuh dan Arya adalah tulang punggung keluarga. Jadi apa kami, kalau dia dipenjara?" Air mata Fatimah mengalir deras membasahi kedua pipinya. Ia merintih mengharap belas kasihan seorang gadis yang hidupnya telah hancur oleh sang putra.
Rengganis berbalik, ia tak peduli siapa saja yang akan menangis dan merintih. "Tanyakan kepada putramu, apa yang dia lakukan saat aku memohon malam itu? Lalu, pantaskah aku memaafkannya?" Diikuti Fitri dan sang pengacara, Rengganis melangkah meninggalkan keluarga itu.
Ada sesak yang hilang, ada pula sesak baru yang muncul, setelah Rengganis meninggalkan kantor polisi.
Ia menghubungi Nazwa dan menceritakan semuanya. Gadis itu, seperti biasa ia selalu mendukung Rengganis dengan caranya.
"Jika sesak itu terasa menyakitkan. Bersujudlah, temui Alloh. Hanya Dia yang bisa menghilangkannya."
*****
(side b)
"Duhai pawana ... sampaikan salam kepada Dia, katakan bahwa aku ingin kembali."
Gadis dengan pakaian serba hitam itu berjalan di tengah padang pasir. Dahaga tak terasa pun lelah bukan apa-apa baginya.
Langkahnya tegas melawan bayu yang bertiup kencang, menebarkan butir pasir yang bisa saja menyisipi mata indahnya.
Bukan berani atau tak takut akan kematian. Gadis bertubuh bak biola itu menyadari, bahwa Alloh adalah satu-satunya yang pantas untuk dicari.
Tiada tawa tanpa rida-Nya, tiada pula tangis tanpa ujian-Nya.
"Kemanakah aku harus mencari-Mu? Adakah di ujung sana Engkau tengah menunggu?" lirih gadis berkerudung panjang menjuntai melewati lutut itu berkata.
Tidak ada apa pun di depan sana selain pasir yang masih sama.
Entah sudah berapa kali mentari timbul dan tenggelam, tapi pencariannya tak kunjung membuahkan hasil. Ia tidak berputus asa, ia terus melangkah meski peluh tak lagi keluar karena panasnya surya yang membakar. Dahaga bukan lagi satu-satunya kesulitan.
"Aku akan mencari, sejauh apa pun." Semakin kuat angin menghempas, semakin kokoh pula kakinya berdiri.
"Ke mana kau akan pergi, Rengganis?"
Gadis itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan mendapati Nazwa tersenyum dengan sebuah cawan di tangan.
"Minumlah, kau pasti lelah."
Rengganis bergeming. Ia tidak ingin merasakan lelah dalam pencarian.
"Ke mana kau akan pergi?" Lagi, gadis yang memiliki senyum manis itu bertanya.
"Mencari Alloh ...."
Nazwa tersenyum. Langkahnya ringan mendekati Rengganis. "Untuk apa kau mencari-Nya?"
"Untuk kembali ... untuk meminta setitik saja belas kasih atas diriku."
Nazwa memeluk tubuh gadis itu, ia berbisik, "Alloh tak perlu dicari, Dia ada di mana saja kau berdiri. Bukalah hati dan kejarlah hidayah agar kautemukan jati diri."
"Haah ...!" Rengganis terbangun dengan keringat membanjiri tubuh. Tenggorokannya kering, ia merasakan lelah yang luar biasa.
Dilihatnya langit dari balik tirai jendela. Gelap masih menyelimuti Bumi.
Rengganis bersandar di kepala ranjang, tangannya mengusap perut yang kian membesar. Tidak sedikit pun ia membenci kehadiran bayi itu. Dua bulan lagi buah hatinya akan lahir.
"Kau adalah bagian dari diriku. Kehadiranmu adalah kebaikan," ucapnya lirih.
Beberapa bulan yang lalu ia sempat terpukul ketika mengetahui kehamilan itu. Beberapa kali kehilangan kesadaran sehingga harus dirawat inap selama dua hari. Namun, dengan seluruh keyakinan, ia menerima kehadiran janin yang tak memiliki dosa di tubuhnya itu.
Rengganis memejamkan mata, ia teringat saat Ardi berulang kali meminta maaf atas kehamilannya.
"Maafkan aku, Rengganis. Seharusnya kau tidak hamil, aku sudah memberimu morning-after pill. Tapi sepertinya obat itu ...." Ardi merasakan lidahnya kelu, pria itu merasa bersalah dengan kehamilan Rengganis. Sebagai dokter, dirinyalah yang paling bertanggung jawab.
Rengganis mendesah berat, ia tidak ingin melempar kesalahan kepada siapa pun. "Jangan meminta maaf. Mungkin ini adalah lembar soal baru dan harus aku selesaikan," ucapnya lirih.
Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan kehendak-Nya. Bukankah setiap langkah manusia adalah bagian dari rencana-Nya? Apa pun yang akan ditemui di depan sana bukanlah suatu kebetulan.
Seperti apa yang Nazwa katakan, "Alloh memiliki kuasa atas siang dan malam, maka Dia juga yang memegang skenario hidup manusia. Percayalah, tidak ada rencana seindah takdir-Nya."
Obat itu mungkin berhasil bagi sebagian orang, tapi gagal pada Rengganis. Bukan tanpa alasan, Alloh ingin menambah ujian untuk wanita itu.
Pagi menjelang, mentari bergerak perlahan menjatuhkan sinarnya di kamar Rengganis. Wanita itu baru saja selesai mandi, dibukanya tirai dan tubuhnya menerima hangat surya pagi.
Hari Minggu, ia tidak memiliki rencana apa pun. Fitri bertugas malam, tentu saja gadis itu masih terlelap di kamarnya sekarang.
Rengganis berjalan pelan menuju lemari, di rak paling bawah, ia melihat kado yang diberikan Nazwa sebelum pergi. Sebuah gamis berwarna marun, lengkap dengan kerudung panjang yang akan jatuh hingga ke lutut saat dikenakan.
"Maafkan aku, Nazwa. Aku belum siap mengenakan itu," ucapnya diiringi helaan napas yang terasa berat.
***
Rengganis berjalan seorang diri di pusat perbelanjaan. Akhir pekan ini ia manfaatkan untuk membeli beberapa keperluan.
Saat tengah asik berjalan, langkahnya terhenti di depan sebuah baby shop yang memajang berbagai keperluan bayi. Ia tersenyum seraya mengusap perut, "Tak sabar rasanya ingin masuk ke sana. Tapi aku tidak sanggup membawa barang-barang itu sendiri."
Wanita itu menghela napas berat. Ragu ia meninggalkan toko tersebut. "Lain kali saja, kita belanja bersama Fitri," gumamnya seraya terus melangkah. Namun, baru beberapa langkah ia pergi, bayi di dalam kandungannya mendorong kuat perut Rengganis.
"Aw ...." Rengganis merasakan sakit hingga ke ulu hati. "Wo-ho ... kau nakal. Ada apa?" Tak peduli pada mata yang memandang dengan tanya, Rengganis mengusap bagian perut yang tampak menonjol keluar.
Untuk beberapa saat bayi itu kembali ke posisi semula. Namun, ketika Rengganis kembali melangkah, tendangan yang lebih kuat memaksa Rengganis berhenti. "Oke ... kau mau belanja sekarang?"
Tonjolan kecil tampak muncul di perut tengah wanita itu. "Baiklah," ucap Rengganis seraya mengusap lembut sampai bayi di dalam kandungannya kembali tenang.
"Rengganis?"
Sebuah panggilan membuat langkah Rengganis terhenti. Ia menoleh dan mendapati Ardi berdiri di belakangnya. "Ardi, hai ... Fitri?" Kedua alisnya bertemu saat melihat Fitri muncul menyusul Ardi.
"Oh, hai, di sini kau rupanya." Fitri tersenyum dengan wajah merona. "Apa yang kau lakukan di si--ni, di Mall." Gugup, Fitri merasa sedang diintimidasi oleh tatapan Rengganis.
"Aku belanja. Kalian berdua ...." Rengganis menunjuk keduanya bergantian.
Tidak ada yang menjawab. Baik Ardi maupun Fitri sama-sama terdiam. Wajah keduanya bersemu bagai jambu si musim panas.
"Aku pikir kau ingin istirahat setelah jam malam." Rengganis menyipitkan mata dengan senyum nakal ke arah Fitri. "Baiklah, aku tidak akan mengganggu," ucapnya seraya melangkah meninggalkan dua orang yang masih merasakan panas di wajah masing-masing.
"Kaulihat itu? Fitri sudah menemukan seorang lelaki," gumam Rengganis dengan tangan yang tak berhenti mengusap perut.
Menurut hasil USG pekan lalu, bayi yang ia kandung berjenis kelamin perempuan.
Mata Rengganis liar berkeliling melihat semua benda yang dipajang di toko itu. Tak lama kemudian pandangannya jatuh pada rak sepatu yang ditata rapi sesuai warna. Sepatu mungil yang membuatnya tersenyum membayangkan kaki kecil buah hatinya mengenakan itu.
Ia melangkah mendekat dan meraih ukuran terkecil. Newborn begitu yang tertulis pada label.
"Kau mau ini?" Rengganis meletakkan sepasang sepatu itu di atas perutnya. Setelah beberapa detik tak ada respon, ia mengambil kembali benda itu dan menukarnya dengan warna lain. "Kau tidak suka merah muda? Baiklah, kuning?" Lagi. Diletakkannya sepatu itu seperti tadi. Masih tidak ada respon.
Rengganis mendesah dan melihat ke arah sepasang sepatu berwarna putih di rak paling atas. "Bagaimana dengan ini?"
Ajaib! Tonjolan kecil muncul di perut Rengganis, seolah ia setuju dengan pilihan sang ibu.
"Kau suka putih? Baiklah, kita akan membeli semua yang berwarna putih."
Rengganis mulai memilih banyak barang. Pakaian, berbagai model topi, kaus kaki dengan motif lucu, dan masih banyak lagi. Ia sengaja membeli benda-benda kecil lebih dulu, agar tidak kesulitan ketika dibawa pulang.
Dengan wajah semringah berhiaskan senyuman, Rengganis berjalan keluar dari pusat perbelanjaan. Ia lupa pada apa yang dibutuhkannya di rumah, waktunya sudah habis ia gunakan untuk memilih keperluan bayinya.
Alloh merencanakan segalanya dengan sempurna. Rengganis akan menyeberang untuk mencari taksi ketika sebuah mobil membunyikan klakson dengan kuat dan panjang.
"Ya Alloh ...!" Sontak ia menjatuhkan semua barang belanjaannya. "Hei ...!" Rengganis terkejut mendapati pajero putih itu hanya berjarak kurang dari dua meter dari tubuhnya.
Lama Rengganis terdiam, wajahnya pucat karena terkejut. Bukan salah pengendara mobil itu, Rengganis menyeberang tepat di tikungan. Beruntung orang di dalam sana tidak mengemudi dengan kecepatan tinggi.
"Permisi, hallo ...." Seorang pemuda keluar dari mobil dan berjalan mendekat.
Rengganis merasakan tubuhnya lemas, kakinya gemetar dan pandangannya gelap. Sejurus kemudian, wanita itu kehilangan kesadaran.
"Allohu akbaar!" Pemuda itu dengan sigap menahan tubuh Rengganis. "Pingsan ...?" Pemuda itu pucat menahan beban berat tubuh Rengganis.
Beberapa orang yang melihat kejadian itu segera membantu memasukkan Rengganis ke dalam mobil.
"Ada apa denganku? Kenapa hari ini banyak sekali musibah?" Pemuda berwajah asing itu menggerutu di balik kemudi. Sesekali ia melirik ke arah kaca untuk melihat kondisi Rengganis.
Tiba di rumah sakit, Rengganis tak kunjung sadar. "Lama sekali dia pingsan," gumam pemuda dengan penampilan rapi bak seorang model itu.
Dengan bantuan beberapa perawat, Rengganis dibawa ke ruang gawat darurat.
"Ada apa?" Rengganis tersadar sesaat sebelum dokter akan memeriksa kandungannya.
"Ow ... maaf, kandunganmu harus diperiksa, tadi ...."
"Siapa yang membawaku ke sini?" Rengganis memotong ucapan dokter wanita itu.
"Dia ...." Telunjuk sang dokter mengarah kepada pemuda tadi.
Rengganis berusaha mengangkat tubuhnya dan beringsut turun dari ranjang. Ia menatap pemuda itu kesal. "Lain kali, tolong perhatikan jalan di depanmu saat mengemudi. Akan kuhantui kau seumur hidup kalau sampai aku mati karena tertabrak olehmu."
Pemuda itu tercengang. Ia membalas tatapan Rengganis. "Lain kali kalau kau akan menyeberang jalan, lihat dulu, apakah ada tikungan atau tidak? Kau sudah menyusahkan aku," ucap pria itu sambil berlalu meninggalkan Rengganis.
Rengganis merasakan pawana bertiup sejuk di wajahnya ketika mata mereka bertemu tatap untuk beberapa detik.
Ia berjalan keluar setelah yakin pria itu tak ada lagi di rumah sakit. Lemas kakinya masih terasa, kedua tangannya dingin setelah kejadian tadi. Ia mengusap perut lembut diiringi helaan napas lega. "Kau baik-baik saja di sana?" tanyanya lirih, dibalas dengan hentakan pelan di perut atasnya.
Saat tiba di luar rumah sakit Rengganis tersadar dan mencari-cari dompet serta barang belanjaannya tadi. "Bagaimana caraku pulang?" Tangannya hanya menemukan ponsel di saku baju. Sudut mata Rengganis basah, ia duduk di halte dan mencari-cari nomor Fitri. "Belanjaan kita hilang," gumamnya dengan suara parau.
***
"Ya Alloh ...." Ammar memukul kemudi dengan kuat ketika melihat ke belakang dan mendapati barang-barang milik Rengganis masih tertinggal di sana. "Aku baru satu bulan kembali ke Negara ini, kenapa sudah diberi kekacauan yang menyebalkan?"
Dengan cepat Ammar memutar mobil dan kembali ke rumah sakit. Pria berwajah dominan Timur Tengah itu mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Alloh sudah merencanakan segalanya sempurna untuk Ammar. Saat ia tiba, Rengganis sudah tidak berada di sana. Ia membongkar barang belanjaan Rengganis dan menemukan dompet perempuan itu. "Maaf, aku harus membuka barang pribadimu dan mengembalikan barang-barangmu ini." Ammar menemukan sebuah kunci bertuliskan alamat gedung apartemen Rengganis.
"Akhirnya ...." Pria 32 tahun itu bernapas lega.
Ammar baru kembali dari Mesir, di sana ayah dan ibu tirinya tinggal. Ia lahir di Indonesia, memiliki ibu asli Indonesia. Namun, setelah kedua orang tuanya bercerai, ia terpaksa membagi waktu untuk mengunjungi mereka. Biasanya, ia akan menetap selama enam bulan di masing-masing tempat.
Jika boleh memilih, Ammar akan lebih senang tinggal bersama ibunya. Wanita mandiri yang memutuskan untuk tidak menikah setelah bercerai. Sedangkan sang ayah, jangan ditanya. Lelaki 56 tahun itu sudah menikah tiga kali setelah berpisah.
Setelah tiga puluh menit mengemudi, Ammar menemukan gedung tempat Rengganis tinggal. Ia mencari security dan memberitahukan tujuan kedatangannya.
"Hei ... itu barang-barangku!" seru Rengganis yang kebetulan baru tiba bersama Fitri.
"Syukurlah," ucap Ammar seraya mendesah lega.
"Terima kasih," ucap Rengganis ketika Ammar mengembalikan barang-barangnya.
Ammar merasakan tiupan lembut di wajah saat mata cokelat gelapnya bertemu dengan Rengganis. Sejuk dan membuatnya gugup.
Rengganis berpaling dengan cepat dan mengangguk pelan. "Permisi."
"Tampan," bisik Fitri ketika mereka berjalan menuju lift.
Ammar mengamati Rengganis untuk beberapa saat. Hingga ia tersadar ketika melihat perut Rengganis yang besar. Pastilah istri orang. Begitu pikirnya.
"Aku tidak tertarik dengan ketampanan, Fit." Rengganis mencoba menghindar dari godaan Fitri.
"Aku ingin melihatmu seperti dulu. Yang meskipun sering menolak banyak pria, tetap ceria dan merona," lirih Fitri. Ia merasa iba melihat Rengganis menghindari dunia luar. Tidak berteman dengan siapa pun, baik pria atau wanita.
"Nyatanya, hidup tidak selalu sama. Akan ada yang berubah dan aku harus menerima perubahan itu." Rengganis tersenyum tipis.
Jika saja manusia lebih sabar, Alloh tidak akan memberikan kesulitan kecuali sebagai ujian. Namun, sifat manusia adalah mengeluh, dan itu tidak akan pernah hilang.
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Selasa, 15 Desember 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel