Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 16 Desember 2020

Rengganis #4

Cerita Bersambung
(side a)
"Kenapa setiap doaku tidak dikabulkan oleh-Nya? Bukankah Dia maha mendengar dan mengabulkan segala keinginan?" Rengganis duduk bersimpuh di atas sajadah. Ia tak tahu tengah berada di mana, sekelilingnya terbentang luas gurun pasir.
Bayu di bawah surya terasa panas. Tak hilang dahaga, tidak pula berkesudahan peluh membasahinya.

"Duhai Engkau sang pemilik semesta. Bukan kesenangan berlimpah yang kupinta, hanya setitik berani untuk berjalan menapaki masa lalu. Lihatlah ke arahku, ulurkan satu jarimu untuk meraihku. Aku di sini dan akan terus menunggu ...."

"Seperti hujan, Rengganis."
Rengganis berbalik menatap kehadiran Nazwa. Gadis berkerudung merah menyala itu berjalan tanpa kesulitan ke arahnya.
"Aku lelah terus meminta, Nazwa!" Rengganis berteriak seraya mendongak menatap langit yang cahayanya menyakitkan netra.
"Seperti rinai. Alloh memberikan apa yang kita butuhkan dengan cara perlahan. Setitik ... setitik. Sebab hujan tak selalu deras."

Manusia terkadang lupa. Bahwa doa adalah sebuah permintaan, diberi atau tidak, sungguh tiada hak untuk menuntut-Nya. Sebab Dia yang lebih tahu, terkadang apa yang manusia pinta bukanlah apa yang dibutuhkannya.

"Aku hanya ingin bangkit tanpa rasa takut, Nazwa." Air mata Rengganis menetes membasahi sajadah di bawahnya. Menembus jauh hingga membasahi pasir di sebaliknya.
"Masih seperti hujan. Kita pikir, kita tidak membutuhkan karena kita tidak meminta. Lalu dengan sombong, kita mengutuk setiap tetes yang jatuh dengan keluhan. Padahal, Dia yang paling tahu alasan kenapa diturunkan-Nya hujan. Sadarilah bahwa kita hanya manusia, agar tak banyak menuntut dan lebih banyak menyadari, bahwa ada kewajiban yang perlu kita selesaikan sebelum berani meminta. Berdirilah, Rengganis ... Alloh sangat mencintaimu. Mungkin, hanya kau satu-satunya yang sanggup menghadapi ini semua. Percaya dan teruslah berprasangka baik kepada-Nya."
" ... bangunlah, Rengganis. Bangun dan merintihlah kepada-Nya."
Rengganis membuka mata dan mendapati dirinya bermandikan keringat di atas ranjang. "Lagi ...," gumamnya.

Hampir setiap malam, mimpi berada di Padang Pasir membuat Rengganis kelelahan saat terjaga. Peluh membasahi tubuh, dan setiap ucapan Nazwa di dalam mimpi selalu terngiang. Bak lagu yang diputar berulang-ulang. Tak jarang, Rengganis sampai menghafal setiap kata yang gadis itu ucapkan.

Rengganis mengusap wajah dan melihat ke arah jam kecil di meja tepi ranjang. Pukul tiga pagi. "Bangunlah, Rengganis. Bangun dan merintihlah kepada-Nya ...." Rengganis mengulangi apa yang Nazwa ucapkan di dalam mimpinya tadi.
"Bangun dan merintih ... kepada-Nya." Gadis itu beringsut dari ranjang dan segera berwudu. Ia mulai memahami apa makna mimpinya.
Dengan perut yang sudah begitu besar, Rengganis melaksanakan shalat malam tanpa beban. Untuk pertama kalinya, setelah kejadian malam itu.

Lama ia menahan sujud dan memanjatka doa yang sama. "Aku tahu betapa hina dan kotor diri ini. Dosaku telah tertanam hingga ke dasar Bumi. Namun, jika masih boleh aku meminta, izinkan aku melangkah tanpa bayang gelap malam itu. Hanya satu ... hanya satu, ya Alloh. Hanya satu. Itu saja."

Berulang kali air matanya jatuh menitik bagaikan embun membasahi dedaunan. Ada sesuatu yang terlepas dari dadanya saat salam terakhir terucap. Pilu menghimpit hingga ia menangis tanpa tahu apa sebabnya.
Jika terlalu berat beban dirasa, bukankah ada Dia tempat untuk menitipkan duka? Mengapa harus menutup langkah dari-Nya, jika tahu bahwa hanya Dia yang bisa meruntuhkan segala luka.
***

"Hei ... kau sudah mengajukan cuti?" Fitri melangkah masuk ke kamar Rengganis yang tampak sudah siap menyambut kehadiran sang bayi. Sebuah box besar berwarna putih terletak di sudut, dan box bulat dengan kain tile melingkar di atasnya, diletakkan di tepi ranjang Rengganis. "Kau benar-benar sudah mempersiapkan segalanya," ucap Fitri pelan.
"Aku sudah cuti sejak dua hari yang lalu. Kau yang tampaknya sibuk dan lupa pulang, Fit." Rengganis menoleh dan menatap gadis itu sekilas. "Kau tidak pernah bercerita perihal hubunganmu dengan Ardi," sambungnya seraya melipat baju-baju bayi yang baru selesai ia cuci.

Fitri tertawa dan berjalan mendekati sahabatnya itu. "Aku dan Ardi hanya sedang mencoba. Kautahu, tidak mudah menemani lelaki dengan luka masa lalu." Fitri menghela napas berat. "Dia melamarku ... kemarin."
"Benarkah?" Rengganis menjatuhkan pakaian bayi di tangannya. "Apa jawabanmu?"
"Hei ... kenapa matamu berbinar? Aku yang dilamar," seru Fitri dengan tawa yang tertahan.
"Ayolah, apa jawabanmu?" Rengganis mengulangi pertanyaannya.
Fitri tersenyum simpul. "Aku belum memberi jawaban."
"Bodoh! Apa yang ada di otakmu itu?" Sekuat tenaga Rengganis memukul pipi kiri Fitri. Membuat gadis itu mengaduh kesakitan. "Apa yang kurang dari diri Ardi? Dia baik, saleh, pekerja keras, dan mapan. Bukankah itu tipe lelaki idamanmu?"

Fitri memutar bola mata mendengar ucapan sahabatnya itu. "Aku ingin melihatmu menikah dan memiliki seseorang yang akan menemani. Kalau aku menikah, siapa yang akan menjagamu?" Fitri balas memukul pipi Rengganis, pelan.

"Jangan memikirkan aku dan mengabaikan masa depanmu, Fit. Aku akan baik-baik saja."
"Aku tidak akan menikah sampai kau bertemu dengan lelaki yang tepat. Titik. Sekarang bersiaplah, Ardi ingin kita bertemu temannya."
"Kita?"
Fitri berdiri dan mengusap pundak Rengganis pelan. "Iya, kita," ucapnya seraya berlalu meninggalkan kamar sahabatnya itu.
Ada ikatan yang tak bisa dipermainkan, terkadang lebih kokoh dari sekadar cinta kepada lawan jenis. Itulah persahabatan.

Rengganis bersiap dan bergegas keluar menemui Fitri yang sudah menunggunya di luar. "Kenapa aku harus ikut?" tanyanya malas.
"Entahlah. Ardi bilang ingin bertemu kita berdua. Dia membawa temannya, aku sendiri juga tidak nyaman kalau harus datang seorang diri."

Keduanya melangkah menuju lift. Rengganis bukan orang yang suka keluar tanpa tujuan, tapi untuk sahabatnya, ia akan tetap pergi meskipun malas merantai kuat kedua kakinya.

"Andai aku bisa menyetir," keluh Fitri saat mereka berjalan menuju taksi.
"Aku tidak akan membiarkanmu, sungguh," ucap Rengganis seraya menahan tawa.
"Kenapa?"
"Kau lupa, saat kita pulang sekolah menggunakan sepeda motor milik ayahku? Kau membuat kita terjun ke dalam parit dan bermandikan lumpur. Aku benar-benar masih bisa mencium aroma lumpur itu setiap kali mengingatnya."

Fitri tertawa sangat kencang mendengar Rengganis mengingat kembali masa lalu mereka yang konyol. "Aku ingat, kau melompat bahkan sebelum sepeda motor kita jatuh."
Kedua pipi Rengganis merona. "Betapa memalukan sekali hari itu. Dilihat oleh banyak orang dan pulang dalam keadaan menjijikkan."

Taksi yang mereka tumpangi berhenti di halaman Grand Indonesia. Saat turun, pandangan Rengganis langsung tertuju pada pria yang pernah hampir menabraknya, sedang tertawa di halaman kafe bersama Ardi.

"Bukankah dia yang ...."
"Ayo pulang!" Rengganis berbalik menarik tangan sahabatnya.
"Tunggu," ucap Fitri seraya menahan Rengganis. "Ardi sudah melihat kita."

Lemas Rengganis berbalik dan melihat Ardi melambaikan tangan ke arahnya. "Kenapa aku harus ikut denganmu?" gerutunya sambil melangkah mengikuti Fitri mendekati dua pria yang tengah menikmati kopi berlogo hijau itu.

"Hei ...." Ardi berdiri, diikuti oleh pemuda dengan bulu di wajahnya. "Ammar, ini Fitri dan Rengganis. Ini Ammar, sahabatku."
Rengganis hanya mengangguk pelan. Ia tak tersenyum, bahkan tidak memiliki keinginan untuk berada di sana lebih lama lagi.

"Duduklah. Aku sudah memesan kopi untukmu," ucap Ardi kepada Fitri. " ... dan puding matcha untukmu." Pandangannya beralih kepada Rengganis yang masih mematung.
"Kenapa kau tidak memesan kopi juga untukku?" protes Rengganis seraya duduk di hadapan Ammar.
"Sadarlah, Nona. Ada bayi di perutmu!" Fitri menimpali.

Tatapan Ammar masih melekat di wajah Rengganis. Tampaknya, ada sesuatu yang menarik baginya. "Sudah berapa bulan usia kandunganmu?" tanyanya kepada Rengganis.
"Delapan," sahut Rengganis dingin.

Ardi sudah menceritakan semua yang terjadi, agar Ammar tidak salah bicara dengan menanyakan ayah dari bayi itu. "Sebentar lagi kau harus memeriksakan diri. Agar bisa dipastikan apakah harus operasi atau normal," ucap Ardi pelan.

Rengganis hanya tersenyum diiringi anggukan kecil. Ia merasa risi menyadari tatapan Ammar seperti sedang menelanjanginya.
Menyadari hal itu, Ardi memberi kode kepada Ammar agar menghentikan aksinya itu. "Rengganis, bisa kita bicara sebentar?" Ardi berdiri dan melangkah menjauh dari merek.

Meski tak mengerti, Rengganis tetap mengikuti pria itu. Ia lebih nyaman berada jauh dari Ammar. "Ada apa?" tanyanya heran.
"Kau tahu, aku melamar sahabatmu."
"Ya. Fitri sudah mengatakan padaku."
"Tapi, dia masih menggantung jawabannya," ucap Ardi lemas.

Rengganis mendesah berat. "Maafkan aku," ucapnya lirih.
"Kenapa kau meminta maaf?" Ardi menatap gadis itu tak mengerti.
Rengganis berpaling ke arah Fitri yang terlihat sedang bicara dengan Ammar. "Dia mencintaimu. Tapi, dia lebih mencintaiku."
"Bisa lebih detil?" Ardi semakin tak mengerti.
"Maksudku, Fitri menggantungkan jawaban atas lamaranmu, karena dia ingin menjagaku. Dia ingin aku menikah lebih dulu. Masalahnya ... kautahu tidak semudah itu, 'kan?"

Ardi mengangguk faham. "Dengar, caraku memaknai hubungan kami tidak sama dengannya. Tapi, kau juga pasti tahu bahwa aku tulus mencintainya. Aku bukan lelaki baik, Rengganis. Jika berkaca dengan Nazwa, kami berbeda. Karena cara kami menghadapi masalah adalah dengan menempuh jalan yang tak sama. Aku berjanji kepadamu, aku akan menunggu Fitri sampai dia benar-benar siap. Namun, izinkan aku meminta satu hal kepadamu."
Rengganis menatap lekat kedua mata pria itu. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya pelan.
"Bangkitlah, Rengganis. Bawa kembali semua harapan yang pernah kaubuang. Masa lalu kita memang tidak sama, tapi ... rasanya tak jauh berbeda."
"Fitri ingin aku menikah. Kau tahu rasanya tidak mudah, bukan? Aku sendiri masih jijik dengan tubuh ini, Ardi. Apalagi lelaki di luar sana ...."
"Jangan menilai lelaki seburuk itu." Ardi tersenyum dan melihat ke arah Ammar. "Dia tidak seperti itu."
"Ardi ... kau berniat men ...."
"Ya." Ardi memotong ucapan Rengganis.
"Apa kau sudah gila?"
"Anggaplah aku gila. Tapi aku tergila-gila kepada sahabatmu, dan aku akan membuatmu menikah sehingga Fitri mau menerima lamaranku."

Rengganis menggeram. Ia memukul kepalanya dengan putus asa. "Pria itu ... lihatlah, dia tidak dewasa. Kau mau aku mengenalnya?"
"Dari mana kautahu Ammar tidak dewasa?"

Rengganis terdiam. Tentu saja ia tahu, cara pria itu memarahi Rengganis saat di rumah sakit, tampak jelas sifat kekanakkan di dalam dirinya.
"Kumohon. Demi aku, demi Fitri. Cobalah dulu untuk mengenalnya." Ardi meletakkan kedua tangannya di dada. Memohon dengan wajah konyol.
"Kenapa kalian justru mempersulitku?" Rengganis menghela napas berat. Pandangannya beralih ke arah Ammar. Ia menggeleng melihat tawa di wajah pria itu. "Lihatlah, dia seperti bocah sekolah menengah pertama."
"Kau akan menyukainya, Rengganis. Ammar adalah pria baik. Aku berjanji dia tidak akan menyakitimu."
Rengganis bisa melihat kejujuran di kedua mata Ardi. Ia terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban kepada sudut terpenting dalam diri. Hati.

Sementara itu, Ammar yang sudah mengetahui semua tentang Rengganis, mulai merasa kagum kepada gadis itu. "Dia gadis yang kuat," ucapnya kepada Fitri.
"Rengganis? Ya, dia sekokoh karang."
"Tapi karang juga masih bisa terkikis."
Fitri tertawa mendengar Ammar mencoba mematahkan analoginya. "Butuh waktu lama bagi ombak untuk mengikisnya, Ammar."
"Bagaimana caranya berjalan dengan semua beban itu?" Ammar memperhatikan Rengganis. Ia bisa melihat luka yang coba ditutupi di wajah gadis itu.

"Kau tidak pernah tahu dan tidak akan ingin tahu, bagaimana ia bangkit dan mencoba kembali berdiri. Sesungguhnya Rengganis masih berproses."
"Aku tahu. Tidak mudah menyelesaikan konflik dengan diri sendiri. Karena musuh terbesar datang dari dalam diri sendiri."
Ammar dan Fitri terdiam ketika Rengganis dan Ardi berjalan mendekat.

Rengganis kembali duduk tanpa peduli pada pandangan Ammar.
"Berapa kali kau sanggup menghadapi masalah yang sama, Rengganis?" Ammar mencoba menyelami dalamnya diri gadis itu.

"Adakah selain hujan yang rela jatuh berkali-kali?" Rengganis balas menatap pemuda itu. Dingin.
Ammar tersenyum seraya berkata, "Boleh saja kecewa, tapi jangan pernah berhenti percaya, bahwa setiap rintik hujan yang jatuh juga atas takdir-Nya. Untuk sebuah alasan."
Rengganis terdiam. Ia menghela napas pelan. Pria itu tidak seperti yang terlihat.

Kecewa itu lumrah dirasa oleh siapa saja. Hanya, tidak ada kecewa yang boleh mengusik percaya, bahwa angin tak pernah berhenti berembus sekali pun kita tak melihat bentuk sejuknya.

*****
(side b)

"Haruskah aku menerimanya?" Rengganis duduk di tepi ranjang dengan ponsel ia letakkan di telinga.
"Bagaimana menurutmu?" Dari seberang sana, Nazwa yang selalu dengan senang hati mendengarkan ceritanya, tersenyum menyadari kebimbangan Rengganis. "Kalau kau ingin mencoba, lakukan. Tapi jangan memaksa jika ada rasa tidak nyaman," sambung Nazwa mengingatkan.

Rengganis mendesah, ia melihat ke luar jendela dan menimbang tentang seberapa berat beban masa lalu yang akan dibawanya, jika menerima pendekatan dari Ammar. "Aku hanya takut terbebani. Aku dengan segala kekurangan ini, sementara dia dengan segala kelebihannya."
"Lebih dan kurang diri manusia tidak diukur dari masa lalunya, Rengganis. Ada yang lebih besar dari itu, dan hanya Alloh yang memiliki kuasa untuk mengukurnya."

Rengganis terdiam. Seindah apa pun kata penghiburan yang Nazwa ucapkan, baginya tiada berbeda. Ammar laksana besuta --kain sutra yang teramat halus-- dan dirinya hanya secarik kain belacu polos yang tak menarik.

"Kau layak mendapatkan yang terbaik, Rengganis. Percayalah kepada takdir-Nya."
"Aku tidak tahu, Nazwa. Kurasa, cinta tak seindah semburat jingga saat senja."
Nazwa tertawa mendengar ucapan Rengganis. "Jangan rendahkan dirimu seperti itu. Penilaian orang lain tergantung kepada penilaianmu sendiri."
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Rengganis dengan nada putus asa.
"Apa kau memiliki harapan atas hidup ini, Rengganis? Setidaknya untuk putrimu."

Rengganis memejamkan mata, mencoba menimbang setiap kemungkinan yang ada. "Kau tahu aku selalu memiliki harapan ... bahkan di tengah mimpi buruk yang coba kau hapus selama ini."
"Kalau begitu, teruslah hidup dengan harapan itu."

Rengganis menutup telepon dan berdiri, pandangannya meninggi menuju langit biru berhias awan putih di atas sana. Di balik jendela kaca, ia tersenyum kepada semesta. Seolah ingin mengatakan, bahwa ia berani mencoba dan tidak takut untuk membuka sayap dan kembali terbang mengitari cakrawala.

Di tengah kebimbangan, Rengganis merasakan sesuatu mengalir di kakinya. "Fit ... Fitri ...!" Rengganis berteriak dari dalam kamar.
"Ada apa?" Fitri menghampiri sahabatnya yang tampak sedang meringis kesakitan. "Rengganis ... ketubanmu, pecah!"
Rengganis tak menjawab. Ia merasakan kram di perut bagian bawah. Sejak semalam pinggangnya memang sudah terasa panas, tapi karena hari perkiraan kelahiran masih beberapa hari lagi, ia tidak merasa risau. Namun, siapa sangka, bayi di kandungannya seolah menolak terlalu lama di dalam sana.

Fitri menghubungi rumah sakit agar mengirimkan ambulans. "Bertahanlah. Ambulans sebentar lagi akan tiba." Gadis itu bergegas mempersiapkan keperluan Rengganis dan bayinya.

Tak menunggu lama. Ambulans tiba bersama Ardi dan seorang perawat. "Bagaimana?" Pria itu bergegas memeriksa kondisi Rengganis.
"Ketuban sudah kering. Dia harus dioperasi," ucap Fitri yang sejak tadi mencoba menenangkan sahabatnya.
"Sejak kapan dia merasakan mulas?"
"Kemarin ... kemarin," sahut Rengganis dengan napas terengah.
"Dan kau tidak mengatakannya kepadaku?" Fitri membulatkan mata ke arah Rengganis.
"Kupikir hanya mulas biasa. Karena perkiraan kelahiran masih beberapa hari lagi."
"Aku yang bidan dan kau yang merasa lebih tahu dariku?"
"Kita harus segera ke rumah sakit." Ardi memotong perdebatan kedua wanita itu. "Cepat," ucapnya kepada petugas.

Rengganis berusaha sekuat tenaga untuk tidak berteriak meskipun rasa sakit dan panas membuatnya ingin memukul sesuatu. Ia hanya bertahan dengan meremas erat pakaiannya.
***

Ammar berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Di tangannya, ia membawa beberapa kado untuk bayi yang baru dilahirkan oleh Rengganis. "Semoga kau mau bekerja sama denganku bayi kecil," gumamnya.
Sedikit ragu, Ammar membuka pintu tempat Rengganis dirawat. Senyumnya mengembang melihat Rengganis tengah terlelap. Untuk pertama kali, kedamaian terlihat jelas di wajah gadis itu.

"Apakah kautahu, betapa berharga kedamaian yang kaubawa saat tidur?" Ammar berdiri mendekat. Sejak mendengar semua tentang Rengganis, tidak ada sedikit pun keraguan di hatinya untuk menerima gadis itu. Ia bahkan telah bercerita kepada sang ibu, dan mendapat tanggapan baik.
"Tidak ada kekurangan yang bisa diukur oleh pandangan manusia. Tidak pula ada kelebihan yang bisa dilihat batasnya. Karena setiap dari kita, terlahir dengan keduanya." Begitu ucapan ibunya yang ia ingat.
"Aku akan mencintai segala kekuranganmu. Seburuk apa pun masa lalu yang kau takuti selama ini, di mataku, kau tetap gadis istimewa yang layak diperjuangkan."

Ammar tidak menyadari, Rengganis mendengar ucapannya. Gadis itu terjaga saat ia meletakkan barang bawaannya tadi.
Ada sejuk yang tak biasa dirasakan oleh Rengganis. Ia belum pernah merasakan getar dari cinta, karena selama ini ia hanya mengagumi beberapa pria yang datang melamar meskipun berujung penolakan.

"Ammar ...?"
Pemuda itu terkesiap ketika Fitri masuk bersama bayi Rengganis. "Itu ... putrinya?"
"Ya. Sejak kapan kau disini?" tanya Fitri seraya meletakkan bayi Rengganis ke ranjang khusus.
"Baru saja." Ammar mendekat dan melihat bayi itu. "Siapa namanya?" tanyanya pelan. Ia tersenyum menyadari betapa mirip bayi itu dengan ibunya. "Lihatlah, betapa cantiknya bayi kecil ini," ucapnya lirih.
"Aku ingin memberinya nama Selena atau Victoria. Tapi, sepertinya terlalu barat." Fitri tertawa dengan ucapannya sendiri.
"Bagaimana kalau ...." Ammar terdiam, matanya berputar memikirkan nama yang cocok untuk bayi kecil yang tengah terlelap di hadapannya. "Nafeesa ...."
"Arwa ...."

Semua orang menoleh ke arah suara. Nazwa dengan sebuah kado di tangannya, berdiri menatap satu per satu orang. "Arwa ...." Ia mengulangi ucapannya.
"Nafeesa. Itu nama yang bagus, wanita berharga dan cerdas ....'
"Wanita memang berharga, siapa pun namanya." Nazwa memotong ucapan pria itu.
"Baiklah. Kenapa kau menamainya Arwa?" Ammar berdiri dengan kedua tangan melipat di dada.

Nazwa tersenyum, ia meraih tubuh si kecil ke dalam gendongannya. "Arwa Al Sulayhi. Ratu terbesar di Yaman pada abad ke sebelas. Wanita pertama yang mendapatkan gelar Hujja, gelar yang biasa diberikan kepada para imam besar. Lebih dari lima puluh tahun ia memimpin, bukan hanya menegakkan syariat islam, Ratu Arwa adalah seseorang yang selalu mementingkan rakyatnya. Berdiri kokoh untuk semua orang, meletakkan kepentingan pribadi di urutan terakhir. Ratu Arwa sangat cerdas, memiliki ingatan yang sangat luar biasa. Ratu yang sangat dicintai oleh rakyatnya, ditakuti oleh pembenci yang berniat memberontaknya, bukan tanpa alasan. Karena melawan Ratu Arwa, berarti melawan seluruh rakyatnya. Percayalah, tidak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan kebersamaan dan iman."
Ammar menelan ludah mendengar penjelasan Nazwa. "Kau memilih nama yang terlalu berat. Dia tidak akan menjadi ratu seperti abad ke sebelas."
"Tapi dia akan menjadi ratu di rumahnya. Ratu yang dicintai anak-anaknya, ratu yang akan mencurahkan cinta untuk keluarganya. Karena semua wanita dilahirkan untuk menjadi seorang ratu." Nazwa mengusap hidung bayi itu lembut. " ... dan kau, adalah sebaik-baiknya ratu."
"Em ... maaf merusak kesenangan kalian." Fitri berdiri di tengah kedua orang itu dan mengarahkan pandangan kepada Rengganis, "Lalu, apa peran ibunya?" ucapnya dengan bibir yang ditarik ke belakang.

Mereka semua menoleh dan mendapati Rengganis terjaga. "Hei ...." Nazwa menyapanya dengan senyuman.
"Arwa ... Nafeesa. Kalian merasa berhak atas anakku. Apa kalian tidak ingin bertanya, nama apa yang akan aku berikan?"
"Kau sudah punya nama untuknya?" Fitri menimpali.
"Belum," sahut Rengganis cepat.
"Kalau begitu, pilih nama yang aku berikan," ucap Ammar cepat.
"Arwa adalah nama yang bagus, Rengganis." Tak mau kalah, Nazwa meletakkan bayi Rengganis kembali ke tempatnya dan berjalan mendekati Fitri. "Kau pasti setuju dengan pilihanku?"
"Aku tidak ikut campur. Jika ditanya, aku akan menamainya Sandra Bullock."
"Sandra Bullock?" Ketiga orang itu berseru serentak.
"Ya. Cantik, memiliki bentuk tubuh yang ... wow! Suaranya tegas, di usianya yang tidak muda lagi dia masih terlihat menawan."
"Baiklah. Sebelum dia memberi nama Jennifer Jolie, sebaiknya kau segera memilih. Nama apa yang cocok untuk anakmu?" Ammar berdiri mendekati Rengganis. Keningnya berkerut menunggu jawaban.

Sementara itu, Rengganis tampak kebingungan, ia melihat dua orang yang tengah bersaing itu bergantian. "Kenapa kita tidak menyatukan saja namanya? Em ... Arwa Nafeesa?"
"Aku setuju!" Fitri melompat seraya mengusap dada.
"Baiklah," ucap Ammar dan Nazwa bersamaan.
"Assalamualaikum, Arwa, aku ...."
"Hei, panggil dia Nafeesa." Ammar mendesah berat. Seolah tidak menerima nama yang disebutkan oleh Nazwa.
"Kenapa aku harus memanggilnya Nafeesa?"
"Oke ... oke. Kalian bisa memanggil sesuka hati, tolong jangan berdebat lagi. Bayi itu akan menangis jika tidak sedang tidur," ucap Fitri berusaha memisahkan dua orang dewasa di hadapannya.

Rengganis tersenyum. Ada bening yang membayang di sudut matanya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kebahagiaan seperti saat ini. Perhatian datang dari banyak orang, dari mereka yang tidak ia kenali sebelumnya.
Benar adanya, bahwa setiap musibah yang menimpa akan diikuti dengan kebaikan. Serupa hujan yang akan ditutup oleh warna indah pelangi.
***

Rengganis terjaga dan mendapati Ammar tertidur di sofa. Entah sejak kapan pemuda itu berada di sana. "Kenapa kau begitu gigih, Ammar, padahal aku masih mengabaikanmu?" gumamnya.
Berulang kali ia mencari alasan untuk menolak, tapi yang terlihat dari diri pria itu selalu kebaikan.

"Assalamualaikum." Nazwa melangkah masuk dengan koper kecil di tangannya."
"Waalaikumsallam ... kau akan kembali hari ini?" tanya Rengganis lemas.
"Ya, aku hanya bisa libur lima hari. Jaga dirimu baik-baik, Rengganis." Nazwa menoleh ke arah Ammar, ia tersenyum seraya berucap, "Dia pemuda yang baik."
Rengganis tersenyum, kedua pipinya merona. "Terlalu baik, mungkin," ucapnya lirih.
"Tidak ada ukuran terlalu baik dan terlalu buruk di dalam diri manusia, Rengganis. Tergantung bagaimana kau menilai, jika kau melihat satu keburukan di dalam dirinya, itulah manusia. Jika kaulihat sedikit kebaikan, dia masih manusia."

Rengganis menatap Nazwa lekat. "Bagaimana kau bisa begitu baik kepadaku? Mengajariku banyak hal, mengingatkan meskipun tak selalu kudengarkan."
"Karena sebaik-baiknya teman adalah yang menarikmu menuju kebaikan, sekalipun kau menolak dan mengabaikannya."

Rengganis mengangguk pelan. Itulah yang dilakukan Nazwa selama ini, menyeretnya sekuat tenaga menuju kebaikan. Tidak berhenti meskipun mendapat penolakan. Karena berbuat baik bukan tentang sebuah penerimaan, tapi tentang seberapa tebal keikhlasan. Seperti payung yang dicari hanya saat hujan datang dan ditinggalkan di sudut ruang saat mendung telah hilang.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER