Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 17 Desember 2020

Rengganis #5

Cerita Bersambung
(side a)
Ammar tersenyum melihat betapa lucu sepatu merah muda di tangannya. Ia sudah berada di toko itu selama tiga jam. Setiap yang tampak lucu ia beli, tak peduli apakah terpakai atau tidak.

Ada cinta untuk bayi itu di hati Ammar. Cinta yang ia tak tahu dari mana datangnya. Bukan karena ingin mendapatkan hati Rengganis, tapi ia benar-benar menyayangi Arwa. Sepenuh hatinya.

"Aku tidak peduli siapa ayahmu. Karena aku siap menjadi lebih dari sekadar ayah untukmu." Ia tersenyum, diraihnya sebuah pita berwarna merah dari pajangan. "Rambutmu tebal, aku akan ikatkan ini di kepalamu," ucapnya seraya melangkah menuju kasir.

"Ini semua belanjaan anda?" Kasir itu tampak tidak percaya.
"Em ... sepertinya hanya aku yang ada di toko ini," ucap Ammar dengan wajah datar.
Tanpa mengatakan apa pun, kasir itu mulai menghitung jumlah pembelian Ammar yang sedikit tidak wajar. "Kartu kredit atau ...."
"Cash!" sahut Ammar sebelum kasir itu meneruskan ucapannya.

Ammar melangkah meninggalkan toko itu dengan wajah merona bahagia. "Apa aku harus memanggilmu Arwa atau Nafeesa?" Sepanjang jalan Ammar bicara seorang diri, tak peduli pada mata yang memandang dan senyum tanya yang melintas dari orang-orang sekelilingnya.

Dari pusat perbelanjaan itu, Ammar langsung mengemudi menuju apartemen Rengganis. Hatinya benar-benar tak sabar ingin memasangkan pita-pita lucu di kepala Arwa. "Aku yakin kau akan sangat cantik dengan pita yang aku beli."

Mobilnya melesat cepat membelah jalanan di Kota Jakarta. Menembus angin dan melewati kendaraan lain.
"Daddy ... bukan, jangan Daddy. Em ... Abi terdengar lebih sederhana." Pria itu melangkah tegas menyusuri lorong menuju pintu bernomor 071. "Tunggu, Abi terlalu umum. Bagaimana kalau Ayah?" Ammar mengangguk pelan seraya tersenyum, ia merasa puas dengan isi kepalanya sendiri.

Di depan pintu Rengganis ia berdiri sesaat dan menghela napas. Mempersiapkan diri melihat pujaan hati dan sang bayi yang baru berusia lima belas hari. Ditekannya bel sekali.

"Arwa ... Ayah datang," ucapnya dengan penuh keyakinan.
"Hei ... Ammar." Fitri tercengang melihat barang yang Ammar bawa. "Kau akan membuka toko perlengkapan bayi?" tanyanya tak percaya.
"Ini untuk Arwaku," jawab Ammar seraya melangkah melewati Fitri yang masih mematung. "Hai ...." Langkah Ammar terhenti saat melihat Rengganis sedang makan.

Sama seperti Fitri, Rengganis membulatkan kedua mata saat melihat barang bawaan pria itu. "Apa kau baru saja mengosongkan isi toko?" tanyanya dengan suara serak akibat batuk.

Ammar tak menjawab, ia meletakkan barang-barang itu di sofa dan menatap sekeliling, "Di mana Arwa?" tanyanya.
"Oh ... kau memanggilnya Arwa. Aku baru tahu kau mengalah kepada Nazwa," ucap Rengganis sambil terkekeh.
"Di mana Arwa?" Ammar mengulangi. Ia tampak tidak tertarik dengan lelucon Rengganis.
"Sedang tidur di kamar."
"Aku membelikannya ini dan akan memasangkannya sekarang. Aku ingin memotret dan menjadikannya walpaper di ponsel."

Fitri tersenyum melihat Ammar mengeluarkan pita merah dari kantong belanjanya. Begitu pula Rengganis, ada desir aneh yang coba ia sembunyikan agar tidak disadari oleh Fitri.

"Em, Ammar ...."
"Nanti dulu, aku ingin memasangkan ini." Ammar melangkah cepat ke kamar Rengganis. "Aku benar-benar tak sabar melihatmu memakai pita ... ya Allah!" Ammar berlari keluar kamar dan menatap Rengganis tegang.
"Ada apa?" tanya Rengganis dan Fitri kompak.
"Apa yang kalian lakukan pada kepalanya? Aku masih ingat rambutnya hitam dan tebal beberapa hari yang lalu."
Rengganis terkekeh melihat wajah Ammar yang terlihat konyol.

Pandangan Ammar beralih kepada Fitri, "Fitri, apa yang kalian lakukan pada kepala bayi itu?"
"Kami mencukur rambutnya, Ammar," sahut Fitri dengan tawa tertahan.
"Tega sekali kalian?"
"Jangan khawatir, rambutnya akan tumbuh tidak lama lagi." Rengganis menimpali. "Lagi pula, kau membelikannya pita. Benda itu tidak bisa dipakai sampai usianya tiga bulan, Ammar," sambung Rengganis.
"Aku membelikannya banyak." Ammar mengeluarkan semua pita yang ia beli tadi.
"Tenang saja. Pitamu tidak akan membusuk." Fitri mengambil semua kantong belanjaan Ammar dan membawanya ke kamar Rengganis. Gadis itu sengaja meninggalkan sepasang manusia itu, ia berharap mereka terlibat omongan serius. Membicarakan hati dan saling mengungkapkan rasa.

Rengganis menggigit bibir bawahnya saat menyadari mereka hanya tinggal berdua. Ia teringat ucapan Nazwa beberapa hari yang lalu soal Ammar dan perasaannya.

"Jangan menutup hati yang terbuka, karena setiap rasa akan benar jika keluarnya dari sana."
Rengganis mendesah pelan. Tidak ada salahnya mencoba. Begitu pikirnya.
"Apa kesibukanmu, Ammar?" tanyanya ragu.
"Tidak ada. Aku ingin membuka sebuah perusahaan travel di sini." Ammar menatap Rengganis lembut.

Wanita yang duduk tak jauh darinya itu tampak cantik meski tanpa riasan. Tidak ada pewarna pada bibir merah muda yang membentuk indah di sana. Tidak ada ukiran pada alis hitam dan tebalnya. Suaranya lembut serupa bayu yang berembus mengalirkan sejuk. Potret keindahan yang Allah cipta. Ujian iman bagi banyak pria.

"Boleh aku bicara denganmu?"
"Kau sudah bicara denganku sejak tadi," ucap Rengganis diiringi tawa renyah.
"Maksudku, bicara serius."
Rengganis menunduk, "Aku tahu apa yang akan kau bicarakan, Ammar."
Ammar tersenyum. Ia tahu, rasanya akan disambut oleh gadis itu. "Kalau begitu, mungkinkah kesempatan itu ada untukku?"
Rengganis mendesah pelan, tangannya mengepal menahan gugup. "Apa yang membuatmu tertarik kepadaku? Dengan masa lalu dan ...." Rengganis mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar yang tertutup. " ... kau tahu maksudku," ucapnya kemudian.

Ammar tersenyum, ia berdiri dan melangkah mendekati Rengganis. "Aku tidak tertarik kepadamu. Aku juga tidak berani mengatakan cinta, karena aku tidak tahu bagaimana memaknainya. Aku hanya melihat keindahan dari sikap dan caramu menjalani ujian. Aku punya masa kecil yang tidak baik, Rengganis. Aku juga memiliki masa lalu yang mungkin akan membuatmu menolakku. Mengenalmu, mengajarkan arti sabar yang sesungguhnya. Betapa kau kokoh bagaikan karang, cerah tapi sinarnya tidak menyakitkan."
"Aku tidak tertarik pada masa lalumu, Ammar. Karena kita hidup untuk masa depan."
"Tapi kau tetap harus tahu." Ammar duduk di hadapan Rengganis yang masih belum menghabiskan makanannya.
"Ceritakanlah," ucap Rengganis singkat.
"Aku memiliki seorang putra." Ammar diam. Ia menunggu reaksi Rengganis atas pengakuannya.
"Lalu?" Rengganis menatap Ammar sekilas. Tentu saja itu membuat Rengganis terkejut, tapi, ia memilih untuk tampak biasa saja. Agar Ammar leluasa dengan memorinya.
"Ya ... usianya menginjak tujuh tahun. Ibunya adalah cinta pertama dalam hidupku, orang pertama pula yang mematahkan hatiku. Pernikahan terindah yang pernah aku impikan, tapi malam itu ... membuatku memutuskan untuk pergi darinya." Ammar memejamkan mata, mengingat kembali kejadian dua tahun silam. Kejadian yang membuatnya berhenti jatuh cinta.
***

"Arini?" Kedua tangan Ammar mengepal kuat. Ia berlari mencengkeram leher pria yang berada di ranjang bersama istrinya. Di kamarnya. "Brengsek ...!" Satu pukulan mendarat di wajah pria yang tak lain adalah sepupunya sendiri.
"Ammar ...." Arini mencoba menghentikan amarah suaminya. "Ammar, cukup. Kalau kau memukulnya lagi, aku akan melompat." Arini berdiri di jendela dan bersiap melompat.
Melihat itu membuat Ammar berhenti. "Kalian menjijikkan ...!" Ammar melangkah keluar kamar dengan membawa kemarahan.
"Ayah ...." Suara kecil Zaneeka menghentikan langkahnya.
"Hei, jagoan." Ammar memeluk tubuh mungil itu. "Ayah harus pergi, kita tidak akan bertemu untuk waktu yang lama," ucap Ammar dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Melihat sosok tak berdosa di hadapannya itu membuat Ammar tak mengerti, apa yang membuat Arini berselingkuh.

"Ayah mau ke mana? Apa Ayah akan pulang untuk melihatku?"
Ammar tak kuasa menahan bening yang terus lolos jatuh dari kedua matanya. "Ayah akan kembali. Tapi sekarang, berjanjilah untuk menjadi anak baik."
Zaneeka mengangguk cepat. "Aku berjanji," ucap bocah berambut ikal itu lembut.

Ammar melangkah keluar dari rumah, meninggalkan istri dan buah hatinya. Sudah lama ia mendengar kabar perselingkuhan Arini, tapi ia tak pernah percaya. Karena Arini, wanita paling terhormat di matanya. Lalu pagi ini, ia kembali dan mendapati sang istri sedang memeluk pria lain di ranjangnya. Ammar sengaja mengatakan kepada Arini akan keluar kota selama lima hari, tapi ia kembali setelah tiga hari. Bukan untuk membuktikan kabar angin itu, tapi untuk memberi kejutan di hari ulang tahun sang istri.

Ia selalu menuruti keinginan Arini, berusaha membuat wanita itu bahagia. Seberapa sulit pun langkahnya, ia hanya ingin melihat Arini bahagia. Namun, cintanya hanya berbalas luka.
Jatuh cinta serupa menanam mawar. Ada bunga yang begitu indah, ada pula duri yang kapan saja dapat menyebabkan luka tanpa berdarah.
***

Rengganis menelan ludah getir. Ia tidak menyangka, di balik sikap konyolnya, Ammar pernah terluka. "Kau belum menemui putramu lagi?" tanyanya ragu.
"Aku mencarinya satu tahun belakangan. Terakhir, aku dengar kabar Arini membawanya ke Singapura."
"Apa kalian sudah bercerai?"

Ammar tersenyum, ia tahu arah pembicaraan Rengganis. "Sudah. Aku pergi dengan surat kuasa dan Arini menerima keputusan itu."
Rengganis menghela napas lega. Harapannya kini tampak jelas di depan mata. Masa depan bagi buah hatinya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk menjagamu dan Arwa, Rengganis?"
"Kautahu apa yang harus kaulakukan, Ammar." Rengganis membalas tatapan pria itu.
"Izinkan aku menjadi Ayah untuk Arwa. Menjadi teman untukmu, mari bersama kita berjalan mengejar kebaikan. Aku bukan lelaku saleh, Rengganis. Tapi bersamamu, aku ingin menjadi imam yang benar."

Bak rinai, air mata jatuh dari netra bening Rengganis. Tangisnya tanpa suara, pun begitu dengan bahagianya. Di hadapannya, lelaki yang datang dengan ketulusan tengah menunggu jawaban.

Harapan memang milik semua orang, tapi tidak semua harapan Allah kabulkan. Hanya yang baik menurut-Nya yang akan terjadi. Sungguh, janji Alloh tak akan pernah menyakiti.
Rengganis mengangguk pelan. Jauh di lubuk hatinya, ia percaya bahwa rasa yang baru pertama kali ini tidak akan melukai dirinya dan Arwa.
Sementara itu, di dalam kamar, Fitri yang diam-diam mendengarkan pembicaraan keduanya, hanya bisa terisak sebab haru dan bahagia.

"Kau menemukannya, Rengganis. Kau menemukannya," bisiknya lirih. Ia mengusap lembut wajah Arwa yang masih terlelap, "Kau memiliki seorang Ayah, Arwa. Di luar sana, masa depanmu tergambar indah."

Luka adalah bagian dari rasa, serupa bahagia yang ingin diraih siapa saja.
Tidak ada satu manusia pun yang dapat menebak rencana-Nya. Ketika malam dihadiahi gelap dan siang diterangi terik mentari. Maka, tidak ada tangis yang tak diiringi bahagia yang dihadiahkan kepada mereka yang sabar. Hanya Dia yang tahu, kapan ujian akan tiba.

*****
(side b)

Rengganis sedang membaca seraya menemani Arwa tidur di kamar. Matanya menyipit ketika ia mendengar suara pintu dibuka, perlahan ia turun dari ranjang dan memegang erat buku setebal 210 halaman di tangan.
"Ammar ...!" teriaknya saat membuka pintu kamar dan melihat Ammar berdiri dengan tas belanja di tangannya. "Kau belanja?"
Ammar mengangguk dengan wajah polos. "Ya," sahutnya santai.
"Lagi?" Rengganis melangkah mengikuti pemuda itu ke dapur.
"Ini keperluan dapur. Ardi bilang, kau harus banyak mengkonsumsi buah dan sayur, jadi aku membelinya. Oh, ya, jangan makan sembarangan. Aku membeli beras merah organik untuk menggantikan beras putihmu."

Rengganis duduk dengan kedua tangan ia letakkan di dagu. "Kau cocok menjadi bapak rumah tangga. Apa aku harus bekerja dan kau di rumah, kalau kita menikah nanti?"
"Kau bicara soal menikah? Oh, God! Seriuously?" Mata Ammar berkilau bak seekor anak kucing menatap Rengganis. "When?" tanyanya dengan penuh semangat.
"Secepatnya. Aku tidak ingin kau terus datang dan mengganggu. Jujur saja, aku menerimamu agar dosa tak selalu datang dalam diamnya kita."

Ammar mendesah senang. "Aku akan menikahimu, Rengganis. Secepatnya. Aku akan minta Ibu mengurus semuanya. Oh, ya, Ibu akan mengunjungimu pekan depan."
Rengganis menelan ludah gugup. "Apa ibumu tahu kalau Arwa ...."
"Ibuku tahu semuanya. Aku sudah katakan kepadamu, Ibu adalah wanita dengan hati seluas samudra."
Rengganis memukul lengan pemuda itu dengan buku, "Kau terkadang menggemaskan."
"Buku apa yang kaubaca itu?" tanya Ammar ingin tahu.
"Oh, ini ... sebuah novel yang sejak awal membaca membuatku jatuh cinta. Tidak bisa ditebak apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Novel ini mengajarkan kepada kita, bahwa yang tampak buruk, tidak selalu buruk. Akan ada jawaban jika kita bersedia mencarinya. Juga tentang kekuatan dan kepasrahan manusia akan takdir-Nya. Bahwa hidup bukanlah Surga, tak akan pernah cukup indah untuk manusia."

Kini, Ammar yang menatap Rengganis dengan senyum tertahan. "Apa judulnya? Aku akan membeli itu untuk belajar memaknai hidup dan penilaian. Apa buku itu layak dibeli?"
"Hem ... sangat pantas untuk dimiliki. Aku yakin, bagian penutupan buku ini akan membuat pembaca bersyukur dan lebih bersyukur lagi atas hidupnya."
"Siapa penulisnya?" Ammar bangkit dan berniat merebut buku itu dari Rengganis.
"Judulnya Diana, penulis Dari Dee. Sungguh, kau akan menyukainya."

Ammar kembali duduk dan menuangkan air ke gelas di hadapannya. "Baiklah, lewati urusan buku. Bagaimana kabar Arwa?" tanya Ammar.
"Dia rewel tadi malam, tapi sudah lebih baik. Pulanglah, Ammar. Jangan biarkan fitnah menguar dari nama kita." Rengganis menatap Ammar dengan mata menyipit.
"Baiklah, Tuan Putri. Aku akan pulang, tapi nanti aku akan menghubungimu untuk membicarakan tanggal pernikahan."

Pipi Rengganis berubah merah jambu, ia menunduk merasakan panas menjalar di wajahnya. "Pulanglah cepat!" serunya seraya menahan tawa.

Beriring tawa dan langkah menggetarkan bahagia, Ammar melangkah ke pintu. Namun, ia berbalik sebelum membuka pintu. Ditatapnya Rengganis seraya berujar, "Rengganis. Ingatlah, kau dan aku adalah kita, dan kita, satu!"
"Ammar ... sungguh, kau tidak berbakat menjadi romantis!" Rengganis tertawa geli dengan kedua tangan menahan perut yang terasa sakit saat tertawa.

Setelah Ammar pergi, Rengganis kembali ke kamar untuk melihat Arwa. "Genap satu bulan usiamu, Sayang. Ibu akan memberimu harapan yang tidak pernah Ibu miliki dulu," ucapnya lirih seraya mengusap lembut pipi bayi yang sedang terlelap itu.

Rengganis memejamkan mata, ia teringat apa yang Nazwa katakan beberapa waktu lalu.
"Jangan percaya pada apa yang kau lihat, apa yang kau pikirkan. Karena sebagian besar penilaian manusia adalah godaan setan. Salatlah, tanyakan kepada-Nya apa yang harus kau percayai."
Rengganis mendesah pelan, "Aku percaya kepadanya, Nazwa," ucapnya seraya berbaring di sisi sang buah hati. "Kebahagiaan itu seperti matahari, jauh jika kita ingin menjangkau, tapi dekat jika kita hanya merasakan hangatnya saja."

Keinginan manusia yang banyak memengaruhi penilaian terhadap sesuatu.
***

"Kau sudah siap?" Fitri berdiri di pintu menatap Rengganis yang tampak gugup.
"Fit, bagaimana kalau ternyata ibunya menolakku?" tanya Rengganis seraya menatap bayangan Fitri di cermin.
"Jangan biarkan rasa takut menghalangi langkahmu menjemput bahagia, Rengganis," ucap Fitri lembut.

Rengganis memejamkan mata, mencoba bicara dengan diri sendiri, meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja.
"Hei ... kau harus meyakini bahwa pilihanmu benar, agar saat ada rasa sakit, kau bisa terus bertahan." Fitri mengusap lengan Rengganis lembut. "Cepatlah, sebentar lagi mereka akan datang. Aku akan menyiapkan Arwa," ucap Fitri seraya berlalu.

Rengganis bergegas bersiap, jika biasanya ia membiarkan rambut panjangnya tergerai, kali ini ia mengikatnya ke atas. "Mungkin begini lebih baik," gumamnya.
"Assalamualaikum ...."

Rengganis merasa kakinya gemetar saat mendengar suara Ammar di luar. "Kau bisa, Rengganis." Sejenak ia memejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang Nazwa ucapkan tadi sore.

"Allah tidak akan memberi yang buruk, manusialah yang berprasangka buruk kepada-Nya. Manusia terlalu takut mengakui kalau dirinya lemah, sehingga mencoba menuntut sesuatu yang tidak ia butuhkan. Percayalah, Rengganis, jika Ammar datang dengan niat baik, maka ia juga akan menetap dengan memberi kebaikan, dan sekali pun ia pergi, perginya adalah untuk kebaikan."
"Rengganis ...."
"Ya," sahut Rengganis seraya berjalan mendekati Fitri yang melongokkan kepalanya di celah pintu.
"Kau siap?" Fitri mengulum senyum ketika menangkap gugup di wajah sahabatnya itu.
Rengganis menghela napas panjang, "Aku siap," serunya dengan kedua tangan mengepal, mencoba menahan gemetar di seluruh tubuhnya.

Fitri mengusap lembut punggung Rengganis saat mereka berjalan mendekati Ammar.
"Hei ...." Ammar menatap Rengganis dan menghadiahi gadis itu senyuman. Tidak ada sorot selain ketulusan yang memancar di kedua mata pemuda itu. "Kau siap?" tanyanya lembut.
"Ya." Dengan tegas Rengganis mengangguk.

Mereka berjalan ke ruang tamu bersama, langkah keduanya membelah udara yang mengalun bak senandung. Siapa pun pasti berdecak kagum melihat kecocokan di antara keduanya.

"Bu, ini Rengganis ... Rengganis, ini Ibu dan Quenzi, adikku."
Rengganis mengernyit, ia tidak pernah tahu kalau Ammar memiliki seorang adik.

"Q baru saja tiba dari Mesir," ucap Ammar seolah tahu apa yang Rengganis pikirkan.
"Inikah gadis yang berhasil menarik putraku dari dasar sumur yang gelap?" Dengan lembut ibu memeluk Rengganis, senyumnya tulus menerima kehadiran gadis pilihan Ammar. "Terima kasih, Rengganis. Terima kasih telah mengembalikan putraku," bisik ibu pelan.

Rengganis hanya tersenyum, ia tahu ucapan itu tak perlu ditanggapi. "Apa kabar ... Bu," tanya Rengganis gugup. Sudah lama ia tidak mengucapkan kata 'ibu', membuat lidahnya kelu, dan perlahan hati dialiri pilu. Tiba-tiba saja ia merasakan rindu untuk sang ibu.

"Hai, calon Kakak Ipar." Pemuda berwajah lebih Arab daripada Ammar itu menjabat paksa tangan Rengganis. "Panggil aku Q. Aku adiknya meskipun aku lebih tampan dari dia," ucap Quenzi diiringi seringai konyol.
"Q ...."

Pemuda itu menutup rapat mulutnya setelah mendapat tatapan membunuh Ammar.
"Aku sudah mengagumi dirimu bahkan sebelum bertemu, Rengganis," ucap ibu seraya mengusap tangan Rengganis lembut. "Aku selalu mendamba seorang anak perempuan, tapi Allah memberi dua putra yang sifatnya seperi siang dan malam. Selalu berlawanan."

Rengganis tersenyum, rasa gugup yang mendebarkan dadanya telah lenyap. "Aku bisa melihat itu dengan jelas, Bu," ucapnya.
"Ehem ...." Merasa diabaikan, Fitri berdeham cukup kuat, membuat bayi dalam gendongannya menggeliat hingga seluruh wajahnya memerah.

"Oh, Bu, ini Fitri ... satu-satunya keluarga yang aku punya. Dan ...." Rengganis menggigit bibir bawahnya kuat. Ia takut menunjukkan bayinya kepada ibu.
"Arwa." Ammar menimpali.
"Masyaa Alloh ... cantik sekali cucuku ini."
"Kak, kau beruntung. Mendapatkan istri dan anak di saat yang sama!" Quenzi mendekati Arwa dan menyentuh hidungnya. "Hei, gadis kecil. Bangunlah, ayo kita bermain," sambungnya.

Pemandangan itu membuat Rengganis menangis. Ia berlari menuju dapur dengan air mata yang mengalir deras tanpa jeda.
Menyadari hal itu, Ammar segera menyusul Rengganis. "Hei ... hei, ada apa?" tanyanya panik.
"Apa yang aku lakukan, Ammar? Keluargamu terlalu baik untukku," ucapnya di sela isak tangis.
"Bukan kami yang terlalu baik, tapi kamu yang terlalu sempurna. Kautahu, jauh sebelum bertemu denganmu, aku selalu meminta agar Dia menghapus seluruh cinta di dalam hati ini. Tapi, hampir setiap malam mimpi itu mengganggu dan membuatku bertanya-tanya." Ammar terdiam, matanya terpejam seperti memikirkan sesuatu.
"Mimpi apa?" tanya Rengganis parau.
"Hampir setiap malam aku melihat seorang gadis berdiri membelakangiku, mengenakan gamis dan kerudung berwarna merah marun. Saat melihatmu di rumah sakit waktu itu, aku merasa telah mengenalmu cukup lama. Ibu bilang, itu adalah kebaikan yang datang tanpa harus kukejar."

Rengganis tersenyum, tangisnya kini telah reda. "Apa kau percaya, jika aku mengatakan mendapat mimpi yang sama? Seorang pemuda dengan setelan koko berwarna putih, berdiri membelakangiku. Aku tidak tahu seperti apa wajahnya, tapi kini aku melihatnya dengan jelas."

Keduanya terdiam. Meresapi keindahan dari rasa.
"Karena tidak ada cinta terbaik selain yang dihadiahkan oleh-Nya."
Keduanya terkesiap melihat ibu sudah berdiri di sana, dengan senyum yang mengalirkan kebaikan.
"Percayalah, hanya Dia yang tahu kapan saat yang tepat membuat kita semua merasa benar-benar bahagia."

Tidak ada yang bisa memasuki dalamnya hati seseorang, entah itu suka ataukah duka yang tersimpan di dasarnya. Namun, jika Dia telah membuka sedikit saja jalan, maka yang dikehendakinya akan dengan mudah saling menemukan.

Karena sejauh apa pun hati terpisah, jika telah ditakdirkan bersama, maka keduanya akan saling menemukan.

Seindah itulah Alloh menuliskan kehendak-Nya.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER