Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 18 Desember 2020

Rengganis #6

Cerita Bersambung

Ammar sedang duduk di teras belakang ketika ibu mendekati dengan segelas kopi di tangan. Wanita itu tersenyum melihat wajah putranya kembali memiliki gairah. Sejak perceraiannya, Ammar jarang sekali bicara di rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktu di luaran dan pulang hanya untuk istirahat.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya ibu seraya meletakkan gelas di hadapan Ammar. "Gugup?" tanyanya lagi.
Ammar terkekeh, "Aku tidak gugup. Hanya sedang memikirkan cara untuk bicara kepada Ayah."

"Kau sudah dewasa, kehendak ayahmu tidak lagi penting. Kebahagiaanmu adalah utama," bisik ibu seraya mengusap lengan Ammar lembut.
"Ayah menjodohkan aku dengan putri temannya. Ibu tahu betapa sulit menolak keinginan orang tua itu."
"Ya, Ibu tahu. Tapi itu bukan alasan untukmu mengabaikan kebahagiaan."
"Kenapa Ibu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi?" Ammar melihat ibunya lekat. Ia tahu, wanita itu masih menyimpan perasaan kepada ayahnya. Rasa yang besarnya tak berkurang meskipun sudah dikhianati.

"Ibu cukup bahagia tanpa pendamping, Ammar. Allah memberi dua putra yang selalu menjaga Ibu, apa lagi yang ingin dicari?"
Ammar selalu merasa beruntung karena terlahir dari wanita luar biasa. Tidak sekali pun keluhan terucap oleh sang ibu.
"Apa rencanamu setelah ini? Tanggal pernikahan kalian hanya beberapa hari lagi."
Ammar kembali bersandar, sudah dua hari ia menutupi rasa rindu kepada sang putra. "Aku berusaha menghubungi Arini ...."
"Kau masih mengharapkannya?"
"Tidak, Bu. Aku hanya ingin Zaneeka hadir di hari pernikahanku."
"Apa tanggapan Arini?"

Ammar menunduk dalam. Belum lama dirinya berhasil menemukan keberadaan sang mantan istri, ia bahkan menggadaikan harga diri dengan berlutut di hadapan keluarga Arini, hanya untuk meminta kontak wanita itu. "Dia tidak bersedia mengantarkan Zaneeka."
"Apa yang akan kaulakukan?" Ibu mengusap lengan Ammar lembut.
"Aku tidak tahu. Mungkin aku akan bersujud untuk mendapat izin bertemu dengannya."

Jauh di lubuk hatinya, Ammar merasa bersalah telah pergi. Ia meninggalkan putranya karena rasa kecewa, padahal bisa saja dirinya menuntut hak asuh atas Zaneeka saat itu.
Terkadang, hati yang merasa sedang tersakiti adalah yang paling mudah melakukan kesalahan.
***

"Kau akan menikah." Fitri memeluk Rengganis yang sedang mencoba gaun pengantinnya.
"Aku tidak percaya, perkenalan yang singkat justru yang menemani langkahku yang panjang," ucap Rengganis pelan. Ia masih ingat raut tulus di wajah Ammar, ketika meminta untuk menjadi ayah bagi Arwa. "Dia melamarku, tapi tidak untuk menjadi suami. Dia melamarku, untuk menjadi Ayah Arwa. Bagiku, itulah hal terbesar yang kubutuhkan, Fit."
"Ya, sebab yang mencintaimu belum tentu mencintai Arwa. Tapi yang mencintai Arwa, sudah pasti mencintaimu."
"Ammar ...?" Rengganis berbalik setelah melihat bayangan calon suaminya di cermin. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya cepat.
"Melihat calon istriku," sahut Ammar seraya berjalan mendekati Rengganis.
"Hey, Tuan. Kau dilarang menemui pengantin wanita. Pernikahan kalian tinggal lima hari lagi, bersabarlah."

Ammar mendesah putus asa. "Fitri, ayolah. Aku hanya ingin memberikan sesuatu kepadanya," pinta Ammar dengan nada memohon.
"Lima menit," ucap Fitri mengalah. Gadis itu melangkah meninggalkan keduanya.
"Ammar, ibumu akan marah kalau tahu kau menemuiku."
Ammar tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. "Aku hanya ingin memberikan ini," ucapnya seraya menunjukkan kalung dengan liontin bunga matahari.

Rengganis menatap Ammar lekat. "Kau bisa memberikan itu di hari pernikahan, atau kau bisa saja mengirim Q ke sini."
"Sesuatu yang istimewa untuk gadis istimewa, harus diberikan oleh orang yang istimewa pula."
"Oh, Ammar ... aku benci saat kau mencoba bersikap romantis."

Keduanya tertawa. Ammar memang bukan pria romantis, ia hanya berusaha membuat wanita yang dicintainya merasa berharga. "Kau sangat berharga, Rengganis. Sangat ...," ucapnya lirih.
"Benarkah? Kalau begitu ...."

Rengganis menghentikan ucapannya karena ponsel Ammar berdering.
"Sebentar ini hanya pesan," ucap Ammar seraya membaca pesan di ponselnya. Kening pria itu berkerut, entah apa yang membuat senyum di wajahnya memudar.
"Ada apa?" tanya Rengganis.
"Ayahku. Dia selalu berhasil membuat suasana hati siapa saja memburuk. Em ... aku harus pergi sekarang."
"Baiklah. Jangan lupa, aku sudah meminta Q mengambil seragam di toko. Ingatkan dia."
"Siap, Nona." Ammar menunduk dengan satu tangan di belakang. "Ngomong-ngomong, aku suka yang kau kenakan itu. Kuning gading lebih cocok untuk kulit merah mudamu."
"Ammar ...!"

Belum sempat Rengganis menghadiahinya pukulan, Ammar berlari meninggalkan gadis itu.
Mungkin Rengganis tidak mencari, tidak juga menunggu. Ia hanya berdiam di tengah para pencari dan penanti, hingga bencana datang dan merenggut separuh dari hidupnya. Rencana Allah tidak pernah mendua, indah tetaplah indah meskipun dibuka dengan luka.
***

"Kak, lihat aku." Quenzi berdiri dengan tukdedo marun yang membuat tubuhnya semakin gagah. "Aku tidak salah saat mengatakan aku lebih tampan darimu," ucapnya dengan kedua tangan melipat di dada.
"Q ... kurangi rasa percaya dirimu yang hampit menembus batas langit itu. Wanita tidak akan mendekat jika sikap itu masih berdiri kokoh di pikiranmu."
Quenzi terkekeh, "Kau menyebalkan saat sedang gugup, Kak."
"Aku tidak gugup," bantah Ammar seraya mengusap rambut yang baru dipotongnya.
"Lusa kau akan menikah. Aku berharap menemukan wanita seperti wanitamu, Kak. Kokoh dan tegar."

Ammar hanya tersenyum. Ia membenarkan ucapan adiknya. Rengganis adalah wanita kedua yang paling ia hormati, setelah sang ibu. "Aku memang beruntung," gumamnya.
"Atau harus kurebut Rengganis darimu, Kak?"
"Jaga bicaramu!" Ammar memukul kepala Quenzi kuat. "Dia Kakak iparmu, jangan memanggilnya hanya dengan nama. Usiamu masih sembilan belas tahun."
"Kau cemburu?" Quenzi tertawa keras menggoda kakaknya. "Tapi aku serius, kau sangat beruntung, Kak," sambungnya tulus.

Ammar berjalan menuju jendela dan melihat betapa langit sangat biru di atas sana. "Duka dan suka itu seperti langit dan bumi, meskipun berjauhan tapi tetap lekat dalam pandangan."
"Kau sudah mengabari Ayah?"
Pertanyaan Quenzi menyadarkan Ammar. Napasnya terasa berat setiap kali teringat penilaian sang ayah terhadap Rengganis.

"Kau menikahi wanita korban perkosaan?"
"Ya, Ayah ... dia korban perkosaan," sahut Ammar geram. Andai saja mereka berdiri berhadapan, maka kepal kuatnya akan mendarat di wajah sang ayah.
"Apa kau sudah kehabisan akal, Ammar? Istri adalah lambang harga diri dari suami. Di mana harga dirimu jika menikahi gadis itu?"

Ammar menggenggam kuat tirai jendela, amarahnya sudah sampai dada dan siap untuk diteriakkan. Namun, ia tahu itu akan percuma, hanya membuang waktu sebab ayahnya berada di seberang sana.

"Apa yang akan orang katakan jika menantuku sekotor itu?"
"Berlian tetaplah berlian meskipun berada di antara kotoran. Harganya tidak berkurang sedikit pun."
Terdengar gelak tawa dari seberang sana, tampaknya sang ayah merasa ucapannya adalah lelucon.
"Tertawalah, Yah. Tertawakan pilihanku. Sama seperti ketika ayahmu tertawa ketika Ayah menikahi Ibu. Kenyataannya, Ibu memang tidak pantas untukmu. Dia terlalu berharga jika harus berada dalam genggaman kotormu."
"Jaga bicaramu, Ammar. Aku ini ayahmu!"

Ammar menjauhkan telepon dari telinganya, dan mendekatkan kembali setelah teriakan sang ayah reda. "Allah hanya akan memberi apa yang pantas kita dapatkan. Dulu, Dia memberimu Ibu untuk menguji. Lalu Ayah pergi dan Allah tunjukkan betapa tidak pantasnya Ayah memiliki kebahagiaan."
"Ammar ...."

Belum sempat sang ayah meneruskan amarahnya, Ammar segera memutus sambungan telepon dan melempar ponselnya ke atas ranjang.
Baginya, Rengganis adalah yang terbaik. Satu yang berkilau di antara jutaan bintang di atas sana.
"Kakak ...!" Quenzi memukul pundak Ammar kuat.
"Ada apa?"
"Kau tidak menjawab pertanyaanku. Bagaimana tanggapan Ayah?" Quenzi mengulangi pertanyaannya dengan geram.
"Aku tidak tertarik dengan tanggapannya. Pun aku tidak butuh dia hadir di hari pernikahanku," ucap Ammar tegas.
"Lalu, apa kau sudah mendapat jawaban dari Arini?" Quenzi menyusul Ammar menuju jendela.
"Ya ... dia tidak bersedia mengantarkan Zaneeka." Ammar menelan ludah getir. Ia sangat berharap putranya hadir dan bertemu dengan Rengganis.
"Abaikan mereka. Aku tahu kau sangat menyayangi Zaneeka, tapi, jika usahamu untuk bertemu dengannya justru akan mengacaukan pernikahan ini, sebaiknya berdiam diri dan tunggulah waktu yang tepat."

Ammar tidak menanggapi, ia hanya menghela napas dan menunduk. Sempat terpikir olehnya untuk menyusul Zaneeka dan membawanya pulang. Kerinduannya bukan lagi permainan rasa.
***

Rengganis berdiri di kamar dengan gaun pengantinnya. Dadanya berdebar tak beraturan, berulang kali ia melihat ke arah Arwa yang sedang terlelap. Gugup. Beberapa jam lagi ia akan menjadi istri Ammar. Sesuatu yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Sekarang ia berdiri di salah satu kamar di rumah Ammar. Sesuai kesepakatan, pernikahan mereka akan dilaksanakan di rumah Ammar. Rengganis tidak ingin pesta meriah yang berlebihan, ia hanya ingin menikmati momen indah tanpa keramaian.

"Apakah aku sedang bermimpi, Arwa?" bisiknya seraya mengangkat tubuh bayinya yang sudah menginjak usia tiga bulan.
"Mungkin hanya mimpi."
Rengganis melihat ke pintu dan mendapati Nazwa berdiri dengan senyumnya yang khas. "Nazwa ... kau bilang tidak bisa hadir?"
"Aku bilang tidak bisa hadir, bukan tidak akan hadir."
"Kau keterlaluan. Aku benar-benar membutuhkanmu," ucap Rengganis seraya mendekati gadis dengan gamis cokelat itu.
"Kau gugup?" tanya Nazwa dengan seringai menggoda.
"Entahlah. Kemarin aku gugup, hari ini aku merasa berada di ruang hampa udara."
"Kau lihat, Rengganis, betapa Allah mencintaimu."
"Apa maksudmu?" Rengganis meletakkan Arwa kembali ke ranjangnya.
"Kau yang dulu merasa hidup ini kotor, kini di hadapanku kau tersenyum malu sebab akan menikah."
Rengganis tersipu, wajahnya berubah menjadi merah jambu. "Kau membuatku malu, Nazwa," ucapnya pelan.

Nazwa duduk di tepi ranjang dan menatap Arwa lekat. "Aku selalu berdoa, agar dia tumbuh menjadi sekuat dirimu."
Rengganis melihat raut tak biasa di wajah Nazwa. "Kau sedang menyembunyikan sesuatu?" tanyanya.
"Rahim membatalkan pernikahan kami."
Rengganis tercengang, ia tak menyangka akan mendengar kabar itu dari Nazwa. "Kenapa?"
"Entahlah. Dia merasa bosan menunggu, dan menemukan gadis yang lebih siap." Nazwa menatap Rengganis, seolah gadis di hadapannya itu lebih beruntung dari dirinya. "Dia sudah menikah, dua minggu yang lalu."
Rengganis merasa lidahnya kelu. Ia tak memiliki kata yang bisa diucapkan. Luka yang disembunyika Nazwa, jelas terlihat di kedua matanya. Gadis itu terlalu pandai menata hati agar tak ada yang melihat perihnya diri.
"Jangan menatapku seperti itu," ucap Nazwa diiringi senyum yang selalu manis. "Aku tidak menyesali luka yang Dia titipkan. Karena Dia adalah sebaik-baiknya pemberi obat."

Rengganis selalu mengagumi gadis itu, masalahnya yang tidak sedikit seolah hilang di balik senyuman. Lukanya yang menganga besar selama bertahun-tahun, tertutup bening di kedua mata. "Kau selalu bisa membuatku belajar, Nazwa," ucapnya pelan.
"Rengganis ...." Fitri berdiri di pintu dengan tubuh gemetar.
"Ada apa?" Rengganis berdiri dan mendekati sahabatnya.
"Penghulu sudah datang bersama para saksi."
"Lalu?" Rengganis menatap Fitri tak mengerti. "Fitri, wajahmu pucat sekali, ada apa?" tanyanya tak sabar.
Rengganis semakin dibuat kebingungan ketika melihat Quenzi berjalan mendekat. Wajah pemuda itu tak kalah pucat, bahkan sudut matanya tela basah.
"Quenzi, ada apa?" tanya Rengganis tak mengerti. "Kalian kenapa?" teriaknya kencang hingga membangunkan Arwa.
Nazwa yang berada paling dekat dengan bayi itu segera mengangkat tubuh mungilnya. Ia tak mengerti apa yang terjadi, tapi memilih diam seraya menunggu jawaban.

"Rengganis ... Ammar ...." Fitri merasakan lidahnya kaku. Ia tak sanggup menyampaikan kabar buruk itu kepada sahabatnya. Ia tahu, Rengganis akan sangat terluka dengan kabar yang ia bawa.
Lagi-lagi Alloh menunjukkan kepada mereka semua. Bahwa rencana yang indah tak selalu dipertemukan dengan kenyataan.

Berencanalah dan biarkan Dia yang menunjukkam hasilnya.

*****
(side b)

Rengganis mematung, lidahnya kelu dan semua sendi di tubuh terasa kaku. Hanya mata yang mampu berkedip menatap tubuh yang terbaring dengan pisau menancap di dada.
"Ammar ...," ucapnya lirih. Pria itu terbujur kaku di atas lantai, kemeja putihnya kini merah berlumuran darah. Perlahan ia melangkah mendekati pria yang hampir menjadi suaminya. "Ammar ...." Lagi, hanya itu yang bisa ia ucapkan.
"Rengganis ... hey, Rengganis."

Rengganis membuka mata cepat. Dilihatnya Fitri dan Nazwa berdiri menatap ke arahnya. "Kau mimpi buruk?" tanya Fitri dengan mata menyipit.
"Astagfirullah ...." Rengganis mengusap wajahnya lembut. "Maaf, aku tertidur," ucapnya lemah.
"Jadi, kau tidak mendengar saat Ammar mengucap janjinya?" Kedua mata Fitri membulat menatap Rengganis.
"Tidak." Rengganis menggeleng lemah.
"Kau juga tidak mendengar saksi berteriak sah?" Nazwa menimpali seraya menahan tawa.
"Tidak," sahutnya lagi.
"Keterlaluan," gumam Fitri diiringi tawa Nazwa yang lepas.
"Pengantin mana yang tidur saat akad nikah berlangsung?" Fitri terkekeh dan melangkah keluar.
"Jadi, sudah selesai?" tanya Rengganis sebelum Nazwa melangkah meninggalkannya.
"Ya, Rengganis. Kau sudah menjadi istri Ammar," jawab Nazwa.
"Kapan kau tiba?" tanya Rengganis. Kedua alisnya menyatu melihat Nazwa dengan pakaian sama persis seperti di mimpinya tadi.
"Aku baru saja tiba. Ada apa?" Nazwa berjalan mendekati Rengganis.
"Mimpiku buruk sekali," ucap Rengganis lirih. Desir tak sedap menjalar secepat tiupan pawana. "Apakah menurutmu pernikahan ini akan baik-baik saja?"

Nazwa duduk di sisi Rengganis, diusapnya lembut punggung tangan wanita itu. "Berprasangka baiklah terhadap takdir Allah, bahkan kenyataan terpahit pun selalu memiliki alasan yang manis."
"Aku hanya takut."
"Kau sudah melakukan hal benar, Rengganis. Untuk masa depanmu, juga masa depan Arwa. Adakah yang lebih menakutkan dari patahnya masa depan putrimu sebab rasa takut itu?"
"Masih adakah kebaikan yang menungguku di depan sana, Nazwa?"

Nazwa mendesah pelan, ia tahu kekhawatiran yang dirasakan oleh Rengganis. "Akan selalu ada. Apa pun yang terjadi saat ini, akan selalu ada kebaikan yang menunggu. Untuk setiap sakit yang kaurasa, untuk semua pahit yang kautelan, akan selalu ada kebaikan. Maka, tetaplah berbaik sangka. Mungkin saat ini belum puas kaurasa, tapi percayalah bahwa janji Allah selalu menjadi pasti."

Pada akhirnya, manusia akan tertawa saat mengingat diri pernah berkeluh kesah karena merasa tidak puas atas apa yang terjadi. Semua akan menyadari, bahwa kebahagiaan tidak akan datang dengan mudah. Begitu pula Surga, hadiah yang nilainya paling mahal.
***

Ammar menatap Rengganis dari ambang pintu. Pesta sederhana yang dihadiri kerabat dekat mereka telah usai. Kini, bunga telah berada dalam genggaman, aroma cinta telah menguar begitu harumnya.

"Apa yang kaulihat?" Rengganis mengernyit melihat pria yang telah menjadi suaminya itu tersenyum diikuti kedipan nakal. "Ammar!"
"Kenapa? Aku ingin melihatmu, meyakinkan hati bahwa ini bukan mimpi." Ammar melangkah mendekati Rengganis. "Aku suka saat kau tersenyum, mengalahkan indahnya hamparan Lily, bahkan mentari kalah hangat oleh rona merah muda di kedua pipi itu."
Ucapan Ammar benar-benar berhasil membuat kedua pipi Rengganis berubah menjadi merah jambu. "Sepenting itukah senyumku untukmu?" tanyanya pelan.
"Penting, karena itu adalah milikku. Aku ingin terus memilikinya. Senyummu dan Arwa. Karena senyum kalian berdua adalah senyum kita."

Jantung Rengganis berdegup kencang ketika Ammar berdiri tepat di hadapannya. Jarak keduanya kini hanya sebatas lalu udara saja.
"Aku baru menyadari, kau lebih cantik dari sebelumnya," bisik Ammar. Membuat tubuh Rengganis terasa semakin kaku. "Bolehkah kuraih mahkota yang kausimpan itu?"
Rengganis mengangguk pelan. Rapat ia memejamkan mata, sementara di dalam dada seperti genderang perang yang dipukul sekuat tenaga.

Keduanya terkesiap ketika Arwa menangis kencang. Bayi itu berhasil mematahkan renyah yang sempat membuat suasana tegang.
"Oh, Arwa ... kau benar-benar bayi usil," keluh Ammar seraya memutar tubuh menghindari tatapan Rengganis. "Apa kau tahu, berapa lama aku melatih diri untuk malam ini?" sambungnya.

Rengganis yang mendengar itu hanya tertawa kecil. "Tidak biasanya dia bangun sebelum dinihari," ucap Rengganis seraya mengangkat tubuh Arwa dari ranjangnya.
"Tentu saja, dia hanya sedang mengujiku." Ammar mendekati keduanya, "kau memang bayi penuh kejutan." Disentuhnya hidung Arwa dengan ujung jari.
"Kau istirahatlah dulu, aku harus menidurkannya." Rengganis menatap Ammar yang kini tampak memerah di seluruh wajah. "Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya polos.
Ammar memukul kening dengan putus asa. "Dia bertanya kenapa wajahku? Kenapa tidak bertanya bagaimana hatiku?"
"Tidurlah, jangan rewel," ucap Rengganis lembut.

Ammar menjatuhkan diri di ranjang, napas yang tadi berat kini terasa sesak. "Dia sudah tidur?" tanyanya pelan.
"Dia tidak akan tidur kalau kau terus bersuara."
"Baiklah." Dengan desahan berat, Ammar meraih bantal dan menenggelamkan wajahnya di sana. "Kenapa tidak menitipkan Arwa kepada Ibu? Ini kan malam pertama," gumamnya.

Tiga puluh menit berlalu, Rengganis bergerak perlahan meletakkan Arwa ke ranjang kecilnya kembali. Bayi itu benar-benar ingin menguji kesabaran Ammar rupanya.
Rengganis merapikan rambut dan berbalik melihat Ammar. Ia tersenyum melihat pria itu sudah tertidur masih dengan kemejanya. "Apa kau selalu seperti ini?" gumam Rengganis.

Untuk beberapa saat ia mematung. Ragu. Apakah harus berbaring di ranjang itu, di sisi Ammar?
"Terima kasih untuk cintamu yang tak tahu sejak kapan bertumbuh. Aku dan Arwa sangat membutuhkanmu."

Lama Rengganis menatap wajah yang sedang terlelap. Dengkur halus membuat Rengganis yakin bahwa Ammar sedang kelelahan.

"Semoga apa pun yang menunggu di depan sana, kita tetap menjadi kita untuk menghadapinya."
***

Ammar tak berkedip menatap wajah damai Rengganis. Sejak tadi ia tersenyum, mengamati, dan berulang kali menjatuhkan ciuman di kening sang istri yang masih terlelap. Dibiarkannya tirai menutup rapat jendela agar sinar surya tidak masuk dan membangunkan wanita di sisinya.
"Apa pun yang menunggu di depan sana, aku akan menggenggam erat jemarimu. Menjagamu dan Arwa, mencintai kalian berdua. Menjaga agar senyum kita tidak terpecah."

Lembut Ammar mengusap pipi Rengganis, dari mata yang sedang tertutup itu ia tahu, bahwa ketulusan bukanlah apa yang diawali dengan pengorbanan. Namun apa yang diiringi dengan kebaikan.
"Em ...." Rengganis menggeliat pelan, perlahan matanya terbuka dan terkejut mendapati Ammar sedang menatapnya dari jarak beberapa senti saja. "Ammar!" Cepat Rengganis melompat dari ranjang, diraihnya gelas berisi air putih di meja sisi ranjang dan meneguknya habis. Ia lupa bahwa pria itu telah menjadi suaminya.
"Kenapa? Kau terkejut dan lupa bahwa aku telah menikahimu?" ucap Ammar seraya beringsut dari ranjang.

Rengganis menggigit bibir bawahnya dan bergegas merapikan diri. "Maaf, aku lupa," ucapnya lirih.
"Aku tahu," sahut Ammar cepat.
"Arwa belum bangun?" tanya Rengganis. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan Ammar.
"Pukul berapa biasanya dia bangun?" tanya Ammar seraya mendekat ke ranjang Arwa. "Tidurnya pulas sekali, kenapa tadi malam dia bangun?" gumamnya.
"Dia akan terbangun pukul delapan. Aku harus mandi dan bersiap, sebelum dia menyita semua waktu." Rengganis berlari menuju kamar mandi. Tak peduli kepada Ammar yang masih berdiri dan baru akan bicara.
"Boleh aku ikut mandi?" tanyanya dengan langkah cepat mengikuti Rengganis.
Rengganis terdiam sesaat, dilihatnya wajah Ammar yang penuh harap, "Ya, tentu," sahutnya pelan.

Ada hati yang kini telah terbuka seluas samudra, menerima kedatangan seseorang yang kepadanya dilabuhkan rasa. Ada pula hati yang kini tengah meneruskan perjuangan, menggenggam dalam meniti pahitnya madu kehidupan.
"Bagaimana kau memaknai perasaan, Rengganis?"
"Perasaan yang bagaimana?"
"Perasaan apa saja, senang, sedih, dan semacamnya."
"Bagiku, perasaan itu rumit, Ammar."
"Lalu, bagaimana caramu menyikapi kerumitan yang ditimbulkan oleh perasaan?"
"Jika hati manusia dibuat rumit oleh perasaan, aku percaya dunia ini dibuat indah dengan kehadiranmu yang menghargai perasaan."

Di bawah air yang mengalir, di temani gemericik yang jatuh berisik, dua hati itu saling menyatu, bertemu dengan rasa juga cinta yang hanya satu. Memiliki.
***

Ammar menggenggam erat jemari Rengganis, satu tangannya menggendong si kecil Arwa. Di bawah malam mereka berjalan, ditemani remangnya cahaya rembulan, dan bintang yang ramai bertaburan.

"Kau bahagia?" bisik Ammar seraya merangkul tubuh sang istri dari tepi.
"Kenapa kau bertanya itu?"
"Aku hanya ingin memastikan bahwa mutiara yang jauh kuambil dari dasar samudra tetap berkilau indah, tidak memudar setelah dua bulan menjadi milikku."
Rengganis tersenyum. "Dari mana kau belajar kalimat itu?" tanyanya. Ia tak percaya Ammar bisa bersikap romantis. Setidaknya, pria itu butuh waktu lama untuk mengingat kalimat manis yang akan ia ucapkan.
"Dari ucapan Irwan kepada Diana, dalam novel Diana Dari Dee."
"Pantas saja aku merasa pernah mendengar kaimat itu. Bagian apa yang paling kau suka dari novel itu, Ammar?" tanya Rengganis seraya mengaitkan tangan kepada Ammar.
"Banyak. Tapi mungkin yang paling berkesan bagiku adalah pengorbanan para tokohnya. Diana, yang bertaruh dengan takdir, mengorbankan masa depan. Irwan, yang mengejar cinta dan siap dengan segala akibat yang ia sendiri tahu bagaimana pahitnya ...."
"Bagiku, pengorbanan Olivia yang akhirnya berbuah manis untuk semua tokoh. Ketika Iblis yang nyatanya Malaikat, dialah yang membuka pintu kebahagiaan bagi semua tokoh."
Ammar tersenyum seraya menghentikan langkah. "Dan kau tahu apa yang aku dapatkan dari kisah itu?"
"Apa?" Rengganis balas menatap mata suaminya.
"Bahwa setiap rasa sakit adalah jalan yang harus ditempuh menuju kebahagiaan, dengan tangis sebagai kuncinya, dan luka sebagai pintunya. Jika semua mampu dilewati dengan keyakinan bahwa di balik pintu itu ada bahagia, maka aku percaya, bahwa bahagia benar-benar nyata."
"Maukah kau membawaku menuju pintu itu, Ammar?"
"Dan maukah kau menemaniku memasuki pintu itu, Rengganis?"

Tidak ada misteri yang dapat dilihat wujudnya, tidak pula ada kenyataan yang dapat dipatahkan kebenarannya. Bahwa semua orang berhak menerima penghargaan untuk semua rasa sabar yang dirasa, juga Allah tidak akan pernah membunuh harapan hamba-Nya.

Mungkin, ikhlas memang harus dipaksakan. Ketika musibah mengajarkan arti sabar, harapan yang tak sampai menitipkan arti dari kecewa, kemudian keyakinan memaksa harus melepaskan. Maka masa depan yang indah, adalah sebaik-baik hadiah.

Masa lalu Rengganis dan Ammar mengajarkan semua itu kepada mereka.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER