Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 19 Desember 2020

Rengganis #7

Cerita Bersambung
(side a)
Ammar berdiri mematung di halaman, di hadapannya berdiri Arini bersama seorang bocah berwajah Arab tengah menatapnya. "Zaneeka?" gumam Ammar tak percaya.
"Dia selalu menunggu. Menunggu kapan ayahnya datang menjemput." Arini melangkah menghampiri Ammar. Matanya jatuh menatap Arwa yang tengah memainkan jemari dengan nyaman di gendongan Ammar. "Putrimu?" tanya Arini.

"Ya, ini putriku."

"Apa kau tidak pernah mencarinya, Ammar?" Arini menunduk menatap Zaneeka, "Padahal setiap malam dia menolak tidur tanpa selimut yang kaubelikan, saat pagi dia menolak makan sebelum berbicara dengan fotomu yang kuselipkan di balik buku dongengnya."

Ammar menatap Arini lekat, ia tak percaya wanita itu baru saja menghakiminya. "Apa kau sedang berusaha membuat aku merasa bersalah?" tanyanya dingin. Tak ada lagi perasaan apa pun di hatinya untuk Arini.
"Kau pergi, Ammar. Pergi tanpa memberi kesempatan untukku dan Zaneeka. Kau pergi meninggalkan kami," teriak Arini hingga wajahnya memerah.
Teriakan Arini membuat Rengganis --yang tengah membereskan meja makan-- terkesiap. Ia berlari keluar dan mendapati pemandangan yang membuatnya bertanya-tanya. Jelas ia mengenali wajah Zaneeka, fotonya ada di kamar Ammar.

"Kau marah dan memutuskan pergi, semudah itukah bagimu? Lalu kini kau menikah dengan ... dengan perempuan yang anaknya kau akui sebagai putrimu ...."
"Arini ...!" Teriakan Ammar membuat Arwa terkejut dan menangis.

Melihat itu membuat Rengganis melangkah cepat menghampiri mereka. "Hey, ada apa?" tanyanya. Ia tidak ingin ikut campur meskipun Arini baru saja menggores hatinya. "Kemarika Arwa," ucapnya seraya meraih sang buah hati dari gendongan Ammar.

Arini menatap Rengganis sinis, ada cemburu yang menyala di kedua matanya.
"Dengar, kau hanya Ibu bagi putraku, tidak lebih. Dia ...." Ammar mengarahkan telunjuk kepada Arwa, "... adalah putriku dan ibunya adalah istriku. Jaga bicaramu, mengerti?" Tatapan Ammar kini menusuk tajam dua netra Arini.
"Lalu dia siapa?" Arini mendorong tubuh Zaneeka ke arah Ammar.
Ammar menggeleng seraya mendengus kesal menatap Arini. "Aku akan menuntut hak asuh atas Zaneeka," ucapnya seraya melepas paksa genggaman Arini di tangan sang putra. "Harusnya kulakukan itu sejak dulu," sambungnya.
"Kau tidak berhak atas Zaneeka. Kau memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kami."
"Aku pergi karena kau ...."
"Ammar!" Rengganis menghentikan ucapan sang suami. "Jangan teruskan. Ada anak-anak," ucapnya seraya mengusap lembut lengan Ammar.

Pemandangan itu membuat Arini semakin terbakar. Bara yang hanya berupa percikan, kini menyala dan hampir melahap habis dirinya. "Aku tahu semua tentangmu, kau hanya wanita yang dinikahinya karena rasa iba."
"Kau ...." Belum sempat Ammar meneruskan ucapannya, Rengganis kembali mengingatkan dengan sentuhan lembut di tangannya.
"Tak apa," ucap Rengganis lembut. "Arini, aku tidak mengenalmu. Aku hanya mendengar beberapa bagian tentangmu, bagian ketika Ammar sangat mencintai dirimu, juga bagian saat Ammar terluka olehmu. Kau harus tahu, Arini, bahwa seberapa pun besarnya cinta seseorang terhadapmu, jika tulusnya kaunodai, maka ia tetap akan pergi. Aku tidak pernah merasa dikasihani oleh Ammar, sebab setiap hari aku merasakan cinta yang ia berikan. Saat ini aku tengah berpikir, betapa beruntungnya dirimu dulu."

Napas Arini tersengal setelah mendapat pukulan yang begitu keras dari Rengganis. Selama ini ia selalu merasa berhak atas kesempatan yang tak pernah Ammar berikan. Ia menyimpan kebencian atas sikap lelaki itu, ia marah karena ditinggalkan. Tidak sedikit pun ia mendengarkan hati yang begitu menyesali semua perbuatan.

"Masuklah," ucap Rengganis kepada Ammar. Pandangannya beralih kepada Zaneeka yang tak banyak bicara, tapi terus menatap sang ayah hingga hampir tak berkedip. Rengganis tersenyum, ia tahu betapa bocah itu merindukan ayahnya. "Hey, aku Rengganis. Kau mau masuk?" tanyanya, yang kemudian disambut anggukan cepat dari Zaneeka.
"Tidak perlu. Zaneeka akan pulang bersamaku."
"Kau salah, Arini. Zaneeka akan bersamaku," seru Ammar seraya menahan tangan Arini dan menjauhkannya dari Zaneeka.
"Bu, aku mau ikut Ayah," pinta Zaneeka dengan wajah memohon.
"Pergilah, Arini. Aku hanya ingin Zaneeka di sini."

Untuk pertama kalinya, Arini merasa dibuang bagai seonggok kotoran. Ia pikir dengan menemui Ammar, maaf akan diberikan dan adanya kesempatan. Hatinya terluka setelah Ammar menghubungi dan mengatakan bahwa ia akan menikah. Matanya tak pernah terlelap sejak saat itu. Sungguh, penyesalan memang selalu mengetuk setelah semua kesalahan dilakukan.

"Kau akan memperlakukan aku seperti ini, Ammar?" Kedua mata Arini kini membayang cairan bening. Siap terjatuh kapan saja ketika kelopaknya berkedip. "Kau tidak pernah memahami diriku, kau tidak pernah mencari tahu kenapa aku melakukan itu."

Ammar mendesah berat, ditatapnya Arini untuk beberapa saat, kemudian dengan dingin ia berkata, "Aku terus mencoba untuk memahami, meski aku sendiri tidak tahu apa yang harus aku pahami."
"Baiklah, maafkan aku!" seru Arini dengan kedua tangan mengepal kuat.
"Aku sudah memaafkanmu, sejak lama. Namun, tidak lebih dari memaafkan."

Tangis Arini pecah, tampak sudah betapa ia menyesal kali ini. "Apa kau tahu luka yang aku bawa selama ini, Ammar? Berpisah darimu begitu menyakitkan bagiku."
"Jika kau mampu merasakan pedihnya perpisahan, maka kau harus tahu betapa berharganya sebuah pertemuan."

Ammar melangkah dengan satu tangan menggenggam tangan Zaneeka, dan tangan lainnya memeluk pinggang Rengganis.
Jika dulu Ammar melangkah pergi bersama luka, kini ia melangkah meninggalkan penyebab luka dan merangkul kuat masa depan.
Pada akhirnya, tembok tinggi yang dibangun dengan ketulusan, akan roboh saat disentuh oleh pengkhianatan.
***

Rengganis tersenyum dari balik jendela kamar, melihat Ammar tengah bermain bersama anak-anak. Pemandangan itu selalu menyambutnya setiap pagi.
"Aku masih mengantuk, kalian sudah menyapa mentari di luar sana."

Sudah dua pekan Zaneeka tinggal bersama mereka. Bocah itu selalu bersikap baik kepada Rengganis dan Arwa, membuat cinta tumbuh dengan cepat di hati Rengganis. Mereka bahka kerap terlibat percakapan layaknya ibu dan anak kandung.

"Bu, sebentar lagi aku akan berulang tahun," ucap Zaneeka ketika Rengganis memasangkan tali sepatunya.
"Oh ya? Berapa usiamu?" Rengganis menatap Zaneeka tulus.
"Delapan tahun."
"Kau sudah besar, sebentar lagi tinggimu akan mengalahkan aku," ucap Rengganis seraya mengukur tinggi Zaneeka yang sudah menyamai dadanya.
"Ya, aku sudah besar. Lalu, kenapa Ibu masih memasangkan tali sepatuku?"
Rengganis duduk dan menatap Zaneeka dengan kedua mata menyipit. "Apa kau malu?" tanyanya.
Zaneeka mengangguk, "Ya, aku sudah besar. Aku sudah bisa menjaga Arwa."
Rengganis terkekeh mendengar kelihan anak tirinya itu. "Baiklah, mulai saat ini kau boleh mengurus diri sendiri," ucapnya.

Bukan hanya ikatan darah yang membuat cinta bertumbuh, tapi dengan seringnya bersama dan tulus yang menemani.
Rengganis beranjak dari jendela dan membuka tirai kamar, membiarkan sinar pagi memenuhi ruangan. Setelah merapikan ranjang, ia berjalan ke arah kalender. Matanya membulat saat menyadari jadwal menstruasi telah terlewat lebih dari lima hari.

"Ya Alloh ...," gumamnya dengan napas tertahan. Cepat-cepat ia menuju kamar sebelah dan membuka alat tes kehamilan yang diberikan Fitri sebagai kado.

Gemetar tangan Rengganis melihat hasil yang ditunjukkan oleh alat itu. Untuk beberapa saat ia mencoba menenangkan diri, mendiamkan gemuruh yang berputar penuh di dalam sana.
Rengganis berjalan menuju dapur, masih dengan alat itu di tangannya. Setelah meneguk habis segelas air, barulah ia bisa bernapas normal. Cepat diraihnya telepon dan menghubungi Nazwa.

"Ada kabar baik?" Hanya beberapa detik, gadis yang berada di Dubai itu sudah menjawab dengan pertanyaan. Seolah tahu apa yang akan Renggganis katakan.
"Nazwa, aku hamil," ucap Rengganis pelan.
"Alhamdulillah ...." Terdengar embusan napas cukup kuat dari seberang sana.
"Apa aku mampu? Maksudku, Arwa masih kecil dan Zaneeka tinggal bersama kami sekarang." Ada kekhawatiran di hati Rengganis. Ia takut tidak bisa berlaku adil kepada anak-anaknya.
"Ayolah, Rengganis, jangan membuatku tertawa. Kau selalu sanggup melakukan hal yang bahkan tak pernah bisa aku lakukan. Rezeki Allah wajib disyukuri, kau hamil dan akan memberi adik untuk Arwa dan Zaneeka."

Rengganis menahan napasnya sesaat, kemudian dihembuskan perlahan. "Kau benar. Aku hanya panik," ucapnya kemudian.
"Kau tahu, Rengganis? Aku iri kepadamu. Kau kuat, selalu bisa kembali bangkit dari semua ujian yang Allah berikan. Lihatlah aku, Allah memberiku satu ujian dan satu rasa sakit, tapi tak pernah sanggup aku selesaikan setelah bertahun-tahun."
"Kau salah," ucap Rengganis seraya menyembunyikan alat tes kehamilan itu ketika mendengar Ammar dan anak-anak masuk. "Kau selalu bisa membantuku menyelesaikan masalah, itu adalah bukti bahwa kau mampu. Kau hanya kurang berani."
"Hey," sapa Ammar setengah berbisik, diciumnya kening sang istri lembut. "Siapa?" bisiknya.
"Nazwa."
"Baiklah, aku tidak ingin menguping obrolan para wanita," ucap Ammar seraya berlalu meninggalkan Rengganis, dan kembali kepada anak-anak.
Nazwa menghela napas berat, "Aku akan kembali ke Indonesia dan mulai membuka klinik di sana," ucapnya.
"Kau serius?" seru Rengganis tak percaya.
"Ya, aku pergi sejauh ini untuk lari dari rasa bersalah. Tapi, semakin jauh rasa itu justru semakin menyiksa. Mungkin kau benar, aku harus lebih berani menghadapi semuanya."

Tiba-tiba saja Rengganis teringat pada mimpinya di hari pernikahan, "Em ... Nazwa, sudah lama aku ingin menanyakan ini. Bagaimana kabar tunanganmu?" Ragu Rengganis menanyakan hal itu. Entah mengapa, ia merasa sebagian dari mimpi itu nyata adanya.
"Aku dan Rahim tidak berjodoh. Dia sudah menikah dengan gadis lain."

Jawaban Nazwa membuat Rengganis terdiam. Ia tak pernah menyangka, mimpi itu seperti penyampai pesan yang tak ingin diceritakan oleh Nazwa.
"Terkadang aku merasa seperti daun di musim gugur, tergelat menunggu angin meniup untuk kemudian terbang tanpa arah," ucap Nazwa pelan.
"Seperti katamu, bukankah setiap tetes hujan yanh turun ke bumi juga memiliki alasan? Ke mana pun angin membawa, kau hanya harus percaya, bahwa hanya hal baik yang menunggu di depan sana."

Semakin jauh harap manusia pada keindahan sebuah bukit, maka semakin tinggi mereka harus mendaki. Karena tidak ada kebahagiaan yang datang tanpa dicari. Sebab semua orang ingin merasakan kebahagiaan tanpa rasa sakit. Namun, semua harus mengerti, bahwa pelangi hanya muncul setelah hujan.

Setelah menutup telepon, Rengganis memberanikan diri mendekati Ammar yang sedang menyusun lego bersama Zaneeka, sementara Arwa tampak asik bermain di pangkua pria itu.

"Ammar ...." Rengganis berdiri dengan satu tangan diletakkan di belakang.
Ammar mengernyit melihat keanehan sikap istrinya. "Ada apa?" tanyanya seraya berdiri dan meletakkan Arwa di kursinya.
"Kau jahat!"
"Apa salahku?" Ammar tampak kebingungan dengan sikap istrinya.
"Keterlaluan," ucap Rengganis lagi.
"Hey, ada apa? Katakanlah." Ammar menghampiri Rengganis dan menatapnya dengan tanda tanya besar.
Rengganis melangkah menjauhi Ammar, "Kau keterlaluan." Ia mengulangi. Kali ini, sekuat tenaga ia menahan tawa.
"Apa yang sudah aku lakukan?"
"Kau akan membuatku muntah-muntah selama beberapa pekan!" Rengganis memberikan testpack yang ia sembunyikan kepada Ammar.

Kedua mata Ammar melebar melihat alat itu, "Kau hamil? Rengganis, kau ... kau hamil?" Ammar memeluk Rengganis erat. Berbulan-bulan ia menunggu dalam ragu, akankah Rengganis siap untuk kembali mengandung?
Namun, Alloh memang selalu punya kejutan. Dia tidak akan menguji tanpa memberi hadiah yang pantas.
Pada akhirnya, setiap hati yang sabar menanti akan Allah jatuhi kebaikan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sungguh, tidak ada yang perlu diragukan atas takdir-Nya.
***

Rengganis dan Ammar baru keluar dari ruang kepala sekolah. Setelah semua kesepakatan yang dibuat bersama Arini, akhirnya tanpa perlawanan Zaneeka diizinkan tinggal bersama mereka. Hari ini, keduanya mendaftarkan Zaneeka ke sekolah yang tidak jauh dari rumah.

"Tak lama lagi, Arwa akan memasuki usia sekolah, lalu adiknya akan lahir," ucap Ammar dengan langkah yang menunjukkan kebanggaan.
Rengganis menggeleng setiap kali melihat sikap Ammar begitu. "Arwa bahkan belum satu tahun," gumamnya.
"Kau mau makan siang?" tanya Ammar setelah mobilnya meninggalkan halaman sekolah.
"Tidak. Aku tidak tenang meninggalkan Arwa bersama orang asing." Ini kali pertama mereka menitipkan Arwa kepada pengasuh. Karena ibunya Ammar sedang keluar klta untuk acara amal, mereka terpaksa menyewa pengasuh harian.
"Baiklah, kita pulang." Ammar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia selalu memahami kekhawatiran Rengganis, istrinya itu bahkan histeris ketika Zaneeka tersandung dan jatuh di atas rumput.
"Ammar ...." Wajah Rengganis pucat ketika melihat pagar rumah terbuka lebar. Ia sendiri yang menguncinya sebelum pergi tadi.

Kekhawatiran keduanya bertambah, ketika melihat pintu rumah juga terbuka. Ammar segera menepikan mobil dan berlari turun, disusul oleh Rengganis yang mulai merasakan sesak di dadanya.

"Ratih ...!" teriak Ammar seraya berlari ke kamar Arwa. Tak ada siapa pun di sana.
"Zaneeka!" Rengganis membuka kuat pintu kamar Zaneeka dan mendapati bocah itu sedang bersembunyi di bawah tempat tidurnya.
"Ibu ... Ibu ...!" Tubuh Zaneeka bergetar ketika Rengganis mencoba menariknya keluar. "Mereka membawa Arwa, Bu."
Napas Rengganis seakan terhenti, wajahnya semakin memucat, seolah darah tak mengalir ke sana. "Ammar ...!" teriaknya seraya berlari menuju kamar Arwa.

Sementara itu, Ammar yang sedang memeriksa seluruh rumah, mendapati Ratih, sang pengasuh, tergeletak di pintu belakang. Gadis 22 tahun itu tak sadarkan diri, keningnya bengkak dan terlihat bekas cakaran cukup panjang di lengannya.
Rengganis jatuh terduduk di kamar Arwa. Ia tak menangis, napasnya tersengal, dan tubuhnya bergetar hebat.
Sekali lagi, Alloh selalu memiliki kejutan bagi hamba-Nya. Karena sebenarnya, ujian itu bukan hanya berupa duka, tapi juga turun dalam bentuk bahagia.

Kali ini, Dia tengah menguji Rengganis dengan sesuatu yang lebih besar. Mungkin, butuh lebih dari sekadar sabar untuk melewatinya.

*****
(side b)

Rengganis duduk di lantai seraya memeluk tubuh Zaneeka. Bocah itu tak berhenti menangis, setelah menyaksikan apa yang terjadi.
"Maafkan aku, Bu. Aku tidak menjaga Arwa dengan baik. Ibu, maafkan aku." Berulang kali Zaneeka mengucapkan hal itu hingga tubuhnya gemetar hebat.
"Bukan salahmu. Ibu yakin Arwa baik-baik saja, kita tunggu Ayah kembali," ucap Rengganis lirih.

Bukan tidak ingin menangis, Rengganis bahkan merasakan sesak yang ingin keluar melalui teriakan. Ia hanya menolak kehilangan akal sehat, ia ingin terus tenang meskipun rasa khawatir memenuhi hati dan kepalanya.

"Rengganis." Fitri masuk dan memeluk sahabatnya. "Di mana Ammar?" tanyanya setelah melihat sekeliling dan tak menemukan pria itu di sana.
"Ammar sedang di rumah sakit bersama polisi untuk menunggu Ratih sadar."
"Berapa lama kalian meninggalkan Arwa?" Ardi yang berdiri di ambang pintu menimpali.
"Kurang dari dua jam," sahut Rengganis lemas.

Ardi berjalan mendekati Zaneeka. Ia tahu, hanya anak itu satu-satunya saksi sampai sang pengasuh sadarkan diri. "Hey, Jagoan. Apa kau melihat wajah orang yang membawa Arwa?" tanyanya lembut seraya mengusap keringat yang mengalir di kening Zaneeka.

"Dua orang wanita dengan tutup kepala yang sangat panjang dan menutupi separuh wajahnya. Lalu, dua orang lelaki menunggu di mobil." Zaneeka berdiri dan berjalan menuju jendela. "Mereka menunggu di sana," ucapnya seraya menunjuk keluar, tak jauh dari pohon mangga yang baru mereka tanam.
"Apa kau melihat saat mereka datang?" tanya Ardi lagi.
Zaneeka mengangguk cepat. "Ya, aku sedang merapikan mainan di kamarku," sahutnya polos.
"Lalu, apa yang membuatmu bersembunyi?" Ardi mengambil posisi jongkok agar sejajar dengan tinggi tubuh Zaneeka.
"Aku melihat mereka mengeluarkan pisau. Ibu bilang ...." Ardi menatap Rengganis yang tengah memperhatikannya bicara. "Ibu bilang, kalau ada yang menakutkan, aku harus bersembunyi di bawah ranjang. Maafkan aku, Bu ... aku tidak bisa menjaga Arwa." Lagi, tangis Zaneeka kembali pecah. Tubuhnya gemetar dengan kedua tangan mengepal dan wajah pucat yang nyaris membiru.

"Hey ... hey, kemarilah. Kau sudah melakukan hal yang benar dengan bersembunyi. Jika tidak, maka aku akan gila." Rengganis mendekap erat tubuh anak tirinya itu.

Ardi berdiri dan menatap keluar cukup lama. Ia tahu, Ammar dan Rengganis tidak memiliki musuh. Emosi mulai memenuhi hati pria itu ketika mencoba menebak-nebak siapakah yang membawa Arwa?

"Apa yang kau pikirkan?" Fitri mengusap lembut pundak Ardi. Sama seperti kekasihnya, ia pun merasa kesal sebab tak mampu menemukan satu orang pun yang bisa dipersalahkan.
"Entahlah. Aku hanya merasa kesal, siapa yang tega melakukan ini?" ucap Ardi setengah berbisik.
"Semoga polisi cepat menemukan pelakunya." Fitri mencoba bersikap tenang. Sebab untuk saat ini, hanya ketenangan yang mereka butuhkan.
"Oh Tuhan ...."
"Ada apa?" Fitri dan Rengganis melihat Ardi dengan pertanyaan serupa.

Ardi tak memedulikan pertanyaan keduanya, ia bergegas keluar kamar dan berlari menuju ruang tengah. Ia ingat betul dulu Ammar pernah memasang kamera pengintai di pintu masuk rumahnya. Namun, Ardi semakin kesal ketika melihat kamera itu tak lagi berada di sana. "Bodoh!" teriaknya seraya memukul kuat daun pintu. Ia kembali ke kamar dengan wajah lemas.

"Ada apa?" tanya Fitri lagi.
"Ammar pernah memasang kamera pengintai di pintu masuk, tapi sudah tidak ada," sahutnya pelan.
Semua orang terduduk lemas di lantai. Jika itu penculikan untuk tebusan, sudah lebih dari enam jam dan tak ada seorang pun yang menghubungi.
"Nazwa akan tiba malam ini," ucap Fitri setelah membaca pesan di ponselnya.
"Kau menghubunginya?" tanya Rengganis.
"Tidak. Dia sudah di Singapura saat aku memberi kabar." Fitri menjelaskan.
"Ya, dia sudah mengurus kepindahannya ke Indonesia," sambung Ardi.

Lama mereka terdiam, Zaneeka bahkan sudah tertidur di pelukan Rengganis. Sisa isak masih terdengar keluar dari mulut bocah itu.

Rengganis memejamkan mata, ia kembali mengingat nasihat yang Nazwa ucapkan dulu.
"Dari banyaknya ujian yang Alloh beri, kebahagiaan adalah yang paling jarang disadari oleh manusia, dan kepedihan adalah yang paling sering ditolak kedatangannya. Jangan pernah lupa, bahwa napas yang Dia beri pun merupakan ujian."
***

Ammar bersama dua orang polisi sedang berdiri menunggu dokter selesai melepas infus dari tangan Ratih. Gadis itu sudah siuman sejak tadi, tapi berulang kali pingsan sebab trauma.

"Sebaiknya jangan terlalu banyak pertanyaan dan jangan terlalu ditekan. Karena pasien mengalami trauma mental yang cukup serius." Dokter mencoba mengingatkan.

Ammar hanya mengangguk pelan. Ia berjalan mendekati gadis yang baru pertama kali disewa untuk mengasuh Arwa. Bukan tanpa alasan mereka memercayai Ratih, pasalnya, gadis itu memang menjadi orang pertama yang dicari jika ada yang membutuhkan jasa pengsuh bayi. Bukan hanya Ammar dan Rengganis yang berani membayar mahal, para tetangga pun sudah beberapa kali menggunakan jasanya.
Ratih adalah mahasiswa keperawatan yang menghabiskan jam kosongnya dengan bekerja sebagai pengasuh. Ia ahli menangani balita, lembut dan sangat pandai membuat anak-anak nyaman.

"Maafkan saya, Pak," ucap Ratih seraya mengusap air mata yang mengalir ke pipinya. "Saya sudah berusaha melawan," sambungnya.
"Jangan menyalahkan diri sendiri. Aku tahu kau sudah berusaha. Sekarang, bantu aku untuk menemukan Arwa dengan menjawab beberapa pertanyaan mereka," ucap Ammar lembut. Bagaimana pun, ia tidak ingin membuat Ratih merasa bersalah, gadis itu sudah cukup berusaha melindungi buah hatinya.
Ratih mengangguk pelan.

Seorang polisi yang juga sahabat Ammar mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya. Ia berjalan mendekati Ratih dan mulai bertanya, "Di mana posisimu ketika para penculik masuk?"
Ratih menghela napas pelan. "Boleh saya ceritakan saja apa yang saya ingat?"
"Begitu lebih baik." Ammar menimpali.
"Aku sedang memasukkan botol susu dan mainan Arwa ke mesin steril. Saat itu Arwa ada di kursinya tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu, terdengar suara pagar terbuka begitu kuat, karena merasa ada yang tidak beres, aku segera menggendong Arwa dan berjalan ke ruang tengah. Saat tiba di depan, aku melihat dua orang wanita berpakaian serba hitam dan bercadar masuk setelah membuka paksa pintu. Maaf, aku lupa mengaitkan kunci ganda setelah Pak Ammar dan Bu Rengganis pergi ...." Ratih kembali menangis, ia meringis merasakan perih di lengan yang terpasang perban cukup panjang.

Siapa pun pasti bisa melihat rasa bersalah yang begitu besar di kedua mata gadis itu. "Tidak apa-apa, itu bukan salahmu." Ammar mencoba menenangkan Ratih dengan mengusap lembut pundaknya.
"Aku berlari ke arah dapur, karena hanya itu pintu yang paling dekat. Tapi aku teringat pada Zaneeka yang masih berada di kamarnya. Saat akan ke atas, satu dari mereka menarik kuat tubuh Arwa dari gendonganku. Aku berhasil memukulnya sampai terjatuh, lalu seorang lainnya mencoba melepaskan tanganku dari Arwa. Aku berhasil lari kembali ke dapur, karena kalau ke atas, mereka akan menemukan Zaneeka juga. Saat di pintu dapur, mereka berdua memukul kepalaku dan aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya." Pucat hingga membiru wajah Ratih ketika mengingat kejadian itu. Tubuhnya gemetar dan keringat mengalir deras dari keningnya.

Melihat itu, Ammar bergegas memanggil dokter dan meninggalkan Ratih untuk istirahat. Ia terduduk lemas di kursi yang ada di lorong rumah sakit. "Mungkinkan ini ulahmu, Arini?" gumamnya seraya mengusap wajah dengan kasar.
"Ammar." Yoga, polisi yang tadi bersamanya mendekat dengan kebingungan yang tampak jelas di wajahnya. "Aku tahu kau tidak mungkin memiliki musuh, bagaimana dengan istrimu?" tanyanya.
Ammar menatap Yoga tajam, ia merasa tak senang dengan pertanyaan itu. "Apa maksudmu? Rengganis adalah wanita baik-baik."
"Jangan salah paham. Aku hanya mencari apa pun yang paling memungkinkan di sini. Hanya itu cara agar kita segera menemukan Arwa."
"Sama sepertiku, Rengganis juga tidak memiliki musuh. Dia terlalu baik untuk dibenci," ucap Ammar dengan penuh penekanan.
"Baiklah, apa kau memikirkan seseorang yang mungkin melakukannya?"
Ammar menutup wajah dengan kedua tangan. "Selidiki Arini dan ayahku," ucapnya dingin.
Yoga mengernyit heran, "Arini?"
"Ya, Arini!" seru Ammar dengan wajah yang mulai memerah.
"Ammar ... kita mengenal seperti apa Arini, dia tidak mungkin melakukan hal gila itu ...."
"Kau mengenalnya tiga tahun yang lalu. Aku bertemu dengannya terakhir kali dan tidak mengenalnya sama sekali." Ammar berdiri dengan dada yang bergerak naik-turun menahan amarah. "Dia menolak datang ke pernikahanku, tapi tanpa pemberitahuan dia muncul di halaman rumahku bersama Zaneeka. Kami bertengkar dan dia menolak saat Zaneeka ingin tinggal bersamaku, lalu beberapa hari kemudian dia melunak dan mengizinkan Zaneeka tinggal bersama kami. Hari ini ... hari ini Arwa diculik."
"Baiklah, aku akan menyelidiki Arini dan ayahmu. Sekarang, kembalilah ke rumah, Rengganis pasti membutuhkan kau berada di sisinya saat ini." Yoga memukul pelan pundak Ammar.

Ammar menghela napas berat, ia tidak siap menemui Rengganis saat ini. Entah mengapa ia sangat meyakini, bahwa hanya Arini dan ayahnya yang mampu melakukan hal itu.

"Pulanglah. Jangan biarkan Rengganis menghadapi semuanya sendiri," ucap Yoga lagi.
Ammar mengangguk pelan. "Temukan putriku secepatnya," ucapnya seraya melangkah pergi. Hatinya terluka dengan kejadian itu. Namun, ia tahu Rengganis jauh lebih terluka.

Ammar mengemudi dengan kecepatan tinggi, kurang dari satu jam ia tiba di rumah dan melihat mobil sang ibu berada di halaman.

"Kak." Quenzi menghentikan langkah Ammar yang baru saja masuk ke dalam rumah. "Bagaimana?" tanyanya cepat.
Ammar menggeleng dan terus melangkah menuju ke atas. "Ratih tidak melihat pelakunya, mereka memakai cadar," ucap Ammar geram.
"Kak, tunggu."
"Ada apa?" Ammar berbalik menatap sang adik yang mengikutinya.
"Bagaimana dengan orang yang ...."
"Mereka semua sedang mendekam di penjara." Ammar memotong ucapan adiknya yang ia tahu akan mengarah ke mana. "Hanya Arini dan Ayah yang sanggup melakukan ini semua."
"Apa kau gila? Kau menuduh Ayah melakukan ini semua?" Quanzi tampak geram dengan dugaan Ammar.
"Aku tidak perlu mengingatkan padamu bagaimana dia membakar rumah Ibu karena menolak untuk kembali menjadi istrinya 'kan?" Ammar menatap tajam kedua netra Quenzi. "Laki-laki itu menolak dengan keras saat aku akan menikahi Rengganis," ucap Ammar setengah berbisik. Ia tidak ingin Rengganis mendengarnya.

Quenzi terdiam, tentu saja ia masih ingat kejadian yang sudah sebelas tahun berlalu itu. Namun, Quenzi berbeda dengan Ammar, ia tak pernah membenci sang ayah. Namun bagi Ammar, perbuatan ayahnya tidak pantas mendapatkan maaf.

Selama ini, Ammar tinggal bersama ayahnya hanya untuk menuruti keinginan sang ibu. Karena jika ia menolak, ayahnya bisa saja berbuat lebih gila lagi.

Ammar melangkah ke kamar menemui Rengganis yang sedang terlelap bersama Zaneeka di pelukannya. "Bagaimana keadaannya, Bu?" tanyanya ketika sang ibu mendekat.
"Dia baru saja tidur." Fatimah mendekati sang putra. "Bersabarlah, Allah sedang menguji kalian berdua. Sekarang, bersihkan dirimu dan istirahatlah. Ibu akan siapkan makan malam untuk kalian."

Ammar berjalan mendekati Rengganis. Ia duduk di lantai tepat di sisi ranjang. Ia tahu Rengganis tidak menangis, tapi ia tahu ke mana air mata itu tumpah. Wajahnya yang selalu berseri, kini tampak meredup. Seperti mentari yang kehilangan cahayanya.
Hanya dua hal yang manusia bisa lakukan, berusaha dan berdoa. Selebihnya, hanya Dia yang tahu ke mana doa akan bermuara dan di mana usaha akan bertemu dengan hasilnya.
Namun begitu, Alloh tidak pernah mengabaikan doa hamba-Nya. Dia selalu mendengar, kemudian memilih satu pinta yang benar-benar pantas didapatkan oleh manusia.
***

Rengganis terbangun dan mendapati Ammar tengah tertidur di sofa tak jauh dari ranjangnya. Terlihat jelas lelah di wajah lelaki itu.

"Ibu ...."
Rengganis berbalik dan mendapati Zaneeka sudah terbangun. Mata anak itu basah dan mulai membengkak. "Ada apa?" tanyanya lembut.
"Apakah Ayah sudah membawa Arwa pulang?"

Rengganis menahan napas untuk sejenak, ia tak sampai hati mematahkan hati anak tirinya. "Belum ... jangan menangis, apa kau mau melihat semua orang ikut menangis?"
Zaneeka menggeleng lemah, tangan kecilnya mengusap lembut air yang mengalir di pipi. "Bagaimana kalau Arwa haus?" ucapnya dengan isak tertahan.
"Berdoalah, semoga siapa pun yang membawanya, tidak akan membiarkan Arwa kehausan." Rengganis mendekap tubuh Zaneeka erat.

Tidak ada yang tahu seberapa besar sesak yang ditahan oleh Rengganis, tak pula ada yang bisa membaca seberapa sakit luka yang kini ia derita. Namun, tangis bukanlah cara yang benar untuk menyelesaikan masalahnya. Ia ingin tetap kuat untuk sang buah hati, untuk Ammar dan semua orang yang kini merasa khawatir terhadapnya.

"Kau tidak lapar?" bisik Rengganis di telinga Zaneeka.
"Aku haus."
"Pergilah ke dapur, lalu kembali ke kamarmu dan mandilah." Rengganis membantu Zaneeka berdiri dan mengantarnya sampai keluar kamar.
"Hei ...." Ammar membuka mata perlahan ketika melihat Rengganis berdiri tak jauh darinya.
"Kau berantakan sekali," ucap Rengganis seraya mendekat.
"Bagaimana keadaanmu?" Ammar mengusap lembut pipi sang istri. "Menangislah, kenapa kau selalu bersikap sok kuat?"
Rengganis tersenyum lirih. "Aku ingin menangis, tapi tidak sekarang. Karena satu-satunya yang membuatku kuat adalah harapan. Tangisku hanya akan pecah saat harapan terasa menjauh."
"Maafkan aku," ucap Ammar lirih.
"Untuk apa?" Rengganis menatap Ammar lekat.
"Kurasa, hanya Arini dan ayahku yang melakukan ini semua."

Rengganis menelan ludah getir. Ia tak ingin percaya, tapi ucapan Ammar membuatnya gelisah. "Jangan mendahului siapa pun. Biarkan polisi yang mencari tahu," ucapnya seraya mencoba bersikap tenang. "Lagi pula, bukan hanya kau yang memiliki masa lalu."
Ammar meraih Rengganis ke dalam pelukannya. "Aku berjanji, siapa pun yang melakukan ini ... tidak akan pernah kuampuni," ucapnya dengan amarah yang mulai membara di dada.
"Sudahlah, aku harus bersiap. Ibu sebentar lagi pasti bangun, kau juga harus mengantar Zaneeka ke sekolah." Rengganis bergegas ke kamar mandi tanpa melihat ke arah Ammar. Sesak di dadanya kian menumpuk, ia ingin menangis tanpa dilihat oleh orang lain.

Di bawah air yang mengalir, Rengganis menutup mulutnya, menahan agar tangis tak pecah. Ia tersedu meratapi nasib diri yang lebih banyak bertemu duka daripada suka.

"Kumohon, jangan ambil putriku," ucapnya lirih. Lama ia duduk di bawah air yang keluar deras dari shower, tangannya meraba perut yang sempat ia lupakan bahwa ada janin yang harus dijaga di dalam sana. "Maafkan Ibu, Sayang," gumamnya seraya berdiri dan meraih handuk untuk mengeringkan tubuhnya.

Ketika keluar kamar, Rengganis mendapati Ammar sudah bersiap bersama Zaneeka.
"Bu, aku akan sekolah hari ini," ucap Zaneeka yang sudah rapi dengan seragamnya.
"Ya, jaga diri baik-baik dan bertemanlah dengan banyak orang." Rengganis mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari dompetnya. "Ini untuk menabung," ucapnya seraya memasukkan uang itu ke dalam saku celana Zaneeka.
"Nenek sudah memberiku uang tadi," ucap Zaneeka jujur.
"Kalau begitu, simpanlah untuk besok."

Ammar tersenyum melihat pemandangan di depan matanya. Penerimaan Rengganis terhadap Zaneeka adalah ketulusan yang teramat besar baginya. Pun begitu dengan terbukanya Zaneeka kepada Rengganis, keluarga yang pernah ia impikan dulu, kini nyata didapatkan. Akan menjadi pagi terbaik kalau saja Arwa ada bersama mereka.

"Kau sudah sarapan?" tanya Rengganis kepada suaminya.
"Sudah, Ibu membuat nasi goreng tadi."
"Pergilah, jangan sampai Zaneeka terlambat." Rengganis mendaratkan satu ciuman di pipi kiri Ammar. "Bisa tolong belikan aku tamarind?" bisiknya lembut.
"Untuk apa?" Ammar menatap sang istri heran.
"Aku tidak bisa makan nasi," sahut Rengganis seraya mengusap perutnya pelan.

Ammar tampak terkejut, ia lupa kalau Rengganis tengah mengandung buah hatinya. "Baiklah, akan kubelikan sebanyak mungkin," ucapnya seraya mendaratkan kecupan tipis di bibir sang istri. "Aku mencintaimu."
"Ibu tidak ikut mengantarku?" Zaneeka menatap kedua orang tuanya bergantian.
"Maafkan Ibu, Sayang. Hari ini Ayah yang mengantarmu, Ibu sedang tidak enak badan." Rengganis mencium kedua pipi Zaneeka. "Kau anak hebat dan akan baik-baik saja," sambungnya.
Zaneeka hanya mengangguk pelan, ia sudah cukup besar untuk memahami kondisi Rengganis saat ini.

"Ammar ...." Rengganis membawa Ammar menjauh dari Zaneeka. "Katakan kepada gurunya agar memperhatikan Zaneeka. Aku yakin dia masih trauma dengan kejadian kemarin, anak itu hanya sedang menutupinya dari kita."
Ammar melihat ke arah Zaneeka yang sedang memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas. "Apa sebaiknya dia tidak sekolah hari ini?"
"Jangan. Biarkan saja dia di sekolah, itu akan membantunya melupakan kejadian kemarin. Nazwa mungkin sudah tiba sejak tadi malam, aku akan meminta dia untuk bicara dengan Zaneeka."
"Baiklah." Ammar berjalan mendekati sang putra. Tidak seperti Rengganis, ia merasa belum sepenuhnya bisa memahami Zaneeka. "Jagoan, ayo kita berangkat!" ucapnya seraya menggandeng tangan buah hatinya.

Rengganis duduk di tepi ranjang, matanya mengarah pada botol susu yang masih tergeletak di atas meja. Ada bening yang ingin mengalir turun, tapi sekuat tenaga ia tahan jatuhnya.
Ia tidak tahu harus menyebutkan nama siapa sebagai pelaku penculikan Arwa. Yang ia tahu, kini hatinya terasa sebak oleh air mata yang tak bebas keluar. Namun, tiada henti jatuh ke dalam.

"Menangis tidak akan membuatmu terlihat lemah."
Rengganis menoleh dan melihat Nazwa tengah berdiri di ambang pintu.
"Berhenti menyesali dan mulailah mensyukuri, berhenti meragukan dan mulailah melakukan. Kau paham?" ucap gadis itu seraya berjalan mendekat.
"Apa aku harus mensyukuri hilangnya Arwa?" tanya Rengganis lirih. Ia tak mengerti maksud ucapan Nazwa.
"Bukan begitu. Saat situasi mulai terasa begitu sulit, berhentilah sejenak dan periksa kembali hubunganmu dengan Alloh." Lembut Nazwa mengusap punggung tangan Rengganis.
"Aku tidak sekuat dirimu dalam menghadapi masalah, Nazwa."
"Jika bukan karena Alloh yang selalu menguatkan, mungkin aku sudah menyerah setelah berulang kali jatuh dalam kegagalan. Apalah arti kuatku jika Allah tak membantu, pun apalah arti sanggupku jika Alloh tidak rida atas apa yang kumau?"
Rengganis menunduk dalam, air matanya menetes berulang kali. Kerinduannya kepada Arwa, juga rasa khawatir akan keadaan buah hatinya benar-benar menyiksa. "Kenapa ada orang yang tega melakukan ini kepadaku?"

Nazwa meraih Rengganis kedalam pelukan. "Bersabarlah, jangan pernah berhenti meyakini bahwa Allah sanggup mengubah situasi paling buruk menjadi momen terbaik dalam hidupmu."

Sesekali, manusia haruslah menyadari, bahwa yang ia pikir milik diri adalah titipan yang kapan pun bisa diambil kembali.
Rengganis tidak pernah siap kehilangan buah hatinya. Seperti manusia pada umumnya, ego yang begitu tinggi membuat lupa, bahwa napas yang berembus dari diri pun hanya Dia yang memiliki.

"Aku takut kehilangan putriku, Nazwa," ucap Rengganis beriring isak tangis.
"Tidak ada yang hilang dari diri kita, yang ada hanyalah kembali kepada yang memiliki. Bukankah setiap kedipan mata ini pun atas izin-Nya? Lantas apa yang bisa dilakukan selain bersyukur atas waktu yang Dia pinjamkan?"

Sifat manusia adalah mengeluh, tak jarang lupa bersyukur atas nikmat, tapi selalu meratap atas sedikit ujian yang diberi.
Seberat apa pun beban yang Alloh jatuhkan, janganlah lupa bahwa kesabaran tak boleh terkikis habis. Jangan ratapi hal-hal yang tidak bisa diselesaikan sekarang, teruslah meyakini bahwa semua demi kebaikan, maka Alloh akan menunjukkan luasnya jalan keluar.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER