Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 20 Desember 2020

Rengganis #8

Cerita Bersambung
(side a)
Rengganis berdiri dengan kaki gemetar, matanya berkaca dan kedua tangan mengepal. Di hadapannya kini berdiri barisan lelaki yang dulu menodainya. Ada Arini dan ayah Ammar di antara mereka.

"Kau tidak layak mendapatkan putraku!" Lelaki berwajah Arab itu berteriak lantang. "Kau tidak akan pernah bahagia. Wanita kotor sepertimu tak pantas berada di tengah keluargaku."
Rengganis menelan ludah getir, ingin menjauh, tapi kaki seperti terpaku ke bumi.
"Aku memang pernah bersalah karena mengkhianati Ammar. Tapi kau ... kau lebih kotor dari apa pun, hilangnya putrimu adalah hukuman dari Tuhan. Bukti bahwa kau tak pantas bersama Ammar."

Kali ini keringat membanjiri tubuh Rengganis. Napasnya mulai sesak manakala para lelaki itu mendekat dengan seringai menjijikkan.

"Menurutmu, siapa Ayah dari anak itu? Bisakah kau memastikannya?" Arya mencengkeram erat lengan Rengganis. "Jawab aku, siapa ayahnya?"
Air mata mengalir tanpa aba-aba, membasahi wajah Rengganis seketika. "Ya Alloah ... jauhkan aku dari keburukan mereka semua," ucapnya lirih.

Sesaat kemudian Rengganis terbangun. Ia duduk dan melihat sekeliling, barang-barang Arwa menyambut pandangannya. Sudah lama ia tak mengalami mimpi buruk yang berkaitan dengan Arya, tapi kali ini mereka datang bersama Arini dan ayah mertuanya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Arwa, di mana kau, Sayang?" Rengganis melipat kedua kaki dan mendekapnya erat.

Tak ada siapa pun di sana saat ini. Ia bisa menangis meraung, tapi semua tertahan hanya sampai dada. Matanya melihat sekilas ke arah jam yang menggantung di dinding, pukul empat sore.

Lima hari sudah bayinya hilang, tapi pencarian belum membuahkan hasil apa pun. Ammar bahkan membuat pengumuman, akan ada imbalan yang sangat besar bagi siapa saja yang berhasil menemukan Arwa dalam keadaan hidup. Namun, sejak pengumuman itu disiarkan, tak seorang pun yang menghubungi mereka.

"Arwa, kumohon bertahanlah, Sayang," rintih Rengganis seraya menahan sakit di payudaranya. Air susunya tak lagi keluar, tapi ia tahu rasa sakit itu karena bayinya tak menyusu setelah beberapa hari.
"Menangislah."
Rengganis terkesiap. Dilihatnya Nazwa berdiri di ambang pintu dengan senyum yang selalu tenang.
"Tak ada salahnya menangis. Semua orang tahu lukamu, Rengganis." Nazwa melangkah mendekati sahabatnya. "Semua akan kembali membaik, mentari kembali bersinar, tangis mereda dan berganti tawa. Luka akan segera terobati, doa-doa akan dijawab. Bersabarlah, keadaan sulit adalah jalan untukmu mendapatkan yang terbaik."

Rengganis mendesah berat, "Air mataku mengering bahkan sebelum mengalir, Nazwa. Aku tidak meragukan kebaikan-Nya. Aku hanya menyesali kebodohan diri yang terlalu jauh meninggalkan Dia."
"Sebaik-baik kebodohan adalah yang menyadari kesalahannya."
"Ajari aku menjadi sekuat dirimu, Nazwa," ucap Rengganis lirih.
"Berulang kali aku katakan. Aku tidak lebih kuat darimu. Buktinya Allah berulang kali memberimu ujian, dan hanya sekali memberiku cobaan. Karena Dia tahu, kau kuat dan aku tidak."

Rengganis menutup wajah dengan dua tangannya. Ia menunduk dalam, membayangkan bagaimana nasib putrinya kini. "Aku tahu dia menangis, Nazwa. Aku tahu dia kehausan."
"Dan aku tahu dia sekuat ibunya." Nazwa memeluk Rengganis erat. "Ujian adalah satu-satunya kenikmatan meskipun diberi dalam bentuk kesakitan, Rengganis," bisiknya pelan.

Semua orang masih mencari Arwa. Termasuk Ammar, Quenzi, dan Ardi. Mereka telah melakukan berbagai cara, tapi Alloh masih ingin menguji.
Terkadang, kehilangan adalah cara Alloh membuat hamba-Nya sadar, bahwa segala yang dipinjamkan oleh-Nya, bisa diambil kapan saja. Bisa lepas dari genggaman kapan pun Dia inginkan.

Seseorang harus memaknai kepunyaan sebagai pinjaman. Tak pernah menjadi hak milik, dan tidak berhak mengaku sebagai pemilik. Harta yang Dia titipkan, bisa hilang dengan cara paling menyakitkan. Pasangan anak yang Dia berikan, bisa diambil dengan cara yang tak pernah terbayangkan.

Semua hanya tentang ujian, tentang seberapa kuat seseorang mampu memaknai kehidupan.
***

"Hey, kau sudah makan?" Ammar mengusap lembut rambut hitam Rengganis.
"Sudah," sahut Rengganis singkat.

Sikap Rengganis kini sedingin es, wajahnya yang biasa berkilau kini segelap malam. Bibirnya yang selalu menyapa, kini selalu diam. Membuat Ammar selalu salah tingkah, tak tahu harus bagaimana menghadapinya.

"Aku ingin ikut mencari Arwa," ucap Rengganis tiba-tiba.
Ammar mendesah berat. "Aku tidak mengizinkan," sahutnya seraya menatap bayangan Rengganis di cermin.
"Lalu kau ingin aku tetap diam di rumah sementara aku tahu putriku sedang menangis?"
"Arwa juga putriku!" Ammar berdiri dengan mata yang tajam jatuh menyentuh netra sang istri. "Aku tahu kau kehilangan, aku pun sama. Tapi bersikap gegabah bukanlah jalan keluar," ucapnya.
Rengganis hanya diam, wajahnya yang dingin berpaling dari Ammar.
"Aku mencarinya, Rengganis. Ke setiap sudut kota ini. Aku mencarinya."
"Lalu kenapa dia masih belum ditemukan?"
"Apa maksudmu?" Ammar berjalan mendekati sang istri.
"Kenapa putriku masih belum ditemukan? Sepuluh hari, apa yang terjadi pada putriku?"
"Berhenti mengatakan itu, Rengganis. Arwa juga putriku, aku ayahnya!" Kali ini suara Ammar lebih keras, ia geram dengan sikap Rengganis yang tidak dapat dimengerti. "Diam di rumah, jangan melakukan hal bodoh. Aku yang akan menemukan Arwa," ucapnya lagi.
"Siapa yang tahu keberadaannya sekarang?" Dingin Rengganis menatap suaminya. Sebuah pertanyaan yang memiliki banyak cabang.
"Aku tahu apa yang kaupikirkan, Rengganis. Dengar ...." Ammar menatap dua mata tanpa ekspresi di hadapannya. "Jika ayahku yang melakukannya, maka akan kubunuh dia. Jika Arini yang melakukannya, maka akan kupastikan dia menyesal seumur hidupnya. Jika salah satu pria yang telah ...." Ucapan Ammar terhenti. Ia menggigit lidahnya kuat, tak menyadari telah mengingatkan Rengganis akan kejadian pahit itu.
"Lanjutkan ucapanmu, Ammar. Ingatkan betapa kotor diriku. Ingatkan lagi betapa bodohnya aku."
"Rengganis, maafkan aku." Ammar memeluk tubuh Rengganis yang tak bereaksi. "Demi Allah, kumohon maafkan aku," ucapnya lagi.
"Jangan minta maaf. Tak perlu kau ingatkan lagi, Ammar. Karena setiap saat aku mengingatnya." Rengganis melangkah keluar dari kamar. Ditinggalkannya Ammar yang mematung dalam penyesalan.

"Ibu ...." Langkah kecil Zaneeka memenuhi ruang tamu, bocah lelaki itu berlari mendekati Rengganis dengan tangan terbuka.
"Hei." Rengganis menunduk dan menyambut putranya dengan pelukan. "Bagaimana sekolahmu?" tanyanya seraya melepaskan tas dari punggung Zaneeka.
"Aku mendapat tujuh bintang karena berhasil menjawab kuis dari Pak Guru."
"Kau memang pintar. Pergilah ke kamar dan ganti pakaian. Ibu akan siapkan makan siang," ucap Rengganis dengan mendaratkan satu ciuman di kening Zaneeka.
"Aku sudah makan," sahut Zaneeka ragu.
Rengganis mengernyit heran, "Apa yang kau makan?"
"Maafkan aku, Bu. Em ... tadi Ibu Arini datang ke sekolah dan membawaku makan siang sebelum Pak Sopir menjemput."

Rengganis menghela napas berat. Seolah tak senang dengan sikap Arini yang datang seperti seorang penjahat. Diam-diam tanpa meminta izin. Meskipun ia ibu kandung Zaneeka, Rengganis merasa perlu waspada dengan sikapnya.

"Apa Ibu marah?"
"Tidak, Sayang. Tapi lain kali kalau ibumu datang, katakan padanya untuk mengantarmu pulang dan temui Ayah dan Ibu. Kau mengerti?"
Zaneeka menggigit bibir bawahnya seraya mengangguk pelan.
"Jangan murung. Ibu hanya ingin semuanya baik-baik saja." Rengganis memeluk Zaneeka dengan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Bukankah Arini berada di Singapura? Sejak kapan ia kembali ke Indonesia?
"Hei ...." Fitri masuk tanpa permisi dengan wajah merah dan napas yang tampak tak normal.
"Ada apa?" tanya Rengganis heran.
"Tadi ada yang menghubungiku, dia bilang, dua hari yang lalu melihat seorang wanita bersama bayi yang sangat mirip dengan Arwa di sebuah pusat perbelanjaan."
Rengganis berdiri dengan kaki bergetar. "Ammar ...!" teriaknya dengan napas tertahan.
"Ada apa?" Ammar berlari mendekati istrinya.
"Ada yang menghubungi Fitri dan mengaku melihat Arwa," ucap Rengganis cepat.
"Di mana?" Ammar menatap Fitri tak sabar.
"Hubungi orang itu, dia bersedia menemuimu." Fitri memberikan kertas berisi sederet angka kepada Ammar. "Cepatlah!" sambungnya.
Ammar bergegas mengeluarkan ponsel dan menghubungi orang itu. "Aku akan pergi. Tolong temani mereka," ucapnya kepada Fitri.
"Bu, apa Arwa akan ditemukan?" tanya Zaneeka pelan.
"Pergilah ke kamar dan ganti pakaianmu, Sayang," ucap Rengganis.

Fitri menjatuhkan diri di sofa, ia kelelahan setelah berlari turun dari taksi tadi. "Aku menghubungi orang di kampung. Mereka akan datang dan membantu mencari Arwa," ucapnya seraya mengusap wajah yang berkeringat.

"Terima kasih, Fit." Rengganis duduk dan mengingat kembali pertengkaran pertamanya dengan Ammar tadi. Ia menyesal telah mengatakan hal bodoh kepada lelaki itu. Padahal Ammar tak pernah lelah mencari Arwa, hampir 24 jam ia mengitari kota untuk menemukan putri mereka. "Aku bertengkar dengan Ammar tadi," ucap Rengganis dengan nada penuh penyesalan.
"Aku sudah berulang kali bertengkar dengan Ardi, padahal kami belum menikah. Lalu, apa salahnya kalau kau dan Ammar bertengkar?" kata Fitri dengan mata yang menatap langit-langit.
"Entahlah. Ini pertengkaran pertama kami dan aku telah melakukan kebodohan."
"Percayalah, tidak ada yang sebodoh aku, Rengganis. Aku memutuskan Ardi hanya karena dia melupakan janji makan malam. Lalu, lima belas kemudian aku menghubunginya dan meminta maaf. Berulang kali dan kami tetap baik-baik saja sampai saat ini."
Rengganis tertawa mendengar ucapan Fitri, ia tahu betapa konyol sahabatnya itu. "Kapan kalian menikah?" tanyanya kemudian.
"Setelah semua masalah ini selesai, kami akan membicarakannya," sahut Fitri.
"Kau tidak rindu kampung, Fit?" tanya Rengganis tiba-tiba.
"Tentu saja aku rindu. Kemarin Ibu tiriku menghubungi dan meminjam uang, dan rasa rinduku akan kampung halaman pun musnah sudah."

Tawa keduanya pecah mengingat sikap ibu tiri Fitri yang serakah. Wanita 51 tahun itu kerap membuat suaminya kewalahan karena selalu berutang ke setiap orang. Sampai-sampai, para tetangga tak lagi mau membantu saat ia benar-benar membutuhkan.

"Menurutmu, seperti apa kampung kita sekarang?" tanya Rengganis lirih. Ia merindukan kedua orang tuanya, terakhir kali mengunjungi makam mereka, saat akan menikah. Setelahnya, ia benar-benar sibuk dengan Arwa.
"Kau tahu yang ada di bayanganku?" Fitri melihat Rengganis dengan senyum tertahan.
"Apa?"
"Gapura menuju kampung telah dicat dan bertuliskan tanggal kemerdekaan sejak Agustus lalu."

Lagi. Keduanya tertawa begitu lepas. Untuk sesaat, masalah hilangnya Arwa tak membebani Rengganis. Namun, saat matanya menatap car seat Arwa yang tergeletak di sudut ruang, matanya kembali berembun.
Terbayang saat kaki kecil bergoyang-goyang ketika didudukkan di sana. Mata bulat yang selalu berkedip manja, dan teriakan yang kerap memenuhi rumah saat bayi itu kehausan.

"Hei ...." Fitri mengusap lembut lengan Rengganis. "Aku yakin Arwa akan ditemukan. Tak lama lagi," sambungnya.
"Aku merindukannya, Fit. Payudaraku membengkak dan aku tahu dia kehausan."
"Aku yakin Arwa baik-baik saja. Siapa pun yang menculiknya, aku yakin mereka menjaga Arwa dengan baik."

Rengganis mendesah berat. Sesekali ia kesal karena air mata tak pernah jatuh. Hanya membayang kemudian mengering.
"Dengar, matamu boleh basah, tangismu boleh pecah, dan aku tahu hatimu sedang patah. Tapi kau tidak boleh menyerah pada keadaan. Arwa akan kembali ke pelukanmu, percayalah." Fitri memeluk sahabatnya erat. Luka di hati Rengganis seolah turut menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Assalamualaikum."
Keduanya terkesiap dan melihat ke arah pintu. Fatimah berdiri di sana dengan sekantong belanjaan di tangannya.

"Bu ...." Rengganis menghampiri dan memeluk ibu mertuanya erat.
"Ibu belanja untuk makan malam. Quenzi belum tiba?"
"Belum," sahut Rengganis pelan.
"Ibu sudah mendengar kabar dari Ammar." Fatimah menatap Rengganis dengan senyum yang menggambarkan kekuatan. "Arwa pasti baik-baik saja," ucapnya lembut.
"Boleh aku makan di sini?" Fitri menimpali seraya meletakkan tangannya di perut. Ia berusaha menghapus kesedihan dari wajah semua orang.
"Kalau begitu, bantu aku membawa ini ke dapur," ujar Fatimah.
"Baiklah." Fitri berdiri dan menyambar belanjaan dari tangan Fatimah. "Tapi jangan memintaku memasak, Bu. Aku hampir membakar dapur di apartemen Nazwa kemarin," ucap Fitri sambil melangkah ke dapur.

"Assalamualaikum." Quenzi masuk dengan seikat mawar putih di tangannya.
"Waalaikumsallam ...," sahut tiga wanita itu bersamaan.
"Mawar?" Rengganis menatap adik iparnya heran.
"Ya. Aku mengundang Nazwa untuk makan malam di sini."
"Kau menyukai Nazwa?" Fatimah menatap putra bungsunya tak percaya.
"Dia gadis yang pas untukku," ucap Quenzi penuh percaya diri.
"Dia cocok untukmu, tapi kau belum tentu cocok untuknya." Fitri menimpali seraya mengulum senyum.
"Ayolah. Semangati aku sedikit saja," protes Quenzi dengan wajah kesal.
"Kejarlah bintangmu, Q. Tapi jangan patah hati," ujar Fatimah, kemudian melangkah meninggalkan semua orang.

Melihat betapa semua orang mendukungnya, Rengganis merasakan semangatnya kembali meninggi. Tak ada yang lebih baik dari kehadiran keluarga saat seseorang mengalami kesulitan.

"Bu ...." Zaneeka berdiri di tangga dengan buku gambar di tangannya.
"Ada apa, Sayang?"
"Aku tidak tahu harus mewarnai apa gambar pesawat ini?" Zaneeka menunjukkan kepada Rengganis hasil lukisannya.
"Ini pesawat?" Rengganis mengangkat kedua alisnya.
Zaneeka mengangguk cepat.
"Pesawat ini akan terjatuh sebelum mengudara. Bagaimana mungkin dia terbang dengan satu sayap yang pendek?"

Zaneek terkekeh. Bocah itu merasa senang melihat wajah ibu tirinya kembali berwarna. Tak lagi gelap seperti sebelumnya. "Aku suka Ibu tertawa," ucapnya polos.
Rengganis memeluk Zaneeka. Ia tahu anak itu sedang berusaha menghibur. "Terima kasih, Sayang," bisiknya.
"Ibu ...." Zaneeka berucap pelan dengan mata menatap Arini yang sudah berdiri di ambang pintu.
Rengganis melepas pelukannya dan menoleh ke pintu. "Arini?" ucapnya nyaris tak terdengar.
"Arini?" Fatimah yang baru kembali dari dapur tak kalah terkejut melihat kedatangan wanita itu.
"Maaf aku datang tiba-tiba ...."
"Ya, kau juga menemui Zaneeka tiba-tiba." Rengganis memotong ucapan Arini.
"Hei, dia putraku, apa salahnya aku menemuinya?"
"Salah. Karena kau tidak meminta izin kepadaku dan Ammar." Rengganis merasakan amarahnya memuncak. Ia terdorong untuk marah, dengan sebab selain masalah Arini menemui Zaneeka diam-diam.
"Apa hakmu melarangku menemui putraku?" Arini melangkah mendekati Rengganis.
"Sayang, kembalilah ke kamarmu," ucap Rengganis. Ia tidak ingin Zaneeka melihat keributan di depan matanya.
"Jangan ingin berkuasa, Rengganis. Aku mengizinkan Zaneeka tinggal bersama kalian bukan untuk menjadikan aku orang asing."
"Aku tidak menjadikanmu orang asing, yang aku sesalkan, kau tidak memiliki etika untuk sekadar permisi kepada kami," ucap Rengganis tegas.
"Wow ...." Quenzi bergumam saat melihat ketegangan di antara dua wanita itu.
"Arini ...." Fatimah mendekati mantan menantunya dengan wajah ramah. "Benar, kau adalah Ibu kandung Zaneeka. Tapi, kau tetap harus meminta izin kepada mereka saat akan menemui putramu. Bukan karena kau orang asing, tapi, agar tak ada yang khawatir ...."
"Kau menemui Zaneeka?"

Semua orang menoleh. Ammar berdiri di ambang pintu dengan wajah memerah.
"Ayolah, Ammar. Dia putraku."
"Demi Alloh, Arini. Aku benci saat seseorang mengatakan dia putraku. Seolah aku tidak ada, seolah aku bukan siapa-siapa."
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Ia tahu maksud ucapan suaminya itu.
"Baiklah. Maafkan aku, sekarang aku datang ingin menjemput Zaneeka. Besok dia libur, bukan? Aku ingin membawanya berlibur," ucap Arini. Wanita itu tahu ia akan kalah berdebat dengan Ammar.

Rengganis mendesah berat. Ia menatap Ammar yang tak menatapnya sejak tadi, rasa bersalah memenuhi hati dan membuat matanya berkabut. Kali ini, ia melihat betapa Ammar tak pernah menganggap Arwa sebagai anak tiri. Ia menyadari betapa terluka pria itu dengan ucapannya.

Terkadang, seseorang merasa hanya dirinya yang tersiksa dengan satu masalah. Ia tak ingin melihat orang lain dengan luka yang sama. Padahal, jika hatinya terbuka, ada yang jauh lebih menderita dari dirinya.
Ketika hati ingin dipahami, tapi menolak untuk memahami. Saat itulah keegoisan mendominasi, menutupi pandangan dari apa yang sebenarnya terjadi.
Seseorang boleh saja menderita, tapi bukan berarti ia menutup mata atas penderitaan yang Allah timpakan kepada orang lain.
Sungguh, dunia-Nya begitu luas. Ujian yang Dia berikan pun bukan hanya kepada satu orang saja. Jika di barat seseorang mengalami luka karena kehilangan satu orang, bisa saja di utara ada orang lain yang lebih banyak kehilangan.

*****
(side b)

"Tidak ada yang boleh membawa Zaneeka. Kau menemuinya tanpa izin, itu sudah cukup."
Arini menatap Ammar dengan kening berkerut. "Apakah aku akan menjadi orang lain untuknya?" tanyanya tak percaya.
"Terserah bagaimana kau memaknainya. Hari ini, Zaneeka tidak akan ke mana-mana," ucap Ammar tegas.

Semua orang terdiam. Arini yang sangat mengenal sifat Ammar memilih mengalah. Ia tahu, tak akan memenangkan apa pun jika Ammar dalam keadaan tak stabil. Tanpa bicara ia melangkah keluar dari rumah itu, mengurungkan niat menghabiskan akhir pekan dengan buah hatinya.

Ammar menutup pintu kuat dan melangkah ke kamar. Tak menyapa siapa pun yang ada di bawah.
"Apa kita akan menjadi saksi keributan di sini?" bisik Quenzi kepada Fitri.
"Setidaknya, kita akan memegang salah satu dari mereka kalau keributan berubah menjadi niat saling membunuh," sahut Fitri seraya melangkah ke dapur.
Rengganis yang menyadari sebab dari sikap Ammar itu segera menyusul ke kamar.
"Maaf ...." Rengganis berjalan mendekati Ammar. "Maafkan ucapanku tadi," sambungnya pelan.
Untuk sesaat Ammar bergeming. Menyakitkan memang, tapi ia bukanlah seorang yang bisa mengabaikan Rengganis begitu saja. "Lupakan saja. Maafkan ucapanku yang menyakitimu," ucapnya.

Terkadang, ketika dua orang dewasa bertengkar, yang mereka lakukan tak lain hanyalah saling menyakiti. Saling menjatuhkan beban ke pundak masing-masing, lalu penyesalan memang selalu siap berdiri mensejajari.

"Aku hanya merindukan Arwa," ucap Rengganis lirih.
"Aku tahu." Ammar meraih lembut tubuh sang istri. Dipeluknya hangat dan mengusap lembut kepala wanita itu. "Tapi, kau juga harus memikirkan kandunganmu. Kau lupa makan dan minum vitamin yang diberikan Ardi. Itu berbahaya untuk bayi kita. Aku menyayangi Arwa, sama besar seperti rasa sayangmu kepadanya. Jangan ragukan itu."

Untuk pertama kali, air mata Rengganis jatuh mengaliri pipi, kemudian bermuara di pundak sang suami. Bahkan karang yang kokoh pun perlahan akan terkikis jua oleh ombak yang setiap saat mengempas.

"Entah mengapa aku lebih tenang melihatmu menangis begini, Rengganis," bisik Ammar di telinga sang istri.
Rengganis melingkarkan tangan kian erat di pinggang pria itu. Lama ia mencari ketenangan di sana, hingga isak yang berisik mereda dan air mata mengering dengan sendirinya.

"Aku mencintaimu, seluas lautan yang menautkan erat biasnya kepada langit. Yang selalu siap menerima hujan saat langit lelah menahan mendung di atas sana. Sungguh, seperti mawar yang indah tapi juga bisa menyakiti, begitulah cinta yang sesungguhnya."
"Ammar, hentikan." Rengganis terkekeh geli dengan ucapan Ammar, "Kau kaku seperti tiang listrik di luar, maka saat bersikap romantis, kau terdengar aneh," ucapnya seraya melepaskan diri dari pelukan sang suami.

Ammar mengangkat satu bibir dan menatap Rengganis kesal, "Keterlaluan," gerutunya.
"Bagaimana pertemuanmu dengan orang tadi?" tanya Rengganis ketika tiba-tiba teringat akan Arwa.

Ammar menghela napas berat, tentu saja itu pertanda bahwa pertemuan itu tak membuahkan apa-apa. "Dia melihat bayi yang mirip Arwa, dan dia hanya ingat ciri-ciri wanita itu. Aku sudah membawanya ke kantor polisi untuk kesaksian dan membuat sketsa wajah."
"Kau sudah berusaha. Terima kasih," bisik Rengganis seraya menjatuhkan ciuman tipis di bibir pria itu. "Mandilah, bersihkan tubuhmu. Kita akan makan malam di bawah," sambungnya.

Ammar tak menjawab, pelan ia melangkah menuju kamar mandi. Tidak ada yang tahu apa yang ia sembunyikan di hati. Kehilangan Arwa adalah bencana paling besar dalam hidupnya, ia menyayangi bayi itu bahkan sebelum dilahirkan. Setiap detik bayangan menjadi ayahnya melintas di benak Ammar, mendengar Arwa mengadukan hari-harinya di sekolah, dan tingkah lainnya dari anak perempuan itu.
Seperti batu besar yang menimpa di pundaknya, Ammar akan membawa beban kehilangan seumur hidup. Karena Arwa adalah bagian dari hatinya.
Tak banyak yang tahu, bahwa hidup ini serupa sebuah buku. Habis satu halaman, masih tersisa ratusan halaman lagi untuk dibaca.

Begitulah ujian, selesai satu ujian, Allah telah siapkan sesuatu yang lain untuk menguji.
***

Suasana meja makan tak sehangat biasanya. Masakan Fatimah yang biasanya menerima banyak pujian, kali ini hanya dikunyah dan ditelan dalam diam.

Rengganis lebih sering membolak-balikkan sendok daripada menyuapkan nasi, begitu pula Ammar, rasa lapar seolah lari sejak hilangnya Arwa.

Hanya Quenzi, yang masih memiliki suasana hati cerah. Berulang kali ia mencuri pandang kepada sosok berkerudung hitam di seberang meja. Upaya mencari perhatian tampaknya tak berhasil menarik hati gadis itu.
"Apa kegiatanmu, Nazwa?" Fatimah membuka suara.

Nazwa mengangkat wajah dan tersenyum ke arah wanita itu, "Saat ini aku sedang mengupayakan izin operasi untuk klinik. Tapi sepertinya sulit, jadi, sementara aku bekerja di Rumah Sakit sebagai konsultan."

"Berapa usiamu?" tanya Fatimah lagi. Diam-diam ia memahami mengapa Quenzi begitu tertarik kepada Nazwa, selain lembut, gadis itu juga memiliki sifat yang sangat sopan. Layak untuk dikagumi.
"Beberapa bulan lagi genap dua puluh tujuh tahun," sahut Nazwa lembut.

Quenzi tersedak, beberapa butir nasi melompat keluar dari mulutnya. Ia terkejut mendengar usia Nazwa yang lebih tua darinya.

"Ada apa?" Ammar menatap sang adik dengan kening berkerut.
"Tidak, aku hanya butuh minum," ucap Quenzi seraya meneguk cepat air di gelasnya.
Fitri yang mengetahui alasan pemuda itu terbatuk tampak mengulum senyum.
"Apa kau akan menetap di Indonesia?" Fatimah mencoba bersikap biasa dengan ulah putra sulungnya.
"Insya Allah ... karena sebaik-baiknya rumah adalah Negeri sendiri."
Fatimah tersenyum dengan kepala mengangguk pelan. Ia menyukai gadis berparas ayu itu.

Begitu juga dengan Quenzi, tak peduli perbedaan usia yang cukup jauh, ia tetap menaruh rasa kepada Nazwa. Saat gadis itu tersenyum, seperti ada sejuk yang menyentuh wajahnya. Ketika kelopak matanya berkedip, lentik dan hitam tampak melambai menggoda. Sungguh, segala yang ada pada diri Nazwa berhasil memikatnya.

Hingga tanpa sadar, semua orang telah menyelesaikan makan malam, sementara Quenzi masih melayang menikmati rasa kepada gadis yang telah beranjak dari hadapannya sejak tadi.

"Q ...!" Fitri memukul kuat pundak pemuda itu. Membuatnya terkesiap dan kebingungan mendapati hanya ia sendiri yang masih berada di meja.
"Ke mana semua orang?" tanyanya dengan tatapan konyol.
Fitri terkekeh, "Kau terlalu mengagumi mawar yang kuntumnya mekar, lihatlah, semua orang telah kembali ke peraduan."
"Nazwa sudah pulang?" Quenzi berdiri dengan wajah memerah.
"Dia sedang bersama Rengganis di halaman," sahut Fitri diiringi gelengan kepala.

Tak menyahut, Quenzi beranjak menuju halaman dan melihat dari jarak beberapa meter gadisnya yang bergamis longgar, tapi tak sedikit pun menutupi keindahan dirinya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Nazwa kepada Rengganis yang bahkan belum menyapanya sejak tadi.
"Entahlah, tidak ada kata yang bisa menggambarkan. Aku merindukan Arwa." Rengganis menunduk dalam, mencoba menahan bening agar tak mengalir menganak sungai.
"Bersabarlah, Allah pasti membalas doa dan harapanmu di waktu yang tepat. Sabar, lagi, lagi, dan lagi."
"Rasanya berat sekali, Nazwa. Hingga dadaku tak sanggup lagi menahan gejolaknya, diri hampir tersungkur menahan berat di pundak." Rengganis menatap langit gelap di atasnya. Hanya ada beberapa bintang di atas sana, berkedip kecil kemudian menghilang dan muncul di tempat lain.
"Cara terbaik agar beban di pundakmu terasa ringan adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah, juga ikhlas menerima segala hal buruk yang menimpamu." Nazwa mengusap lembut punggung tangan Rengganis. Di mata wanita itu, beban berat menggantung dan tak tersamarkan. "Jadikan Allah satu-satunya tempat berpegang dari masalah yang mengguncang, bersandar dari lelah yang mengekang. Karena hanya Dia yang tahu jalan mana yang akan membawamu keluar."
***

Membeku tubuh Rengganis menatap mentari pagi yang jatuh di jendela kamarnya. Tak ada siapa pun di rumah, Ammar telah pergi sebelum fajar menyingsing.

"Di mana kau, Sayang?" gumamnya seraya memejamkan mata, mencoba meresapi rindu agar tak terasa menyakitkan.

Pelan Rengganis melangkah menuju kamar Arwa. Aroma bayi itu masih tertinggal di sana, setiap benda di kamar itu mengingatkan Rengganis pada buah hatinya. Masih jelas ia merasakan, tangan mungil Arwa yang melambai memanggil, kaki yang tak mau diam, dan ocehan khas bayi yang sering kali memecah malam saat semua sedang terlelap.

Rengganis tak memiliki keberanian masuk ke dalam kamar itu. Ia hanya berdiri di ambang pintu, merasakan gersang hati setelah tiga pekan bayinya belum ditemukan.

Dering ponsel di tangan menyadarkan Rengganis. Dilihatnya Ammar menghubungi.
"Ammar ...?"
"Hei, Rengganis, aku Yoga ...."
Tubuh Rengganis bergetar hebat, kakinya lemas hingga nyaris membuatnya terjatuh. Cepat ia berlari keluar rumah, meraih kunci mobil dan mengirim pesan kepada Fitri. Memintanya datang ke kantor polisi.

Tak peduli jika harus menabrak apa saja, Rengganis mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dadanya bergemuruh hebat, sesak seperti mengikat di dalam sana.

Kurang dari tiga puluh menit, ia tiba di halaman kantor polisi dan mendapati mobil sang suami di sana. "Ammar ...," ucapnya seraya menahan sesak.
Ditemuinya petugas dan meminta untuk bertemu Ammar. Namun, Yoga mencegahnya. "Sebaiknya jangan temui dia sekarang," ucapnya.
"Apa yang terjadi, Yoga?" tanya Rengganis tak mengerti.

Yoga menghela napas, mencoba memilah kata yang pas untuk diucapkan. "Mari, ikut aku. Ada yang sudah lama merindukanmu," ucapnya pelan.

Rengganis berjalan mengikuti sahabat suaminya itu menuju sebuah ruangan.

"Lihat, siapa di sana?"
Rengganis jatuh terduduk mendapati Arwa tengah terlelap di pelukan seorang polisi wanita. Bayi itu tampak baik-baik saja, hanya rambut hitamnya yang bertambah panjang.
"Arwa ... Arwa ...!" Rengganis tertatih mendekati sang buah hati. Tangisnya pecah dan memeluk erat tubuh Arwa. "Terima kasih
...," bisiknya lirih di telinga bayi itu.
Rengganis berbalik menatap Yoga, "Ada apa dengan Ammar?" tanyanya kemudian.
"Sebaiknya kau istirahat dulu. Bawa bayimu pulang, lalu ...."
"Aku tidak akan pulang!" Rengganis memotong ucapan pemuda itu. "Aku ingin menemui Ammar," sambungnya.

Yoga mendesah kuat, untuk beberapa saat ia diam menatap Rengganis. Namun, melihat dua mata itu, membuat Yoga mengangguk setuju. "Ikutlah denganku," ucapnya ragu.

Rengganis memeluk Arwa kuat, bayi itu terlihat lebih nyaman berada dalam pelukan sang ibu. Ia tak terjaga meskipun langkah Rengganis cukup cepat mengikuti Yoga ke bagian belakang bangunan.

"Ke mana kita?" Alis Rengganis berkerut.
"Menemui suamimu," sahut Yoga seraya menghentikan langkah di depan sebuah sel tahanan sementara.

Rengganis termangu melihat Ammar sedang duduk dengan wajah menunduk dan pakaian yang bernoda darah. "Ap--apa ...." Lidah wanita itu kelu, sesaknya semakin menyakiti. "Am--mar ... A--pa yang terjadi dengannya?" Bibir Rengganis memucat dan bergetar, tak siap mendengar kebenaran apa pun sebagai alasan suaminya berada di sana.

Ammar mengangkat wajah dan mematung mendapati istrinya di luar sel. "Rengganis ...," ucapnya lirih. Perlahan ia berdiri mendekati sang istri, "Hei, kau sudah pulang, Sayang." Air mata Ammar jatuh melihat Arwa terlelap dalam pelukan ibunya.
"Ammar ...." Rengganis meraih tangan suaminya.
"Pergilah, biarkan Yoga yang menjelaskan semuanya kepadamu." Ammar mengusap air mata dan menggenggam erat tangan sang istri. "Maafkan aku, mungkin aku tidak akan bersamamu dan anak-anak untuk waktu yang lama," sambungnya.
"Ammar ... kumohon, ada apa?" Bulir bening jatuh bak rinai di wajah Rengganis. Berulang kali ia menelan saliva menahan isak dan jeritan yang meronta ingin dikeluarkan.
"Dengar, aku mencintai kalian semua. Jaga anak-anak dan kuatlah untukku. Untuk mereka. Kau adalah Rengganis, wanitaku yang kuat. Jangan menangis, jangan biarkan orang lain melihatmu menangis." Mengatakan itu membuat Ammar ingin memeluk sang istri. Namun, ia mencoba untuk tetap terlihat kuat di hadapan wanita yang dicintainya itu.

"Aku tidak akan pergi ...."
"Rengganis ... Ya Allah, Arwa!" Fitri berlari mendekati Rengganis. Langkahnya terhenti seketika saat melihat siapa yang berada di balik jeruji besi. "Ammar ...?"
"Fit, bawa Rengganis dari sini," pinta Ammar seraya berbalik membelakangi mereka semua. Tetes bening kembali jatuh dari kedua matanya.
"Ada apa?" bisik Fitri dengan wajah kian memucat.
"Tolong pegang Arwa dan tunggu aku di depan." Rengganis memberikan Arwa kepada sahabatnya itu.

Yoga yang menyaksikan kejadian itu terlihat memalingkan wajah. Ia tak pernah menyangka akan menangkap dan meletakkan sahabatnya ke dalam sel. Pelan ia melangkah dan membuka kunci sel, dilihatnya Rengganis dan memberi isyarat agar wanita itu masuk.

Tak menunggu lama, Rengganis melesat masuk dan mendekati Ammar. "Katakan, apa yang terjadi?"
Ammar terkesiap, ia menatap Yoga dengan mata yang layu.
"Ammar!" teriak Rengganis.
Ammar menunduk dan memejamkan mata. Mengingat kembali kejadian yang menimpanya beberapa jam yang lalu.
***

Pukul tiga dini hari, Ammar terjaga saat ponselnya bergetar. Dilihatnya sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

[Jika ingin bayimu selamat, datanglah ke hotel Anggrek kamar nomor 003. Jangan beritahu siapa pun.]

Ammar bangkit dan bergegas bersiap. Dilihatnya Rengganis sekilas, masih terlelap. Ia tak sampai hati membangunkan, diraihnya selembar kertas dan meninggalkan pesan untuk sang istri.

"Aku mendapat petunjuk, maaf tidak membangunkanmu. Jangan tunggu aku untuk sarapan. Aku mencintaimu."

Bergegas ia meninggalkan rumah, hatinya berbisik untuk segera menghubungi Yoga, tapi urung ia lakukan. Ammar tidak ingin hal buruk menimpa Arwa, ia menyayangi bayi itu lebih dari apa pun.

Lebih dari satu jam mengemudi. Ammar tiba di halaman hotel yang dimaksud si pengirim pesan. Lama ia berdiam diri di dalam mobil, menimbang apakah keputusannya sudah benar atau belum.

Setelah berpikir cukup lama, ia memutuskan untuk menghubungi Yoga. Namun, tak ada jawaban. Pesan dari nomor itu kembali masuk.

[Aku bisa melihatmu di halaman. Kemarilah, bayimu bersamaku.]

Bersama pesan itu, foto Arwa turut dikirim. Bayi mungil tak berdosa itu tengah tertidur lelap, dengan selimut merah muda menutupi tubuhnya.

Tak menunggu lama, Ammar keluar dari mobil dan melangkah masuk ke hotel. Menemui resepsionis dan mengatakan kamar tujuannya. Tidak sulit, sebab itu bukan hotel mewah yang butuh keamanan ketat.

Sebelum melangkah ke tangga yang menuju ke kamar tersebut. Ponsel Ammar bergetar, Yoga menghubunginya.
"Aku ada di Hotel Anggrek, kamar nomor kosong kosong tiga, Arwa berada di sini. Cepatlah kemari."

Belum sempat Yoga menyahut, Ammar sudah mematikan sambungan telepon dan bergegas menuju kamar tersebut.
Ragu ia melangkah dan berdiam diri cukup lama di hadapan daun pintu yang tertutup rapat. Ia bisa mendengar suara langkah di balik pintu itu.

"Masuklah, Ammar. Pintu itu tidak terkunci."
Ammar terkejut mendengar suara itu, "Arini?" ucapnya seraya membuka pintu.

Benar saja, di balik pintu itu berdiri wanita yang pernah dinikahinya. Dengan mata bengkak dan merah karena menangis.

"Berani-beraninya kau ...."
"Rengganis merebut putraku, maka kurebut putrinya!"

Amarah Ammar tak bisa dibendung. Seperti apa yang pernah ia ucapkan kepada Quenzi, ia akan membuat siapa saja menyesal telah menyakiti keluarganya. Ammar melangkah dengan wajah merah, matanya menatap Arini tak berkedip.

"Diam di sana, Ammar. Atau ... atau bayi itu akan kuhabisi." Arini menelan ludah ketakutan. Diraihnya pisau lipat dari atas meja, ia berniat mendekati Arwa, tapi Ammar lebih dulu memegang tangannya.
"Kau akan menyesal, Arini," ucap Ammar dingin.
"Lepaskan!" Arini meronta, tanpa sengaja pisaunya melukai pundak Ammar. Membuat pria itu semakin dirasuki amarah.

Sekuat tenaga Ammar melempar tubuh Arini ke tembok. Bertahun-tahun amarah tertahan di hatinya, perlakuan Arini kali ini tampaknya akan menjadi jalan bagi Ammar meluapkan segalanya.

"Ammar ...." Arini berusaha bangkit, tapi percuma. Dengan mata yang tak berkedip, Ammar kembali mengangkat tubuh Arini dan mencekiknya kuat. "Ammar ...," ucap Arini dengan napas yang tertahan.
"Kau ingin melihat sisi burukku?" ucap Ammar dengan cengkeraman kuat di leher mantan istrinya itu.

Sekuat tenaga Arini meronta. Pisau yang masih di tangannya seolah tak berguna. Ia menggerakkan tangan dan pisaunya berhasil mengenai lengan Ammar. Membuat kesadaran sebagai manusia pada diri Ammar menghilang.

"Ammar ... kumohon." Arini berbalik dan mencoba untuk lepas dari cengkeraman Ammar.

Kasar Ammar meraih pisau dari tangan Arini, lalu tak menunggu lama ia menghujam punggung wanita itu. Menusuknya dalam dan memutar kuat pisau yang tajam. Lama ... hingga tubuh Arini melemah dan matanya terpejam.

Satu tusukan tepat mengenai paru-paru. Nyawa Arini melayang setelah beberapa kali mengejang. Ammar tak beranjak, ia menjatuhkan tubuh wanita itu tanpa iba. Ketika wajahnya berpaling ke arah Arwa, kesadarannya kembali. Ia melangkah mundur menjauhi bayi itu.

Lima belas menit ia menunggu, lalu Yoga dan beberapa anggota polisi tiba dan begitu terkejut melihat apa yang terjadi di sana.

"Tolong ambil bayiku," ucap Ammar seraya berpaling menjauhkan pandangan dari buah hatinya.

Ammar selalu memiliki amarah di dalam dirinya. Setelah perpisahannya dengan Arini, ia tak lagi bisa mengekspresikan kemarahan. Segalanya ia tahan di dalam hati, menyimpan rapat agar tidak terlihat oleh orang lain. Lalu, hari ini ia berhasil meluapkan, seperti lahar panas yang mengalir bebas. Malangnya, ada nyawa yang melayang dan kebersamaan yang beberapa tahun ke depan akan hilang.
***

Rengganis terduduk, ia menutup wajah dengan kedua tangan. Tak menyangka hidupnya akan serumit itu.

"Hei, maafkan aku ... kumohon."
Rengganis memeluk tubuh suaminya erat. Air matanya kembali jatuh, "Jangan meminta maaf, kumohon jangan," bisiknya lirih.
"Apa kau mau menjaga Zaneeka?"

Rengganis mengusap air matanya seraya mengangguk, "Hanya aku yang bisa mengasuhnya, bukan?" ucapnya. Lembut ia mengusap wajah sang suami.
"Pulanglah, jaga anak-anak kita."

Sungguh, terkadang kesalahan yang dilakukan seseorang adalah jalan bagi kesalahan yang akan dilakukan oleh orang lain.

Arini melakukan kebodohan, lalu Ammar menemukan jalan untuk menumpahkan amarah dan berhadiah keburukan bagi dirinya.

Lagi-lagi Alloh membuktikan, bahwa ujian selalu turun. Tak akan pernah berhenti menghampiri. Tidak menutup kemungkinan, ujian itu turun dalam bentuk kesalahan.

Tidak ada hukuman ... sungguh, tidak pernah ada hukuman. Yang ada hanya balasan. Karena untuk alasan apa pun seseorang melakukan kesalahan, Allah tetap akan membalasnya.

Saat orang lain menutup usia dengan ujian kebahagiaan, di suatu tempat, ada pula yang menutup mata dengan membawa ujian penuh dosa. Jangan lupa, ada pula yang nyawanya terlepas dengan ujian penderitaan.
Namun, apa pun bentuk ujian-Nya. Allah telah menjanjikan tempat paling layak sebagai balasan.

Untuk setiap jiwa yang kerap menyakiti, Allah akan memberinya rasa sakit pula. Untuk hati yang sering tersakiti, Allah akan memberinya bahagia yang tak terkira besarnya.
Satu-satunya yang manusia perlu lakukan adalah, jangan berhenti percaya. Bahwa Dia selalu ada untuk semua yang hamba-Nya lakukan.
Istimewa pula bagi hati yang pernah tersakiti. Berilah maaf kepada mereka yang pernah membuat kecewa. Percayalah, bahwa kedamaian akan datang setelahnya.

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER