(side a)
Fatimah berdiri menatap punggung Rengganis dari ambang pintu, air matanya terus mengalir mengingat nasib anak, menantu, dan cucu-cucunya. Diam-diam ia merasa sangat bersyukur memiliki Rengganis sebagai menantu. Kokoh berdiri meskipun badai datang silih berganti. Tak berpikir untuk pergi saat ujian menimpa dan merenggut semua kebahagiaan.
Anugerah paling indah bagi seseorang yang tengah terkena bencana adalah adanya yang mendampingi, tak berniat pergi meski sakit terus menusuk hati.
"Rengganis." Fatimah menghampiri menantunya.
"Ya, Bu?" Rengganis berbalik dengan senyum yang selalu ramah.
Melihat senyum itu membuat hati Fatimah kian teriris. "Terima kasih untuk kebesaran hatimu, Rengganis," ucap Fatimah lirih.
Rengganis mendekat dan memeluk ibu mertuanya, "Aku melakukan apa yang pernah Ammar lakukan dulu, Bu. Dia menerima masa laluku yang bagi sebagian orang kotor."
"Ibu tidak menyangka Ammar akan melakukan itu, Rengganis. Dia orang yang selalu kuat dan sabar, dia pandai mengendalikan kemarahan."
"Aku tahu. Namun, hati yang terlalu lama menahan sakit, itulah yang paling berbahaya saat kembali disakiti."
Kini, hanya tinggal Rengganis dan anak-anak. Tidak ada lagi sosok Ammar sebagai pendamping dan pelindung. Ia telah berjanji untuk selalu kuat, pantang baginya mengingkari janji yang terucap langsung oleh hati.
"Ibu tidak bisa membiarkan kau tinggal di sini bersama anak-anak tanpa ada yang menjaga, Rengganis," ucap Fatimah khawatir. Cukup baginya segala tragedi yang terjadi, ia tidak ingin keluarganya kembali mendapat bencana.
"Aku dan anak-anak akan tetap di sini, Bu. Kami akan baik-baik saja."
"Hei, maaf ...." Fitri yang baru tiba menatap keduanya bergantian.
"Hei," sahut Rengganis singkat.
"Em ... aku dan Ardi membawa pengacara," ucap Fitri pelan. Bersama Ardi ia membantu mencari pengacara yang bisa diandalkan, karena Rengganis tidak memiliki waktu untuk hal itu.
"Alhamdulillah." Fatimah mengembuskan napas lega. Mereka semua tahu bahwa Ammar akan tetap dipenjara, tapi dengan bantuan pengacara, hukumannya akan lebih ringan. Setidaknya, begitu harapan mereka. "Kau bersiaplah, biar Ibu yang menemui mereka."
"Terima kasih, Bu," ucap Rengganis seraya tersenyum.
Fitri menelan ludah getir menatap kedua mata Rengganis yang begitu jelas digantungi beban.
Rengganis mendesah berat, ia duduk di tepi ranjang dan menatap kemeja milik Ammar yang masih tergantung. Kemeja yang ia siapkan untuk suaminya, nyatanya tak terpakai sama sekali.
"Aku dan Nazwa akan pindah kemari, kalau kau tidak keberatan." Fitri menghampiri Rengganis dan duduk di sisinya.
"Tidak, tentu saja tidak. Karena aku benar-benar butuh teman di rumah ini."
"Apa rencanamu untuk ke depan, Rengganis?"
"Menunggu," ucap Rengganis tegas. "Aku akan menunggu, merawat anak-anak, dan menunggu bayi ini lahir." Lembut Rengganis mengusap perut yang mulai terasa menegang. Tak lama lagi pasti akan membulat perlahan.
"Anak-anakmu hebat, Rengganis. Lihatlah Arwa, dia baik-baik saja setelah apa yang terjadi. Lalu ini ...." Fitri menunduk dan mengusap perut Rengganis, "Dia hebat. Sekuat ibunya," sambungnya.
Keduanya tidak menyadari, Nazwa memperhatikan sejak tadi dari ambang pintu. Berusaha selalu terlihat tenang agar bisa mengalirkan ketenangan kepada Rengganis. Ia tak ingin orang lain membaca rasa ibanya terhadap Rengganis, agar apa pun nanti yang akan ia katakan, dapat diterima dengan baik.
"Ehem ...!"
Rengganis dan Fitri menoleh ke arah pintu bersamaan.
"Kapan kau datang?" tanya Fitri cepat.
"Baru saja." Nazwa berjalan ke dalam dan menatap keduanya bergantian, "Aku baru saja bertemu teman lama, dan memutuskan singgah ke sini," ucapnya.
"Bagaimana pekerjaanmu, Nazwa?" Rengganis tersenyum ramah kepada gadis yang selalu menguatkannya itu.
"Tidak sesibuk di Dubai. Rupanya, di Indonesia tidak banyak yang memiliki masalah."
"Bukan mereka tidak punya masalah." Fitri menimpali dengan wajah konyol. "Tapi, karena menggunakan jasa Psikiater sangat mahal di sini. Kalau saja mereka memiliki dana, aku yakin ... kau akan sibuk dengan ratusan orang setiap hari. Ini Indonesia, tingkat stresnya cukup tinggi."
Nazwa dan Rengganis tertawa mendengar ucapan Fitri.
Sejenak batin Rengganis merasa tenang. Berada di antara orang-orang yang peduli memang menyenangkan. Masalah terasa lebih ringan, kesulitan selalu menemukan jalan. Karena kekuatan cinta tiada apa yang bisa meruntuhkan.
"Hei, bagaimana perasaanmu?" tanya Nazwa kepada Rengganis.
Rengganis menghela napas berat, "Beginilah. Tapi aku harus tetap kuat, 'kan?"
"Benar. Kau harus tetap kuat. Karena hanya kau yang bisa membuat fondasi tetap kokoh."
Rengganis tersenyum tipis, dua matanya mulai berkabut. Keluhnya meronta menuntut untuk diungkapkan. Baru beberapa tetes ia dan Ammar meneguk bahagia, tapi tampaknya Alloh masih ingin menguji mereka.
"Apa yang sedang Dia rencanakan untukku, Nazwa?" tanya Rengganis lirih. Ia berbalik menatap rerumputan di halaman, tempat biasa Ammar bermain bersama anak-anak. Bayangnya masih berada di sana, suara tawa mereka masih terdengar merdu. "Aku melihat mereka dari sini setiap pagi. Bermain dan tertawa."
"Jangan pernah bertanya apa yang Allah sedang rencanakan, karena seburuk apa pun yang Dia turunkan, itulah yang terbaik bagimu." Nazwa menghampiri Rengganis, pelan diusapnya lengan wanita itu. "Allah memilihmu, bersyukurlah sebab Dia masih ingin dekat denganmu. Sudah saatnya kau mencoba untuk mendekat kepada-Nya, meraih hidayah yang sudah lama menunggu, menghampiri pintu yang lama kau biarkan terbuka, memasuki ruang di mana hanya kau yang akan berada di sana."
"Aku hanya ...."
"Di mana cucuku ...!"
Ucapan Rengganis terhenti ketika mendengar seseorang berteriak dari bawah. Ketiganya keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Aku mau membawa cucuku!"
"Maaf ...?" Rengganis mengernyit menatap wanita yang berpenampilan bak istri seorang Presiden itu.
"Oh, ini wanita yang telah merebut cucuku?" teriak wanita itu kepada Rengganis.
"Dewi, jaga bicaramu." Fatimah mencoba menengahi.
"Diam, Fatimah! Putramu telah membunuh putriku. Aku mau cucuku, sekarang!"
Semua orang terdiam. Termasuk Rengganis, berulang kali ia menelan saliva, menahan perih yang disebabkan ucapan wanita yang ternyata adalah ibu kandung Arini.
"Kau tidak punya hak atas cucuku. Kembalikan cucuku!" Kuat Dewi mengguncang tubuh Rengganis. Mata wanita 52 tahun itu memerah, rahangnya tampak bergerak menahan amarah.
"Maaf, Bu ...."
"Aku bukan ibumu!"
"Baiklah, Tante, maaf. Zaneeka tidak akan ke mana-mana." Lirih Rengganis berkata. Tidak sedikit pun ia takut akan amarah wanita yang sejak tadi mengepalkan tangan itu.
"Kau tidak berhak atas cucuku. Kau hanya Ibu tirinya!"
"Aku berhak atas Zaneeka. Jika ada yang merasa keberatan, silakan buat tuntutan." Dingin Rengganis menatap Dewi, di matanya ada luka yang ingin keluar dengan makian. Karena wanita yang kini berdiri di hadapannya adalah ibu dari orang yang telah menyebabkan kebahagiaannya hancur.
"Kaupikir pengadilan akan mendukungmu? Aku neneknya, aku yang lebih berhak ...."
"Aku juga neneknya, Wi," ucap Fatimah lembut. Ia tak ingin menanggapi sikap kasar mantan besannya itu.
"Pengadilan tetap akan mendukungku, karena putramu adalah pembunuh!"
"Hei, Tante!"
Semua orang menoleh ke arah pintu, Quenzi berdiri dengan wajah penuh dengan murka.
"Jaga bicaramu atau kutarik keluar lidahmu."
"Q ...." Fatimah mencegah putra bungsunya itu mendekati Dewi. "Sudahlah," ucapnya pelan.
"Biar, Bu. Aku muak dengan keluarga mereka," ucap Quenzi geram. Pelan ia mendekati Dewi, pandangannya tak lepas dari kedua mata wanita itu. "Jangan pernah mengatakan kalau kakakku adalah pembunuh. Karena putrimu layak mendapatkan semua itu."
Dewi tampak marah dengan ucapan pemuda itu. "Berani sekali kau?"
"Putrimu berselingkuh dan menghancurkan hati kakakku. Putrimu menjadi racun bagi rumah tangga kakakku, putrimu menculik keponakanku, mengancam kakakku. Apa lagi dosa putrimu?"
Dewi tak memiliki jawaban untuk ucapan Quenzi. Wajahnya memucat dan berpaling ke arah Rengganis, "Aku akan menuntut hak asuh atas Zaneeka," ucapnya seraya berlalu meninggalkan mereka semua.
Setelah wanita itu pergi, Rengganis merasakan kepalanya pusing. Ia duduk di sofa seraya mengusap lembut keningnya sendiri. "Apa dosaku?" gumamnya pelan.
Quenzi yang masih dikuasai amarah bergegas menuju dapur dengan langkah berderap. Tangannya masih mengepal, matanya mulai berkaca mengingat orang yang begitu menyayanginya kini berada di balik jeruji besi.
"Brengsek!" geramnya seraya memukul kuat tembok tak jauh dari pintu dapur. Dibukanya daun pintu dan membiarkan udara masuk. Setelahnya ia merasakan sebak yang luar biasa. Air mata mengalir tanpa jeda, mengingat sang kakak akan berada lama di penjara. Hidup di tempat yang tak selayaknya.
"Hei ...." Nazwa menghampiri Quenzi dengan langkah lembut.
Cepat Quenzi menghapus air mata dan mencoba terlihat sekokoh karang di hadapan gadis itu.
"Tidak perlu malu, menangislah. Kau manusia, bukan robot," ucap Nazwa diiringi tawa yang renyah.
Tak ada kata yang sanggup diucapkan oleh Quenzi, dadanya masih sesak, air mata pun masih ingin mengalir membantuk pola tak beraturan di pipi. Ia duduk di ambang pintu dan melipat kedua kaki, mendekapnya erat lalu membenamkan wajah di sana.
"Seperti setangkai bunga, untuk mekar mereka butuh hujan dan panas surya. Begitu pula kehidupan, butuh ujian untuk naik ke tempat terbaik," ucap Nazwa lirih.
Sungguh beruntung mereka memiliki Nazwa di sana. Gadis itu bak purnama dalam gulita, serupa kunang-kunang yang terbang dalam gelap untuk menunjukkan arah agar pejalan kaki tak tersesat. Tiada beda dengan titik embun di atas dedaunan yang meskipun kecil, mampu menghapus dahaga dan menyejukkan.
"Seberapa besar rasa sakit yang pernah kau alami, Nazwa?" Quenzi melayangkan pandang jauh entah ke mana. Kosong.
"Akan kuberitahu semua rasa sakitku kepadamu, tapi tidak sekarang."
"Kapan?"
"Nanti ... setelah kau dewasa," sahut Nazwa seraya mengedipkan satu mata manakala pemuda itu menatapnya dengan kedua alis tertaut.
"Sayang sekali. Sepertinya aku tidak akan pernah mendengar kisahmu." Quenzi membalas kedipan gadis itu dengan cara nakal.
"Sepertinya itu lebih baik," ucap Nazwa lirih.
"Kakak adalah satu-satunya orang yang melindungiku. Banyak cerita yang kami ciptakan sejak kecil, menatap langit-langit kamar dan berkhayal bersama. Menjadikan satu mimpi yang berbeda. Sulit rasanya menerima keadaan ini."
Nazwa memilih duduk di sisi Quenzi, bersandar di daun pintu ke arah yang berlawanan. Matanya terpejam, mencoba merangkai kata yang pas untuk dikatakan. "Maka sudah saatnya kau menjadi tulang punggung bagi Ibu, Rengganis, dan semua keponakanmu. Hanya kau yang bisa diandalkan, aku yakin Ammar begitu berharap peranmu dalam keluarga."
Quenzi mendesah pelan, siap atau tidak, ia memang harus mewakili Ammar selama berada di dalam sana. Untuk ibunya, kakak ipar, juga para keponakan. Ia adalah satu-satunya pria yang dibutuhkan.
"Jika ujian membuatmu merasakan sakit, maka ingatlah kejutan yang Dia siapkan sebagai penawarnya."
***
Rengganis duduk di beranda kamar bersama Arwa yang ia letakkan di kereta dorong. Berdua mereka menatap langit yang mulai dikunjungi senja, sesekali terdengar Arwa merengek kesal karena teether terlepas dari tangan mungilnya. Namun, bayi itu kembali diam setelah sang ibu mengembalikan benda lembut itu kepadanya.
Segelas kopi yang tadi panas, kini telah dingin dan hambar karena terabaikan. Rengganis tak lagi bisa menikmati aroma kopi setelah Ammar tiada di sisi. Senja yang dulu begitu indah, jingga dan memesona, kini tampak serupa dan biasa saja.
Segala yang dinikmati seorang diri memang tak mudah diresapi.
"Rengganis."
Suara Nazwa menyadarkan. Gadis itu baru saja pindah tadi pagi, bersama Fitri menempati kamar kosong di seberang kamar Zaneeka.
"Hei, kau punya gunting?" tanya Nazwa seraya menghampirinya di beranda.
"Ada di laci kerja Ammar," sahut Rengganis diiringi senyum hambar.
Nazwa selalu menyadari raut wajah seseorang. Tak sulit baginya untuk melihat apakah senyum itu datang dari hati, atau sekadar menggambarkan lara diri.
"Hei, gadis kecilku." Lembut Nazwa menyentuh pipi Arwa. Seolah mengerti, bocah yang belum berusia satu tahun itu tertawa menampakkan baris gusinya yang kosong. "Kau harus sering-sering menunjukkan gusi itu pada ibumu, agar dia tahu betapa lucu dirimu," sambungnya.
Rengganis hanya menunduk, ia mengerti maksud ucapan Nazwa.
"Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?" Nazwa beralih kepada Rengganis.
"Hal yang sama, selalu saja hal yang sama," sahut Rengganis diiringi helaan napas perlahan.
"Lalu?" Nazwa menatapnya lekat.
"Hanya sesekali membandingkan hidupku dengan orang lain. Mengapa mereka begitu bahagia, seperti tidak ada masalah yang menyapa. Sedangkan aku?"
"Manusiawi, aku juga dulu sering melakukannya. Membandingkan diri dengan semua orang."
"Benarkah?" tanya Rengganis tak percaya.
"Aku melihat kehidupan orang lain begitu nikmat, ternyata mereka hanya tak pernah berkeluh kesah. Kulihat teman-temanku tak pernah berduka dan jauh dari kesedihan, ternyata mereka hanya pandai menutup duka dengan bersyukur. Hidup mereka terlihat tenang tanpa ujian, nyatanya mereka begitu menikmati badai yang datang dalam kehidupan. Yang kulihat hidup mereka begitu sempurna, rupanya mereka selalu bahagia dengan apa yang dipunya. Setiap saat aku mengamati kehidupan orang lain, setelah semua yang kulihat, akhirnya aku sadar, bahwa bukan hidup mereka yang tanpa masalah, tapi akulah yang tidak bersyukur dengan jalan yang ditentukan Allah. Dan satu hal yang hingga kini selalu aku ingat, bahwa Allah tidak akan pernah mengurangi kebaikan dalam diri ini. Hanya saja, akulah yang seringkali ingkar akan nikmat-Nya. Setelah itu semua, lalu aku mengerti, tidak ada alasan bagiku untuk iri atas takdir orang lain."
Rengganis menggigit bibir bawahnya. Dadanya berdebar mengingat betapa sering dirinya mengeluh dalam diam. Bertanya dalam hati, mengapa begini? Mengapa begitu? Mengapa harus aku?
Jutaan tanya dan keluh ia ucapkan setiap saat. Terbalut senyuman dan diam, sehingga tidak ada yang mampu melihatnya. Semua orang berpikir ia adalah wanita yang sabar, tidak ada yang tahu berapa tumpuk keluh kesah ia tuliskan setiap kali diberi ujian.
"Apa yang paling kau takutkan, Rengganis?"
Rengganis mengernyit tak mengerti, "Apa maksudmu?" tanyanya ragu.
"Hal yang paling kau takuti? Masa lalu, semua mimpi buruk, yang baru terjadi, ataukah sesuatu yang justru belum terjadi?" Nazwa menegaskan.
"Aku sudah tidak hidup di masa lalu, Nazwa. Yang terjadi malam itu ... pahit, sakit, mengerikan. Tapi, perlahan aku mengerti. Seperti katamu, satu ujian untuk membuka pintu ke arah yang baru. Mimpi buruk, kurasa akan selalu datang setiap kali aku terkena masalah dan memutar memori menuju malam itu. Yang terjadi saat ini, menyakitkan, kau tahu itu. Kau benar ...." Rengganis terdiam. Tangannya mengusap perut pelan, lalu mengalihkan pandangan kepada Arwa, ingatannya pula menuju pada sosok Zaneeka. "Yang paling aku takuti adalah apa yang belum terjadi," ucapnya lirih.
"Apa tepatnya?" Nazwa tahu Rengganis berbohong. Masa lalu jelas masih tergambar di mata wanita itu. Kelam.
Rengganis menggigit bibir dalamnya, membayangkan hal yang paling ia takuti. "Anak-anak. Mereka akan tumbuh tanpa sosok Ayah. Aku takut tidak sanggup memegang dua peran sekaligus bagi mereka."
"Berprasangka baiklah kepada Allah, karena tidak jarang yang terjadi lebih sering sesuai dengan apa yang kau pikirkan."
"Aku tahu, hanya saja ...."
"Ibu ...."
Zaneeka muncul dengan pakaian sekolah yang basah.
"Hei, Jagoan, ada apa dengan pakaianmu?" tanya Nazwa heran.
Rengganis berbalik dan tak kalah terkejut, "Ada apa, Sayang? Kenapa pakaianmu basah?" tanyanya lembut.
Tangan Zaneeka bergerak dan menunjuk ke arah pintu. Tampak Fitri sedang menyeringai di sana.
"Tante Fitri menyiramku," ucap Zaneeka cepat.
Rengganis dan Nazwa menatap Fitri tak percaya.
"Aku tidak sengaja. Dia berdiri tepat di bawah jendela ...."
"Aku mengambil mainan yang jatuh kemarin." Zaneeka memotong ucapan Fitri.
"Pengadu!" Fitri mencibir bocah delapan tahun itu.
"Lihat, Bu, aku menemukannya. Tadi tidak sengaja aku melihat di bawah jendela." Zaneeka menunjukkan miniature pesawat miliknya kepada sang ibu. "Aku membelinya bersama Ayah. Katanya, aku akan menjadi seperti Eyang Habibie yang bisa membuat pesawat." Mata polos bocah lelaki itu berbinar, lalu pudar dalam sesaat. Tentu saja ia tahu, ayahnya tidak berada di sisi saat ini.
"Hei, pergilah ke kamar dan bersihkan dirimu." Rengganis mengusap lembut pipi putranya.
Zaneeka mengangguk seraya berbalik dengan kepala menunduk. Saat kakinya baru melangkah, ia berbalik menatap Rengganis dengan mata layu, "Kapan kita bisa bertemu Ayah?" tanyanya pelan.
Lidah Rengganis membeku, wajahnya terasa panas, dan tubuhnya dingin bagaikan dikurung di antara bongkahan es. Tak ada jawaban untuk pertanyaan Zaneeka, karena Ammar memaksanya untuk berjanji agar tak membawa anak-anak menemuinya. Janji yang terlanjur terucap dan harus ditepati meskipun hatinya tak menginginkan.
Nazwa yang menyadari kebekuan Rengganis segera mengambil alih, "Kau harus bisa membuat pesawat agar bisa bertemu dengannya, Jagoan," ucapnya seraya mengusap kepala anak itu. "Ayolah, aku akan membantumu bersiap, kau suka keju goreng?"
Zaneeka mengangguk cepat, "Ya, tapi aku tidak ingin Ibu yang membuat," sahutnya.
"Kenapa?"
"Ibu membuat keju meleleh di dalam minyak. Tidak ada yang bisa aku makan."
Rengganis yang mendengar itu hanya bisa tertawa. Ia memang selalu gagal membuat keju goreng.
"Aku tidak akan mengecewakanmu, Tuan Muda." Nazwa menggandeng tangan Zaneeka keluar kamar.
Rengganis menyandarkan kepalanya lemas. Ia bangkit dan membawa Arwa kembali ke dalam. Lemah batinnya berbisik bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, sebagai wanita ia tahu, bahwa di depan sana masih ada ujian yang lebih berat lagi.
"Kita bisa melewati ini semua, Sayang," bisiknya di telinga Arwa.
Siapa saja boleh manangis. Namun, menangislah dengan syahdu, bukan untuk ujian-Nya, tapi untuk setiap noktah masa lalu. Tangisi dosa besar yang tanpa sadar tertimbun ego. Hanya kesadaran hati yang dapat menyelematkan diri.
Karena bukan salah Alloh memberikan uji, tapi salah diri yang tak pandai memaknai.
*****
(side b)
Ammar duduk dengan dua tangan yang disatukan oleh borgol. Wajahnya menunduk, memikirkan setiap detik yang akan ia lewati tanpa Rengganis, tak menyaksikan Zaneeka tumbuh dewasa, tidak lagi mendengar tangis tengah malam Arwa. Yang paling menyakitkan, ia tidak akan bisa menyaksikan buah hatinya saat lahir kelak.
Air matanya jatuh, bukan penyesalan, hanya keluhan yang tak mampu diucapkan.
"Buka borgol bodoh itu!" teriak Yoga geram.
Seorang polisi yang mengawal Ammar segera mematuhi perintah pimpinannya itu.
"Siapa yang mencari pengacara untukku?" tanya Ammar.
"Fitri dan Ardi. Jangan khawatir, semua orang tahu alasan kau melakukannya." Yoga mencoba menghibur sahabatnya.
"Tapi tidak dengan hakim. Kau mengenal bagaimana keluarga Arini, mereka akan mencari pengacara terbaik dari penjuru Negeri untuk memenjarakan aku," ucap Ammar dengan nada putus asa.
"Kami semua berusaha yang terbaik untukmu," ucap Yoga mencoba meyakinkan.
Ammar melangkah mengikuti Yoga menuju ruang pertemuan. Di sana, Rengganis, Ardi, dan Pengacara sedang menunggu.
Langkah Ammar terhenti saat matanya jatuh bertemu dengan dua mata wanita yang paling dicintai. Tangannya gemetar, ingin berlari dan memeluk erat wanita bermata indah itu.
Rengganis yang rindunya tak kalah besar, berdiri dengan tatap yang tidak sedikit pun berkedip. Pelan ia melangkah mendekati sang suami, melingkarkan kedua tangan di pinggang lelaki itu, memeluk erat dan menyandarkan kepala di dada yang setiap malam selalu menjadi alasan tidurnya begitu lelap.
"Ha--hai ...." Terbata Ammar menyapa, kaku tangannya melingkar mendekap tubuh sang istri. Hangat. Rindu mereka kini menyatu.
"Aku merindukanmu," bisik Rengganis tanpa sedikit pun melonggarkan pelukannya.
"Aku tahu. Mata itu sudah mengatakannya sejak tadi." Ammar mendekap semakin erat. Ia tahu momen itu tak akan kembali untuk waktu yang lama. "Bagaimana kabar anak-anak?" tanyanya pelan.
"Arwa hanya bisa tidur jika diselimuti dengan bajumu. Zaneeka selalu bertanya kapan bisa bertemu ayahnya. Dan bayi ini ...." Rengganis melepas pelukan dan mengusap perutnya, "Sangat baik hati. Tidak pernah mengeluh saat aku kelelahan mengasuh Arwa," sambungnya seraya tersenyum. Matanya berkaca ketika menyadari rambut halus mulai tumbuh di wajah suaminya. Tangannya bergerak mengusap wajah pria itu lembut, merasakan kasar dari bulu-bulu yang bersiap untuk memanjang.
"Aku belum sempat mencukurnya." Ammar menangkap tangan Rengganis dan menggenggamnya erat. "Jangan menangis, kumohon."
Cepat Rengganis mengusap bening yang belum sempat terjatuh. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan lelaki yang sangat dicintainya.
"Ammar ...." Yoga menyadarkan keduanya.
Ammar dan Rengganis berjalan menghampiri pengacara yang sudah siap dengan berkas-berkasnya.
"Haris." Pengacara muda itu memperkenalkan diri, bersambut anggukan pelan dari Ammar.
"Jadi ...?" tanya Ammar ragu.
Haris membuka beberapa berkas salinan bukti yang diberikan Yoga. Pemuda 32 tahun itu berdeham seraya menatap Ammar. "Tuntutannya maksimal dua puluh tahun, tapi karena bukan pembunuhan berencana, Insya Allah maksimal lima belas tahun. Bisa di bawah itu jika mempertimbangkan bagaimana kejadian bermula."
Ammar menelan ludah getir. Ia ragu akan mendapat hukuman ringan, karena keluarga Arini tidak akan pernah melepaskan dirinya begitu saja.
Rengganis yang menangkap keraguan di mata Ammar, mencoba untuk menguatkan dengan menggenggam lembut tangan pria itu.
"Kapan sidang akan dilakukan?" tanya Ammar lagi.
"Belum ada jawaban dari hakim," sahut Haris pelan.
Ammar menatap Rengganis dengan mata layu, merasa bersalah karena menjatuhkan beban begitu berat kepadanya. "Maafkan aku," ucapnya lirih.
"Jangan meminta maaf untuk alasan apa pun. Kau tahu aku mendukungmu." Rengganis memeluk lelakinya erat. Detak keduanya menyatu dalam kepedihan, entah siapa yang harus disalahkan dalam hal ini. "Aku ikhlas menerima semua ini," bisik Rengganis lirih.
"Terima kasih." Ammar membalas erat pelukan sang istri.
Rengganis teringat apa yang dikatakan Nazwa tadi pagi. Bahwa ia harus menerima, suka atau tidak, senang atau susah.
"Bahwa apa pun yang telah terjadi tidak ada pilihan untuk menyesali. Hanya ikhlas yang harus kaulakukan. Seikhlas senja yang muncul hanya seketika, tapi kehadirannya dinantikan oleh setiap mata."
"Jaga dirimu sebaik mungkin, aku akan kirimkan kopi dan nasi goreng kesukaanmu setiap hari," bisik Rengganis dengan hati yang merintih perih.
"Setiap hari?" Ammar menangkupkan dua tangannya di wajah sang istri, menatap netra yang tak bisa lagi dipandang sesukanya.
"Ya, sehari tiga kali kalau perlu."
Ammar terkekeh. Hambar.
"Jangan lupa kirimkan surat untuk Arwa."
Ammar mengangguk seraya menyunggingkan senyum, "Kau tahu, saat pertama kali kita bertemu ...."
"Ya, kau hampir menabrakku."
"Saat kau pingsan, aku menatapmu dan berpikir ... wajah wanita ini seindah lembayung yang menyapa kala senja tiba. Hangat."
Rengganis tertunduk dengan wajah merah jambu.
"Lalu, pertemuan kedua, ketika mengantar barang-barangmu. Kau meninggalkan aku di lobi, aku mematung di sana ...." Ammar terdiam beberapa saat, senyumnya kembali mengembang mengenang perasaannya kala itu.
"Kenapa?" tanya Rengganis tak sabar.
"Aku berpikir, andai saja kau belum menikah ... ternyata apa yang kupikirkan benar adanya. Ardi menceritakan semua tentangmu. Aku tidak tahu kalau kau yang ia maksudkan sebagai gadis bermata misterius. Hingga kita bertemu di kafe, lalu saat itu ...." Kali ini Ammar mendesah lembut, jemarinya menyapu hangat anak rambut Rengganis. "Aku tahu kalau aku jatuh cinta kepadamu," ucapnya lirih.
Setiap hati selalu memiliki misteri. Entah itu untuk dibagi, ataukah harus disimpan sendiri oleh pemiliknya. Jika Ammar memilih untuk membagi misterinya, tidak begitu bagi Rengganis. Karena kejujurannya akan sedikit menyakitkan bagi lelaki itu.
Sebab tidak semua hati bisa dengan cepat mencintai. Ada yang butuh waktu, ada pula yang perlu menutupnya dengan sesuatu.
Nyatanya, Rengganis memang belum benar-benar mampu untuk jatuh cinta. Hanya saja, hatinya menerima hangat dengan cara yang tepat.
"Ardi benar, kau memang penuh misteri. Hingga saat ini aku tidak tahu cara menggali hatimu lebih dalam lagi."
Rengganis tersenyum, semanis kembang gula merah muda yang selalu berhasil menghibur balita yang sering merengek kepada ibunya. "Jika kau ingin tahu apa yang sedang menari dalam pikiran seseorang, dengarkan apa yang diucapkannya. Jika kau ingin mendengar apa yang dilagukan oleh hati seseorang, perhatikan apa yang dilakukannya."
Ammar hanya membalas ucapan istrinya dengan senyum termanis yang ia punya. Desah napasnya kian berat kala mata menatap jarum jam di dinding bergerak menuju batas temu mereka.
"Tetaplah berdiri meskipun aku tak bisa meraihmu saat terjatuh. Tetaplah bersinar meski aku tak di sana sebagai teman," ucap Ammar pelan.
"Jangan biarkan rambutmu tumbuh terlalu panjang, dan jangan biarkan mereka membuat kepalamu seperti bola basket Zaneeka."
"Tidak akan." Lama Ammar menatap Rengganis, gemuruh di dada kian menggetarkan saat pengacara sudah mulai membereskan berkasnya. "Jalinlah dunia bersama anak-anak dengan bahagia. Beri aku warna setiap kali kau berkunjung," ucapnya seraya merengkuh erat tubuh hangat Rengganis.
Setiap hati bisa saja merelakan semua yang terjadi, meyakinkan diri bahwa takdir tak bisa dipukul mundur tanpa menyelesaikan soal yang dibawanya. Hanya saja, ikhlas adalah bagian tersulit dari merelakan.
Perjalanan baru dimulai, buku baru saja dibuka, dan lembar pertama yang cukup perih untuk diselesaikan bagi Rengganis.
***
"Assalamualaikum."
Quenzi melangkah ke dalam rumah Rengganis dengan dua kantong belanjaan di tangannya. Ia sudah berjanji kepada Ammar akan menjaga kakak ipar dan keponakannya. Tidak ada yang boleh menyakiti mereka, setiap saat Quenzi mengatakan itu kepada diri sendiri.
"Waalaikumsallam."
Pawana begitu sejuk meniup wajah dan hati Quenzi ketika gadis bergamis cokelat muda itu menuruni anak tangga, senyum manis selalu menghiasi wajahnya yang ayu, suara langkahnya terdengar merdu di telinga, tatapnya bagai anak panah yang jatuh tepat di lubuk hati. Keindahan rasa yang tak pernah ia tahu sebelumnya.
"Q ...!" Nazwa mengayunkan tangan di depan wajah Quenzi.
"Ya?" Quenzi berkedip gugup.
"Apa yang kaubawa?" tanya Nazwa tanpa peduli pada reaksi pemuda itu.
"Keperluan dapur," sahut Quenzi cepat. Tubuh tingginya menyamai langkah Nazwa menuju dapur. Ada aroma yang tak ia pahami ketika tanpa sengaja lengannya menyentuh lengan Nazwa dari balik kain yang melindunginya.
"Zaneeka sangat suka keju goreng. Kami kehabisan keju dan telur. Kau membelinya?" tanya Nazwa seraya mengambil alih kantong dari tangan Quenzi.
"Ya, aku membelinya. Aku juga membeli beberapa keperluan Arwa." Perlahan Quenzi mengeluarkan popok dan botol susu baru untuk keponakannya.
"Bantu aku memasukkan ke kulkas," pinta Nazwa yang langsung dituruti oleh Quenzi.
"Bagaimana keadaan di sini?" tanya Quenzi pelan.
"Kurasa kau sudah tahu kalau sidang perdana Ammar akan berlangsung pekan depan. Jadi, keadaan cukup kelabu di sini."
Quenzi menghentikan pekerjaannya sesaat. Ia masih merasakan hangatnya rumah itu beberapa pekan yang lalu. Sebelum Arwa diculik dan mengubah semua yang dimiliki Ammar.
"Apa yang kaupikirkan?" Nazwa mengernyit, alis tebalnya menyatu mencari tahu.
Quenzi menggeleng pelan, "Aku sering melihat Kakak melamun. Saat di Mesir, ia bahkan tidak memiliki seorang teman pun. Hidupnya gelap, tak memiliki rasa, seperti patung yang hanya akan bergerak jika ada yang menggerakkannya. Lalu cahaya mulai terlihat di wajahnya setelah mengenal Rengganis. Aku mendapatkannya kembali, anak lelaki yang sering memarahiku jika kalah berkelahi ...." Quenzi mengusap wajahnya kasar, menjauh dari kulkas dan berpegang pada kursi di depannya. "Huh ... aku sudah merindukannya," sambungnya diiringi tawa hambar.
"Apa kau tahu, Q, bahwa berpisah dari seseorang adalah salah satu jalan untuk menjadi lebih dekat dari sebelumnya?"
"Kami sudah cukup dekat."
"Tapi kedekatan yang terjalin setelah lama terpisah akan berbeda. Ikatan semakin kuat, rindu akan memupuk cinta untuk tumbuh semakin besar."
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" Quenzi menatap Nazwa dengan tawa tertahan dan kening berkerut.
"Apa yang kaupikirkan tentangku?"
Quenzi memukul keningnya kuat, "Aku yang ingin bertanya, kenapa justru kau yang lebih dulu melempar anak panah?" ucapnya dengan nada putus asa.
"Baiklah, apa yang ingin kau tanyakan?" Nazwa melipat dua tangannya di dada.
"Apa sikapmu memang seperti ini sejak kecil?"
Nazwa mengernyit tak mengerti, "Ada apa dengan sikapku?" tanyanya polos.
"Sejak usia berapa kau bersikap dewasa dan bijaksana? Adakah pemicunya atau memang sudah karaktermu begini?"
"Setiap yang terjadi, setiap apa pun yang seseorang lakukan, pasti ada alasan sebagai pemicunya, Q. Selalu ada alasan ... selalu ada alasan." Nazwa meninggalkan senyum untuk pemuda itu dan melangkah keluar dari dapur.
Menyisakan tanya yang lebih besar bagi Quenzi. "Kau tidak ingin menceritakannya kepadaku?" teriaknya seraya melangkah menuju pintu.
Nazwa menghentikan langkah dan tersenyum, tanpa menoleh ia berucap, "Kapan-kapan aku akan ceritakan. Tunggu saat yang tepat."
Quenzi berdiri menatap gadis itu, "Kapan waktu yang tepat itu?" tanyanya lirih.
"Setelah kau tumbuh dewasa," sahut Nazwa, kemudian langkahnya menjauh menuju halaman.
"Apa aku masih kurang dewasa? Apalah artinya usia," gumamnya kesal.
Nazwa baru saja akan duduk ketika mobil Rengganis memasuki halaman. Tak lama kemudian, Zaneeka turun dan berlari menghampirinya.
"Tante ...!" teriak bocah lelaki yang sangat mirip ayahnya itu.
"Assalamualaikum, anak baik ... Assalamualaikum."
Zaneeka tersenyum seraya berdiri dengan dua tangan di belakang, "Assalamualaikum, Tante. Di mana Arwa?" tanyanya pelan.
"Waalaikumsallam, Arwa baru saja tidur setelah lelah bermain ... bagaimana sekolahmu?"
"Dia berkelahi dengan teman sebangkunya." Rengganis menimpali.
"Benarkah?"
Zaneeka mengangguk cepat, "Dia mengambil pensil warnaku!" serunya dengan kening membentuk pola tak beraturan.
"Kau sudah bicara baik-baik dengannya?" Nazwa mengusap keringat yang baru saja keluar di kening Zaneeka.
"Ya, aku sudah meminta agar dia mengembalikan. Tapi dia mengejek dan melempar pensil warnaku ke dalam tempat sampah. Aku geram dan memukulnya dengan buku."
Nazwa berkedip cepat, "Sekuat apa kau memukulnya?"
"Dia hanya memukul dengan buku tulis, anak itu sepertinya pandai berdrama. Dia menangis di kelas, saat aku tiba gurunya langsung mengatakan bahwa anak itu memang suka mengganggu." Rengganis mengeluarkan beberapa kantong tanah untuk menanam bunga di pekarangan.
"Lain kali, jangan memukul sebelum kau menegurnya sampai tiga kali. Belajarlah mengendalikan emosi, kau mengerti?"
Zaneeka menarik bibir kanannya ke belakang, "Bagaimana kalau dia terus mengganggu?" tanyanya dengan tatapan tak setuju atas ucapan Nazwa.
"Pengganggu akan semakin senang mengganggu kalau kau selalu menanggapi. Biarkan saja dia mengganggu sampai lelah."
"Em ... Ibu ...?" Seolah meminta pembelaan, Zaneeka menatap Rengganis dengan mata polosnya.
"Kau tahu, aku setuju dengannya," ucap Rengganis tegas.
"Sudahlah. Aku yakin kau anak yang sangat pintar, karena kau harus menjadi contoh untuk adik-adikmu. Pergi ke kamar dan ganti pakaian, ada es krim di kulkas," ucap Nazwa lembut.
Raut wajah bocah itu seketika berubah ceria. Cepat ia berlari meninggalkan dua wanita dewasa itu. Derap langkahnya berhasil membuat Rengganis dan Nazwa tertawa.
"Dia pandai membela diri," ucap Nazwa pelan. Ia beranjak mendekati Rengganis yang sibuk menata beberapa vas batu berukuran sedang di bawah jendela kamarnya.
"Terkadang, terlalu pandai membela diri juga tidak baik," sahut Rengganis lirih. Ia teringat akibat apa yang diterima Ammar ketika untuk pertama kalinya lelaki itu membela diri.
"Hei, jangan selalu menyesali. Berulang kali aku mengatakan, kau tidak punya pilihan dalam hal ini."
Rengganis menjatuhkan vas dari tangannya. Ia duduk di antara bunga-bunga yang baru menampakkan kuncupnya. "Katakan padaku, Nazwa, apa menurutmu selama ini Dia mendengar doaku?"
"Alloh selalu mendengarmu, terucap atau tidak, Dia selalu mendengarkan pinta hamba-Nya ...."
"Lalu kenapa Dia tidak melihat apa yang aku rasakan?"
Nazwa menatap Rengganis sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke langit yang cahayanya menyilaukan. "Rasa apa yang kau ingin Dia dengar?" tanyanya dengan nada sedikit tinggi.
"Rasa sedih mungkin." Tercekat napas Rengganis kala mengingat bagaimana ia menangis dalam gelap setiap malam.
"Bukan Allah tidak tahu seberapa besar kesedihanmu. Tapi Dia tahu bahwa kau kuat, hanya kau yang mampu melewatinya."
Rengganis menunduk menatap tanah di bawahnya, "Apa aku terlalu banyak meminta selama ini? Rasanya, belum satu pun yang Dia kabulkan."
"Hei, bagaimana dengan semua ini? Arwa, Zaneeka, bayi dalam kandunganmu, dan ... napas yang masih berembus untukmu?" Nazwa memetik setangkai kuntum mawar lalu membuangnya ke hadapan Rengganis, "Lihat bunga itu. Apa dia akan mekar setelah kupetik? Lalu lihat semua tanaman ini, apakah akan tumbuh tanpa tanah dan air yang kausiramkan setiap pagi?" tanyanya dengan mata menyipit dan alis saling bertaut.
"Apa maksudmu? Tolong jangan menggunakan analogi yang terlalu rumit, aku sedang tidak bisa berpikir."
"Lihat tanaman ini, kautanam mereka dengan harapan dapat memberi keindahan untuk halaman ini kan?"
Rengganis mengangguk pelan.
"Apa mereka akan memberi apa yang kau inginkan jika tidak kausiram dan rawat dengan benar?"
Kali ini Rengganis menggeleng lemah, ia mulai memutar otak untuk berpikir maksud ucapan Nazwa.
"Lalu, apa menurutmu kau pantas meminta, jika tidak pernah memberi kepada-Nya?" tanya Nazwa lembut.
"Apa yang harus aku berikan?"
"Hatimu, Rengganis, hatimu."
"Sungguh, aku tidak mengerti, Nazwa." Kali ini Rengganis menggeleng seraya menutup wajah dengan dua tangan. Napasnya berembus putus asa.
Nazwa tak mengatakan apa pun. Ia hanya menyentuh kerudungnya yang panjang dan mengerling kepada Rengganis.
Melihat itu Rengganis menghela napas lemas. Kini ia sepenuhnya mengerti apa maksud gadis itu. Menutup aurat.
Satu lagi sifat manusia yang perlu diperbaiki. Terlalu banyak menuntut. Padahal, diri belum pernah memberikan hati kepada-Nya. Allah tidak meminta apa pun selain ketaatan hamba-Nya, hadiah yang diberi adalah kejutan-kejutan manis yang siapa pun tak akan pernah bisa menduga.
Karena takdir yang Dia mainkan adalah misteri di balik misteri. Bukan Allah tidak beri, tapi manusia yang tak memiliki kesabaran hati, bukan Allah tak mengabulkan, tapi manusia yang terlalu serakah ingin semua didapatkan.
Padahal jika menyadari ia hanya manusia, maka ia tahu bahwa di dunia ini tiada apa yang akan menjadi miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel