Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 22 Desember 2020

Rengganis #10

Cerita Bersambung
(side a)
Rengganis berdiri menghadap cermin, menatap diri yang tak lagi sama. Tubuh indahnya kini tertutup oleh gamis maroon pemberian Nazwa, yang selama berbulan-bulan ia biarkan di dalam lemari paling bawah. Tak disentuh, bahkan tidak pernah dilihat.

"Bismillah ...." Lembut, diikatnya rambut tebal yang selama ini sering dibiarkan tergerai. Ditiup angin dan dilihat semua mata. Kilaunya tak lagi memesona karena terlalu mudah untuk dinikmati siapa saja.

Setelah apa yang diucapkan Nazwa kemarin, ia meyakinkan diri untuk membuka pintu yang lama tertutup, menunggunya datang untuk membuka dan melangkah masuk. Hidayah.

Jika ada yang bertanya, hadiah apa yang besarnya tak akan terukur oleh dunia, itulah hidayah. Datang hanya kepada manusia pilihan-Nya, menunggu beberapa lama untuk disambut, lalu akan menjauh perlahan jika diabaikan, menunggu untuk dikejar. Kemudian perlahan menghilang saat disadari hadirnya tapi tak dijawab salamnya.

Allah selalu memberikan kesempatan bagi setiap hamba, tapi tidak dengan hidayah. Satu kali datangnya diabaikan, maka selanjutnya hanya teguran yang Dia turunkan.

Rengganis telah membuat pilihan, bahwa akan mengejar hidayah yang sempat diabaikan. Sungguh, beruntungnya ia masih memiliki waktu untuk meraihnya.

Suara ketukan pintu membuat Rengganis terkejut. Dipasangnya kerudung yang menjuntai hingga hampir menyentuh lutut, lalu melangkah membuka pintu.

Nazwa yang menjadi penghantar hidayah untuk Rengganis, ia pula yang pertama kali melihat Rengganis yang baru. Berdiri di hadapannya dengan wajah kaku dan pipi bersemu. Malu.

"Masya Allah ... sungguh kau berkilau berbalut gamis itu, Rengganis." Cepat Nazwa memeluk sahabatnya, erat, hingga air mata menetes mewakili haru di dada. Ada bahagia yang tak bisa diukur oleh apa pun, segala yang ia sampaikan dari hati kepada Rengganis selama ini, benar-benar berhasil menyentuh dan membuka hati wanita itu. "Alhamdulillah," bisiknya pelan.
"Bagaimana penampilanku?" Rengganis mencoba mendamaikan suasana hati Nazwa.
"Kau harus membeli banyak gamis agar selalu menawan seperti ini." Perlahan Nazwa melepas pelukannya dan mengusap basah di pipi. "Kau jauh lebih cantik sekarang," ucapnya lagi.
"Terima kasih," sahut Rengganis malu.
"Boleh aku bertanya satu hal?"
Rengganis mengangguk dan melangkah mendekati Arwa yang sedang bermain di lantai.

"Adakah sesuatu yang kau inginkan sebagai balasan?" tanya Nazwa ragu.
"Tidak. Aku tahu meminta imbalan dari kewajiban sangat tidak mungkin."
"Alhamdulilah ...." Nazwa tersenyum lega. "Sebab ujian akan semakin berat bagi seseorang yang semakin baik," sambungnya.

Rengganis duduk di sisi Arwa, tangan lembutnya mengusap kapala bocah mungil yang selalu tersenyum itu. "Nazwa ... boleh aku mengakui sesuatu?" Ragu ia bertanya.
"Ya. Ada apa?" Nazwa duduk di sisi lain Arwa dan bersandar di tembok yang diberi pelindung agar bayi sembilan bulan itu tidak terluka.
"Kupikir selama ini aku berhasil mencintai Ammar. Berulang kali aku mengatakan kalau aku mencintainya, hal yang sama juga kukatakan pada diri sendiri. Aku menyayanginya, merindukannya hingga sesak memenuhi rongga dada, tapi aku tahu itu bukan cinta."

"Aku tahu," ucap Nazwa cepat.
"Bagaimana kau tahu?"
"Kapan kau menyadarinya?"

Rengganis mencoba mengingat, memutar mundur memori bersama Ammar. Lalu terhenti pada satu momen. "Saat aku tahu kalau aku mengandung. Saat itu aku merasakan hambar, tidak ada apa pun di sana. Tapi kucoba untuk melupakan, karena yang aku tahu kehadirannya yang membuatku berdiri."

"Aku tahu tepat di hari pernikahanmu. Kedua matamu tidak akan pernah berbohong, Rengganis, dan aku gemar berbicara dengan mata semua orang."
"Apa yang harus aku lakukan, Nazwa? Aku ingin mencintainya, seperti dia mencintaiku."
"Bukan salahmu. Wajar jika hatimu merasa hambar, karena masih ada trauma besar yang tidak kau sadari keberadaannya. Kau selalu bermimpi kembali ke sana, itu adalah bentuk dari trauma yang coba kauhindari. Maka, saat kau sibuk mengusirnya, kau tidak akan memiliki rasa apa pun kepada Ammar."

Rengganis meraih botol berisi air di meja sisi ranjang, diteguknya setengah isi botol itu untuk menenangkan hati. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanyanya lagi.
"Jika kau ingin jatuh cinta, singkirkan apa pun yang datang dari masa lalu. Jangan biarkan tersisa walau hanya kepingan kecil ...."
"Sudah kucoba." Rengganis berseru dengan napas tersendat. "Tapi mimpi itu selalu kembali, lalu aku akan mengingat kejadian itu sepanjang hari," ucapnya lirih.
"Maafkan masa lalumu, maafkan mereka, dan maafkan dirimu. Peluk erat hatimu agar benar-benar kembali. Kau akan jatuh cinta jika trauma itu tiada. Karena saat ini, kau disibukkan dengan masa lalu dan rasa sakit yang kaubawa dari sana, maka tak ada waktu bagimu untuk jatuh cinta."

Rengganis bersandar dan mengembuskan napas putus asa, matanya menatap langit-langit kamar yang berpadu antara biru dan putih. Seperti langit di luar sana. "Aku sudah mencoba." Ia mengulangi kalimat itu lagi.

"Aku tahu. Tapi, cobalah dengan diiringi keikhlasan hati."
Si kecil Arwa berteriak saat bola mainannya menjauh. Menyadarkan sang ibu yang dengan cepat meraih benda bulat yang terbuat dari kain lembut itu.

"Yang terjadi kemarin tidak bisa diubah lagi, apa yang terjadi saat ini hanya harus dijalani. Namun, kau harus tahu, bahwa caramu menyelesaikannya akan menentukan bagaimana masa depan."
"Menurutmu, adakah orang lain yang diuji lebih berat dariku?" tanya Rengganis setengah berbisik. Pertanyaan itu selalu ada di kepalanya selama ini.

"Tentu saja. Karena kita hidup hanya pada lingkaran yang sama setiap hari, maka tergores pisau pun akan membuat kita menangis dan merasa tersiksa. Padahal bisa saja di saat yang sama, ada orang lain yang kehilangan satu tangan. Maka, jangan pernah merasa diri paling menderita, karena itu akan membuatmu kesulitan menyelesaikan masa lalu."

"Hei, kalian!" Fitri muncul di pintu dengan napas terengah. Tubuhnya membungkuk merasakan pegal di pinggang setelah berlari dari halaman.

"Ada apa, Fit?" Rengganis panik dan langsung berdiri menghampiri gadis itu.
Sementara Nazwa yang selalu bersikap tenang, berdiri seraya meraih Arwa ke dalam gendongannya.

"Fitri ...!" Rengganis mengulangi dengan sedikit geram.
"Di bawah ada ... hei, kau memakai gamis dan kerudung seperti Nazwa?" Perhatian Fitri teralihkan oleh penampilan baru sahabatnya. Ia berdecak kagum den tersenyum lebar, "Aku akan segera mengikuti jejakmu. Segera," ucapnya ragu. Ia sendiri ingin mengenakan pakaian tertutup begitu, tapi pekerjaannya sebagai bidan dijadikan alasan. Meski semua orang tahu itu bukan alasan yang tepat.

"Fitri, ada apa?" Nazwa mengembalikan situasi sebelum Rengganis mengulangi pertanyaannya.
"Di bawah ada ... em, itu ...."
"Fitri!" Kali ini Rengganis sedikit berteriak.
"Maaf, ibunya Arini dan seorang pengacara," ucap Fitri ragu.
Tentu saja reaksi Rengganis akan terbaca. Ia memucat dan tahu apa tujuan kedatangan mereka.

"Siapa pengacaranya?" Nazwa menimpali.
"Kalian mengenalnya. Sering tampil di televisi dengan kekayaan yang diakuinya berlimpah."
"Norman Fais?" Rengganis dan Nazwa menyebutkan nama itu bersamaan.
"Yup!" Fitri menjentikkan jarinya.
"Kau sudah menghubungi Quenzi dan ibunya?" tanya Nazwa lagi.
"Ya, aku langsung mengirim pesan kepada mereka," sahut Fitri cepat.
"Tolong jaga Arwa, aku akan menemui mereka." Meski ragu, Rengganis melangkah turun dengan anggun. "Tolong aku, ya Allah ... setidaknya untuk melawan mereka saat akan mengintimidasiku," bisiknya dalam hati. Ia tahu betul apa yang akan dilakukan oleh mereka.

Dewi berdiri menatap satu per satu foto yang menggantung di tembok. Tatapan benci jelas terlukis di matanya. Wajah sinis dan aura dendam, juga kesombongan terpancar menjadi satu.

"Assalamualaikum," sapa Rengganis sopan.
Tidak berbalas, Dewi hanya melempar pandangan jijik dan bibir yang menyunggingkan senyum mengejek.
"Maaf, ada perlu apa?" tanya Rengganis tanpa mempersilakan tamunya untuk duduk. Matanya beralih kepada lelaki berpenampilan sedikit berlebihan yang berdiri dengan tangan diletakkan dalam saku celana.

"Aku ingin membuat kesepakatan. Aku tidak akan menuntut Ammar, akan kubiarkan dia mendapat hukuman sesuai undang-undang. Dengan syarat, aku mendapatkan hak penuh atas Zaneeka, dan kalian harus menjauh dari hidupnya."
"Sialan," gumam Fitri yang diam-diam menguping.

Rengganis tersenyum ramah, ia menatap foto-foto dirinya bersama Ammar dan anak-anak. "Maaf, biarlah kita bertemu dalam kasus Ammar, aku tidak akan memberikan Zaneeka untuk kesepakatan apa pun," tegasnya dengan tetap berusaha tenang.

"Dia cucuku, dan aku yang lebih berhak daripada kalian semua!" Teriakan wanita itu menggema memenuhi ruang tamu Rengganis.
"Tolong jangan berteriak di sini."
"Sombong sekali kau, perempuan kotor. Kaupikir apa yang bisa dibanggakan dari dirimu?"
"Tidak ada," sahut Rengganis singkat.
"Aku bisa membuat suamimu dipenjara seumur hidupnya."
"Lakukanlah kalau kalian bisa melakukan itu." Dingin Rengganis membalas tatapan mantan ibu mertua suaminya itu. Ia baru menyadari dari mana Arini mewarisi sifat sombongnya.

"Kalian tidak punya apa-apa untuk melawanku," ucap Dewi sinis. Tangannya sudah mengepal sejak tadi. Sementara pengacara yang bersamanya hanya diam memperhatikan keributan yang dibuat oleh kliennya.

Rengganis menggeleng seraya tertawa geli. "Maaf, Tante tahu betul apa yang kami miliki. Jika maksud Tante harta, tidak perlu kusebutkan kekayaan yang dimiliki suamiku, karena kita semua tahu seberapa banyak yang dia punya. Tapi lebih dari itu, aku memiliki Allah yang akan membantu. Kekuatan-Nya tidak akan pernah kalah oleh pengacara terhebat sekali pun."

Mendapat jawaban seperti itu membuat Dewi semakin geram. Ia menantang tatapan Rengganis tajam, "Kalian akan menyesal. Terutama kau, perempuan kotor. Aku akan ...."
"Sekali lagi kau menghinanya, akan benar-benar kutarik keluar lidahmu!" Quenzi berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan mengepal. Siap melayang menjatuhkan pukulan kepada siapa saja.

"Q ...." Rengganis mencoba menghadang langkah adik iparnya. Namun, langkah Quenzi yang cepat membuatnya terlambat. Pemuda itu sudah berada di hadapan Dewi dengan wajah serupa singa yang siap menerkam mangsa.

"Kau tahu apa itu perempuan kotor?" Tubuhnya yang tinggi memaksa Quenzi menunduk untuk mengintimidasi wanita seusia ibunya itu. "Perempuan kotor adalah yang tidur dengan lelaki selain suaminya, berselingkuh tanpa malu, menyerahkan diri begitu saja kepada laki-laki lain. Kau ingin tahu siapa perempuan itu?"
"Q ...." Ragu Rengganis mendekati pemuda itu. Ia benar-benar bosan dengan segala macam keributan.

Quenzi tampak tak peduli dengan Rengganis yang berusaha meredakan amarahnya. "Perempuan kotor itu putrimu. Bukankah terakhir kali aku dengar dia sudah menikah? Ke mana suaminya? Atau dia hanya simpanan saja?" Quenzi menggeram di depan wajah wanita yang mulai ketakutan itu.

"Sebaiknya hindari bicara yang bukan-bukan, karena itu bisa kami gunakan sebagai tuntutan kepada kalian." Si pengacara akhirnya membuka suara. "Kedatangan kami untuk menawarkan kesepakatan," sambungnya.
"Oh, ya?" Kali ini suara Quenzi lebih lantang. Kedua tangannya dibuka lebar seraya mendekat kepada Norman. "Norman Fais, pengacara termahal di Indonesia, memiliki cincin seharga dua miliar rupiah." Quenzi menepuk tangan kuat diiringi pandangan merendahkan pria berambut keriting yang tengah menatapnya dengan amarah tertahan.

"Jaga bicaramu, kau harus tahu sedang menghadapi siapa," ucap Norman dengan penuh penekanan.
"Aku tahu siapa yang aku hadapi. Pecundang yang merasa dirinya terbaik di antara semua orang. Padahal keahlianmu hanyalah mengintimidasi dan bermulut besar."
"Kau ...." Norman mengarahkan telunjuk ke wajah Quenzi.
"Kenapa? Apa aku berhasil mengintimidasimu?" Quenzi tertawa tanpa peduli pada mata yang menatapnya.

Termasuk Nazwa yang sedang berdiri di tangga dengan botol susu kosong di tangannya. Ia meninggalkan Arwa di kamar untuk membuat susu, tapi pemandangan di ruang tamu berhasil menyita perhatiannya. Pelan gadis itu menggeleng, ia benar-benar membenci amarah yang keluar dari seorang lelaki.

"Apa kaupikir kehebatanmu tidak tertandingi? Apa kaupikir kekayaanmu tidak ada yang melewati? Jumlah satu buku tabungan kakakku bahkan sepuluh kali lipat lebih banyak dari harga cincinmu."
"Q ...." Kali ini Rengganis lebih kuat menahan adik iparnya. Tangannya mencengkeram lengan pemuda itu sekuat tenaga. "Kumohon, hentikan. Jangan biarkan dirimu menjadi serendah mereka." Rengganis memohon.

Quenzi yang begitu menghormati kakak iparnya mulai melemah. Ia menghela napas panjang dan menatap tamunya bergantian, "Pergilah. Jika ada tuntutan yang ingin kalian layangkan, lakukan saja," ucapnya kemudian. Lebih tenang, sebab matanya sekilas menangkap raut tak nyaman di wajah Nazwa.

"Kalian tunggu saja!" Dewi melangkah keluar dengan bunyi yang mewakili amarah. Diikuti pengacaranya yang tidak berhasil menyalurkan rasa kesal.

Setelah mereka pergi, Quenzi duduk di sofa dengan kedua tangan menutup wajah. Sebagai satu-satunya lelaki dewasa di keluarga itu, ia harus bisa menggantikan Ammar menjaga semua orang yang disayanginya.

"Kenapa dia kembali lagi ke rumah ini?" ucap Quenzi geram.
"Sudahlah. Mereka tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang diinginkan. Dan kita tidak perlu memberikan apa pun kepada mereka," ujar Rengganis seraya meraih kunci mobil untuk menjemput Zaneeka.
Fitri berlari menghampiri wanita itu, "Biar aku saja yang menjemput Zaneeka. Setelah pemandangan tadi, aku butuh udara segar," ucapnya. Secepat kilat ia menyambar kunci dari tangan Rengganis dan berlari keluar meninggalkan semua orang.

Nazwa melangkah melewati keduanya. "Terkadang, rasa marah membuat seseorang kehilangan kontrol terhadap hatinya. Bahwa tidak perlu menjadi iblis untuk menghadapi iblis," ucapnya seraya berlalu.
Quenzi yang menyadari ucapan Nazwa merasa tertampar. Ia menatap bayangan diri dari kaca lemari hias, lalu membenarkan apa yang diucapkan gadis itu barusan.
Rengganis yang merasa situasi sudah membaik segera kembali ke kamar untuk melihat putrinya. Meninggalian Quenzi yang sedang bersiap menghadapi ungkapan tidak nyaman dari Nazwa.

Pemuda itu berjalan menyusul Nazwa ke dapur, dilihatnya gadis yang ia idamkan sedang membuat susu untuk keponakannya. "Nazwa ...." Pelan ia menghampiri gadis itu.
"Ya," sahut Nazwa dingin.
"Maafkan sikapku tadi." Quenzi selalu menjadi yang terbaik saat harus mengakui kesalahan. Ia tidak pernah membiarkan ego terlepas liar dan memenuhi sudut kosong dalam dirinya.

Nazwa berdiri menunggu alat penghangat ASI di hadapannya berbunyi. Ia mendesah berat, menyadari bahwa tidak semuanya bisa dikendalikan. "Bersikaplah seperti seorang lelaki, Q. Kau satu-satunya pelindung Rengganis dan anak-anak, jangan biarkan emosi membuat sifat manusiamu menjadi tumbuh seperti rumput liar. Tidak bisa disingkirkan kecuali akarnya telah habis. Mati."

"Aku hanya merasa perlu membuat mereka menyadari, bahwa mereka tidak berhak memperlakukan Rengganis serendah itu."
"Niatmu tidak akan baik jika kau mengikuti cara mereka." Nazwa berbalik menatap pemuda itu. "Ada rasa sakit yang tidak perlu kaubalas. Hanya perlu ikhlas melepas, lalu adukan kepada-Nya. Sungguh, hanya Dia yang bisa membalas dengan cara paling menyakitkan."

Quenzi terdiam. Ia tidak memiliki balasan untuk ucapan Nazwa yang memang benar adanya.
Keheningan mereka terpecah oleh bunyi penghangat ASI. Cepat Nazwa memindahkan cairan putih itu ke botol susu Arwa, lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apa pun.

Quenzi terduduk di kursi, dua gelas air ia teguk, tapi rasa kesal masih belum reda di dadanya. Berulang kali ia mengusap rambut dengan kasar, merasa bodoh telah bersikap tak kalah buruk dari mereka.

Satu-satunya yang sulit dikendalikan oleh manusia adalah hawa nafsu, dan amarah adalah bagian dari itu. Tidak banyak pula yang mencoba mengobati hati dengan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena hati yang selalu mengingat Dia adalah yang paling sulit dimasuki Setan.
Tidak perlu menjadi sempurna, karena manusia adalah sumber segala kekurangan lahir pun batin. Cukuplah dengan menyadari kesalahan kecil yang dilakukan, maka hati dan diri akan selamat dari hitamnya benci.
Tidak semua orang menyadari, bahwa kebencian adalah sumber terbesar kehancuran. Di sana murka tersimpan, lalu dendam disemai, dipupuk oleh keinginan untuk melampiaskan. Nafsu menjadi pemenang, lalu iman pun jauh lepas dan melayang.
Padahal, yang paling mahal dari diri adalah hati. Jika satu noktah diabaikan berada di sana, maka perlahan akan menghitamkan semua. Apatah lagi yang didapat, selain dari terpuruknya diri.

Nazwa melangkah ke kamar dan mendapati Rengganis tengah menangis. Terisak seperti balita yang ditinggalkan oleh ibunya.

"Hei ...."
"Aku lelah, Nazwa," ujarnya seraya mengusap perut yang mulai tampak membentuk bulat. "Seolah masa laluku adalah senjata mematikan bagi mereka."
"Kau tahu kenapa mereka selalu mengungkit masa lalumu?"
"Karena itu memang buruk. Dia benar, aku kotor."
"Kau kotor jika menyerahkan suci diri kepada sembarang lelaki. Kau tidak kotor, Rengganis. Mereka takut kepadamu, itulah sebabnya mereka berusaha menekan dengan berulang kali menyebutkan masa lalumu. Mereka ingin kau lemah." Nazwa memberikan botol susu kepada Arwa, dengan cepat bocah itu meraih dan memegang sendiri layaknya balita. Menghisap sampai menimbulkan bunyi.

"Terkadang aku membenci diri sendiri. Kalau saja Ammar tidak menikah denganku, maka ...."
"Berhenti berandai-andai. Itu adalah cara Setan merasuki hatimu. Yang sudah terjadi adalah takdir, yang belum terjadi adalah misteri. Jangan biarkan dirimu lepas dari kendali, Rengganis."

Rengganis terdiam. Ia hanya menunduk dalam, mendengar rintih dari sudut hati, meremas kuat rasa sakit dan berusaha mencabutnya agar terlepas.

Jika ujian selalu dianggap sebagai kemalangan, maka diri akan semakin jauh dari kebaikan. Sebab kebahagiaan hanya akan datang jika seseorang bisa memaknai ujian sebagai jalan menuju ke sana.

*****
(side b)

Ammar berdiri menatap lurus ke depan. Beberapa meter darinya, tampak seorang pemuda sembilan belas tahun tengah tertawa di meja bersama ibu, ayah, dan tiga adiknya.

"Kau sudah dewasa. Kalian semua membesar dengan sempurna," gumamnya dengan bening yang mengambang. Siap jatuh kapan saja.

Ammar menutup wajah dengan daftar menu ketika Rengganis berjalan ke arahnya. Melewati dirinya dan meninggalkan sejuk pawana di sekujur tubuh.

Sepuluh tahun berlalu, Rengganis tidak sedikit pun berubah. Tetap cantik dan memesona. Sosok terindah yang pernah ia miliki.

Kini wanita itu telah memiliki keluarga sendiri. Membesarkan anak-anak yang ia titipkan. Zaneeka yang tumbuh dengan cerdas dan membanggakan, Arwa yang kini tampak seperti remaja ceria, juga Lubna, putri yang setiap malam membuatnya menangis karena belum sempat menggendong, memeluk, dan menciumnya. Anak itu telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik. Mewarisi wajah Arab miliknya, juga senyum yang sama seperti ibunya.

Mungkin Ammar pernah sangat terpukul sebab perpisahannya dengan Rengganis. Namun, melihat betapa bahagia wanita itu kini, membuatnya kian ikhlas melepaskan. Bidadari itu bukan lagi miliknya, kini ada orang lain yang lebih pantas menjaga.

Jika saja dulu ia egois, dengan tidak melepaskan Rengganis. Mungkin wanita itu masih akan jauh dari senyum manis, hanya ada mata yang layu.
"Terima kasih telah melanjutkan hidup, terima kasih telah bahagia, terima kasih karena pernah mengisi kosong di hati ini."

Jika jatuh cinta itu sulit untuk beberapa orang, maka berkorban untuk cinta adalah yang paling sulit untuk dilakukan. Jika memiliki butuh perjuangan bagi sebagian orang, maka melepaskan demi bahagianya orang terkasih adalah yang paling berat untuk diwujudkan.

Namun, pada akhirnya jodoh bukanlah ia yang datang dengan cinta. Melainkan ia yang datang dengan segenap rasa.

"Siapa dia?" Seorang pemuda duduk di hadapan Ammar. "Pandanganmu tidak terlepas darinya sejak tadi," sambung pria berkaca mata tipis itu.
"Rengganis. Mantan istriku." Lemas Ammar menunduk, mengarahkan tatap ke gelas kopi di hadapan. Aromanya tak lagi sama.
"Aku melihat penyesalan di matamu."
"Sudahlah, Dean, aku tidak ingin membicarakannya."
"Tapi aku masih ingin bicara. Kau menyesal menceraikannya?" Dean merendahkan posisi kepala dan menatap Ammar penuh selidik.
"Melihat dia bahagia dan ada yang menjaga. Tidak sedikit pun ada penyesalan di hati ini." Pandangan Ammar kembali tertuju kepada Rengganis yang baru saja kembali ke mejanya.
Masih cantik dan menawan spt dulu..tapi hidup harus tetap berjalan..selamat tinggal cinta..selamat tinggal masa lalu.

Semoga semua bahagia selamaya

*SELESAI*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER