Cerita Bersambung
Maruti tiba2 teringat Dita adiknya yang bercerita tentang dirinya yang nyaris ditabrak mobil yang dikendarai seorang cowok gantheng . Maruti berdebar mendengar kata2 Panji bahwa wajah gadis itu mirip dengannya. Dita kah? Tapi Maruti enggan menanyakannya. Ia lebih gugup daripada ingin berbicara panjang dihadapan lelaki yang memandangnya tanpa berkedip, dan membuatnya tertunduk dengan telapak tangan basah oleh keringat dingin. Idiih.. kenapa juga Laras membawaku kemari, pikir Maruti.
"Ya, benar2 mirip..." tiba2 Panji masih melanjutkan kata2nya. Tangannya masih diatas meja, dan matanya belum lepas juga dari wajah Maruti.
"Mas, aku mau ngomong, tapi nggak sekarang. Hari menjelang sore dan Maruti pasti sudah ditunggu tunggu ibunya, jadi aku mau pamit." beruntung Laras memutuskan adegan mendebarkan itu dengan kata2nya. Dan beruntung juga Laras belum ingin berceritera tentang keinginan mencari pekerjaan itu sekarang.
"Mau ngomong apa?"
Aduh.. mengapa mas ganteng ini ingin memperpanjang suasana hatinya yang tegang. Maruti memandangi sahabatnya dan memberi isyarat untuk segera berpamitan.
"Nanti kalau pas santai aja aku ngomongnya, aku pamit dulu sekarang ya,, aku harus ke bengkel sebelum tutup." kata Laras sambil berdiri, diikuti Maruti yang merasa lega.
"Eit.. tunggu dulu, biar aku mengantar kamu ke bengkel." tiba2 Panji juga ikut berdiri.
"Lho.. mas.. sudah mau pulang?"
"Ya... aku memang sudah mau pulang." jawab Panji sambil membukakan pintu kantornya.
***
Diperjalanan menuju bengkel itu Maruti lebih banyak diam. Hanya Laras yang ramai berkicau dan bersenda gurau dengan sepupunya. Mereka sangat akrab. Terkadang Maruti tersenyum mendengar mereka saling mengejek.
"Mas, cariin aku pekerjaan dong," tiba2 Laras mengungkapkan juga keinginan yang sejak tadi ditahannya.
"Apa? Pekerjaan apa?" Panji bertanya heran.
"Ya pekerjaan. Aku nggak ingin melanjutkan kuliah lagi, kasihan ibu. Jadi aku ingin bekerja."
"Kamu... gadis manja.. kolokan.. urakan.. mau bekerja apa?" Panji bertanya dengan nada bergurau.
"Ini bener mas... aku melamar jadi sekretarismu ya?"
Panji tertawa terbahak.
"Kok tertawa sih?" Laras tampak kesal ditertawakan.
"Sekretaris itu yang pintar, cerdas, tegas, tidak manja dan semaunya kayak kamu."
"Iih.. mas Panji jahat deh..."
Laras cemberut. Maruti menutup mulutnya karena merasa lucu melihat tampang sahabatnya.
"Nggak.. aku nggak mau sekretaris kayak kamu."
"Maaas... " Laras cemberut..
"Nanti aku ajari kamu bekerja, aku sedang memikirkan sebuah cabang perusahaan ditempat lain. Kalau kamu bisa menjalankan, oke banget, tapi harus belajar dulu."
"Oh.. apa itu?"
"Nanti aku akan bicarakan, kalau kita banyak waktu, ini sudah hampir sampai bengkel."
"Maruti juga ingin mencari pekerjaan lho mas..." tiba2 kata Laras mengejutkan Maruti. Aduh.. malunya... mengapa Laras juga mengatakan hal itu...
"Oh ya? Benar Maruti?" Panji melongok kearah kaca spion didepannya, agar bisa melihat wajah Maruti.
"Oh.. nggak.. nggak... Laras cuma bercanda..." gugup Maruti menjawabnya..
"Maruti gimana sih.. katanya tadi...."
"Nggak.. aku nggak bersungguh sungguh kok..." Maruti buru2 memotong kata2 Laras.
Mereka sudah sampai didepan bengkel itu. Laras melihat mobilnya sudah siap diujung halaman, tapi ia tidak segera turun.
"Mas, bolehkah aku minta tolong?" Laras menatap wajah sepupunya yang masih duduk didepamn kemudi.
Panji memandang Laras tanpa bertanya pertolongan apa yang diinginkannya.
"Aku harus mampir membelikan ibu makanan, tolong mas antar Maruti pulang ya?" kali ini Maruti benar2 ingin menghambur turun. Untung pintu mobil itu masih terkunci.
"Nggaaaak.. nggak.. aku bisa naik taksi..."
"Jangan bawel Maruti, kakakku ini baik hati, dia bisa marah kala ada orang menolak kebaikanya. Ya kan mas?"
"Ya, kenapa tidak.. biar aku yang antarkan Maruti."
Laras membuka pintu mobil, lalu menoleh kearah Maruti
"Ruti, ma'af banget ya.. bener nih.. aku lupa ibu memesan sesuatu...Nanti aku telpon kamu. Oh ya.. nitip salam buat bu Tarjo ya.. aduh.. tadi nggak sempat mampir. Juga salam buat si centil Dita."
Laras sudah menutup kembali pintu mobilnya, dan Maruti dibuat kebingungan oleh ulahnya.
"Ma'af, biar aku naik taksi saja." gemetar Maruti mengatakannya.
"Nggak boleh, aku sudah janji untuk mengantarkan kamu, jadi akan aku antar kamu sampai kerumah.Oke?"
Tanpa menunggu jawaban Panji sudah menjalankan mobilnya.
***
Maruti diam2 merasa kesal pada sahabatnya, karena memaksanya berada dalam situasi kaku seperti ini. Tak sepatahpun kata mampu diucapkannya hampir disepanjang perjalanan pulang.
"Benar kamu ingin mencari pekerjaan?" tiba2 Panji memecahkan suasana kaku itu.
"Oh.. nggak.. nggak.. aku hanya lulusan SLTA.. bisa apa?" terbata Maruti menjawabnya.
"Kamu mempunyai keahlian lain?"
Maruti menggeleng. Panji melihatnya dari kaca spion.
Komputer barangkali?
"Apa?"
"Bisa mengoperasikan komputer ?"
"Mm.. sedikit.. tapi tidak.. jangan repot karena aku."
"Barangkali nanti ada kesempatan, aku akan membantu."
"Stop..stop... mm..mas.. itu rumahku." tiba2 Maruti berteriak, rumahnya sudah terlewat beberapa puluh meter kedepan.
Mobil berhenti tiba2.
"Dimana rumah kamu?" Panji menoleh kebelakang
"Disana, agak disana, biar berhenti disini saja."
Tapi Panji mengundurkan mobilnya pelan.
"Yang mana?"
"Sudah, disini saja."
Panji turun dan membukakan pintu mobil , mempersilahkan Maruti turun. Aduuh.. seperti juragan saja pakai dibukakan pintu mobil. Tapi Maruti tak bisa menolaknya. Ia kemudian turun, sedikit tersipu karena Panji memandanginya lekat.
"Mengapa kamu seperti ketakutan begitu ?" kata Panji sambil tersenyum.
"Terimakasih banyak mas.. " hanya itu yang bisa diucapkannya.
"Aku nggak dipersilahkan mampir?" senyum itu sungguh mnggoda.
"Oh..eh.. mampir...sill..lahkan.." Maruti mencoba tersenyum. Kecut barangkali karena bercampur dengan perasaan gugup tak menentu.
"Terimakasih, lain kali aku akan kemari bersama Laras."
Maruti melangkah pergi. Panji heran karena ternyata mereka tidak berhenti didepan rumah Maruti. Masih agak kesana. Panji mengikuti dari belakang, sampai Maruti membuka pintu pagar.
"Oh.. disini? Jauh amat berhentinya.." gumam Panji yang kemudian membuat Maruti tersenyum.
"Lain kali aku kesini ya.." Panji melambaikan tangan dan berlalu.
Maruti menghela nafas lega. Mencoba menenangkan debar didadanya.
Tiba2 terdengar teriakan keras dari arah rumah.
"Mbak Ruti... itu tadi siapa ?"
Itu suara Dita...
==========
Dita menunggu kakaknya sampai mereka memasuki rumah.
"mBak tadi sama siapa?"
"Itu...."
"Laki2 ya.. aku melihatnya sekilas, tadi kan sama mbak Laras? Itu siapanya mbak Laras?"
Aduuuuh..crewet..crewettt..creweeet.... batin Maruti.
"Mana ibu? " Maruti mengalihkan pembicaraan. Ia tak melihat ibunya berbaring atau duduk2 disofa didepan televisi.
"Dikamar..tadi katanya pusing .. tapi sudah minum obat."
"Pusing?" Maruti menyahut dengan perasaan khawatir. Bergegas ia memasuki kamar ibunya, dan melihat ibunya terbaring sambil memejamkan mata.
"Ibu.." pelan Maruti mendekati dan memegang tangan ibunya.
Bu Tarjo membuka mata dan tersenyum lelah.
"Kamu sudah pulang? Tadi sama Laras ya?"
"Ya bu, Laras minta ma'af tidak bisa mampir. Waktu berangkat tadi tergesa gesa dan pulangnya tiba2 ada keperluan."
"Jadi mbak tadi diantar siapa?" Dita tiba2 saja menyambar. Ia seperti melihat seseorang yang sosoknya seperti dikenalnya.
"Itu sepupunya Laras. Kamu tadi jadi belanja?"
"Jadi, tuh.. periksa dibelakang, ada yang tercecer tidak."
"Ibu sakit? Pusing ya? Kita ke dokter ?" Maruti kembali menghadapi ibunya.
"Oh.. ke dokter segala.. ibu cuma pusing, lihat.. sudah nggak apa2," sahut bu Tarjo sambil bangkit duduk. Maruti memegang kening ibunya. Biasa saja, tapi ibunya memang tampak pucat.
"Ibu kalau sakit bilang saja sakit, jangan ditahan tahan, nanti kalau sudah terlanjur semakin susah mengobatinya."
"Ya, ibu tau.. sudah.. ayo kita keluar.. Dita sudah menyiapkan teh hangat untuk kita bukan?"
"Ya.. sudah... Eh.. mbak.. tadi itu......"
"Dita.. bantu ibu turun, mbak mau ganti pakaian dulu, potong Maruti karena tau bahwa Dita ingin menanyakan siapa tadi yang mengantarnya, dan ia belum menjawabnya dengan jelas. Maruti masih terganggu dengan kata2 Panji bahwa kemarin hampir menabrak seorang gadis, dan mirip dirinya. Ah.. Dita kah?
***
Hari sudah malam, tapi Maruti belum bisa memejamkan matanya. Besok kebetulan libur, tidak ada pesanan makanan. Tapi Maruti berfikir, kalau ibunya sakit, siapa yang akan memasak untuk memenuhi pesanan2 itu? Maruti dan Dita sudah belajar tapi berkali kali ibunya bilang, masakan itu, biar sama bumbunya, tapi kalau beda yang menanganinya juga akan beda rasanya. Maruti menghela nafas. Ia suka memasak, tapi untuk dirinya sendiri dan ibu serta Dita adiknya. Kalau memasak dalam porsi besar.. wadhuh..
Sekarang Maruti benar2 berfikir tentang keinginannya mencari pekerjaan. Ia tak harus bergantung pada ibunya yang sudah semakin tua. Diam2 Maruti mengusap setitik air matanya yang tiba2 meleleh. Berpuluh tahun ibunya berkutat mencari uang hanya untuk dirinya dan Dita. Pasti kekuatan itu ada batasnya. Ia melihat ibunya tampak lelah tapi dipaksakannya. Tapi pekerjaan apa yang bisa didapatnya dengan pendidikannya yang tidak seberapa tinggi?
"mBak menangis ?" Maruti kembali mengusap air matanya, untuk menyembunyikan tangisnya. Ia tak sadar Dita sudah ada didalam kamarnya.
"Kamu belum tidur ?"
"Aku nggak bisa tidur," Dita duduk ditepi pembaringan, disebelah kakaknya.
"Kenapa?"
"Kalau ibu sakit, siapa yang akan menggantikan menangani pekerjaan masak memasak itu?"
Maruti memandangi wajah adiknya. Rupanya si kecil centil yang biasanya kekanak kanakan itu juga memikirkan keadaan ibunya.
"mBak mau mencari pekerjaan."
"Aku juga..."
"Hussyy.. kamu harus menjaga ibu...," sahut Maruti yang kemudian sadar bahwa pekerjaan itu belum didapatkannya.
"Mbak mau kerja apa?"
"Entahlah..."
Maruti teringat pertanyaan Panji sore tadi. Ah.. alangkah malu meminta pekerjaan sama dia. Bukan.. bukan ke dia ia harus meminta tolong. Memalukan.. untuk apa karyawan yang hanya lulusan SLTA? Lha kenapa juga ia harus malu? Bukankah ia membutuhkannya? Tiba2 Maruti terbayang kembali senyum Panji yang sempat membuatnya gugup. Ya ampuun.. Maruti benci dengn perasaannya.
"Dita, sudah.. kamu tidur saja, ini sudah malam," kata Maruti sambil menepuk bahu adiknya. Dita mengangguk.. dan berjalan keluar dari kamar kakaknya.
***
Pagi hari itu Laras terkejut karena tiba2 Panji datang kerumahnya. Setelah berbasa basi sama ibunya, Panji segera menarik Laras keteras, seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakanya.
"Ada apa sih?"
"Laras, benarkah Maruti memerlukan pekerjaan?" tiba2 kata Panji.
"Ya ampuuuun... aku yang mau ngelamar duluan, Maruti yang lebih diperhatikan," sungut Laras tapi tanpa perasaan kesal.
Panji tersenyum.
"Kamu itu kan masih belum begitu memerlukan. Lanjutin dulu kuliah kamu baru memikirkan pekerjaan."
"Nggak mas, aku benar2 nggak ingin kuliah. Kasihan ibu, tabungan kami sudah menipis.. aku harus berhenti. Nggak tau nanti kalau aku sudah punya uang sendiri kemudian ingin melanjutkan lagi."
"Baiklah, sekarang kita bicara dulu tentang Maruti, oke?"
"Oke, mas mau kasih dia pekerjaan apa?O.. aku tau.. diam2 mas tertarik sama dia kan?"
"Laras, jangan ngelantur... kemarin ada teman yang membutuhkan karyawan. Cuma costumer servis sih.. tapi dia mau lulusan SLTA."
"Oh.. kirain di kantor mas Panji..."
"Belum sekarang, nanti dia akan bekerja sama kamu, kalau aku sudah berhasil membuka cabang lagi seperti yang aku ketakan kemarin."
"Wouw... serius nih? Asyiik.. ayo kita kesana sekarang."
Panji tersenyum senang.
***
Dita terkejut ketika sedang duduk diteras rumah, lalu ada mubil berhenti didepan pagar rumahnya. Lagi2 mobil itu? Kok aku jadi terobsesi dengan mobil orang itu sih. Pikir Dita. Dia sedang melongak longok, benarkah itu tamu yang mau masuk kerumah.. atau cuma mau parkir.. atau...
"Siapa itu?" tiba2 Maruti sudah ada disampingnya, sama2 memandangi mobil yang berhenti didepan.
"Itu mas Panji.?"
"mBak kenal?"
Tak lama seseorang keluar dari mobil itu.
"Laras...?"
Maruti keluar rumah dan menyambutnya. Dita bersungut dan masuk kebelakang. Ternyata mobil mbak Laras sama. Lhah.. kok mobil itu lagi yang dipikirkannya?
Maruti tertegun ketika ternyata Laras tidak sendiri. Sorang laki2 muda bertubuh tegap mengikutinya dari belakang. Astagaa... kenapa juga dada Maruti menjadi berdegup kencang? Dia lagi? Senyum2 lagi... dan ...
"Heii... itu mas Panji... jangan melongo.." Laras menepuk pundaknya keras. Maruti meringis kesakitan.
"Sakit, tau..!!"
Laras terkekeh.
"Ayo.. sambut tamumu.."
"Hallo Maruti.." justru Panji yang menyapa duluan..
"Selamat datang mas...silahkan.." Maruti mulai bisa menata hatinya. Ia menoleh kebelakang, tak tampak Dita disana.
Maruti tak tau, rupanya Dita berdiri dibalik pintu, mengintip tamu2 kakaknya dengan dada berdebar. Dia... dia... bukankah dia? Bisik hatinya.
"mBak tadi sama siapa?"
"Itu...."
"Laki2 ya.. aku melihatnya sekilas, tadi kan sama mbak Laras? Itu siapanya mbak Laras?"
Aduuuuh..crewet..crewettt..creweeet.... batin Maruti.
"Mana ibu? " Maruti mengalihkan pembicaraan. Ia tak melihat ibunya berbaring atau duduk2 disofa didepan televisi.
"Dikamar..tadi katanya pusing .. tapi sudah minum obat."
"Pusing?" Maruti menyahut dengan perasaan khawatir. Bergegas ia memasuki kamar ibunya, dan melihat ibunya terbaring sambil memejamkan mata.
"Ibu.." pelan Maruti mendekati dan memegang tangan ibunya.
Bu Tarjo membuka mata dan tersenyum lelah.
"Kamu sudah pulang? Tadi sama Laras ya?"
"Ya bu, Laras minta ma'af tidak bisa mampir. Waktu berangkat tadi tergesa gesa dan pulangnya tiba2 ada keperluan."
"Jadi mbak tadi diantar siapa?" Dita tiba2 saja menyambar. Ia seperti melihat seseorang yang sosoknya seperti dikenalnya.
"Itu sepupunya Laras. Kamu tadi jadi belanja?"
"Jadi, tuh.. periksa dibelakang, ada yang tercecer tidak."
"Ibu sakit? Pusing ya? Kita ke dokter ?" Maruti kembali menghadapi ibunya.
"Oh.. ke dokter segala.. ibu cuma pusing, lihat.. sudah nggak apa2," sahut bu Tarjo sambil bangkit duduk. Maruti memegang kening ibunya. Biasa saja, tapi ibunya memang tampak pucat.
"Ibu kalau sakit bilang saja sakit, jangan ditahan tahan, nanti kalau sudah terlanjur semakin susah mengobatinya."
"Ya, ibu tau.. sudah.. ayo kita keluar.. Dita sudah menyiapkan teh hangat untuk kita bukan?"
"Ya.. sudah... Eh.. mbak.. tadi itu......"
"Dita.. bantu ibu turun, mbak mau ganti pakaian dulu, potong Maruti karena tau bahwa Dita ingin menanyakan siapa tadi yang mengantarnya, dan ia belum menjawabnya dengan jelas. Maruti masih terganggu dengan kata2 Panji bahwa kemarin hampir menabrak seorang gadis, dan mirip dirinya. Ah.. Dita kah?
***
Hari sudah malam, tapi Maruti belum bisa memejamkan matanya. Besok kebetulan libur, tidak ada pesanan makanan. Tapi Maruti berfikir, kalau ibunya sakit, siapa yang akan memasak untuk memenuhi pesanan2 itu? Maruti dan Dita sudah belajar tapi berkali kali ibunya bilang, masakan itu, biar sama bumbunya, tapi kalau beda yang menanganinya juga akan beda rasanya. Maruti menghela nafas. Ia suka memasak, tapi untuk dirinya sendiri dan ibu serta Dita adiknya. Kalau memasak dalam porsi besar.. wadhuh..
Sekarang Maruti benar2 berfikir tentang keinginannya mencari pekerjaan. Ia tak harus bergantung pada ibunya yang sudah semakin tua. Diam2 Maruti mengusap setitik air matanya yang tiba2 meleleh. Berpuluh tahun ibunya berkutat mencari uang hanya untuk dirinya dan Dita. Pasti kekuatan itu ada batasnya. Ia melihat ibunya tampak lelah tapi dipaksakannya. Tapi pekerjaan apa yang bisa didapatnya dengan pendidikannya yang tidak seberapa tinggi?
"mBak menangis ?" Maruti kembali mengusap air matanya, untuk menyembunyikan tangisnya. Ia tak sadar Dita sudah ada didalam kamarnya.
"Kamu belum tidur ?"
"Aku nggak bisa tidur," Dita duduk ditepi pembaringan, disebelah kakaknya.
"Kenapa?"
"Kalau ibu sakit, siapa yang akan menggantikan menangani pekerjaan masak memasak itu?"
Maruti memandangi wajah adiknya. Rupanya si kecil centil yang biasanya kekanak kanakan itu juga memikirkan keadaan ibunya.
"mBak mau mencari pekerjaan."
"Aku juga..."
"Hussyy.. kamu harus menjaga ibu...," sahut Maruti yang kemudian sadar bahwa pekerjaan itu belum didapatkannya.
"Mbak mau kerja apa?"
"Entahlah..."
Maruti teringat pertanyaan Panji sore tadi. Ah.. alangkah malu meminta pekerjaan sama dia. Bukan.. bukan ke dia ia harus meminta tolong. Memalukan.. untuk apa karyawan yang hanya lulusan SLTA? Lha kenapa juga ia harus malu? Bukankah ia membutuhkannya? Tiba2 Maruti terbayang kembali senyum Panji yang sempat membuatnya gugup. Ya ampuun.. Maruti benci dengn perasaannya.
"Dita, sudah.. kamu tidur saja, ini sudah malam," kata Maruti sambil menepuk bahu adiknya. Dita mengangguk.. dan berjalan keluar dari kamar kakaknya.
***
Pagi hari itu Laras terkejut karena tiba2 Panji datang kerumahnya. Setelah berbasa basi sama ibunya, Panji segera menarik Laras keteras, seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakanya.
"Ada apa sih?"
"Laras, benarkah Maruti memerlukan pekerjaan?" tiba2 kata Panji.
"Ya ampuuuun... aku yang mau ngelamar duluan, Maruti yang lebih diperhatikan," sungut Laras tapi tanpa perasaan kesal.
Panji tersenyum.
"Kamu itu kan masih belum begitu memerlukan. Lanjutin dulu kuliah kamu baru memikirkan pekerjaan."
"Nggak mas, aku benar2 nggak ingin kuliah. Kasihan ibu, tabungan kami sudah menipis.. aku harus berhenti. Nggak tau nanti kalau aku sudah punya uang sendiri kemudian ingin melanjutkan lagi."
"Baiklah, sekarang kita bicara dulu tentang Maruti, oke?"
"Oke, mas mau kasih dia pekerjaan apa?O.. aku tau.. diam2 mas tertarik sama dia kan?"
"Laras, jangan ngelantur... kemarin ada teman yang membutuhkan karyawan. Cuma costumer servis sih.. tapi dia mau lulusan SLTA."
"Oh.. kirain di kantor mas Panji..."
"Belum sekarang, nanti dia akan bekerja sama kamu, kalau aku sudah berhasil membuka cabang lagi seperti yang aku ketakan kemarin."
"Wouw... serius nih? Asyiik.. ayo kita kesana sekarang."
Panji tersenyum senang.
***
Dita terkejut ketika sedang duduk diteras rumah, lalu ada mubil berhenti didepan pagar rumahnya. Lagi2 mobil itu? Kok aku jadi terobsesi dengan mobil orang itu sih. Pikir Dita. Dia sedang melongak longok, benarkah itu tamu yang mau masuk kerumah.. atau cuma mau parkir.. atau...
"Siapa itu?" tiba2 Maruti sudah ada disampingnya, sama2 memandangi mobil yang berhenti didepan.
"Itu mas Panji.?"
"mBak kenal?"
Tak lama seseorang keluar dari mobil itu.
"Laras...?"
Maruti keluar rumah dan menyambutnya. Dita bersungut dan masuk kebelakang. Ternyata mobil mbak Laras sama. Lhah.. kok mobil itu lagi yang dipikirkannya?
Maruti tertegun ketika ternyata Laras tidak sendiri. Sorang laki2 muda bertubuh tegap mengikutinya dari belakang. Astagaa... kenapa juga dada Maruti menjadi berdegup kencang? Dia lagi? Senyum2 lagi... dan ...
"Heii... itu mas Panji... jangan melongo.." Laras menepuk pundaknya keras. Maruti meringis kesakitan.
"Sakit, tau..!!"
Laras terkekeh.
"Ayo.. sambut tamumu.."
"Hallo Maruti.." justru Panji yang menyapa duluan..
"Selamat datang mas...silahkan.." Maruti mulai bisa menata hatinya. Ia menoleh kebelakang, tak tampak Dita disana.
Maruti tak tau, rupanya Dita berdiri dibalik pintu, mengintip tamu2 kakaknya dengan dada berdebar. Dia... dia... bukankah dia? Bisik hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel