Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 10 Desember 2020

Setangkai Mawar Buat Ibu #19

Cerita bersambung

Arum mengangkat kepalanya. Ia menoleh lagi ke arah yu Siti, masih diam sambil memeluk guling. Arum bangkit dan duduk ditepi ranjang. Isak itu masih terdengar.
Arum berdebar, turun dan melangkah kearah pintu. Dibukanya pintu kamarnya, perlahan sehingga tak menimbulkan suara.
Diruang tengah datangnya suara itu. Arum melangkah perlahan. Astaga, dilihatnya bu Suryo sedang memeluk sebuah pigura, sambil terisak isak. Arum tau, didalam pigura itu ada foto dirinya dan bu Suryo. Ada senyum merekah disana, bagai ibu dan anak yang sedang bahagia.

Arum mendekat, lalu duduk disamping bu Suryo. Bu Suryo terkejut karena tak menduga Arum masih terjaga.
"Ibu...."

"Kamu belum tidur ?"
"Mengapa ibu juga masih ada disini ?" tanya Arum sambil menghapus air mata bu Suryo dengan selembar tissue yang diambilnya dimeja itu.
"Ibu nggak bisa tidur."
"Ibu harus tidur, ini sudah malam."
"Arum... besok malam, kamu sudah tidak ada lagi dirumah ini," terisak bu Suryo memeluk Arum erat didadanya."
Arum hanyut oleh kesedihan bu Suryo. Memang susah memutuskan ikatan yang sudah lama terjalin. Tak urung air matanya juga terurai, membasahi pundak bu Suryo.

"Ibu jangan sedih ya, biarpun Arum tidak disini, tapi hati Arum akan tetap berada dihati ibu, dan ibu juga akan tetap ada dihati Arum ini."
"Jangan sampai ibu kamu lupakan ya Rum? Aku ibumu kan?"
"Ibu, mana mungkin Arum melupakan ibu? Kita akan sering bertemu, dan menikmati masakan bu Siti, atau jalan bersama seperti biasanya."
"Benarkah?"
"Ibu harus percaya pada Arum.Sekarang ibu tidur ya,  malam sudah larut."
Bu Suryo mengangguk. Ditaruhnya pigura yang tadi didekapnya diatas meja. Dipandanginya lagi sekilas dengan perasaan tak menentu, lalu bangkit dan berjalan kearah kamarnya.
Arum menatapnya dengan iba, disadarinya bahwa ia juga merasakan hal yang sama..
***
 "Pak Aryo, besok kan mau menjemput bu Arum, saya tidak usah datang ya, saya ada keperluan bersama bapak."
Pesan singkat Ratih yang diterima Aryo malam itu.  Tak apa, ia tak bisa selamanya mengikat Ratih. Ia juga punya keperluan dan tidak harus selalu melayani keinginan Angga.
Tapi Aryo bingung, bagaimana nanti menjelaskannya kepada Angga kalau Arum ikut pulang kemari.Biasanya Ratih selalu bisa memecahkan masalah, karena itu ditelponnya Ratih pagi sebelum dia berangkat.
"Bu Ratih, ma'af, saya  masih akan mengganggu."
"Ya pak Aryo, ada apa?"
"Bagaimana nanti saya bilang pada Angga kalau Arum pulang. Bukankah dia selalu menganggap Arum sebagai ibu peri?"
"Pak Aryo tidak usah bingung. Justru dengan tidak adanya saya, pak Aryo bisa bilang pada Angga, bahwa pak Aryo mengajak Angga menjemput ibu. Ini adalah kesempatan dan waktu terbaik bagi Angga, untuk mendapatkan kembali ibunya yang sejati, tanpa adanya saya. "
"Bagaimana dengan nenek peri?"
"Pak Aryo bilang ibu sedang main dirumah nenek peri, sedangkan ibu peri lagi berkeliling dunia atau apa lah, " kata Ratih setengah bercanda.
"Baiklah bu Ratih, semoga nanti semuanya akan baik-baik saja."

"Bapaaak, mengapa ibu belum datang?" teriak Angga yang tau bahwa ayahnya akan mengajaknya bepergian.
"Kita akan pergi menjemput ibu."
"Oh.. nanti akan mengajak ibu jalan-jalan?"
"Benar Angga."
"Horeeee.... kalau begitu Angga mandi sama bapak saja ya?"
"Baiklah, kita mandi sekarang."
Angga tampak gembira. Menjemput ibu? Kemana harus menjemput ibunya> Selama ini ia belum pernah diajak menjemput ibu. Setiap pagi ibu sudah datang, mengajaknya mandi, menyiapkan keperluan sekolah..  Dimana kira-kira ibunya? Angga tak ingin bertanya. Yang penting dia senang bisa ketemu ibunya.
Setelah menyiapkan Angga dengan pakaian yang dipilihnya, Aryo menelpone Arum. Arum harus tau bahwa dia bukan lagi menjadi ibu peri tapi ibu yang sebenarnya.
"Bagaimana kalau dia bertanya dimana ibu peri?" tanya Arum dari seberang sana.
"Katakan bahhwa ibu peri sedang pergi. Untuk selanjutnya nanti kita pikirkan lagi. Yang jelas Angga sangat gembira ketika aku bilang akan menjemput ibu."
"Baiklah, saya tunggu mas."
Bu Nastiti sudah berdandan rapi. Mereka makan pagi dengan perasaan riang, betapa tidak, sang ratu akan kembali menghiasi istana kecil mereka, bersama setiap hari setiap sa'at, dan tak perlu ada kebohongan lagi.
Oh ya, Aryo lupa, ia juga harus berbagi kebahagiaan ini dengan dokter Bramasto. Ia menelponnya yang disambut gembira juga olehnya.

"Ikut senang pak Aryo, semoga semuanya baik-baik saja."
"Terimakasih pak Bram."
"Bagaimana dengan bu Ratih?" aduh, tiba-tiba Bramasto menyesal telah menanyakannya. Jangan-jangan Aryo curiga bahwa dia tertarik sama dia.
"Bu Ratih kebetulan ada perlu, tapi nggak apa-apa pak Bram, supaya Angga merasa bahwa ibunya adalah Arum. Kami sudah memikirkan bagaimana caranya mengatakan pada Angga."
"Syukurlah pak Aryo, pokoknya saya ikut gembira dan bahagia. Selamat berkumpul kembali dengan keluarga."
***

Dan tiba-tiba Bramasto senang mendengar bahwa Ratih tidak ikut bersama mereka. Ada rencana yang difikirkannya. Kerumah Ratih, karena bukankah dia sudah kenal dengan bapaknya?
Setengah sungkan, tapi nekat, Bramasto meluncur ke daerah Kampung Sewu dengan mobilnya. Dia selalu ingat akan gang dimana dulu menurunkan Ratih. Tapi kali itu Bram tidak berhenti dijalan besar. Mobilnya langsung memasuki gang itu, dan ketika hampir sampai diujungnya, ia berhenti didepan sebuah pagar.
Bramasto mengamati kebun kecil itu, tapi tak melihat seorangpun disana. Bram turun dari mobil dan perlahan memasuki halaman. Dilihatnya pintu rumah terbuka, berarti penghuninya ada. Berdebar hati Bram ketika semakin dekat mendekati pintu. Bodoh.. bodoh.. ini kan masih pagi, bukan sa'atnya bertamu. Pikir Bramasto. Ia nyaris membalikkan tubuhnya ketika tiba-tiba dari balik pintu muncul seseorang.
"Mau mencari siapa?"
Bramasto mengamati laki-laki setengah tua itu,  dan ia mengenalnya. Rupanya bapaknya Ratih lupa bahwa pernah ketemu dirinya.
"Selamat pagi bapak..."
"Selamat pagi. Apakah kita pernah bertemu ?" tanya laki-laki yang memang bapaknya Ratih itu, yang berasa seperti pernah melihatnya.
"Ya bapak, saya yang seminggu lalu lewat sini, untuk mencari bu Ratih."
"Ooo... iya.. iya.. saya ingat, tapi Ratih sedang kepasar, nggak tau mau beli apa lagi, padahal tadi sudah selesai memasak. Ayo..silahkan duduk dulu, mungkin sebentar lagi dia pulang."
"Ma'af, apakah saya mengganggu?"
"Tidak, mengapa bilang begitu? Silahkan masuk nak.."
Bramasto masuk dengan perasaan kurang enak.
"Ma'af pak, saya tadi hanya jalan-jalan dan kebetulan lewat, barangkali masih terlalu pagi untuk bertamu. "
"Tidak apa-apa, ini hari libur.. sa'atnya orang jalan pagi dengan lebih santai. Bapak juga sudah selesai membersihkan kebun, merawat tanaman bunga milik Arum. Orang setua saya kan sudah tidak laku untuk bekerja, bisanya ya seperti ini,."
"Itu bagus pak, sekalian olah raga."
"Benar, kalau keringat sudah keluar, enteng rasanya badan. Ya beginilah nak, semenjak ibunya Ratih meninggal, saya hanya hidup berdua bersama Ratih. Dulu saya bekerja, tapi setelah pensiun, hanya Ratih yang bekerja. Untunglah, Ratih itu bisa mengerti keadaan .. dia tidak pernah mengeluh, walau hidup pas-pasan."
"Keluarga ini tampak sangat bahagia. Saya merasakannya."
Pak Kardi tertawa.
"Bahagia atau tidak itu kan tergantung bagaimana kita menerimanya nak. Walau kita hidup kekurangan, kalau kita bisa mensyukuri nikmat, ya kita akan merasa bahagia. Sebaliknya walau hidup berlimpah harta, kalau tidak bisa mensyukuri .. ya akan selalu merasa kurang.. merasa tidak bahagia.."
 Bramasto mengangguk angguk.
"Oh ya, saya lupa, apakah kita sudah saling memperkenalkan nama? Saya pak Kardi, bapaknya Ratih."
"Oh iya pak, saya Bramasto, temannya bu Ratih."
"Apakah putera atau puteri nak Bramasto sekolah di tempat Ratih mengajar?"
Bramasto tersenyum, sudah dua kali ada orang mengira dia punya anak yang muridnya Ratih. Ah ya, Ratih sendiri yang mengatakan itu ketika pertama kali bertemu. Lalu Bram merasa suda tua untuk disebut bujangan. Ahaa... ini juga baru mau mendekati seseorang pak, kata hati Bramasto.
"Bukan pak, saya masih bujangan..."
"Oh... ma'af... saya kira..."
"Saya kelihatan tua bukan?"
"Tidak, bukan begitu nak, karena ada hubungannya dengan Ratih, dan nak Bram memanggil bu Ratih.. saya pikir...."
"Saya kenal bu Ratih kaarena dia gurunga Angga, anak teman baik saya."
"Oh iya, Angga itu sudah seperti anaknya Ratih.. Tapi kabarnya ibunya sudah mau pulang."
"Benar pak. Syukurlah.."
"Tapi Ratih kelihatan sedih, ia sangat sayang pada Angga. Kalau ibunya sudah kembali dia jadi jarang bertemu Angga."
"Benar pak, karena sudah lama dekat ya?"
Ratih yang baru pulang dari pasar terkejut melihat sebuah mobil berhenti didepan pagar rumahnya, dan lebih terkejut lagi ketika memasuki rumah, kemudian melihat dokter Bram sedang berbincang dengan ayahnya.
"Oh, ada tamu rupanya," sapa Ratih begitu memasuki rumah. Senyum yang terkembang selalu menimbulkan pesona bagi Bram. Sesa'at ia tak bisa berkata-kata, hanya menatap Ratih tanpa berkedip.
"Sudah lama tamu kita menunggu, bapak belum buatkan minum nduk."
"Biar saya buatkan," kata Ratih sambil membawa belanjaan kebelakang."
"Jangan repot-repot bu Ratih..."
"Nggak aoa-apa.. " kata Ratih dari jauh.
Tapi ketika keluar, Ratih bukan hanya membawa cawan berisi teh hangat. Ada sepiiring jajanan pasar yang terhidang.
"Silahkan pak Bram.."
"Kok tiba-tiba ada kue macam-macam begini, bu Ratih?"
"Ini kue jajanan pasar namanya. Yang ini, namanya mendut, ini..   jadah blondo.. ini.. nagasari.. Ayo dicoba,  kok saya ngerasa mau ada tamu, lalu beli makanan ini ya..."
"Berarti bu Ratih juga tau kalau ini makanan kesukaan saya."
"Oh ya?"
"Benar."
"Kalau begitu ayo silahkan ,,  nak, saya mau ke belakang sebentar, ma'af, belum mandi," kata pak Kardi sambil berdiri.
"Silahkan pak.."
Bramasto menikmati nagasari yang dihidangkan, dengan mata berpendar dan dada berdebar. Bukan karena nagasarinya, tapi karena tangan cantik itu membantu mengupaskannya dan manaruhnya dipiring kecil., lalu terkadang tersentuh oleh tangannya sendiri yang memegangi piring itu.
"Silahkan mas... eh.. mm..ma'af.. pak Bram.." kata Ratih gugup karena tau Bramasto terkadang menatap matanya.
"Mengapa diralat? Barangkali itu lebih  baik. Saya merasa tua karena dipanggil pak."
Ratih tersipu.
"Habisnya, saya juga dipanggil bu.  Saya juga merasa tua."
"Seperti balas membalas dong ... baiklah, ayo sepakat, saya minta dipanggil mas Bram saja."
"Dan saya minta dipanggil Ratih."
"Oke, sepakat.""
Lalu keduanya tertawa lucu. Tapi ada semburat bahagia mewarnai pertemuan pagi itu.
"Apa acara bu Ratih hari ini?"
"Nggak ada, kebetulan Angga mau ketemu ibunya, jadi saya harus melepaskannya. Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi."
"Ratih jangan sedih, bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Jalan kemana?"
"Kemana saja, menghibur diri supaya jangan sedih."
Ratih lama tak menjawab. Kedatangan dokter ganteng ini sama sekali tak disangkanya. Pembicaraan yang tak seberapa ini telah melambungkannya kearah angan yang tinggi. Oh, tidak, apakah Bramasto  jatuh cinta? Baru beberapa kali bertemu? Ratih tak ingin mengakuinya. Mana mungkin seorang dokter spesialis yang sudah mapan tertarik pada dirinya? Bukankah lebih baik tak berprasangka daripada ternyata hanya berangan kosong belaka? Tapi harus diakuinya, ia suka kok. Ehem.. suka apa suka?
"Bagaimana?"
"Apa?" Ratih terkejut dan membuyarkan lamunannya.
"Rupanya Ratih lagi ngelamun. Apakah ada yang marah seandainya Ratih jalan sama saya?"
"Tidak.. tidak.. bukan begitu.."
"Lalu....?"
"Baiklah, mm.. tapi saya minta ijin bapak dulu ya?"
***

"Ini sudah semuanya ya yu.. punya Arum semua kan?"
"Iya bu, sudah semua."
"Masak sudah selesai? So'alnya nanti saya ingin menjamu keluarganya Aryo makan siang disini. Katanya Aryo akan mengajak ibunya juga."
"Semua sudah siap bu. Ini saya sedang menata meja."
"Bagus yu. Tapi wajahmu jangan sedih begitu. Kamu kan seperti aku, merasa berat ditinggalkan Arum, ya kan?"
"Benar bu, nak Arum sudah seperti anak saya sendiri. Entah mengapa saya begitu menyayanginya."
"Bukan cuma kamu yu, Arum  itu menurutku sudah seperti anakku sendiri saja. Besok kita tidak akan bersama dia lagi ya yu? "
"Benar bu, tapi mau bagaimana lagi, nak Arum juga dibutuhkan oleh keluarganya."
"Apalagi  anaknya yu, kamu kalau melihat anaknya nanti pasti gemes. Bocah itu lucu, pintar dan menggemaskan.Begitu melihat dia aku langsung merasa trenyuh. Bocah sekecil itu harus berpisah sama ibunya. Dan itu juga yang membuat aku semakin yakin bahwa aku harus membiarkan Arum kembali."
"Apakah nanti anak itu ikut kemari?"
"Aku minta agar Arum menyuruh suaminya untuk mengajak Angga. Oh ya yu, aku belum cerita ya, selama setahun ini Angga itu merasa mendapatkan ibunya, karena ada gadis yang wajahnya persis sekali sama Arum."
"Persis?"
"Persis seperti kembar."
Bu Siti menghentikan kegiatannya menata meja.
"Kembar? Ibu pernah melihatnya?"
"Melihatnya dengan mata kepala sendiri yu, seperti pinang dibelah dua. Aku mengira dia itu kembar, tapi katanya mereka itu masing-masing anak tunggal lho. Kok bisa..."
Yu Siti tercekat, tiba-tiba piring yang dipegangnya terlepas, memperdengarkan bunyi nyaring yang mengagetkan bu Suryo.

==========

"Yu Siti, ada apa kamu ini.." bu Suryo melangkah mendekati, lalu berjongkok membantu memunguti pecahan piring.
"Ma'af bu, ini piring kesayangan ibu," kata yu Siti agak gemetar. Bukan hanya karena takut dimarahi, tapi juga ada yang difikirkannya.
Tentang anak kembar itu, tiba-tiba mengingatkannya akan kedua anaknya. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya. Benarkah.. benarkah.. dan benarkah..?
"Ya sudah... ya sudah.. nggak usah disesali. Cuma piring saja, kamu kok seperti orang gemetaran begitu ta yu, nggak apa-apa, aku nggak marah kok. Kan masih banyak piring lainnya. "
"Kan ibu selalu minta piring yang pecah ini."
"Ya nanti ganti lainnya, sudah, ambil pengki saja, nanti tanganmu kena pacahan piring lho yu."
Yu Siti berdiri, mengusap air matanya.
Sungguh bukan piring pecah itu yang menggetarkan hatinya, tapi adanya anak kembar itu.
Dulu ketika Arum sakit dan yu Siti menggosok perutnya dengan minyak gosok, ia melihat tahi lalat didekat pusarnya. Itu seperti tahi lalat bayinya, tapi kan itu bukan sebuah tanda yang harus diyakininya sebagai anaknya? Banyak orang punya tahi lalat disembarang tempat. Tapi bayi yang satunya juga punya tahi lalat, diatas bibir kirinya. Apakah yang namanya Ratih punya tahi lalat disana?
"Ya Tuhan... ," keluh yu Siti lirih.
"Yu, sudahlah, kamu kok seperti orang yang menyesalinya sampai setinggi langit begitu. Aku yang punya saja tidak menyesal dan tidak akan marah sama kamu lho yu, sungguh," kaya bu Suryo yang mengira bahwa yu Siti mengeluh karena telah memecahkan piring kesayangannya.
"Iya bu, ma'af ya bu.."
"Sudah yu... nggak apa-apa ... sudah dibilang nggak apa-apa kok..."

Bu Suryo sangat menyayangi yu Siti. Tak pernah sekalipun bu Suryo marah seandainya yu Siti merusakkan barangnya atau menghilangkannya sekalipun. Tapi kali ini bu Suryo heran karena cuma memecahkan piring saja yu Siti sampai gemetaran dan tampak pucat seperti orang ketakutan.
"Ada apa bu?" kata Arum yang baru keluar dari kamar.
"Itu, yu Siti memecahkan piring ibu. Ibu tidak marah, tapi yu Siti seperti orang ketakutan begitu."
Arum mendekati yu Siti yang sudah selesai membersihkan pecahan piring.
"Ibu kan tidak marah. Ya ampun, mengapa badan bu Siti dingin sekali?" kata Arum yang memegang tangan bu Siti.
"Tidak apa-apa nak."
"Bu Siti sakit?"
"Tidak nak, tidak apa-apa."
"Yu, kalau sakit bilang sakit. Iya benar, badan kamu dingin seperti es. Ayo tinggalkan ini semua dan masuk kekamarmu."
Arum menuntun yu Siti kekamarnya. Yu Siti memang benar-benar merasa lemas. Begitu sampai dikamar ia menjatuhkan tubuhnya begitu saja ke ranjang.
"Ambilkan minuman hangat Rum."
Arum keluar dan kembali dengan secangkir teh hangat.
"Bu, ayo diminum dulu bu.," kata Arum sambil membangunkan tubuh yu Siti. Yu Siti menurut, dihabiskannya secangkir teh hangat, lalu direbahkannya lagi tubuhnya.
"Kamu harus makan sekarang, lalu minum obat. Kamu kecapean dan masuk angin yu."
"Biar saya ambil sendiri bu."
"Biar Arum mengambilkannya bu."
Yu Siti terbaring lemah, ketika Arum menyuapinya makanan, ditatapnya wajah cantik itu lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca.
"Apakah benar kamu anakku?" bisik yu Siti pelan. Arum mendengarnya tapi tidak begitu jelas.
"Apa bu? Iya benar, Arum menganggap bu Siti ibu saya, tentu saja Arum anak bu Siti."
Arum kemudian mengira bahwa yu Siti sakit karena ia akan meninggalkannya.
"Dihabiskan makannya ya bu, lalu diminum obatnya. Bu Siti jangan sedih ya, Arum kan tidak pergi jauh. Kalau bu Siti mau, Arum bisa kok datang kemari setiap hari."
Yu Siti terus menatap Arum, air matanya menggenang. Arum mengusapnya dengan lembut.
"Iya yu, aku juga kehilangan Arum, tapi kan kamu sendiri yang bilang bahwa Arum dibutuhkan keluarganya? Kalau kamu ingin, bisa saja setiap hari ketemu.
Yu Siti tak menjawab, ia tak ingin mengatakan apa yang dirasakannya karena takut dianggap mengada-ada. Biar saja mereka mengira aku takut kehilangan nak Arum, batin yu Siti.
"Obatnya diminum yu, aku mau melihat kedepan, siapa tau tamu kita sudah datang."
***

Arum meninggalkan kamar yu Siti ketika dilihatnya yu Siti memejamkan matanya. Wajah itu masih tampak pucat. Arum menyelimuti tubuh ramping itu sebelum keluar. Ia berharap, obat yang diminumnya segera bekerja dan bu Siti merasa lebih segar.
Yu Siti merasa lemas tiba-tiba, bayangan dua bayi mungil yang baru saja dilahirkannya memenuhi benaknya. Bayi-bayi cantik dan sehat, dengan tangis keras,begitu keluar dari rahimnya. Bidan yang membantunya melahirkan mengatakan, bahwa bayinya sangat sehat. Dan cantik tentu saja. Dengan hidung mancung, bulu mata lentik, oh ya, rambutnya juga sangat lebat.

Menjadi perempuan miskin tanpa daya, ia harus melepaskannya. Melepaskan buah hati dan belahan jiwanya.
"Ya Tuhan, mungkinkah akan Engkau pertemukan lagi aku dengan mereka? Gadis kembar ini, apakah benar anakku?" bisiknya dalam hati sambil memejamkan matanya.
Apakah gadis itu nanti akan datang bersama Aryo? Itu juga pertanyaan yu Siti. Ia tadi belum sempat menanyakannya. Barangkali kalau dia datang, yu Siti bisa melihat tahi lalat diatas bibir kirinya, lalu ia akan meyakininya bahwa mereka adalah anak-anaknya. Benarkah? Tapi keraguan masih menyelimuti hatinya.
Ia ingat wanita cantik yang dulu membawa salah satu anaknya, lalu memberinya uang untuk membayar beaya persalinan. Wanita itu cantik, tapi yu Siti lupa namanya. Barangkali ia masih bisa mengenalinya apabila bertemu. Tapi wanita berikutnya, yang membawa bayi kedua, ia sama sekali tak ingat. Ketika itu ia dalam keadaan sakit parah, setengah sadar, dan mungkin sudah tewas seandainya bu Suryo tidak menolongnya dan merengkuhnya seperti keluarga sampai sekarang.
***

Arum berdiri dihalaman. Sebuah mobil berhenti didepan pagar. Arum tau itu mobil suaminya. Ia membuka pagar dan meminta agar Aryo memasukkan mobilnya.
Didengarnya Angga berteriak-teriak dari dalam mobil.
"Itu ibu ?"
Mobil itu berhenti. Angga sudah merosot turun terlebih dulu, bu Nastiti membantunya. Arum memeluk bu Nastiti erat, yang dibalasnya dengan linangan air mata.
"Ma'afkan Arum, ibu."
"Sudah, sudah.. lupakan semuanya," kata bu Nastiti.
"Ibu bekerja disni ?" teriak Angga ketika Arum menggendongnya.
"Bukan, ibu sedang main dirumah nenek peri."
Angga menatap ibunya dengan heran.
"Ini rumah nenek peri ?"
Seorang wanita dengan langkah anggun keluar dari rumah.
"Itu kan nenek peri !!"
"Beri salam pada nenek peri, kata Arum."
Aryo merangkul isterinya, mendekapnya erat.
"Nenek peri.... ini rumah nenek peri?"
Bu Suryo tertawa lebar, lalu membungkukkan badannya untuk mencium kedua pipi Angga.
"Benar sayang, ini rumah nenek peri. Ayo silahkan masuk semuanya..." kata bu Suryo ramah.
"Ibu, ini ibu mertua saya," kata Arum memperkenalkan ibu mertuanya.
"Oh, senang bisa bertemu tamu-tamu istimewa. Saya Suryo, ibunya Arum, bukan begitu Arum?"
"Iya, itu benar, jawab Arum tersenyum.
"Ayo masuk semuanya, Aryo.. ini rumah mertua kamu... silahkan semuanya."
Aryo mendekat dan mencium tangan bu Suryo.
"Aku titipkan Arum kepadamu, tapi sekali lagi kamu menyakitinya, aku tidak akan pernah mema'afkannya," kata bu Suryo berbisik, ketika ia mencium Aryo.
"Saya berjanji akan selalu menjaganya dan mencintainya," jawab Aryo sambil sekali lagi mencium tangan bu Suryo.
Bu Suryo tampak ramah menyalami tamu-tamunya.

Tiba-tiba Angga melangkah masuk kedalam, sambil matanya mencari-cari.
"Angga, mau kemana kamu?" tegur ayahnya.
"Dimana ibu peri ?"
"Oh, iya.. ibu lupa bilang, ibu peri sedang mengunjungi anak baik lainnya.."
Angga kembali, lalu menggelendot dipangkuan ibunya.
"Kapan ibu peri pulang?"
Bu Suryo meraih tangan Angga, lalu ditariknya si kecil ganteng ke pangkuannya.
"Anak ganteng, pada suatu hari ibu peri akan datang menemui kamu."
"Rumah nenek peri bagus ya, tapi tidak ada mainan disini."
Semuanya tertawa.
"Karena nenek peri sudah tua, jadi tidak suka mainan."
Suara penuh riang itu terdengar oleh yu Siti dari dalam kamarnya. Ia sudah merasa lebih tenang. Kemudian dia bangkit, lalu melangkah keluar kamar, Dilihatnya Arum sedang memeriksa meja makan dan membenahi apa-apa yang dirasa kurang. Yu Siti mendekat.
"Lho, bu Siti gimana, sudah, tiduran saja, biar saya mengaturnya."
"Yu Siti sudah baikan."
"Jangan begitu bu, nanti ibu marah lho."
"Banyakkah tamunya?"
"Tidak, cuma mas Aryo, ibu mertua saya dan Angga."
Yu Siti tampak kecewa. Ada yang ingin dilihatnya, kembaran Arum, tapi ternyata dia tak ada.
***

Bramasto mengajak Ratih makan pagi disebuah warung soto yang terletak didaerah Gading. Warung sederhana tapi selalu dipenuhi pelanggan. Bram memilih tempat duduk disudut ruangan, lalu mereka memesan dua gelas teh pans dan soto ayam.
"Sudah pernah makan disini?" tanya Bram.
"Belum, saya jarang pergi agak jauh. Paling didekat-dekat rumah saja, demikian juga kalau ingin belanja."
"Benar-benar gadis pingitan ya?"
"Oh, bukan.. saya bebas kemana-mana, cuma saya saja yang malas. Kuper jadinya bukan?"
"Tidak juga. Bagus lah seorang gadis tidak suka pergi-pergi. Apalagi gadis cantik, banyak godaannya, banyak pengganggunya," kata Bram sambil menatap Rtih. Tatapan yang menggetarkan hati Ratih. Aduh, apa sih maksudnya dokter ganteng ini?
"Ma'af, tapi itu benar," lanjut Bramasto.
"Apanya yang benar?"
"Gadis cantik banyak yang menggoda dan mengganggunya.."
"Oh... " Ratih tersipu, diakah yang dikatakannya cantik?
"Termasuk saya..." lanjut Bramasto.
"Apanya?"
"Saya jadi mengganggu.."
"Mas Bram mengganggu siapa?"
"Mengganggu Ratih.." Mata mereka bertatapan, sepercik api menyulut rasa, menimbulkan getar yang entah darimana datangnya.
"Maukah saya gangguin ?"
"Nggak mau ah, masa digangguin.."
"Ini serius.."
"Apanya yang serius..?"
"Saya mengganggu Ratih, tapi saya serius.. "
"Ah, nggak ngerti aku."
"Ya sudah, lain kali akan saya jelaskan."
Masa sih harus dijelaskan? Bukankah Ratih sudah mengerti? Tatapan itu, ucapan itu. Masihkah tidak percaya?
"Saya ingin berterus terang. Ratih sangat menarik hati saya." Melihat senyuman Ratih, Bram semakin berani mengucapkan kata-kata.
Tuh kan, kurang jelas apa?
"Begitu mudahnya?"
"Tidak, saya seorang yang sulit jatuh cinta. Itu sebabnya saya menjadi perjaka tua."
Ratih menahan ketawanya. Priya didepannya ini masih tampak muda, manis dan ganteng. Mana sih yang menampakkan dia tua?
"Teman-teman seumuran saya sudah banyak yang punya anak satu atau dua. Tapi saya belum laku juga."
"Ketika pertama kali bertemu bu Arum, saya kira saya jatuh cinta, tapi ternyata saya hanya kasihan kepadanya. Lalu ketemu Ratih. Perasaan saya lain. Ma'af kalau saya lancang."
Ratih terdiam, dia belum pernah mendengar laki-laki mengungkapkan perasaannya. Dan itu membuatnya salah tingkah. Apakah Ratih menolaknya? Tidak juga. Laki-laki didepannya sungguh menarik. Tapi Ratih harus yakin bahwa dia ber-sungguh-sungguh.
"Ratih marah?"
Ratih menggeleng. Banyak orang dikelilingnya, tak mungkin dalam suara hiruk pikuk orang makan dan memesan makanan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, apalagi Bram mengatakannya sangat lirih, hampir berbisik, tapi begitu menyentuh perasaan.
Sekali jalan bersama Bramasto, seakan sudah ribuan kali bertemu. Ratih heran pada dirinya, lalu bertanya, inikah namanya jtuh cinta?"
***

"Ibuu... apakah kita mau jalan-jalan?" tanya Angga dalam perjalanan pulang.
"Tidak sekarang Angga, ibu mau pulang dulu. Angga tau, sekrang ibu tidak bekerja lagi, sehingga bisa setiap hari, pagi, siang malam, selalu bersama Angga."
"Benarkah, bapak?"
"Iya sayang. Apa yang dikatakan ibu itu benar."
"Horeee..." Angga bersorak kegirangan."
"Ibu nanti bisa bantuin Angga menata buku-buku Angga lagi bukan?"
"Pasti Angga."
"Sebemtar lagi sekolah Angga pindah sekolah bukan? Ibu tidak akan meninggalkan Angga disekolah yang baru?"
"Ibu akan menungguin Angga selama Angga mau. Tapi, kalau Angga semakin besar, sepertinya kalau sekolah nggak boleh ditungguin deh."
"Oh iya, ibu pernah bilang begitu."
"Rum, yang namanya bu Siti itu sepertinya sakit ya?" tanya bu Nastiti.
"Iya bu. Dia itu seperti pembantunya ibu Suryo, tapi bu Suryo menganggapnya sebagai keluarga.Tadi itu memang agak masuk angin."
"Bu Suryo sangat baik ya Rum. Beruntung kamu bertemu dengan dia."
"Iya bu, itulah sebabnya mengapa Arum harus bisa menjaga perasaan ketika sa'atnya pulang, so'alnya bu Suryo sangat khawatir kalau saya disakiti lagi," kata Arum sambil melirik kearah suaminya. Aryo tersenyum dan berdehem
"Ada apa mas? Tiba-tiba serak ya?"
"Jangan nyindir lah, katanya yangsudah lalu biarlah berlalu..." kata Aryo.
"Iya.. iya... "
"Horee... kita sudah sampai rumah..." teriak Angga.
***

"Yu Siti, kamu itu apa sudah sehat benar, biar saja aku yang menata kembali piring-piring ini." kata bu Suryo ketika melihat yu Siti sudah sibuk bersih-bersih didapur.
"Tidak apa-apa bu, sudah merasa lebih baik."
"Kalau begitu, sisa lauk dan nasi ini kita bungkusi saja yu, entah jadi berapa bungkus, nanti dibagi-bagikan kepada siapa yang mau. Mungkin ada abang becak, atau pemulung yang mau menerima, kan lauknya juga pantas diberikan kepada orang yu, bukan sisa-sisa."
"Iya bu, saya tadi juga sudah berfikiran begitu, biasanya kalau ada makanan tersisa ibu pasti menyuruh memberikan kepada orang-orang yang tidak mampu."
"Baiklah yu, ayo biar aku bantuin biar cepet selesai."
Bu Suryo dan yu Siti sibuk membungkusi makanan yang tersisa. Tapi tak banyak yang mereka bicarakan. Keduanya masih merasakan sepi yang menyeruak setelah Arum pulang kerumah suaminya.
"Sepi ya yu?"
"Sangat sepi... tapi sebenarnya saya teringat pada cerita ibu.."
"Cerita tentang apa yu?"
"Tentang seorang gadis yang wajahnya mirip sekali dengan nak Arum."
"Iya yu, itu sebuah kebesaran Tuhan. Angga yang ditinggalkan ibunya tiba-tiba mendapat ganti seorang gadis yang sangat mirip, lalu dia merasa bahwa dia itulah ibunya."
"Saya jadi penasaran bu. Bagaimana ya wajah gadis itu?"
"Ya persis seperti Arum itu yu, nggak ada bedanya. Saya pikir mereka kembar, tapi masing-masing punya orang tua sendiri."
"Semakin penasaran saya bu, ingin melihat seperti apa gadis itu."
"Sayangnya kemarin Aryo tidak mengajaknya kemari. Kalau dia ikut, pasti kamu bisa melihatnya yu. Sungguh ajaib ada wajah kembar seperti itu."
Ajaib? Yang lebih ajaib ialah apabila mereka itu benar-benar anak saya, kata hati yu Siti.
"Yu, ini sudah jadi enam bungkus, itu ada berapa?"
"Sudah habis bu nasinya, berarti ada limabelas bungkus, nanti akan saya bagikan kepada yang mau menerimanya."
"Ya yu, masukkan kedalam tas besar ini saja. Lumayan banyak, syukurlah." kata bu Suryo ketika melihat yu Siti masih seperti orang melaumn.
"Bu, saya masih penasaran dengan gadis itu. Apakah dia memiliki tahi lalat diatas bibir sebelah kirinya?"

Bersambung #20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER