Cerita Bersambung
Bu Suryo heran. Mengapa yu Siti bertanya begitu.
"Tahi lalat diatas bibirnya? Aduh, aku kok nggak begitu perhatian ya, aku bertemu hanya sekilas, ketika Arum mengajak ke sekolah Angga. Tapi mengapa kamu bertanya begitu yu?"
Yu Siti bingung untuk menjawabnya. Ia keceplosan menanyakan hal itu. Padahal dia masih takut mengakui bahwa anaknya yang diberikan orang itu kembar.
Bu Suryo menganggapnya hanya seorang. Bagaimana kalau bu Suryo memarahinya lagi seperti ketika ia mendengar bahwa dia telah menyerahkan anak bayinya?
"Buk..bukan apa-apa bu, saya pernah melihat .. itu.. seorang gadis mirip nak Arum.. tapi nggak persis kok.. Ya sudah bu, saya bawa makanan ini keluar dulu." kata yu Siti agak gugup, lalu keluar dari dapur.
"Yu Siti bersikap aneh hari ini. Apa dia stress karena ditinggal Arum ya. Hm, aku maklum lah, dia kan selalu menyesali anaknya yang diberikan ke orang itu. Tapi ya menyesallah, aku yang bukan orang tuanya saja menyesal. Duh, seandainya bayi itu masih ada, dan dirawat disini, alangkah menyenangkan, aku punya yu Siti, punya anaknya yu Siti..." bu Suryo bergumam sendiri sambil membersihkan meja dan sisa-sisa makanan yang harus dibuang.
***
Yu Siti pergi kejalan, membagikan bungkusan nasi kepada abang becak dan siapa saja yang ditemuinya dan yang sekiranya mau menerima nasi bungkusnya.
Tidak mudah memberikannya, dan harus cermat bahwa orang yang diberinya benar-benar mau menerimanya dan membutuhkannya.
Pernah pada suatu kali, ia melihat seorang perempuan setengah tua, dengan pakaian lusuh, duduk ditepi jalan.
Ketika bu Siti mengulurkan nasi bungkus yang dibawanya, perempuan itu menolaknya.
"Oh, tidak bu, saya sudah punya nasi dirumah."
Aduh, yu Siti sangat menyesal. Sebenarnya maksudnya baik, tapi terkadang orang mengira bahwa dirinya direndahkan, dianggap hina atau miskin.
Dengan terbungkuk-bungkuk ia meminta ma'af. Setelah itu ia harus lebih cermat mengamati siapa yang benar-benar butuh dan yang tidak. mampu.
Disebuah gerombolan abang-abang becak, yu Siti memberikan 10 bungkus yang tersisa.
Dengan wajah sumringah mereka menerimanya, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Tapi bukan ucapan terimakasih itu yang dibutuhkan, rasa gembira ketika menerimanya, sungguh cukup membuat lega.
Yu Siti kembali berjalan kearah rumah. Ia belum membersihkan dapur, nggak enak apabila nanti bu Suryo melakukannya, walau bu Suryo tak pernah membiarkannya bekerja sendiri.
Ketika ia akan menyeberang jalan, sebuah mobil berhenti disampingnya.
Pengemudi mobil membuka kaca, dan melongok kearah bu Siti.
"Bu Siti darimana?"
Yu Siti terkejut, menatap mengemudi mobil itu.
"Pak dokter ?"
"Darimana bu? Mau pulang? Mari saya antar sekalian."
"Tidak pak dokter, cuma disitu saja, saya berjalan kaki saja."
"Sungguh nggak mau diantar?"
"Terimakasih pak dokter, pak dokter mau mampir?"
"Tidak untuk kali ini bu, saya harus mengantar dia pulang. Lain kali pasti saya mampir."
Bu Siti menatap gadis disamping pak dokter.. terkesiap melihat wajah itu.
Wajah yang sangat mirip dengan Arum.
Bu Siti mendekat kearah mobil, tapi mobil Bramasto sudah berlalu.
Gugup bu Siti melambaikan tangannya.. meminta agar Bramasto berhenti, tapi rupanya Bramasto tak melihat lambaian tangan itu.
Lemas bu Siti, mundur kearah pinggir dan terus menatap mobil Bramasto yang semakin menjauh.
"Gadis itu... gadis itu.. apakah itu dia? Gadis yang wajahnya seperti nak Arum? Pak dokter mengenalnya? Aduh, mengapa aku terlambat menatapnya." gumam yu Siti dengan perasaan tak menentu.
Rasa sesal terus menghantuinya sampai dia masuk kedalam rumah. Ia langsung menuju dapur, tapi dapur itu telah bersih, bu Suryo telah membersihkannya.
"Yu, Sudah selesai?"
"Sudah, mengapa ibu kerjakan ini semua, nanti ibu kecapean."
"Nggak apa-apa, kamu kan agak kurang enak badan dari pagi, sekarang kamu istirahat saja, aku juga mau rebahan dikamar."
"Tadi saya melihat pak dokter."
"Masa? Dimana ?"
"Lewat sini bu, tapi belum bisa mampir katanya, saya melihat pak dokter sama seorang gadis, yang sangat mirip nak Arum."
"Benarkah? Itu namanya Ratih, jalan sama nak Bram? Hm, baguslah kalau sampai jadian. Dia kan mirip Arum, mungkin nak Bram suka wajah seperti Arum."
"Apakah dia yang ibu maksud? Yang bisa menggantikan nak Arum sebagai ibunya Angga?"
"Lha tadi aku tidak melihat, mana tau apa benar dia."
"Saya pengin sekali melihatnya."
"Lain kali aku akan minta Arum agar mengajaknya kemari."
"Sungguh ya bu.. penasaran saya.."
"Iya, nanti setelah istirahat aku akan menelpone Arum."
Yu Siti merasa senang. Mudah-mudahan benar dia bisa ketemu gadis itu.
***
Bramasto sengaja melewati rumah bu Suryo, supaya Ratih tau bahwa Arum pernah tinggal disitu selama setahun.
"Pasti bu Suryo mengomeli saya, sudah lewat nggak mau mampir."
"Mengapa tadi tidak mampir?"
"Habisnya sudah siang, nanti bapak mengira saya menculik Ratih."
Ratih tertawa.
"Tadi mengganggu, sekarang menculik..."
"Iya benar. Senang dong menculik gadis cantik, kan yang diculik juga mau."
"Iih... bisa aja.."
"Kalau nggak mau pasti sudah berteriak-teriak minta tolong dong."
"Ngomong-ngomong.. tadi itu bu Siti?"
"Iya, lupa ngenalin ke Ratih. Itu pembantunya bu Suryo, tapi seperti tidak dianggap pembantu."
"Maksudnya.?"
"Bu Suryo sangat baik. Yu Siti ditemukan dalam keadaan sakit dan tak berdaya, lalu ditolongnya, diajaknya kerumah dan dianggapnya sebagai keluarga."
"Sungguh baik ya hatinya bu Suryo? Dan penampilan bu Siti juga tidak seperti pembantu kan? Bajunya bagus, wajahnya bersih dan sisa-sisa kecantikannya masih ada kan?"
"Benar, dulunya pasti cantik sekali."
"Kapan-kapan saya ingin minta bu Arum agar mengajak saya kerumah bu Suryo."
"Mengapa tidak minta saja sama saya?"
"Haaa.."
"Saya juga bisa lho mengantarkan.."
"Benarkah?"
"Kapan-kapan saya akan ajak Ratih kesana. Biar bu Siti kaget dan mengira Ratih adalah bu Arum."
"Iya, dia belum pernah ketemu saya, kalau bu Suryo sudah pernah."
"Nah, sudah hampir sampai rumah, Mampir ke rumah makan itu sebentar ya?"
"Kan kita sudah makan, masih laparkah?"
"Mau beli oleh-oleh buat bapak..."
"Aduh, mengapa repot-repot..."
"Biarin aja, biar bapak senang."
Bramasto memberhentikan mobilnya disebuah rumah makan.
"Ayo turun dan pilihkan makanan apa yang bapak suka," kata Bram sambil turun dari mobilnya.
***
Hari-hari yang berjalan, dilalui oleh keluarga Aryo dengan sangat bahagia.
Kemelut telah berlalu, dan sebuah janji untuk saling setia dan menjaga selalu dibisikkan Aryo ketelinga Arum setiap kali sedang berduaan dikamar.
"Kemarin aku menelpone pak Bram, tak tahunya dia sedang jalan sama Ratih," kata Aryo pada suatu hari.
"Benarkah? Itu menyenangkan sekali. Semoga Ratih benar-benar bisa menjadi jodohnya."
"Iya, urung menjadi jodohmu, mendapatkan Ratih yang wajahnya mirip denganmu," kata Aryo menggoda.
"Iih.. bukan maunya dia masalah jodoh itu... cemburu nih?"
"Ya jelas lah cemburu, kan cemburu itu tandanya cinta?"
"Ibuuuu... " tiba-tiba terdengar teriakan Angga dari kamar sebelah. Arum turun dari ranjang dan masuk kekamar Angga.
"Ada apa Angga ?"
"Aku mau tidur sama ibu, mengapa ibu tidurnya sekarang sama bapak?"
"Memangnya nggak boleh, ibu tidur sama bapak?" tanya Arum sambil membaringkan tubuhnya disamping Angga.
"Biasanya ibu nggak mau.."
Arum tertawa, iyalah.. nggak mau.. kan itu bukan ibu tapi bu Ratih? Kalau berani tidur dikamar bapak... hm.... kata batin Arum sambil mengelus kepala Angga.
"Sekarang ibu mau, kan ibu sudah tidak bekerja lagi, jadi tidur dirumah ini."
"Kalau Angga sudah bobuk.. ibu kemari ya.."" tiba-tiba Aryo muncul dibalik pintu kamar Angga.
"Nggak boleeeeh..." teriak Angga sambil merangkul ibunya. Arum meleletkan lidahnya kearah Aryo.
"Awaasss kamu ya!" ancam Aryo sambil tertawa.
***
Pagi itu Arum mendapat telephone dari bu Suryo, ia minta agar Arum datang, tapi bersama dengan Ratih.
"Oh, iya bu, nanti saya bilang bu Ratih, kemudian kami akan nyamperin kerumahnya."
"Bener ya, so'alnya yu Siti nggak percaya ketika ibu cerita tentang wajah Ratih yang persis sekali dengan wajah kamu."
"Oh iya, bu Siti belum pernah melihatnya ya bu, baiklah, nanti Arum akan membuat kejutan untuk bu Siti. Bagaimana kalau besok Minggu?"
"Nggak apa-apa hari Minggu Rum, supaya suami kamu ada waktu untuk mengantar. Kalau bisa ajak ibu kamu sekalian. Dulu saya dan ibumu bertemu hanya sekilas, belum bisa cerita banyak. Sekarang kan kita sudah menjadi keluarga."
"Iya benar bu, menyenangkan sekali bisa rame-rame kerumah ibu."
"Aku tunggu ya Rum, yu Siti itu lho, penasaran katanya."
"Baik ibu, nanti saya bilang mas Aryo, dan juga mengabari bu Ratih."
***
Bramasto yang datang dirumah Ratih hari Minggu itu tidak kecewa kalau Ratih mau diajak Arum kerumah bu Suryo. Itu karena Ratih kemudian juga mengajaknya serta.
"Beberap hari yang lalu kan mas Bram janji mau kerumah bu Suryo, nah, janji itu harus dipenuhi hari Minggu ini. Mau kan?"
"Baiklah, kalau bersama Ratih, biar keujung dunia juga saya mau kok."
"Hm.. gitu ya," jawab Ratih tersipu...
"Bukan gitu...Tapi giniii.." kata Bramasto sambil mengacungkan jempolnya.
Ratih tersenyum lebar. Ternyata Bramasto terkadang lucu, terkadang menggemaskan.
Ketika kemudian sebuah mobil berhenti dihalaman, Ratih dan Bramasto keluar. Ia tau itu mobilnya Aryo.
Dari dalam mobil Angga berteriak.
"Bukankah itu ibu peri?"
Arum menurunkan Angga yang lalu berlari mendekati Ratih. Ratih membuka kedua tangannya, kemudin memeluk Angga.
"Ibu peri ada disini?"
"Iya, ibu peri mau pergi bersama Angga..."
"Ibu peri .. bukankah itu pak dokter ?"
"Karena pak dokter itu anak baik, ibu peri mendatangi pak dokter.." kata Arum yang juga sudah turun dari mobilnya.
Aryo tertawa sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. Bramasto melotot lucu menatap sahabatnya.
"Apa ibu peri akan pergi bersama kita?"
"Iya Angga, kita kemari karena akan mengajak ibu peri. "
"Apa pacarnya ibu peri boleh ikut?" kata Bram bercanda.
Ratih tersipu.
"O.. jadi benar..sudah jadian...Baguslah."
Arum dan Aryo tertawa senang.
"Ayo kita berangkat..." teriak Angga
"Baiklah, kita pamit dulu sama bapak," kata Bramasto yang lalu masuk kedalam. Beberapa minggu ini telah membuat Bramasto terbiasa dirumah Ratih.
"Nanti Angga bersama ibu peri ya, dimobilnya pak dokter," kata Ratih yang tampak sangat kangen dengan Angga.
"Ibu, bolehkah Angga ikut ibu peri?"
"Boleh, ibu peri tampaknya kangen sama Angga."
Mereka pergi bersama kerumah bu Suryo. Bramasto membawa mobilnya sendiri karena dimobil Aryo ada bu Nastiti dan bu Martono, ibunya Arum.
***
Yu Siti sebentar sebentar melongok keluar rumah. Bu Suryo sudah mengatakan bahwa mereka akan datang bersama, dan itu membuat yu Siti tak sabar menunggu.
Degup jantung terasa lebih kencang, rasa gelisah mengiringi setiap apa yang dikerjakannya.
"Yu Siti, kamu itu mengapa, dari tadi keluar masuk rumah," tegur bu Suryo yang sudah duduk diteras menunggu tamunya."
"Benarkah mereka akan datang?"
"Pasti benar lah, masa mereka akan membohongi kita."
"Iya bu, saya itu ingin sekali melihat wajah mereka, semirip apa.. "
"Mirip seperti kembar. Lihat saja nanti."
"Iya bu."
"Baru saja aku menelphone, mereka sudah dijalan. Katanya dokter Bram juga ikut bersama mereka."
"Kalau begitu saya akan menuangkan tehnya ke cawan-cawan sekalian, biar nanti tinggal menghidangkan."
"Baiklah, terserah kamu saja"
Yu Siti melangkah kebelakang, menuang teh-teh panas kedalam cawan, dengan tangan gemetar. Beberapa tuangan meleset membasahi meja. Yu Siti membersihkannya dengan gugup.Tangannya terasa panas karena sebagian terkena tumpahan teh panas.
"Ada apa aku ini... aduh.. tenang.. tenang...jadi basah semua begini.."
Yu Siti mengelap cangkir-cangkir yang basah, meletakkannya di baki yang lain, lalu menuanginya kembali dengan lebih hati-hati.
"Benarkah dia, benarkah dia.. Ya Tuhan, apakah kali ini engkau perkenankan hamba bertemu dengan anak-anak hamba? Dan itu adalah jawaban atas permohonan hamba yang tak pernah henti?"
Semua cangkir yang disiapkan untuk tamu-tamunya sudah terisi, yu Siti membersihkan meja dari air teh yang tertumpah.
Lalu piring-piring berisi makanan dibawanya kedepan terlebih dulu, ditata dimeja dengan rapi. Dilihatnya bu Suryo yang masih duduk diteras juga sebentar-sebentar melongok kejalan.
Yu Siti berjalan ke teras.
"Yu.. makanan yang kamu siapkan dibawa kemeja situ saja sekalian," kata bu Suryo.
"Sudah bu, nanti tinggal tehnya saja."
"Menunggu itu hal yang paling mengesalkan ya yu, rasanya lama sekali."
"Iya bu.."
"Duduklah disini saja, jangan kedepan.. kebelakang.. kedepan,, kebelakang.. capek kamu nanti."
"Baiklah bu."
Yu Siti duduk dikursi yang ada didekat pintu.Menatap kejalanan dengan perasaan gelisah.
Lalu ketika sebuah mobil masuk, bu Suryo berdiri, diikuti yu Siti.
Dan sebuah mobil lagi masuk.
"Itu mobilnya nak Bram..," seru bu Suryo.
Arum turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk ibu dan untuk mertuanya. Kemudian menggandengnya mendekati bu Suryo.
"Apa kabar, bu Martono, kita kan pernah bertemu."
"Iya benar. Ini ibunya Aryo...bu Nastiti."
"Selamat bertemu bu Nastiti, saya juga ibunya Arum," kata bu Suryo.
Yu Siti tegak berdiri, yang dicarinya belum kelihatan. Ia tak perduli pada tamu yang keluar dari mobil pertama. Barangkali yang namanya Ratih ada dimobil pak dokter, pikir yu Siti.
Lalu Bram turun, bersama Ratih, dan yu Siti melebarkan matanya.
Mengamati wajah cantik yang memang benar sangat mirip.
Tanpa sadar yu Siti melangkah mendekati Ratih, menatapnya tajam.
"Ya Tuhan, ini benar.. ada tahi lalat diatas bibir kiri," bisik yu Siti pelan. Tubuhnya gemetar, kemudian limbung dan nyaris terjatuh kalau Bramasto tidak menangkapnya.
==========
Bram sangat terkejut. Wajah bu Siti pucat pasi, matanya terpejam.
"Ada apa yu Siti?" teriak bu Suryo.
Bram mengangkatnya dan membawanya kedalam.
"tidurkan di sofa saja dulu. Aduh.. badannya dingin sekali. Beberapa hari yang lalu juga begini. Biar nggak sampai pingsan, tapi badannya dingin seperti es."
"Biar saya ambilkan teh hangat bu," Arum berlari kedalam.
Semua orang bingung. Aryo menggendong Angga dan diajaknya keluar, karena Angga tampak ketakutan.
Ratih mendekati dimana yu Siti dibaringkan. Ia membawa minyak gosok, kemudian digosokkannya keseluruh tubuh.
"Entah mengapa, dia seperti tertekan, atau apa. Kalau tidak sadar juga biar saya membawanya kerumah sakit."
Tapi tiba-tiba yu Siti membuka matanya.
Ratih menggosok gosok telapak tangan yu Siti yang sudah tidak sedingin tadi.
"Ya Tuhan.. ya Tuhan... itu kamu....," bisiknya lirih sambil menggenggam tangan Ratih yang masih menggosok telapak tangannya.
"Bu, minum teh hangatnya dulu ya," kata Arum sambil mengangkat kepala yu Siti.
Namun tiba-tiba kepala itu terkulai, lalu mata itu kembali terpejam.
"Bu.. bu...bu Siti...bu Siti..." Arum memanggil manggil namanya, Ratih mengguncang tubuhnya pelan.
Bu Suryo mendekat, rasa khawatir mulai merayapinya.
"Nak dokter... ini bagaimana?"
"Biar kita bawa saja ke rumah sakit," kata Bram yang kemudian mengangkat tubuh bu Siti.
"Tolong bukakan pintu mobil," katanya lagi kepada Ratih yang kemudian mengambil kunci dan membukakan mobilnya.
***
Bu Suryo duduk menunggu.diruang tunggu.
Berpuluh tahun bersama yu Siti membuatnya merasa bahwa yu siti adalah keluarganya.. Ia tidak mengerti, beberapa hari terakhir ini yu Siti berperangai agak aneh. Suka gugup, suka bingung.. lalu melamun.. apakah karena Arum sudah pulang kerumah suaminya maka dia begitu?
"Ibu, jangan sedih.. bu Siti tidak apa-apa," kata Arum yang mendekati bu Suryo diruang tunggu, diikuti Ratih dibelakangnya.
"Hanya dia temanku.. teman berbagi suka dan duka.. "
"Iya bu, Arum mengerti."
"Apa dia sering begitu bu?" tanya Ratih sambil duduk disamping bu Suryo.
"Tidak, hanya beberapa hari terakhir ini. Mungkin dia sedih karena Arum pulang kerumah suaminya."
"O, dia sangat sayang pada bu Arum rupanya.. "
"Arum kami sayangi bersama. Tapi kan Arum tidak pergi jauh? Setiap sa'at dia bisa datang kerumah saya. Beberapa hari yang lalu dia sangat ingin bertemu Ratih."
"Bertemu saya?"
"Iya. Ketika saya cerita bahwa ada gadis berwajah seperti Arum dia selalu bilang penasaran dan ingin melihatnya. Itu sebabnya mengapa saya suruh Arum mengajak Ratih untuk datang. Tapi begitu menyambut kedatangan Ratih kok dia malah pingsan."
"Iya, apa karena saya ? Saya kenapa ya?" tanya Ratih bingung.
"Bukan karena bu Ratih, bu Siti sudah beberapa hari yang lalu tampak seperti sakit. Ya kan bu? Cuma saja tidak sampai pingsan."
"Coba nanti kalau nak Bram datang, kita tanya dia sebenarnya sakit apa, sedih aku.. kalau tidak ada yu Siti aku sama siapa?" kata bu Suryo pilu.
"Ibu jangan begitu, bu Siti tidak apa-apa."
***
Sementara itu, bu Nastiti dan bu Martono yang duduk diruang tunggu agak jauh dari bu Suryo, juga merasa gelisah.
Bu Nastiti merasa, apakah karena kedatangan mereka lalu bu Siti terjatuh dan pingsan?
"Apa dia kecapean masak buat kita ya?" gumam bu Nastiti, tapi bu Martono tampak tak mendengar perkataannya. Bu Martono seperti memikirkan sesuatu.
"Dari tadi jeng Martono melamun ya?"
Bu Martono menatap besannya.
"Saya seperti pernah melihat bu Siti. Wajah itu seperti tak asing bagi saya."
"Benarkah?"
"Saya sedang mengingat-ingat, kapan bertemu dia."
"Mungkin ketika bersama bu Suryo?"
"Tidak .. ketika bu Suryo kerumah, dia tidak bersama bu Siti."
"Menurut saya, wajah bu Siti itu bukan wajah seorang pembantu. Dia cantik, dan berpakaian sangat pantas."
"Itu karena bu Suryo tidak menganggapnya sebagai pembantu. Lihat saja, bu Suryo tampak sedih disana."
"Jeng, menurut saya, wajah bu Siti itu kok ada miripnya sama Arum ya?"
Bu Martono terkejut. Iya benar, ada miripnya, terutama bibirnya itu.
Lalu tiba-tiba peristiwa itu terlintas kembali.
Seorang wanita menggendong bayi, duduk ditepi jalan, sedih karena tak bisa membayar beaya persalinan.
"Itu diaaa!!" kata bu Martono setengah berteriak, membuat bu Nastiti kaget.
"Ada apa??"
"Dia... saya ingat dia... "
"Dia siapa?" tanya bu Nastiti keheranan.
"Mungkin itu sebabnya dia sayang sekali sama Arum?"
Bu Nastiti menatap besannya dengan heran. Bicaranya seperti celetukan-celetukan yang tak dimengertinya, membuatnya bertanya-tanya.
"Ya Tuhan.. ini memang sudah diatur olehNya" kata bu Martono yang kemudian berdiri menuju kearah ruang ICU.
Ketika itulah dia bertemu dengan dokter Bram.
"Ibu mau kemana?"
"Saya mau melihat bu Siti."
"Sebentar ya bu, bu Siti sedang dirawat. Ibu tunggu dulu, kalau sudah bisa ditemui saya akan mengabari semuanya," kata Bram dengan sabar.
"Dia tidak apa-apa?" tanya bu Suryo yang juga mendekati Bramasto.
"Tidak, ibu jangan khawatir. Bu Siti sudah sadar."
"Oh, syukurlah," bu Suryo bernafas lega.
"Ibu tunggu dulu sebentar ya, mungkin tak lama lagi dia akan dipindah ke kamar inap."
"Harus opname ?"
"Mungkin sehari atau dua hari, untuk memeriksa barangkali ada yang salah dengan kesehatannya. Tapi menurut saya, bu Siti baik-baik saja."
"Syukurlah, pilihkan kamar terbaik untuk dia nak.."
"Baik bu, cuma untuk sementara waktu jangan dulu membebaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membuatnya shock, atau tertekan, atau apa. Tampaknya bu Siti memikirkan sesuatu yang memberati pikirannya."
"Ya, ya.. baiklah.. saya mengerti nak."
Tapi bu Martono tampak ingin segera ketemu yu Siti. Ia mondar mandir didepan pintu ICU, mengherankan Arum juga.
"Ibu, duduklah dulu. Mengapa ibu tampak gelisah?"
"Ada sesuatu yang ingin ibu katakan sama dia."
"Ibu pernah mengenalnya?"
"Ya, sangat mengenalnya. Nanti ibu akan ceritakan semuanya. Sudah sa'atnya kamu mengetahui Arum.."
Arum tak mengatakan apapun. Ia tak mengerti dan tampaknya bu Martono belum ingin mengatakannya sekarang.
***
Ketika yu Siti dipindahkan ke ruang inap, bu Suryo melarang mereka masuk ber-ramai-ramai. Dokter Bram sudah mengatakan bahwa yu Siti tampaknya sedang tertekan.
Yang pertama kali masuk adalah bu Suryo dan Arum.
"Bagaimana yu, sudah lebih enak?" tanya bu Suryo.
"Sudah bu, mengapa saya disini? Saya ingin pulang saja, ini menyusahkan banyak orang."
"Tidak, kamu harus menurut. Sehari atau dua hari kamu akan disini, agar kesehatanmu diperiksa lebih lanjut."
"Tapi saya tidak merasa sakit apapun bu."
"Sudah, jangan banyak protes. Kamu disini dan menurut apa kata dokter."
"Mana dia?"
"Siapa ?"
"Yang wajahnya seperti nak Arum."
"Masih diluar yu, kalau kamu mau dia masuk, biar aku keluar dulu," kata bu Suryo sambil beranjak keluar, lalu meminta Ratih segera masuk.
"Tolong beri saya minum," kata yu Siti.
Arum memberikan segelas air yang ada dimeja didekat bu Siti, dan membantunya minum dengan mengangkat kepalanya.
Sementara itu Ratih sudah masuk, diiringi bu Martono yang memaksa ikut masuk.
Yu Siti meneguknya, air matanya berlinang.
Begitu Arum meletakkan cangkir dimeja, yu Siti merengkuh kedua tangan Ratih dan Arum diletakkannya didadanya. Ratih dan Arum kebingungan.
"Benarkah kalian anak-anakku?"
Ratih dan Arum berpandangan dengan tatapan tak mengerti.
Bu Martono tiba-tiba mendekat. Dipandanginya wajah yu Siti lekat-lekat.
"Aku mengenalnya," bisik bu Martono sambil berdiri mendekat.
Yu Siti juga menatapnya, lalu berurailah air matanya.
"Ibu... ini.. ibu...ibu itu.. saya lupa namanya.. ibu.. masih mengingat saya? Si miskin yang terlunta membawa bayi untuk ditukar dengan beaya persalinan...?" katanya sambil menangis.
Ratih dan Arum kembali berpandangan. Arum heran karena ibunya seperti mengenal yu Siti.
"Ibu.. mengenal bu Siti?"
Tiba-tiba bu Martono merangkul Arum.
"Kamu anaknya dia.. dia ibu kandungmu, Arum.."
Arum terkejut, didorongnya tubuh ibunya pelan, ditatapnya matanya, untuk mencari kesungguhan dimata setengah tua itu.
Gemetar tangan Arum. Ia ingat yu Siti pernah bercerita tentang anaknya, yang kembar, dan diberikannya kepada dua orang yang berbeda. Apa salah satu wanita penerima bayi itu adalah ibunya? Diakah bayi itu?
"Sayakah bayi itu bu?" tanya Arum kepada bu Siti.
"Ibu itu...ibu itu.. " yu Siti menunjuk kearah bu Martono yang juga berlinang air mata.
"Saya bu Martono, yang menerima bayi itu.. dia inilah anakmu bu.." kata bu Martono sambil menunjuk kearah Arum.
Arum menjatuhkan tubuhnya kedada yu Siti, tenggelam dalam tangisan yang menyayat.
Ia ingat yu Siti pernah bercerita tentang anak yu Siti yang kembar. Ia tak menyangka, dirinyalah salah satu bayi itu.
Lalu tentang kemiripan wajahnya dengan Ratih, Ratihkah saudara kembarnya? Ratih masih terpana, bingung atas kejadian itu.
"Apakah Ratih adalah saudara kembarku?" kata Arum sambil menarik tangan Ratih.
"Aku pernah bilang, satu lagi anakku entah aku berikan kepada siapa, karena aku sedang sakit parah. Dia seorang wanita yang tidak punya anak... entah siapa... tapi aku mengenali kedua anakku. Yang satu punya tahi lalat didekat pusar, satunya diatas bibir sebelah kiri.. apa itu kamu?"
Ratih masih bingung. Bapaknya tak pernah mengatakan dia anak siapa. Menurutnya dia juga anak pak Kardi dan bu Kardi yang telah meninggal beberapa tahun lalu.
"Apakah aku anak angkat?"
"Tanyakan kepada bapak ibumu... anak angkat atau anak kandung kamu sebenarnya," bisik yu Siti yang tak lagi memanggil nak kepada mereka. Ia hampir yakin Ratih dan Arum adalah anak-anaknya.
Bu Suryo yang tiba-tiba masuk untuk melerai bu Martono agar tak terlalu banyak orang diruangan itu, terkejut mendengarnya. Ia mendekati yu Siti.
"Jadi Arum ini anakmu? Lalu anakmu sebenarnya adalah dua yu?"
"Iya bu, ma'af saya tak berterus terang pada ibu."
"Ya Tuhan, begini caraNya untuk mempertemukanmu dengan anak-anak kamu Yu. Aku ikut senang." kata bu Suryo penuh haru.
"Tapi mengapa kamu tidak bilang bahwa anakmu kembar?"
"Saya takut ibu marah. Saya baru bilang menyerahkan satu anak saja ibu memarahi saya, apalagi kalau saya bilang anak saya ada dua."
"Yu, aku bukan marah, aku hanya merasa sayang. Sedangkan aku saja tak punya anak, mengapa kamu berikan anakmu kepada orang lain. Tapi ya sudahlah, memang harus seperti ini jalannya."
Ratih tiba-tiba pergi keluar dan mencari Bramasto.
"Mas, maukah mengantarkan aku pulang?"
"Pulang?"
"Ada yang ingin aku tanyakan pada bapak.. sangat penting."
"Baiklah, saya antar sekarang saja."
Tapi tiba-tiba bu Suryo menyusul keluar dan mendengar bahwa Ratih ingin menemui bapaknya.
"Begini saja. Bagaimana kalau ayahnya Ratih kita jemput kemari? Tampaknya keadaan ini harus dituntaskan hari ini. Aku kira ini menyangkut kesehatan yu Siti juga. Tak apa-apa ayahnya Ratih dijemput kemari.
Bramasto mengangguk.
"Bu Suryo benar, saya akan menjemput pak Kardi sekarang. Ratih disini saja."
***
Wajah yu Siti tidak sepucat tadi. Ia senang bertemu bu Martono yang masih ingat semuanya sehingga meyakinkan Arum.
Beruntung yu Siti pernah bercerita kepada Arum tentang kejadian puluhan tahun lalu setelah dia melahirkan, sehingga ia tak perlu bicara banyak pada Arum.
"Tidak disangka ya bu, ternyata Arumlah bayi ibu. Dan Ratih adalah kembaranku. Apa kamu belum yakin kalau kita saudara kembar? Jangan panggil aku bu Arum. Kamu adalah Ratih, dan panggil aku Arum."
"Aku hampir yakin kalau melihat keadaan fisik aku ini, tapi bukankah bapak juga harus memberikan keterangannya sehingga semuanya menjadi lebih jelas?"
"Iya, kamu benar. Tapi aku bahagia kita bertemu, semula kita hanya mengira bahwa kemiripan wajah ini adalah kebetulan."
"Aku juga bahagia menjadi saudara kembarmu, dan bahagia memiliki bu Siti sebagai ibu kandungku..." kata Ratih sambil menciumi pipi yu Siti.
Selangkah lagi bahagia itu akan sempurna, tinggal menunggu kedatangan pak Kardi.
Namun pak Kardi yang kemudian datang justru bingung mendapat pertanyaan Ratih tentang siapa dirinya.
"Aku menikahi ibumu ketika dia sudah menjadi janda, membawa anak satu, ya kamu itu. Ibumu mengatakan bahwa kamu adalah anak satu-satunya," kata pak Kardi bingung.
"Jadi bapak tidak tau Ratih ini anak siapa?"
"Menurut bapak, kamu adalah anak tiri bapak, karena ketika bapak menikahi ibumu, kamu sudah ada."
Bersambung #21
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel