Cerita bersambung
Sampai diteras rumah, tak ada seorangpun disana. Maruti pasti sudah sampai di kantor, Dita.. tidurankah karena sedang sakit? Panji hampir memencet tombol bel rumah ketika tiba2 Dita muncul didepan pintu. Wajahnya berbinar begitu melihat Panji dihadapannya.
"Mas Panji..," teriaknya senang.
Tanpa malu2 Dita memeluknya, simbok memalingkan muka. Tak enak rasanya melihat laki2 dan perempuan yang bukan apa2nya berpelukan begitu. Tapi dilihatnya Panji tak membalas pelukannya. Dengan lembut didorongnya Dita.
"Mana ibu?"
"Ada, lagi didapur , masak. Mbak Laras, apa kabar."
"Baik Dita."
"Ini siapa?"
"Ini simbok," jawab Panji
"Simbok? Maksudnya..?" tanya Dita tak mengerti.
"Simbok itu ibu. Dia ibuku," jawab Panji.
"Lhah, kan ibunya mas Panji...."
"Iya, ini pengganti ibuku."
"Oh, baiklah, silahkan masuk.. silahkan duduk, aku panggil ibu dulu ya," kata Laras mempersilahkan kemudian lari2 kecil memanggil ibunya.
"Mas, masih ada waktu untuk berfikir," bisik Laras.
"Aku bingung, tapi bukankah ini perbuatan mulia?" jawab Panji sambil memijit mijit keningnya, ternyata kepala pusingnya belum sembuh benar.
"Mas, ini simbok bawa obat gosok.. mangga.. apa simbok gosokkan?" kata simbok sambil merogoh tas kecil yang dibawanya.
"Ini mas, tak gosokke ya mas?" tanpa menunggu jawaban, simbok sudah membuka botol kecil yang kemudian dioles oleskannya ditengkuk Panji.
"Wong sakit kok ya nekat, jane mau apa to ini, kalau memang sakit mbok ya jangan nekat, besok2 saja," omel simbok sambil menghentikan gosokannya.
"Terimakasih mbok."
Simbok masih ngedumel sambil memasukkan kembali minyak gosoknya. Laras tersenyum memandangi ulahnya.
"Lha memang momonganmu itu kan orangnya keras kepala to mbok, biarin aja apa maunya," kata Laras, yang kemudian membuat mata Panji melotot kesal.
***
Sementara itu didapur Dita mengomel pada ibunya karena belum juga mau berhenti dari kegiatannya memasak. Diatas kompor ada sepanci sayur yang sedang mendidih, dan wajan penuh minyak untuk menggoreng ayam.
"Bu, cepatlah bu... nanti saja menggorengnya, ditungguin tuh.".
"Sebentar to nduk, ini sudah terlanjur masuk penggorengan, kalau dihentikan sebelum matang bisa berminyak, dan nggak enak rasanya."
"Masih lama kah bu?"
"Ya tunggu kalau sudah kering, kamu keluar saja dulu menemani , sementara ibu akan sekalian membuat minuman. Sudah, keluar sana dulu."
"Tapi aku harus berganti pakaian dulu bu, masak pakai daster begini."
"Lha ya sudah ganti pakaian sana, kok malah nungguin ibu disini."
"Baiklah," kata Dita sambil beranjak pergi meninggalkan dapur.
"Eh, tunggu Dita, tamunya cuma nak Panji ya?"
"Bukan cuma mas Panji bu, ada mbak Laras, ada simbok."
"Simbok siapa tuh?"
"Simbok itu, kata mas Panji, sebagai pengganti ibunya."
"Lho, kok pakai pengganti ibunya juga. Mau apa mereka ya nduk?"
"Nggak tau bu, aku ganti pakaian dulu, ibu jangan lama2 ya," kata Dita sambil melangkah meninggalkan ibunya.
Tapi mendengar kata simbok pengganti ibunya itu, kemudian bu Tarjo jadi berfikir, mau apa mereka datang kemari? Ia mengambil empat buah cawan di almari dapur, dan menatanya dimeja, sambil menunggu ayam gorengnya benar2 matang.
Sambil berfikir tentang tamu2nya, bu Tarjo menaruh gula dalam cawan, sebelum menuang tehnya. Tapi ternyata nggak ada air panas didalam termos, bu Tarjo lupa mengisinya. Jadi terpaksa dia menurunkan panci berisi penuh sayur dari atas kompor, untuk merebus sedikit air. Tapi karena gugup, pegangan salah satu panci itu terlepas, dan seluruh isi sayur tumpah mengenai tubuhnya. Terdengar jeritan kesakitan yang membuat semua orang berhamburan kedapur.
Dita yang belum selesai berpakaian bagus, Panji, Laras dan simbok, sangat terkejut melihat bu Tarjo terkapar dilantai dan menggulung gulungkan tubuhnya.
"Ibu... ibu....ibuuu..." Dita menubruk ibunya, panik tak tau apa yang harus dibuatnya.
Simbok mencari letak kamar mandi, mengambil pasta gigi, yang dilumatkan pada kulit yang melepuh, tapi air itu sangat banyak, menumpahi tubuhnya dari perut sampai kaki.
"Laras, siapkan mobil, aku akan menggendong bu Tarjo, kita harus kerumah sakit," perintah Panji. Laras berlari keluar, menyambar kunci mobil Panji yang terletak dimeja, dan memutar letak mobilnya kearah sebaliknya, karena rumah sakit letaknya berlawanan dari letak mobil itu.
Panji yang menggendong tubuh bu Tarjo yang terus menerus merintih segera menaikkannya ke mobil, dikuti Dita yang tak henti2nya menangis.
***
Siang itu Maruti ada dikantornya. Agus dengan berbagai alasan selalu mencari cara agar bisa berdekatan dengan Maruti. Katanya, Agus ingin menemui client, dan minta agar Maruti menemaninya untuk mencatat pembicaraan mereka. Lhah aku ini costumer servis atau sekretaris sih? Batin Maruti heran, tapi ia tak berani membantahnya.
"Mira tidak masuk hari ini, jadi aku minta kamu menggantikannya," kata Agus, nah ini alasan Agus yang tak bisa dibantah benar2. Mira adalah nama sekretarisnya.
Namun karena Agus bilang waktunya mepet, dan Maruti harus membawa map yang diangsurkan Agus padanya, maka ponsel Maruti tertinggal di laci.
Dering yang berkali kali terdengar oleh orang lain, tak sekalipun ada yang berani membukanya.
***
Agus mengajaknya ke sebuah rumah makan mewah, karena disitu katanya mereka berjanji ketemu. Ketika mereka sampai, client itu belum tampak batang hidungnya.
"Pesan minuman saja dulu, mungkin karena jalanan macet. Kamu mau minum apa?" tanya Agus.
"Lemon tea saja," jawab Maruti singkat. Hari itu Maruti merasa bahwa pandangan Agus sedikit berbeda. Ada senyuman yang tak disukainya. Ganteng sih, manis juga senyumnya, tapi adakah yang seganteng dan semanis Panji senyumnya? Menurut Maruti, Panji tak tergantikan. Jadi lebih baik ia memandang kearah lain daripada beradu pandang dengan bosnya.
Agus memesan minuman untuk Maruti dan untuk dirinya sendiri.
"Jam berapa mereka katanya mau datang?" tanya Maruti karena sang client itu belum datang juga.
"Jam 11.00 sih, jadi nanti bisa makan siang sekalian."
"Ini sudah setengah 12..," kata Maruti sambil menengok kearah arloji tangannya.
"Mungkin macet," kalau jam 12 belum datang aku akan menelponnya.
Sampai ketika minuman yang dipesan sudah dihidangkan dimeja, Maruti sama sekali tak berani melihat kearah Agus, padahal Agus tak pernah mengalihkan pandangannya pada wajah cantik sederhana yang membuatnya ter gila2.
"Maruti, melihat apa sih kamu?" tegur Agus.
"Oh..eh... mm.. saya belum pernah kemari. Bagus sekali pemandangan disini," jawab Maruti sekenanya, kemudian dihirupnya minuman yang sudah diletakkan didepannya.
"Iya, tapi lebih indah pemandangan didepanku lho," jawab Agus sambil ikut2an menghirup minuman.
Maruti menoleh kearah belakang, tapi dibelakang dia adalah sebuah lukisan macan yang tampak garang. Itukah yang indah? Maruti tak begitu menyukai seni lukis, mungkin macan itu yang dimaksud Agus.
"Oh, saya nggak begitu memahami lukisan," jawab Maruti.
"Itu Tuhan yang melukisnya," jawab Agus sambil tersenyum. Lagi2 senyum itu membuatnya resah.
"Lukisan Tuhan? Apa maksudnya? " Maruti menoleh lagi kearah lukisan macan itu.
"Bukan macan itu..." Agus tertawa.
"Apa maksud bapak?" tanya Maruti bingung.
"Kamu itu maksudku, Maruti..."jawab Agus tanpa melepaskan pandangannya kearah Maruti.
"Oh, " hanya itu jawab Maruti, kemudian ia menghirup lagi minumannya, lalu melihat kearah arloji ditangannya.
"Belum jam 12. Sebentar lagi saya akan menelponnya," kata Agus seperti mengerti kalau Maruti sedang menunggu nunggu sang client datang.
Tiba2 Maruti ingin mencari kesibukan dengan mengeluarkan ponselnya, tapi kemudian ponsel itu tak ditemukannya.
"Oh, ponsel saya ketinggalan di kantor," keluh Maruti.
"Lhoh, nggak bilang dari tadi, apa aku suruh orang mengantarnya kemari? Dimana kamu meletakkan ponselmu?"
"Nggak usah pak, biar saja, nanti sampai dikantor saja saya menelpon."
"Kalau kamu mau menelpon, bisa pakai punya saya, ingat nomornya nggak? Panji kah?" Agus memancing.
"Bukan, bukan.. kalau saya ingin menelpon, itu menelpon rumah," jawab Maruti yang diam2 membuat hati Agus merasa lega.
"Kalau begitu telepon saja pakai ponselku, hafal nggak nomornya..?"
"Nggak pak, nanti saja.." Maruti merasa sungkan, tapi daripada bengong dan menghadapi si bos yang semakin membuatnya resah ini lebih baik ia menelpon Dita. Tentu ia ingat nomornya.
"Tapi, baiklah kalau saya boleh pinjam ponsel bapak," sambung Maruti.
"Silahkan.."
Maruti menerima ponsel Agus, dan memutar nomornya. Nomor Dita.
Tiba2 terdengar sebuah tangisan, mirip jeritan menyayat ketika telpon itu diterima adiknya, dan Maruti hampir pingsan mendengarnya.
"Ya Tuhan...," keluh Maruti yang tiba2 pucat pasi. Gemetar tangannya ketika mengangsurkan kembali ponsel Agus.
"Ada apa?"
"Saya mohon pamit, ibu saya ada dirumah sakit." Maruti berdiri dan berlari kearah luar.
"Maruti, tunggu.." teriak Agus yang kemudian meletakkan selembar uang dimeja, lalu mengejar larinya Maruti.
==========
"Tunggu Maruti, aku akan mengantarmu," Agus berlari lari mengejar Maruti, dan begitu dekat Agus segera meraih lengannya untuk menahannya terus melangkah.
"Ibuku mas, tersiram air panas.. " isak Maruti
"Ya.. ya, aku antar kamu."
Maruti tak bisa menolak, pikirannya kacau, air matanya bercucuran sepanjang perjalanan.
"Tenangkan hatimu Ruti, kalau sudah dirumah sakit berarti sudah ada penanganan yang bagus. Sudah, jangan menangis lagi," kata Agus sambil mengangsurkan tisu yang selalu tersedia dimobilnya.
"Pasti mereka mengabari saya dan saya tidak tau karena hape saya tertinggal dikantor," sesal Maruti.
"Nanti aku akan suruhan pesuruh kantor mengantarnya kerumah sakit. Sekarang tenangkan hatimu."
Begitu berhenti di area parkir rumah sakit itu Maruti segera berlari lari kecil masuk kedalam. Katanya ibunya masih di ruang UGD. Agus kembali mengejarnya, dan menggandeng tangannya sampai kemudian tiba didepan ruang UGD.
Sa'at itu Panji masih disana, duduk bersebelahan dengan Dita yang juga terus menangis. Ketika dilihatnya Maruti datang bergandengan tangan dengan Agus, meluaplah kembali rasa cemburu Panji.Dia mebuang muka, tak tahan melihatnya, sementara Dita begitu melihat Maruti segera berlari menubruknya.
"mBak, aku yang salah mbak, aku yang salah... ma'afkan aku mbak," tangis Dita.
"Mana ibu? Mana ibu, Dita?" tanya Maruti.
"Masih didalam, kita belum bisa masuk. Ibu pingsan dan belum sadar."
"Bagaimana ini bisa terjadi Dita?" tanya Maruti yang juga bercucuran air mata.
"Aku yang salah mbak.."
"Kamu menumpahkan sayur itu dan mengenai ibu?"
"Bukan, aku tergesa gesa menyuruh ibu keluar karena ada mas Panji dan mbak Laras, juga simbok. Mungkin ibu kemudian menjadi gugup, lalu menumpahkan sayur panas itu. Aku yang salah.. aku yang salaah.."
"Ya, sudahlah Dita, jangan disesali, mari kita berdo'a demi kesembuhan ibu ya," Maruti menuntun Dita untuk duduk dikursi tunggu.
Sementara itu Panji pura2 mempermainkan ponselnya, seperti sedang berbicara dengan seseorang. Agus yang datang mendekatinya diacuhkan begitu saja. Justru Laras yang lebih dulu mendekati Agus dan menyalaminya.
"Terimakasih telah mengantar Maruti, mas," sapa Laras.
"Kebetulan kami sedang ada diluar, dan ponsel Maruti tertinggal dikantor, jadi nggak bisa langsung mendengar ada kejadian seperti ini."
"Oh, pantas ditelponin nggak nyambung2."
"Ketika itu tiba2 dia ingin menghubungi Dita, kemudian aku pinjamkan ponsel aku, lalu baru dia mengetahui ada kejadian seperti ini. Bagaimana keadaan bu Tarjo?"
"Sangat parah mas, dari perut sampai ke kaki, melepuh."
"Ya Tuhan.. " desis Agus prihatin.
"Panji, dari tadi asyik saja," tiba2 Agus mendekati Panji yang masik asyik dengan ponselnya.
"Oh, iya Pras, sebentar, lagi menghubungi orang kantor." jawab Panji tanpa melepaskan ponselnya.
"Duduklah mas," Laras mempersilahkan.
"Terimakasih," jawab Agus sambil melirik kearah Panji. Agak aneh melihat sikapnya kali itu.
Beberapa jam kemudian seorang perawat keluar.
Maruti dan Dita berdiri dan mengahampiri dengan hati berdebar.
"Mana yang keluarganya bu Tarjo?"
"Saya anaknya," jawab Maruti dan Dita bersamaan.
"Dokter Baroto ingin bertemu. Silahkan masuk."
Maruti dan Dita masuk kedalam mengikuti perawat itu.
Tiba2 Panji yang mendengar bahwa dokter yang menangani bu Tarjo bernama Baroto, kemudian menghentikan kegiatannya memainkan ponselnya yang entah benar atau tidak..sedang menghubungi orang kantor atau barangkali sedang menghindari berbicara dengan Agus. Dilihatnya perawat itu masuk diikuti Maruti dan Dita.
Panji segera berdiri dan berjalan menuju kearah perawat jaga. Ada dua orang perawat yang duduk disana.
"Kemana Panji?"
"Sebentar, mau menemui perawat itu." Jawab Panji tanpa menghentikan langkahnya. Agus yang penasaran mengikutinya dari belakang.
"Selamat siang suster," sapa Panji.
"Siang mas, ada yang bisa kami bantu?" Perawat itu menjawab.
"Mau tanya mbak, dokter Baroto itu ahli ongkologi?"
"Bukan mas, dia dokter bedah."
"Ada lagi Baroto, dokter anak, tapi dia nggak prakter disini," sahut perawat yang satunya.
Panji termangu ditempatnya berdiri.
"Ada apa ya mas?"
"Adakah nama dokter Baroto ongkolog?"
"Kayaknya nggak ada tuh kalau dirumah sakit ini, nggak tau kalau ditempat lain. Tapi selama saya bekerja kok belum pernah dengar nama Baroto ongkologi. Biasanya dokter2 ahli kan dikenal oleh hampir semua rumah sakit."
"Oh, gitu ya," Panji masih termangu.
"Dimana mas mengenal nama itu?"
"Mm.. seorang teman," jawab Panji sekenanya.
"Ooh, coba aja tanya teman mas itu, beliaunya praktek dimana..gitu," saran perawat.
"Baiklah, terimakasih."
Ketika Panji membalikkan badan, hampir saja dia bertabrakan dengan Agus yang ternyata mengikutinya dan kemudian berdiri dibelakangnya.
"Oh, ma'af Pras."
"Ada apa dengan dokter Baroto? Aku kenal nama itu." kata Agus tiba2.
"Kamu tau? Dia ongkolog?"
"Bukan, dia dokter kulit,, dokternya Sasa anakku.Dia tuh sering gatel2 gitu, alergi "
Panji menghela nafas kecewa.
"Ada apa sebenarnya?"
"Yang menangani penyakit Dita namanya Baroto, katanya dokter onkologi. dan katanya lagi sedang ada diluar negeri."
"Kalau dia dokter ahli pasti semua rumah sakit mengenalinya. Tapi nggak tau juga, siapa yang kasih tau nama itu.?"
"Santi."
"Santi? Coba kamu tanya sekali lagi sama dia, mungkin dia salah ucap, atau kamu yang salah dengar, ma'af, sebaiknya kamu tanya dia sekali lagi."
"Aku akan telepone saja sekarang. Kalau jawaban kurang memuaskan akan aku temui dia."
"Ya, lebih baik begitu."
Tapi Panji nggak pernah lagi menyimpan nomor ponsel Santi. Waktu Dita memintanya untuk menelpon, Dita yang kasih nomornya dan Panji tidak menyimpannya.
"Aku punya nomornya Santi, sebentar," kata Agus yang kemudian mengangsurkan ponselnya setelah menemukan nomor bekas isterinya.
"Aku langsung menelpon dari sini ya?"
"Silahkan, nggak apa2."
"Hallo, ada apa siang2 begini telpon aku, kangen ya?" suara Santi dari seberang sana.
"Aku Panji,"
"Oh, ya ampuun .. mas, ada apa? Nyatanya suatu hari kamu juga kangen sama aku kan?" jawab Santi renyah seperti kerupuk baru digoreng.
"Aku mau nanya, dokter Baroto sudah kembali?"
"Oalah mas, masih mau nemuin dokter Baroto ya, tapi sayangnya belum kembali, dan aku juga belum menemukan kontaknya. Dia itu disana mengikuti seminar apa.. gitu lho, undangannya ditunjukin ke aku kok."
"Dia itu praktek dimana?"
"Lha ya nggak praktek mas, kan keluar negeri."
"Maksudku kalau nggak pergi, prakteknya dimana? "
"Ya di banyak rumah sakit mas, tapi sekarang lagi nggak ada."
"Alamat rumahnya?"
"Lha mas mau apa pake nanyain alamatnya segala. Kesanapun juga nggak akan ketemu, dan aku nggak tau persis, coba nanti aku tanyakan barangkali ada yang tau."
Pembicaraan ditutup oleh Panji tiba2. Jawaban Santi cukup membuatnya curiga. Di banyak rumah sakit, kenapa rumah sakit dimana bu Tarjo dirawat nggak tau. Ditanya alamatnya juga nggak tau. Panji mengangsurkan ponselnya kepada Agus.
"Terimakasih Pras."
"Apa katanya?"
"Lagi keluar negeri katanya, tapi katanya dia praktek dibanyak rumah sakit, kenapa disini yang rumah sakit besar nggak tau?"
"Alamat rumahnya?"
"Dia juga bilang nggak tau, mau ditanyakan dulu katanya."
"Aneh,"
"Memang aneh. "
Bersambung #18
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel