Cerita bersambung
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Agus
"Sebentar Pras, baru aku pikirkan."
Keduanya kembali ketempat duduk. Ketika itu Maruti dan Dita sudah keluar dari ruang perawatan. Wajahnya kusut, bekas2 air mata masih tampak.
"Apa kata dokter?" Laras lah yang bertanya duluan.
"Parah Laras, ibu juga gegar otak karena waktu jatuh kepalanya menimpa lantai dengan keras."jawab Maruti pilu.
"Lalu bagaimana?"
"Ya tetap masih akan dirawat, hari ini juga masuk ICU."
"Ya Tuhanku..." keluh Laras trenyuh.
"Ibu juga belum sadar," lanjut Maruti. Dan Dita yang hanya diam kembali menangis sesenggukan.
"Dita, diamlah, jangan menangis lagi. Berdo'a saja untuk ibu,"
"Aku yang salah, aku yang salah."
"Bukan, ini sudah kehendak Tuhan, tak bisa kita mengingkarinya. Ayo berdo'a saja, ibu pasti akan baik2 saja," Laras terus menerus menghibur Dita.
"Tadi Dita bilang ada simbok, mana dia?"
"Mas Panji menyuruhnya pulang pakai taksi, kasihan simbok kalau kelamaan disini."jawab Laras.
"Laras, kayaknya aku harus pulang dulu, ada yang harus aku selesaikan. Kamu masih mau disini?" tiba2 Panji menyela pembicaraan mereka.
"Ya mas, aku disini menemani Maruti dan Dita."
"Maruti, aku juga mau kembali kekantor dulu. Berkas yang tadi kita bawa tertinggal dirumah makan," kata Agus ketika tiba2 diingatnya map yang tadi dibawanya.
"Oh, iya pak, saya mohon ma'af untuk tidak kembali ke kantor dulu." jawab Maruti.
"Nanti akan aku suruh orang mengantarkan ponselmu kemari,"
"Termakasih," jawab Maruti lalu kembali duduk disamping Dita.
Panji terlihat sedikit lega, melihat sikap Maruti yang tampak tak begitu perhatian sama perginya Agus. Apakah Agus yang mengejarnya? Kemudian terbayang lagi ayunan dengan bocah diatasnya, lalu Panji mengibaskannya, dan berlalu bersama Agus.
Maruti heran melihat sikap Panji,mengapa sedikitpun tak menoleh kearahnya ataupun Dita, dan langsung pergi, tapi mengingat keadaan ibunya dikibaskannya perasaan itu. Kini mereka sedang menunggu sa'at bu Tarjo dibawa ke ruang ICU.
***
"Jadi nggak ada ya onkolog bernama Baroto dan yang sedang pergi keluar negri?" tanya Panji hampir disetiap rumah sakit yang dikujungi.
Kemarahannya memuncak. Dia tidak tau mengapa Santi mengarang cerita yang menghancurkan hati banyak orang ini.
Mobil Panji melunjur kearah rumah sakit dimana Santi berpraktek. Masih ada dua orang pasien, kemarahan Panji sudah memuncak, tapi dia kasihan kepada pasien yang masih menungguinya, dan pasti sudah lama. Panji duduk dikursi sudut, menjunggu sampai dua pasien tersebut selesai diperiksa. Pikirannya melayang layang kemana mana. Dari apa maksudnya Santi mengarang ceritera, sampai dia hampir saja melamar Dita. Ini sebuah kebodohan, Santi yang membodohi semua orang. Gila benar, apa maksudnya? Panji kembali memijit kepalanya. Bu Tarjo terkena musibah, ini juga ada sambungannya dengan kebohongan Santi. Ini tak bisa didiamkan, dia harus diseret ke pengadilan, Ini kriminal.
Tiba2 ponselnya berdering. Dari Agus.
"Hallo Pras.." jawab Panji. Bagaimanapun Agus telah membantunya berfikir tentang dokter bernama Baroto. Ia harus mengubah sikapnya.
"Bagaimana? Sudah ketemu dengan onkolog itu?"
"Nggak ada, aku sudah memasuki beberapa rumah sakit, nggak ada onkolog itu."
"Lalu mengapa Santi mengarang semua itu?"
"Ini yang sedang aku urus. Aku lagi dirumah sakit tempat Santi berpaktek, masih menunggu satu pasien lagi nih."
"Sebenarnya bagaimana sih cerita selengkapnya, aku tuh tau hanya sepotong2."
Kemudian Panji bercerita tentang semuanya, ketika Dita katanya divonis umurnya paling lama hanya tinggal 6 bulan, sampai kemudian Dita ternyata mencintai Panji lalu Maruti menangis nangis agar Panji mau mencintai Dita, bahkan minta agar mau menikahinya untuk memberikan kebahagiaan di akhir hidupnya, sehingga dia menyanggupinya, tapi belum kesampaian terjadi musibah dirumah Maruti ketika Panji sedang berniyat melamarnya.
Agus termenung mendengarnya. Apakah Santi sejahat itu? Apa maksudnya?
"Mau aku temani?" akhirnya kata Agus.
"Nggak.. nggak usah, dan ma'af sebelumnya, kayaknya aku mau menyeret bekas isterimu ke pengadilan."
"Ya Tuhan.. sampai begitu?"
"Pras, ini tindakan kriminal. Karena tindakannya aku nyaris menikahi Dita karena tangis Maruti, dan bu Tarjo mengalami musibah yang tidak ringan. Ini karena perbuatannya Pras."
"Yah, mau bagaimana lagi. Dia memang keterlaluan. Aku akan mendukungmu Panji."
Panji menutup telephonnya karena pasien terakhir sudah keluar. Panji langsung memasuki ruangan Santi, tapi begitu membuka pintu, bukan Santi yang ada didalam. Panji tertegun.
"Mau periksa?" Tanya dokter itu.
"Oh, bukan, saya kita dokter Santi yang praktek." kata Panji
"Dokter Santi ijin buru2, katanya ada keperluan mendesak,saya dokter Nita, tapi kalau bapak mau periksa, barangkali saya bisa membantu."
"Tidak, bukan mau periksa, baiklah, ma'af."
Panji berlalu dengan perasaan tak menentu.
Dipacunya mobil kearah rumah Santi. Pasti dia sedang ada dirumah. Mengapa harus pamit buru2? Apakah dia bersembunyi karena merasa bahwa aku mencurigainya?
Mobil Panji berhenti didepan rumah mungil yang didiami Santi. Tapi pintu pagar tertutup dengan gembok. Tak ada mobil didalam pekarangan, dan kelihatannya memang rumah itu kosong. Panji masih duduk dibelakang kemudi, Dia ingin menelpon, tapi tadi dia meminjam ponsel Agus. Sehingga ia harus menanyakannya pada Agus.
"Hallo Pras," sapanya.
"Bagaimana? Jawab Agus dari seberang sana.
"Nggak ada dia, ini aku didepan rumahnya. tadi aku sudah ke rumah sakit, tapi setelah lama menunggu ternyata yang paktek bukan dia, katanya pamit buru2. Aku kira pulang kerumah, ternyata tidak.""
"Waduh, mungkinkah dia melarikan diri?"
"Pras, tolong aku minta nomer tilponnya Santi ya."
"Oke, tunggu aku SMS kan ya.."
Panji sudah menerima nomor Santi, dan segera ditelponnya, tapi telponnya mati. Tak ada suara Santi kecuali operator yang memberitahukan bahwa telpon yang dia panggil sedang tidak aktif.
Kecurigaan Panji memuncak. Dia sedang berfikir akan apa yang harus dilakukannya. Tadinya ia ingin berbicara dulu karena ingin tau apa maksudnya, tapi karena tampaknya dia menghindar, tak ada cara lain kecuali melaporkannya pada yang berwajib.
***
Sementara itu setelah mendapat keterangan dari Panji tentang kejahatan Santi, lalu Panji mengatakan bahwa ia ingin menikahi Santi karena penyakit Santi, tiba2 dia teringat kata2 Santi waktu tiba2 datang ke kantornya. Santi bilang, kalau memang tertarik pada Maruti, ada peluang kok, karena Panji justru suka pada adiknya. Mengapa Santi mengatakan itu? Pikir Agus. Tiba2 saja harapan untuk memiliki Maruti lepas dari angan2nya. Kalau semuanya terbongkar, tak mungkin Panji mau menikahi Dita, dan pasti balik pada Maruti.
"Papaaaaa..." teriakan melengking itu mengejutkannya, karena Sasa tiba2 sudah ada didepannya, ketika Endang si perawat membukakan pintu ruangannya.
"Sasa? Kok sudah sampai disini ?"
"Iya, kan mau ajak tante Maruti jalan2. Mana tante Maruti?" tanya Sasa sammbil memandang sekeliling. Karena diluar tidak ada, Sasa mengira Maruti ada diruangan papanya.
"Tante Maruti lagi nggak masuk Sasa," jawab Agus sambil menahan kekecewaan dihatinya.
"Tante Maruti sakit?"
"Ibunya yang sakit, jadi tante Maruti harus menungguinya dirumah sakit."
"Kalau begitu ayo kita kesana pa.."
"Kerumah sakit?" tanya Agus, dan Sasa mengangguk angguk.
"Tidak boleh anak kecil yang sehat masuk kerumah sakit."
"Kenapa papa?"
"Dirumah sakit itu kan banyak orang sakit, jadi banyak penyakit disana. Itu sebabnya anak kecil dilarang kesana, karena penyakit itu bisa menular."
"Kenapa tante Maruti juga kesana, bagaimana kalau tertular juga?"
"Kalau sudah besar itu, badannya sudah kuat, jadi tidak gampang tertular penyakit. Sekarang papa mau siap2 dulu dan kita jalan2 ya."
"Nggak mau, kita pulang aja, jalan2nya nunggu tante Maruti aja."
Waduh, Agus benar2 bingung, bagaimana kalau Sasa terlanjur suka sama Maruti dan selalu minta agar Maruti bersamanya?
***
Maruti dan Dita masih menunggui ibunya dirumah sakit. Sedih melihat ibunya belum juga sadarkan diri, sementara separo tubuhnya terbalut perban, dan selang2 infus bergelantungan disekitar tubuhnya.
"Ibu akan selamat kan mbak?" rengek Dita memelas.
"Tentu Dita, teruslah berdo'a untuk ibu." hibur Maruti sambil mengelus kepala adiknya.
"Dita sangat menyesal mbak, itu salah Dita.."
"Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri Dita, sudahlah, yang harus kita lakukan sekarang adalah berdo'a."
Tiba2 ponsel Dita berdering.
"Dari siapa nih mbak, nggak ada namanya," kata Dita yang merasa ragu2.
"Mungkin dari temanmu yang menanyakan keadaan ibu, angkat saja Dit."
"Tapi Dita nggak kenal nomornya."
"Barangkali ada yang perlu, kalau bukan siapa2 atau telepon itu mengganggumu, boleh langsung ditutup."
"Hallo.." kata Dita sambil mengangguk.
"Ini kamu Dita? Nggak kenal suaraku lagi?"
"Oh, dokter Santi. Nggak tau, soalnya nomernya ganti. Dokter, ini aku lagi dirumah sakit, ibu kena tumpahan sayur panas, dan itu parah."
"Oh, ya sudahlah, aku ikut prihatin, tapi dengar, ada yang ingin aku katakan dan itu penting."
==========
Dita tampak tercengang, bu dokternya yang biasanya penuh perhatian terhadap keluarganya, tak terlihat perduli mendengar Dita menceriterakan musibah yang menimpa ibunya.
"Dita..," suara Santi dari seberang.
"Ya dok... ya.."
"Kamu masih disitu? Kamu mendengar aku bicara?"
"Ya.. ya.."
Didekatmu ada siapa? Kalau ada Maruti, atau siapapun yang ada didekatmu, lebih baik kamu menjauh dari mereka, supaya jelas aku bicara, "perintah Santi yang segera dituruti oleh Dita. Ia berdiri dan berjalan agak menjauh dari kakaknya.
"Ya dok, sudah,"
"Sudah jauh? Jangan sampai siapapun mendengar ini. Ini menyangkut keselamatan kamu juga." Kata2 Santi ini sangat mengejutkan Dita.
"Sekelamatan apa dok?" tanyanya heran, tapi juga ketakutan.
"Dengar, tampaknya mas Panji mencurigai kita."
"Apanya dok?"
"Aku dan kamu kan sedang bersandiwara tentang penyakit itu, supaya kamu mendapatkan mas Panji, ya kan? Nah seharian ini dia mencari cari aku. Ia curiga tentang nama dokter yang aku katakan telah memeriksa kamu.Aku tadi pulang dan bersembunyi dirumah, tapi aku sudah mengelabuinya dengan menggembok pintu pagar. Dia sedang mencari cari aku Dit, ini karena aku ingin membantumu mendapatkan mas Panji."
"Oh, kalau begitu nggak jadi saja dok, Dita sedang sedih memikirkan ibu, Dita tak perduli lagi sama mas Panji."
"Enak saja kamu bicara, kamu bilang nggak jadi, tapi aku terlanjur berbohong kepada semua orang. Dan aku takut mas Panji melaporkannya pada polisi."
Dita terkejut, mendadak wajahnya pucat pasi. Polisi? Sungguh menakutkan...
"Ya, polisi, bisa jadi aku ditangkap dan dipenjarakan."
"Tapi bukan aku kan dok?" Dita benar2 ketakutan.
"Ya nggak bisa begitu dong Dit, kamu ikut berbohong, kamu ada didalamnya, jadi kalau aku dipenjara, kamu juga akan dipenjara.."
"Oh.. tidaaak...," Dita berteriak, membuat Maruti menoleh kearahnya.
"Dita, kamu gila ya berteriak keras2 begitu? Dengar, aku serius nih."
"Lal..lu..lallu.. aku harus bagaimana?"
"Kamu harus berusaha supaya mas Panji tidak melapor ke polisi."
"Tta..pi..bagaimana?"
"Ada apa Dita?" tiba2 Maruti sudah mendekati Dita. Rupanya Santi mendengarnya dan segera menutup pembicaraan itu.
"Hallo," Dita masih ingin bertanya tapi telephone sudah dimatikan.
"Ada apa? Kamu tampak kebingungan begitu.." tanya Maruti yang khawatir melihat sikap adiknya.
"Nggak.. nggak apa2, ini tentang obatku..."
"Belum habis kan?"
"Dia hanya mengingatkan, sudahlah mbak, ayo kembali duduk. Oh ya, aku mau beli minuman dulu ya, haus mbak."
"Biar aku saja yang beli, kamu duduk disini."
"Ya sudah, terserah mbak saja."
Tanpa menunggu jawaban, Maruti bergegas menuju kantin, dan begitu Maruti menjauh, Dita kembali menghubungi Santi, namun telephone itu sudah tidak aktif lagi. Dita mencoba ke nomor yang ada dicatatannya, tapi juga nggak bisa tersambung. Dita kebingungan, apa yang dikatakan Santi sungguh membuatnya takut. Dipenjara? Aduhai, jangan.. jangan sampai.. tempat yang pengap, mungkin bau.. bercampur penjahat2.. makan yang tidak enak, tidur di bawah dengan alas seadanya...dan penjaga yang sangar dan galak... oo.. Tuhan.. ampunilah aku... Dita berlinangan air mata, kali ini bukan karena menangisi ibunya, tapi karena bayangan penjara yang membuatnya sangat ketakutan..
"Salahku... salahku...mengapa aku melakukannya?" dan bayangan pria tampan yang memiliki senyum menarik itu berubah menjadi bayangan hantu yang menakutkan. Hantu itu menyeringai, giginya yang besar2 tampak meneteskan darah, rambutnya berjuntai.. keras dan bau, matanya seperti menyemburkan api.....
"Tidaaaak... ini salahkuu..." Desis Dita, yang kemudian ternyata didengar Maruti yang sudah datang dengan membawa dua botol minuman dingin.
"Dita, jangan selalu menyalahkan diri sendiri. Ini minumnya, minumlah," kata Maruti sambil mengangsurkan botol minuman.
Untunglah Maruti mengira Dita merasa bersalah dalam musibah yang menimpa ibunya. Kalau bayangan penjara dan hantu itu diketahuinya....entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Dita mengusap air matanya, dibukanya botol minuman dan meneguknya hampir setengah dari botol itu.
"Kamu haus ya?" Maruti merasa iba.
***
Namun Dita semalaman nggak bisa tidur, hatinya gelisah bukan alang kepalang. Ia sungguh ketakutan mendengar kata2 Santi bahwa Panji akan melaporkannya ke polisi. Maruti yang merasa iba mengira Dita kesakitan.
"Dita, kamu bawa obatmu kemari?"
Dita menggeleng.
"mBak, bagaimana kalau aku pulang saja?"
"Ya, nggak apa2 Dit, pulanglah saja. Kamu kan sakit, dan tidak boleh terlambat minum obatnya."
Dita tak menjawab. Dia tak merasa sakit apapun, sakit itu hanya dibuat buat, atas saran dokter Santi. Dita juga tak tau, mengapa dokter Santi membantunya merebut Panji dari Maruti. Pasti bukan karena dia menyayangi dirinya, tidak. Sekarang Dita baru merasa bahwa Santi mengajaknya melakukan suatu kejahatan.
"Ya sudah, pulang saja dulu, besok pagi kalau kamu sudah enakan, kemari bawa ganti baju mbak ya."
Kembali Dita hanya mengangguk. Hatinya sungguh kacau, ia tak tau harus melakukan apa. Barangkali dirumah bisa lebih tenang. Dita melangkah keluar, diikuti pandangan Maruti yang merasa trenyuh melihat adiknya. Pada pikirnya Dita pasti kesakitan, atau mungkin sangat merasa bersalah atas terjadinya musibah itu.
***
"Kamu pulang dari rumah sakit jam berapa Laras?"
"Ya belum lama, aku langsung kemari. Lama sekali mas Perginya, kemana saja? Aku menunggu sampai ngantuk."
"Aku mencari nama dokter Baroto yang kata Santi menangani penyakit Dita."
"Oh iya, sudah ketemu?"
"Nggak ada nama dokter itu."
"Maksudnya? Belum pulang dari luar negeri?"
"Nggak ada yang namanya Baroto onkolog. Itu hanya karangan Santi saja."
"Lhoh, mengapa dia melakukan itu?"
"Nggak tau aku, aku baru mencari cari dia, tapi tampaknya dia kabur."
"Kabur?"
"Aku akan melaporkannya pada polisi, ini tindakan kriminal. Ini membuat kacau semua orang. Bahkan bu Tarjo terkena musibah juga ada hubungannya dengan kebohongan itu."
"Eit, tunggu..tunggu.. aku tidak mengerti. Mengapa dokter Santi berbohong?"
"Nggak tau aku, aku sedang mencarinya, tapi tampaknya dia kabur. Dia curiga ketika aku bertanya tanya tentang dokter Baroto siang tadi, dia pasti sudah merasa kalau aku mencurigainya."
"Apa ya maksudnya?"
"Aku akan kerumah sakit lagi. Aku harus bertemu Dita untuk menanyakannya."
"Mas, bagaimana kalau besok saja? Ini sudah malam dan mereka masih sedih karena ibunya belum sadarkan diri, kalau mas bertanya tanya tentang Santi apa tidak menambah beban bagi mereka?"
"Iya juga sih...
"Mas bersabarlah dulu, sekarang antarkan aku pulang.Kalau aku pulang sendiri malam2 begini nanti ibu marah sama aku, dikiranya aku keluyuran."
"Salah kamu sendiri, mengapa kemari bukannya langsung pulang."
"Mau ngomong so'al usaha mas itu, tapi ya sudahlah, besok2 kalau semuanya sudah tenang kita bicara lagi."
"Ya, aku belum bisa berfikir juga tentang itu, ayo aku antar, pamit simbok dulu."
***
Hari masih pagi, disekitar rumah sakit masih tampak gelap, suasana sangat sepi karena para penunggu yang berjajar diluar ruang ICU juga masih meringkuk dalam tidur yang lelap. Maruti ingin mengabarkan keadaan Dita. Maruti juga ingin mengabarkan pada Dita bahwa ibunya sudah melewati masa kritis. Semalam sudah sadar, dan Maruti sempat berbicara sebentar karena dokter melarangnya bicara banyak. Tapi ponsel Dita tidak aktif.
"Mungkin Dita masih terlelap," bisik Maruti. Namun sampai remang malam itu menghilang, Dita masih belum bisa dihubungi. Maruti mulai disergap oleh rasa khawatir. Jangan2 Dita kesakitan dan tak seorangpun mengetahuinya. Maruti berpesan kepada perawat yang berjaga agar kalau ada apa2 harap menghubungi saja nomor ponselnya, karena ia ingin pulang sebentar. Ia masuk keruang ICU dan melihat ibunya masih tertidur.
Namun sebelum Maruti meninggalkan rumah sakit, pinselnya berdering. Itu nomor asing, ragu2 Maruti mengangkatnya. Namun dering itu tak henti2nya.
"Hallo.." sapa Maruti.
"Hallo, ini Maruti? Saya pak Karsono, tetangga sebelah.
"Ya pak, ada apa?"
"Pagi tadi kami menemukan nak Dita pingsan didepan rumah."
Maruti terkejut bukan alang kepalang.
Bersambung #19
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel