Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 10 Januari 2021

Saat Hati Bicara #19

Cerita bersambung

Bergegas dipanggilnya taksi yang kebetulan mangkal didepan rumah sakit itu. Hatinya gundah gelisah. Bagaimana kalau terjadi apa2 dengan adiknya? Ya Tuhan, selamatkan dia.. selamatkan dia.. bisiknya dalam hati. Jalanan yang masih sepi itu sesungguhnya sangat lancar bagi pengendara apapun untuk melaju. Maruti sudah meminta driver agar mempercepat laju kendaraannya, tapi bagi Maruti semuanya serasa bagai merayap lambat dan menyebalkan. Ingin Maruti melompat dan berlari sendiri sekencang kencangnya agar segera tiba dirumah.

Maruti merasa lega ketika akhirnya tiba didepan rumahnya, namun dilihatnya pak Karsono berdiri sendrian, tegak seperti patung didepan teras rumahnya. Dimana Dita, sudah sadarkah, lalu tidur dikamar?

Maruti mendekati pak Karsono setengah berlari.

"Bagaimana Dita pak, dimana dia sekarang?"
"Maruti, baru saja dokternya kemari dan membawanya kerumah sakit."
Maruti tercengang.
"Dokter siapa pak?
"Seorang dokter cantik. Tadi Dita sudah sadar setelah dirawat beberapa ibu2, dan tiba2 dokter itu datang. Dita mengenali kok, jadi kami biarkan dokter itu membawanya."
"Oh, dokter Santi?"
"Ya, begitulah tadi Dita menyebutnya."
"Oh, baiklah pak, terimakasih banyak."
"Ini kunci rumahmu nak," kata pak Karsono memberikan kunci rumah.
"Oh ya, terimakasih pak."

Maruti membalikkan tubuhnya untuk menyusul Dita yang dibawa dokter Santi kerumah sakit,
***

Pagi itu sebelum berangkat kekantor  Panji pergi kerumah sakit dimana bu Tarjo dirawat.Ia ingin bertemu Dita dan bertanya tentang Santi. Namun tak ditemuinya seorangpun diantara Dita ataupun Maruti. Ketika ditanyakannya pada perawat, katanya Maruti pulang pagi2 sekali. Dita tidak tampak sejak semalam. Kemudian Panji memutuskan untuk pergi saja kerumahnya, mungkin dirasanya lebih enak bicara dirumah daripada dirumah sakit. Namun dirumah Maruti ia juga tak menemukan mereka, bahkan keterangan dari pak Karsono tetangganya sangat mengejutkannya.

"Dokternya bernama Santi telah membawanya kerumah sakit. Maruti pun ketika pulang juga tak ketemu adiknya," kata tetangga yang menolongnya.
Panji terpana, Santi membawanya? Ini celaka.. segera diteleponenya Maruti.
"Hallo..mas Panji?" jawab Maruti dari seberang sana.
"Maruti, kamu dimana ?"
"Aku sedang menyusul Dita yang dibawa dokter Santi kerumah sakit mas, tadi pagi dia pingsan dirumah, aku masih dirumah sakit menunggui ibu waktu itu."
"Kamu dimana sekarang?"
"Aku sudah dirumah sakit tempat dokter Santi praktek mas. Ada apa?"
"Tunggu aku disitu, dan jangan kemana mana."
"Tapi aku harus mengetahui keadaan Dita dulu mas."
"Dita tak akan ada disitu, [ercayalah."
"Apa maksud mas Panji?"
"Pokoknya tunggu aku disitu."

Maruti kebingungan, bagaimana Panji tau bahwa Dita tak ada disitu? Maruti nekat masuk kedalam rumah sakit itu. Ia mencari dokter Santi, tapi perawat jaga bilang dokter Santi tak datang kesana, apalagi membawa pasien bernama Dita.
Maruti bingung, tampaknya ada sesuatu yang terjadi dan itu membuatnya takut. Ia kelobi depan menunggu Panji yang katanya akan menyusulnya. Sambil menunggu itu berkali kali Maruti menghubungi Dita, tapi ponselnya tidak aktif dari semalam. Tiba2 rasa takut menyergapnya. Apakah sakit Dita bertambah parah? Ya Tuhan, mana mas Panji yang katanya mau menyusulnya, ia butuh seseorang untuk menguatkan hatinya yang gundah.

Ketika dilihatnya mobil Panji datang, tak sabar Maruti datang menghampiri. Panji membuka pintu disampingnya dan mempersilahkan Maruti masuk.

"Apa yang terjadi? Bagaimana Dita? Dirumah sakit mana?" tanya Maruti cemas.

Panji menjalankan mobilnya keluar dari area rumah sakit. Maruti memandanginya dengan wajah pucat. Yang difikirkannya adalah sakit Dita bertambah parah, atau mungkin sesuatu telah terjadi pada adiknya. Atau.. enam bulan yang dijanjikan itu datang lebih cepat?

"Mas...."
"Santi membawa kabur Dita."
"Apa mas? Membawa kabur bagaiana? Aku bingung mas, aku cemas, aku tidak mengerti, pagi tadi aku dikabari tetangga bahwa Dita pingsan dihalaman. Ketika aku buru2 pulang untuk melihatnya, tetangga bilang bahwa Dita telah dijemput oleh dokter Santi, dibawa kerumah sakit. Tapi dirumah sakit itu aku tidak menemukannya."
"Ya, tentu, karena Santi membawa kabur Dita."
"Aku tidak mengerti.."
"Dengar Maruti, Santi itu penjahat. Dia membuat laporan palsu."
"Laporan apa?"
"Laporan kesehatan Dita. Sebenarnya Dita tidak sakit apapun. Dia sehat."
"Apa?"

Gemetar Maruti mendengarnya, apakah itu benar? Jadi dia tidak akan kehilangan Dita secepat itu? Tapi Panji belum menjelaskannya, Maruti mendengarnya seperti sebuah mimpi. Semuanya serba membingungkan.

"Itu benar. Dita tidak sakit apapun. Santi telah berbohong."
"Mengapa mas?"
"Entahlah, jawabannya ada pada Dita, tapi sekarang Santi membawa kabur Dita. Aku akan melaporkannya pada polisi kalau hari ini tidak bisa menemukannya."

Kepala Maruti tiba2 berdenyut kencang. Panji menceriterakan semuanya. Tentang nama dokter Baroto yang ternyata tidak ada, tentang laporan lab yang pastilah palsu. Dan semuanya membuatnya semakin pusing.

"Kalau kamu tidak percaya, periksakan saja lagi Dita ke dokter lain yang lebih ahli. Apa yang dikatakan Santi itu palsu."
"Tapi dimana sekarang Dita?" kecemasan Maruti kini tertuju pada keselamatan Dita. Aoakah Santi akan mencelakainya? Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya, tangannya gemetar, air mata mulai menitik perlahan dan membasahi pipinya.

"Dimana Dita sekarang?"
"Kita akan mencarinya. Lebih dulu kerumah Santi."
Tapi seperti kemarin, pagar rumah Santi tergembok, dan pintu rumah tertutup rapat.
"Rumah ini kosong.."
"Belum tentu, aku akan memanjat pagar dan masuk kedalam, siapa tau dia bersembunyi didalam dan mengelabui orang dengan gembok itu supaya mengira dia pergi.

Panji berusaha masuk dengan memanjat pagar. Berhasil, lalu mendekati rumah yang sepi dan tertutup rapat. Tapi memang benar tak ada siapa2 didalam. Panji mengintip kepintu garasi melalui lobang angin yang ada, tapi mobilnya juga tak ada. Beraarti Santi tak ada dirumah. Panji kembali ke mobilnya.

"Kemana Dita dibawa mas?" rintih Maruti.
"Kita akan mencarinya, kalau perlu lapor polisi."
"Mengapa dia membawa Dita?"
"Dia melakukan kejahatan itu atas sepengetahuan Dita. Pasti Dita akan dijadikan tameng oleh dia."
"Ya Tuhan....bagaimana ini?"
"Tenanglah Maruti, aku akan berusaha mencari ketempat lain. Kalau hari ini tidak ketemu aku benar2 akan lapor polisi."
***

Sementara itu Dita dan Santi ternyata berada disebuah rumah terpencil yang ada jauh diluar kota. Bukan hanya Dita, Santi pun sesungguhnya merasa takut.

"Mengapa dokter membawa saya kemari? Ini rumah siapa?" tanya Dita yang belum hilang rasa takutnya dari kemarin.
"Rumah siapa kamu tidak usah perduli, aku sudah membayarnya dan kita akan aman disini."
"Dokter, sebenarnya ada apa ini? Mengapa kita harus bersembunyi?"
"Diamlah Dita." sentak Santi kasar. Dia sendiri sedang merasa tak tenang, dan Dita seperti anak kecil yang merengek rengek tak henti2nya.
"Tapi aku takut dokter."
"Tentu, aku juga takut, apa kamu mau dipenjara bersama aku?"
"Ini kemauan dokter, bukan aku, mengapa aku juga harus dipenjara?"
"Bodoh! Ini kemauan kamu. Kamu yang menginginkan Panji dan aku hanya membantu kamu, jadi kamu juga harus bertanggung jawab."
"Tapi dokterlah yang berbohong."
"Kamu membantu berbohong Dita, jangan bodoh. Dan diamlah, aku sedang memikirkan bagaimana caranya kabur dari masalah ini."
"Tapi aku ingin melihat ibuku.. "
"Ibumu sudah ada yang menangani, fikirkanlah dirimu sendiri."

Dita menangis tak henti2nya, membuat Santi kesal kemudian meninggalkannnya didalam rumah yang kemudian dikuncinya dari luar. Entah apa yang akan dilakukannya.

==========

Maruti dan Panji sudah setengah hari mencari cari, namun keberadaan Santi dan Dita belum juga diketahui. Wajah Maruti pucat pasi. Mendengar bahwa Santi telah melakukan hal2 yang sangat luar biasa, sangat membuatnya heran. Untuk apa dia melakukan itu, sementara Panji juga belum menemukan jawabannya.

Panji kemudian menemui Agus, yang ternyata juga tak bisa banyak memberikan keterangan yang berarti.

"Ketika dia menikah dengan aku, dia sudah ditinggalkan kedua orang tuanya. Dia tak punya saudara, dan jauh dari kerabatnya. Dia adalah pribadi yang mandiri, yang tak pernah menjadi beban orang lain, hidup berkecukupan, dan itu membuatnya sedikit sombong. Itulah sebabnya tak seorangpun kerabatnya yang dekat dengan dirinya." kata Agus.
"Ada beberapa nomor telephone kerabatnya yang aku pernah punya, akan aku berikan sama kamu. Sebentar," lanjut Agus.

Tapi semua nomor yang diberikan tak seorangpun tau dimana keberadaan Santi. Bahkan beberapa nomor sudah tidak lagi aktif.

"Aku heran mengapa dia melakukan semua itu. Aku kira dia itu sakit. Sakit jiwa."
"Benar, seorang dokter yang sakit," timpal Panji.

Maruti yang hanya terdiam, tampak pucat tak bersemangat. Ia menghawatirkan adiknya, tapi juga menghawatirkan ibunya.

"Mas, bagaimana kalau aku kerumah sakit dulu, karena aku juga harus tau perkembangan sakitnya ibu," kata Maruti.
"Tadi aku sudah menelpon Laras agar pergi kerumah sakit, supaya tau keadaan ibu."
"Oh, terimakasih mas."
"Laras tidak menelpon, berarti tidak ada apa2. Tapi ada baiknya kita kerumah sakit sebentar, lalu kita fikirkan lagi apa yang harus kita lakukan."
"Kalau terpaksa, memang sebaiknya kita lapur polisi, karena ini menyangkut keselamatan Dita juga," kata Agus.
"Apa boleh buat. Sebaiknya memang harus begitu."
***

Dita berbaring di sofa yang ada dirumah tertutup itu. Kepalanya serasa berdenyut denyut.
Sejak kemarin pikirannya dicengkam oleh rasa takut yang amat sangat, dan sekarang dia ditinggalkan didalam rumah yang terkunci.
Dita sudah berusaha untuk melarikan diri, tapi tak sebuahpun pintu yang bisa dilaluinya. Hanya ada dua pintu, depan dan belakang, yang semuanya terkunci dari luar.
Ada jendela yang berterali besi, mana mungkin Dita kuat membukanya.
Dita baru menyesali apa yang telah ia lakukan. Ia seperti anak kecil yang menginginkan mainan, dan harus mendapatkannya dengan cara apapun juga.
Cara itu sekarang menyiksa dirinya sendiri.
Belum lagi memikirkan keadaan ibunya yang sakit parah... Aduhai ibu.. bagaimana keadaanmu? Bagaimana aku bisa menghubungi semuanya dan menanyakannya? Tangis Dita pilu.

Setelah tengah hari itu, tiba2 Santi datang, membawa beberapa botol air mineral, dan dua bungkusan makanan. Tak lupa ia kembali mengunci pintu rumah rapat2.

"Ini minumlah, nasi.. segera dimakan." katanya datar sambil meletakkan barang2 bawaannya.
"Aku mau pulang... aku nggak lagi ingin apapun.. kecuali pulang dan bertemu ibu.." rintih Dita lemah.
"Jangan bodoh ! Kalau kamu keluar dari sini kamu tak akan selamat. Aku sudah mendapat kabar bahwa mas Panji sedng mencari cari aku, dan kamu pastinya, jadi jangan membantah, menurutlah. Ayo dimakan dan diminum," perintahnya sambil meneguk air lalu membuka bungkusan makanan yang ternyata nasi dan lauk sederhana.
"Ayo dimakan. Nggak mau? Apa kamu mau mati? Mati beneran nih, nggak usah nungguin enam bulan lagi," Santi berucap sambil menyuap makanannya.Tampak kasar dan seperti tak ada santun2nya.
Dita memandanginya heran. Santi tampak seperti bukan seorang dokter, bukan seorang yang memiliki intelektual tinggi, bukan, sikapnya mirip seorang kriminal sejati. Merinding bulu kuduk Dita karenanya.

"Bener, nggak mau makan? Ya udah, terserah, nanti kalau kamu mati kelaparan, malah lebih mudah aku .. tinggal ngelempar kesungai yang ada didekat situ, lalu aku bisa pergi semauku."
"Biarkan aku pergi.. aku mau ketemu ibu...aku hanya ingin itu..," rintih Dita lemas.. ia benar2 sudah tak lagi memiliki tenaga, sejak kemarin belum seteguk air atau sesuap makananpun masuk kemulutnya.
"Diam dan jangan mimpi aku mau menuruti kemauanmu."
"Apa salahku? Mengapa dokter menyiksa aku seperti ini?"
"Salahmu adalah, kamu mencintai mas Panji !! Dia itu cintaku. Aku sebenarnya hanya ingin memisahkan Maruti dari mas Panjiku, itulah sebabnya aku mengarang cerita palsu tentang penyakitmu, supaya Panji meninggalkan Maruti. Aku juga membujuk bekas suamiku untuk mendekati Maruti, supaya mas Panji tidak bisa lagi kembali pada Maruti kalau seandainya kedokku terbuka. Tapi ini parah, mas Panji menyelidiki tentang penyakit itu, dan aku tau aku serta kamu akan celaka karena kebohongan itu. Kita bisa masuk penjara, tau??!!" kali ini suara Santi sangat keras. Dita bergidik, ia seperti melihat bathari Durga dalam pewayangan yang berwajah buruk, bertaring dan siap menebarkan kejahatan.
"Jadi bener, kamu nggak mau makan atau minum? Kamu memilih mati?"

Dita terdiam, wajahnya pucat, matanya terpejam. Dia pingsan.
***

Maruti dan Panji memasuki rumah sakit dimana bu Tarjo dirawat. Laras yang duduk menunggu diruang ICU itu menyambutnya.

"Ada kabar baik?" tanyanya.
"Belum ketemu, Maruti ingin melihat ibunya terlebih dahulu." jawab Panji.
"Ibu baik2 saja, keadaannya semakin membaik, aku baru saja masuk dan beliau menanyakan kamu. Lebih baik kamu masuk Ruti."
Maruti mengangguk, lalu masuk kedalam ruang ICU itu. Dilihatnya ibunya masih terbaring, tapi selang oksigen sudah tak lagi dipasang. Matanya terbuka begitu mendengar ada yang mendekat.

"Ibu..." Maruti memeluk ibunya dan menciuminya dengan seluruh perasaannya. Segala yang menghimpit dadanya serasa ingin ditumpahkan sa'at itu juga. Isak lirihnya terdengar .. seakan sesambat yang tak diucapkannya secara lisan. Ia tak ingin membebani ibunya dengan kejadian yang menimpa Dita.

"nDuk, jangan menangis, ibu tak apa2. Dimana Dita?" bisik bu Tarjo.
"Dita... sedang beristirahat.. dirumah bu, " Maruti berbohong.
"Kasihan dia, jangan sampai kecapean, nanti penyakitnya bertambah parah."

Tiba2 Maruti merasa bahwa ibunya harus dibesarkan hatinya dengan berita kesehatan Dita. Walau Dita belum diketemukan, bahwa Dita ternyata sehat, ibunya harus mendengarnya. Diangkatnya kepalanya, sambil tangannya mengelus lembut tangan ibunya.

"Bu, ibu tidak usah khawatir, sesungguhnya Dita tidak sakit."
"Apa maksudmu?"
"Dita itu sehat bu, tidak sakit, dia tidak akan meninggalkan kita secepat yang dikatakan dokter Santi. Dia akan memiliki umur yang panjaaaang... panjaaang sekali bu."
"Darimana... kamu tau?" tanya bu Tarjo dengan mata berbinar.
"Kemarin ketika kontrol, tak diketemukannya penyakit itu. Dita bersih dari kanker, sehat, dan akan berumur panjang. Jadi berbahagialah ibu." Maruti tidak berbohong tentang kesehatan Dita, tapi ia tak ingin mengatakan keadaan Dita yang sampai sekarang belum diketahui keberadaannya.
"Oh, ya Tuhan, terimakasih... " mata bu Tarjo berkaca kaca, Maruti mengusapnya lembut. Ada binar yang melegakan pada sorot mata wanita setengah tua itu, walau pasti masih menahan sakit karena luka bakar yang dideritanya.
"Jadi ibu harus cepat sehat ya bu, supaya kita bisa berkumpul bersama dirumah, dan ibu bisa masak yang enak2 buat kita."

Bu Tarjo mengangguk angguk. Bagaimanapun berita bahagia itu pasti bisa membangkitkan semangatnya.
***

Santi kesal sekali, Dita sama sekali tak mau mendengar kata2nya, dia merasa bahwa ini adalah beban yang berat baginya. Sesungguhnya Santi juga takut. Santi tak mengira bahwa perbuatannya yang semula dikiranya sederhana ternyata membuahkan kejadian yang ternyata membuatnya tersiksa. Dita masih tergolek pingsan disofa itu. Santi mengambil sebotol minyak angin dan diusap usapkannya kehidung Dita. Tampaknya Santi sedang memikirkan sesuatu.

"Dasar bodoh !! Kamu mau mati beneran? Mengapa nggak mau nurut apa kataku?"

Dita bergerak perlahan, ketika matanya terbuka, semua dilihatnya suram. Beribu kunang2 seperti  menari nari didepan matanya. Dipejamkannya matanya kembali.

"Ibu..." rintih Dita lemah..
"Apa kamu mau mati disini ? Dengar, makan dan minumlah," kata Santi sambil mengangsurkan botol minuman, lalu menuangkan sedikit ke mulut Santi. Santi menelannya dan tersedak. Agak lama dia terbatuk batuk.Tapi sedikit demi sedikit Santi mencoba memasukkan minuman itu ke perut Dita.
***

Dipanas yang terik itu Panji keluar dari rumah sakit. Ia merasa lega karena bu Tarjo telah mendengar tentang kesehatan Dita. Sekarang tinggal mencari dimana Dita berada. Dimana Santi menyembunyikannya. Tekatnya sudah bulat, ia akan melaporkannya pada polisi. Ia sudah sampai didepan kantor polisi itu ketika tiba2 ponselnya bgerdering.

Sebuah nomor yang tidak dikenalnya, tapi Panji mengangkatnya.

"Hallo..."
"Mas Panjiiii..." itu suara tangis Dita.
"Dita... Dita..dimana kamu Dita?"
"Maas.. tolong mas...." lalu suara itu terputus.

Bersambung #20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER