Panji merasa panik ketika tiba2 ponsel itu dimatikan. Ia mencoba menghubungi nomor itu lagi tapi tak terjawab.
Yang kemudian diterimanya adalah sebuah pesan SMS : KALAU INGIN DITA SELAMAT, JANGAN PERNAH LAPOR POLISI.
Gemeretak gigi Panji karena amarah yang ditahan. Ia sudah sampai di kantor polisi itu, dan urung turun dari mobilnya.
Dibalasnya SMS itu, DIMANA KALIAN BERADA?
Tapi SMS itu tak terkirim. Si pengirim sudah mematikannya.
Ia tak tau harus berbuat apa lagi. Kembali kepalanya berdenyut denyut. Ia membutuhkan seseorang untuk berbincang.Ia tak mungkin bisa menyelesaikan sendiri masalahnya.
***
"Ruti, kamu tenanglah, kamu harus percaya bahwa mas Panji akan bisa menemukan Dita. Dia kan banyak teman. Katanya kalau tidak ketemu hari ini ia akan lapor ke polisi."
"Ya, Laras, semoga semua baik2 saja. Terimakasih banyak kamu sudah menemani aku, dan menguatkan aku."
"Kamu itu ngomong apa, aku dan kamu itu bukan hanya teman, bukan hanya sahabat, bukan hanya saudara. Suka dan duka kamu adalah suka dan duka aku juga," jawab Laras sambil memeluk Maruti.
"Aku juga sedikit lega, besok pagi ibu sudah boleh dipindahkan ke zal. Berarti masa kritisnya sudah berlalu."
"Aku ikut gembira Rut, ibu bersemangat sekali setelah mendengar bahwa ternyata Dita tidak menderita penyakit apapun. "
"Tapi bagaimana nanti kalau ibu menanyakannya? Dita belum bisa ditemukan," kata Maruti sedih.
"Nanti kita bisa berbohong dulu Ruti, Dita sedang istirahat atau apa, mudah2an ibu puas dengan jawaban itu."
"Semoga saja."
"Aku akan menelpon mas Panji, barangkali sudah ada berita," kata Laras.
Tapi ternyata tidak tersambung. Tampaknya Panji sedang berbicara dengan seseorang.
"Bagaimana?" tanya Maruti masih dengan perasaan was2.
"Tidak tersambung, sibuk. Mungkin sedang menelpon seseorang, atau teman2nya yang akan membantunya.
"Ya Tuhan, lindungilah Dita.
***
"Aku menghubungi kamu dari tadi tapi tidak tersambung Pras," kata Panji ketika sampai dikantor Agus.
"Ada meeting siang tadi. Sedianya aku mau kerumah sakit untuk menjenguk bu Tarjo, tapi belum bisa. Aku juga menunggu berita dari kamu."
"Celaka.." keluh Panji.
"Ada apa?"
"Tadi Dita sempat menelpon aku."
"Oh ya, dia katakan mereka dimana?"
"Ya nggak mungkin, Dita hanya menangis dan bilang minta tolong, kemudian telephone ditutup. Pasti Santi yang menyuruhnya. Tak lama setelah itu ada SMS Lihat ini," Panji menunjukkan SMS yang dikirim ke ponselnya.
"Dia mengancam akan mencelakai Dita..."
"Aku sudah sampai di kantor pulisi tadi, tapi aku bingung, keselamatan Dita tergantung kita."
"Ya ampun, aku tidak mengira Santi bisa berbuat senekat itu. Ternyata dia tuh sakit jiwa," keluh Agus.
"Aku mengira, salah satu nomor tilpone yang kamu berikan ke aku itu, ada yang bisa berhubungan dengan Santi dan membantunya. Kalau tidak dia tidak akan sepanik itu, sampai mengancam segala."
"Iya ya, tapi yang mana?"
"Tak seorangpun diantara mereka bilang mengetahui keberadaan Santi. Bahkan rata2 bilang sudah lama tidak berhubungan dengan dia."
"Aku akan minta tolong temanku, dia seorang intel, dia akan membantu mencarinya secara diam2. Semoga tidak tercium olehnya."
"Terimakasih banyak Pras, kamu banyak membantu aku dan Maruti," kata Panji. Sedikit teriris hati Agus, ada harapan yang melayang bersamaan dengan peritiwa itu.
***
"Dita masih tergolek lemas di sofa itu. Santi memaksanya makan, tapi hanya sesuap dua suap masuk ke mulutnya.
"Apakah hidupku akan berakhir disini?" bisik Santi dalam hati. Ia berusaha kabur, tapi kesempatan itu tak ada.
Hari telah malam, semua pintu terkunci, dan Santi memasukkan kunci itu kedalam tas nya.Lalu ia berbaring disebuah sofa yang lain, tak jauh dari tempat Dita berbaring. Ada kamar di pondok itu, tapi Santi tak mau tidur didalamnya. Tak lama kemudian terdengar dengkur halus, Santi tertidur. Perlahan Dita bangkit dan mencoba duduk. Kepalanya terasa berputar. Sejenak disandarkannya kepalanya kesandaran. Diraihnya botol minuman dan diteguknya. Ia tau Santi tadi memasukkan kunci rumah kedalam tas yang diletakkannya disamping tempatnya berbaring. Seperti mudah meraihnya. Santi menenangkan batinnya, ia harus bangkit, berusaha mengambil kunci dan kabur. Hanya itu satu2nya jalan agar terlepas dari cengkeraman Santi.
Perlahan Dita mencoba berdiri, sedikit terhuyung, lalu tangannya berpegangan pada sandaran sofa. Ia menahan nafasnya yang sedikit terengah, jangan sampai Santi mendengarnya.
Selangkah ia maju. Dan Santi terbatuk batuk. Upps... Dita mundur dan kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Diliriknya Santi, hanjya terbatuk sebentar, kemudian kembali tertidur, setidaknya itulah yang dilihat oleh Dita. Dadanya berdegup kencang. Semoga ada kesempatan mencuri kunci pintu itu.
Dita berhenti sejenak, ia masih khawatir kalau ada gerakan Santi yang kemudian bisa melihat dirinya yang sedang berusaha kabur. Dilihatnya Santi mengubah posisi tidurnya. Dan.. bukk.. Santi terjatuh dari sofa itu. Dita memejamkan mata, pura2 tertidur pulas. Celaka, pasti Santi jadi terbangun.
"Kurangajar, kursi ini sempit sekali... huhh... " Santi bangkit, lalu kembali naik keatas sofa.
"Huhh.. sungguh tidak enak tidur disini. Santi bangkit lalu masuk kedalam kamar. Ia lupa tasnya masih tertinggal. Dita melirik ke sofa bekas tempat tidur Santi, dan hampir bersorak karena tas itu masih tertinggal disana.
"Ya Tuhan, tolong aku... tolong aku...," desisnya lirih.
Tapi ia belum berani bergerak. Ia bangkit setelah beberapa sa'at, lalu melangkah tersaruk pelan mendekati kamar itu. Ia harus tau apakah Santi sudah tertidur kembali atau belum. Kepala Dita masih berdenyut, tapi tak dihiraukannya. Kamar itu tidak terkunci, bahkan sedikit terbuka. Dita bisa menintip kedalam, dan melihat Santi meringkuk diatas pembaringan.
Dita berjingkat, menuju kearah tas Santi yang masih tergelethak ditempatnya.
"Ya Tuhan, tolong aku.. tolong aku, berkali2 ia berbisik. Tangannya gemetar. Tas itu sudah dipegangnya, ia menarik ruisletingnya, perlahan. Senyap yang menyentak memungkinkan suara sehalus apapun bisa terdengar oleh telinga.
Perlahan tangannya merogoh kedalam, aduuh.. mana kunci itu...
Tiba2 terdengar Santi terbatuk kembali dari dalam kamar. Dita melompat kearah tempatnya berbaring semula dan merebahkan diri lagi. Tersengal nafasnya karena tegang yang menghimpitnya.
Lalu terdengar langkah kaki mendekat. Dita menyipitkan matanya, Dari sela2 bulu matanya dilihatnya Santi mengambil botol minuman dan menenggaknya. Lalu Santi kembali melangkah kedalam kamar. Tapi dibawanya tas yang tadi tertinggal disana.
==========
Dita luluh dalam keputusasaan. Tak ada lagi jalan untuk terbebas dari belenggu. Air mata yang hampir kering menitik perlahan. Dibiarkannya tangannya terkulai dilantai, sementara tubuhnya masih terkapar tanpa daya diatas sofa. Bayang2 ibunya tampak maya, merintih kesakitan, dan itu adalah kesalahannya. Dita meratap dalam pilu yang mengiris kalbu.
"Ibu... ma'afkan anakmu ini, ma'afkan Dita ibu.... ini adalah hukuman bagi semua dosa2 Dita, pada ibu, pada mbak Ruti, pada mas Panji.. pada semua orang.... ma'afkan Dita... Sedangkan Tuhanpun tak mau mendengar jeritku, aku ini orang berdosa... aku ini penuh dosa... mBak Ruti.. kemuliaan hatimu aku balas dengan dusta yang sangat nista.. ma'afkan mbak... "
Tangis itu tenggelam .. sayup samar membelah sepinya malam, diantara kerosak dedaunan yang kadang berderak oleh angin yang menderu. Sinta bukan tak mendengar tangis itu. Setelah terbangun tadi tak lagi ia bisa memejamkan mata. Tangis pilu yang menyayat tak sedikitpun membuatnya iba. Santi memiliki hati sekeras batu, memiliki muslihat selicin belut, namun ia juga memiliki rasa takut yang kali ini juga menderanya. Untuk sementara ia bisa lebih tenang karena ancamanya pada Panji pasti membuat priya yang semula dipujanya itu surut keinginannya untuk melaporkannya pada polisi. Tapi itu kan tidak lama. Pasti Panji tak akan berdiam diri, dan Santi memikirkan apa lagi yang harus diperbuatnya. Kabur ke luar negeri? Itu mudah, ia punya segudang harta, tapi jangan2 para pemburu sudah mencegatnya disana.
Tangisan memilukan itu semakin lemah terdengar. Mungkin Dita tertidur kelelahan, atau juga kembali pingsan.
***
Pagi temaram, terdengar kokok ayam dikjauhan. Ada perkampungan didekat rumah kecil yang ditinggali Santi bersama Dita. Tapi Santi enggan masuk ke perkampungan itu. Apapun bisa terjadi, sedangkan dia butuh menyembunyikan diri.
Santi bangkit dari dalam kamar yang membuatnya gelisah pada sisa tidurnya, keluar dan meneguk air dibotol plastik yang tinggal beberapa teguk. Rasa haus masih menderanya. Tapi ia tak menemukan apapun dirumah itu. Ia masuk kekamar mandi untuk sekedar membersihkan diri. Tak ada sabun, ataupun pewangi lainnya. Santi mengernyitkan hidungnya. Menyiram kamar mandi bersih2, lalu kembali duduk disofa didekat Dita yang masih tergolek.
"Dita... Dita." panggil Santi beberapa kali. Namun Dita diam tak bergerak.
"Dita, apa kamu sudah mati?" suaranya sedikit keras. Namun sosok yang tergolek itu masih bernafas.
"Dita, bangun...."
Hanya ada sedikit geliat, lalu tubuh itu terkulai kembali.
Santi mencari cari sisir yang kebetulan ada didalam tasnya. Disitu juga ada bedak, lipstik dan pensil alis yang tersimpan didalam dompet kecil. Santi sedikit memoles wajahnya. Kecantikannya memang tampak, tapi pucat dan tak ada seri disana. Santi tak perduli. Ia mengambil kunci pintu, lalu melangkah keluar dan kembali mengunci pintunya dari luar.
Mobil yang diparkir dibawah pohon rindang, tampak tersembunyi, dan tak gampang dilihat dari luar. Santi memanasi mesinnya, kemudian memasukkan mobilnya lebih kedalam, tepatnya dibelakang rumah kecil itu, sehingga benar2 tak tampak dari luar.Ada sebuah kerudung yang tersampir di jok depan. Santi mengambilnya, untuk menutupi wajahnya. Entah kerudung siapa, mungkin punya Dita ketika dibawanya dari rumahnya.
Hari masih pagi sekali, Santi butuh sesuatu, minuman, makanan, dan sabun. Itu perlu, karena sesungguhnya dokter cantik itu sangat memelihara tubuhnya. Ia harus wangi, dan sedap dipandang. Tapi kemudian ia teringat, kali itu Santi tak menginginkannya, ia hanya butuh selamat. Ia keluar dari halaman, mencari sebuah toko kecil. Hari masih pagi, ada beberapa toko kecil yang sempat dilihatnya disekitar situ, tapi masih tertutup rapat. Pasar, dimanakah pasar? Santi terus berjalan menyusuri jalan berbatu. Bekas2 aspal yang pernah memolesnya telah rusak disana sini.
Haa,, ada banyak orang berkerumun disana, pasti itulah pasar.
Santi melangkah kesana. Ada penjual makanan, nasi dan sayuran, Santi membelinya beberapa bungkus, lalu ada minuman hangat, dibelinya beberapa bungkus juga. Banyak orang berlalu lalang, berbelanja atau menawarkan dagangan. Bau asam, dan keringat dari orang2 sekitar membuat hidungnya kembali berkernyit. Santi keluar dari kerumunan dan menarik nafas lega. Ia harus kembali kerumh itu. Perutnya juga sangat lapar.
Sekarang lalu lalang kendaraan mulai ramai, Santi menutup hidungnya dengan kerudung hitam itu karena lewatnya kendaraan mengamburkan debu yang terpapar dijalan kering. Tiba2 dilihatnya seorang anak kecil. Sedang menangis. Santi terkesiap, bukankah itu Sasa? Dipercepatnya langkahnya lalu tiba2 sudah berada dihadapan anak itu.
"Sasa?"
Tapi anak kecil itu terus menangis. Hati Santi tiba2 tersentuh. Ia adalah seorang ibu. Sekeras apapun hatinya, tetap saja rasa keibuan masih tertanam dihatinya.
"Ibu....." anak kecil itu menangis keras. Santi menoleh kesana kemari, tak dilihatnya seorangpun disana. Sungguh sembrono ibu anak ini.
"Sasa..." bisik Santi. Diangkatnya tubuh anak itu. Memang sebesar Sasa. Tiba2 kerinduan menyergap hatinya. Tapi anak itu terus menjerit jerit. Santi membawanya kembali kearah pasar, apakah ibunya sedang berbelanja disana.
"Diam Sasa, akan kita temukan ibumu," bisik Santi.
Tiba2 terdengar teriakan :" Niiing.... itu Niiing... mau kau bawa kemana anakku?"
Seorang perempuan berpakaian daster berlari lari kearahnya. Santi berhenti.
"Ibu," anak kecil itu melambaikan kedua tangannya.
"Ini anakku, mau kamu bawa kemana dia?" ibu itu bukannya berterimakasih malah menghardiknya. Santi ingin menampar mukanya, tapi diurungkannya.
"Anak ibu menangis sendirian dipinggir jalan. Jangan ceroboh menjaga anak!!!" kata Santi ketus sambil mengulurkan anak itu, lalu kembali berjalan melanjutkan langkahnya.
Tangis anak itu masih sayup terdengar, Santi benar2 terbawa perasaan karena tangis itu. Ia baru teringat bahwa ia memiliki buah hati yang sangat lucu, sangat cantik dan menggemaskan. Rasa rindu tiba2 menyergapnya.
"Mamaaaa..." Santi berhenti dan menoleh kebelakang, tapi tak seorang anakpun tampak. Suara itu seperti menguak dari langit diatasnya. Menitik air mata Santi.
***
"Mamaaaaa......" tangis itu terdengar dari kamar Sasa. Agus yang sudah terbangun sejak subuh bergegas masuk, dan dilihatnya Sasa sedang mengucep matanya sambil menangis.
"Sayang, mana mbak? Kenapa menangis?" Agus menggendong buah hatinya dan menepuk nepuk punggungnya.
"Mamaaaa... aku mau mamaaa...," Sasa menangis keras.
Agus tertegun, rupanya anaknya bermimpi ketemu mamanya. Agus menghela nafas. Santi pergi entah kemana, dan tiba2 Sasa memimpikannya.
"Diamlah sayang, nanti kita cari mama ya?"
Agus membawanya keluar. Dilihatnya Endang si perawat membawa sebotol susu yang kemudian diberikannya pada Sasa.
"mBak nggak dengar dik Sasa bangun. Ayo diminum susunya."
Endang menerima tubuh Sasa dan diajaknya duduk diteras depan.
"Aku mau ikut papa mencari mama," kata Sasa disela sela tangisnya.
"Baiklah. mBak, nanti mandikan Sasa dan bersiap ikut aku kekantor ya."
"Baik, pak," jawab Endang sambil masih memangku Sasa yang dengan lahap menghisap susu didalam botolnya.
***
Siang hari itu bu Tarjo benar2 sudah boleh keluar dari ruang ICU. Masih tampak luka2 terbakar, yang memenuhi perut bagian depan sampai kekakinya, namun ada sebagian yang mulai mengering. Rasa pedih pasti masih ada, tapi bu Tarjo kelihatan berseri seri. Ketika dilihatnya yang ada didekatnya adalah Maruti dan Laras, maka matanya mencari cari.
"Mana Dita?"
Laras dan Maruti saling pandang.
"Belum kemari bu, tadi kemari waktu ibu masih tidur. Ia sedang... sedang... memulangkan baju2 kotor... ya kan Rut?" kata Laras yang dijawab Maruti dengan mengangguk.
"Beberapa hari aku tak melihatnya, katamu dia sehat," sesal bu Tarjo.
"Sangat sehat bu, ibu tak usah khawatir. Pemeriksaan itu salah."
"Bagaimana seorang dokter bisa keliru begitu parah?"
"Namanya keliru bu, bisa saja, yang penting Dita tidak apa2."
"Ibu jangan memikirkan apa2, ibu harus cepet sehat dan bisa kembali pulang. Laras sudah kangen makan masakan ibu lho," kata Laras membesarkan hati ibu.
"Nak Laras juga pinter masak, ibu pernah makan masakan nak Laras kan?"
"Ibu bisa saja."
"Laras, aku mau kekantor sebentar, ibu tidak apa2 aku tinggal kan?"
"Pergilah nak, jangan mengganggu pekerjaanmu terlalu lama. Dita saja suruh cepat datang kemari , ibu kangen.."
"Kalau boleh aku juga mau pulang sebentar, aku akan mengantarmu kekantor lebih dulu Ruti."
Maruti mengangguk. Ada rasa sedih ketika ibunya mengharapkan Dita segera menemuinya.
***
Ketika tiba di kantor Agus ternyata Panji ada disana. Belum ada titik terang tentang keberadaan Santi dan Dita. Mereka berbincang diruang tamu.
"Tanteee...." teriakan itu mengejutkan Maruti dan Laras. Ternyata Sasa ada disana.
"Dia rewel sejak pagi mbak," kata Endang.
"Kenapa rewel,? tanya Laras.
"Nggak tau, kelihatannya semalam mimpi bertemu dengan mamanya.
"Oo.. sayang.. tadi mimpi ketemu mama?"
Maruti mengangkat Sasa dan mendudukkannya dipangkuannya. Wajah Sasa memang tidak secerah biasanya.
"Namanya juga ibu dan anak, pasti ada ikatan batin diantara mereka." bisik Maruti pelan.
"Dia juga merasa gelisah, ibunya pasti tak tenang dimanapun berada." sambung Laras dengan berbisik pula.
"Haa.. tante ada ide. Bagaimana kalau kita membeli es krim?" kata Laras tiba2. Mata Sasa berbinar, es krim itu kesukaannya. Ia kemudian merosot dari pangkuan Maruti dan menghampiri Laras.
"Aku mau es krim.." katanya sambil menggelendot ke pangkuan Laras.
"Oke, ayuk sama tante.." Laras menggendong Sasa dan diajaknya keluar dari ruangan.
***
Ada penjual es krim didekat perkantoran itu, Sasa senang ketika Laras menyuruh memilih mana yang disukainya.
"Aku mau yang coklat," katanya sambil memilih.
"Ayo... ambil..."
"Sama stowberi juga..."
"Ambil mana yang kamu suka Sasa...."
Keduanya asyik memilih es krim, sementara tak jauh dari sana, sepasang mata sedang mengawasi dengan seksama. Dilihatnya sekeliling, apakah ada yang sekiranya bisa mencurigainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel