Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 19 Januari 2021

Wanita Pilihan #1

Cerita Bersambung
Karya : (un-known)

"Maaf jika ini membuatmu terkejut,” ujar lelaki itu datar. Tapi apa yang barusan ia dengar mampu membuat hatinya hancur berkeping seketika. Ketika mulut lelaki yang baru saja menikahinya tiga bulan lalu itu menyatakan keinginannya untuk menikah lagi. Menikahi seorang perempuan yang notabene adalah mantan kekasihnya dulu, sebelum lelaki itu menyetujui perjodohan mereka.
Malika tak menyangka, kalau sebelum ia menerima pinangan keluarga Zidan, lelaki itu telah memiliki seorang kekasih. Padahal dia adalah keturunan yang taat agama, yang takkan mungkin menjalin sebuah hubungan yang dilarang dalam agama.

“Tapi sungguh, semua di luar kuasa uda. Uda tak dapat membendung perasaan yang begitu mencintainya,” lanjutnya, membuat hati wanita itu semakin hancur tak berbentuk.
Malika tersekat. Ia baru saja mereguk nikmatnya masa-masa pengantin baru. Dan tak terlihat kalau Zidan tidak menyukainya. Lelaki itu sangat menghormatinya, memperlakukan Malika layaknya seorang istri yang sangat Zidan cintai. Lalu kenapa tiba-tiba saja jadi seperti ini? Ketika bunga-bunga cinta mulai bersemi di hati wanita itu.
Zidan bersimpuh di hadapan istrinya. Menatap wajah Malika yang kini tengah membeku, tak tahu harus berbuat apa. Ingin menangis tapi tak ada yang perlu ia tangisi.

“Malika ... maukah jika ... jika kamu memiliki seorang teman? Maukah membagi diri uda untuk wanita lain?” Tanyanya lirih seolah tanpa beban. Sedang ia tak tahu, bagaimana bentuk hati istrinya itu saat ini. Tercabik-cabik, berdarah meski tak terlihat.

Wanita itu menatap tajam mata elang milik Zidan. “Kenapa harus aku?” Tanyanya pelan, hampir tak terdengar.
Zidan membalas tatapan istrinya. “Karena uda yakin kamu mampu, makanya uda mau menikah denganmu. Menerima perjodohan kita. Uda tahu, kalau wanita shalihah dan berilmu sepertimu akan mudah menerima poligami ini,”

Wanita itu terperanjat. Matanya memerah, ia ingin marah tapi tak bisa. Karena ia harus bisa mengontrol diri agar tak terlihat sakit dan bodoh di hadapan lelaki tak punya hati ini.
‘Jadi karena itu dia mau menikah denganku?’ Batin Malika. ‘Hanya karena agar ia bisa bersatu dengan perempuan yang ia cintai, ia tega menyakitiku sampai sedalam ini di usia tiga bulan pernikahan kami,’

“Kalau aku bilang ... aku tidak mau, uda mau apa?” Kali ini Malika beranikan diri untuk menantang lelaki itu.
Zidan terdiam, matanya masih menatap netra Malika.
“Bukankah kamu sudah paham hukum poligami? Apa kamu tega membiarkan uda terjerumus pada sebuah cinta terlarang?” Pertanyaan yang seolah menyudutkan dengan nada sedikit mengancam.
“Tapi pernikahan kita baru berusia tiga bulan, Uda. Baru juga kita berusaha saling mengenal. Apa aku masih punya kekurangan di matamu? Kalau memang ada tolong katakan dan akan kuperbaiki! Jika pelayananku tidak memuaskanmu katakan! Jika ... “
“Tidak ... tidak, bukan itu,” potongnya cepat.
“Lalu apa?” Tanyanya tak sabar. Gemuruh di dadanya semakin hebat. Seolah ingin meledak dan membuat lelaki ini terpental jauh ke belakang sana.
“Kamu wanita sempurna, kamu cantik, pintar, paham agama ... tapi ... tapi uda juga mencintai wanita lain,”

Hati Malika kembali tersayat, perih dan berdarah. ‘Apa laki-laki ini tak punya perasaan? Teganya dia berkata begitu kepada istrinya.’
“Kalau begitu ... “ Malika bangkit, mengambil tasnya, bersiap untuk berangkat ke sekolah untuk mengajar. “Ceraikan aku! Menikahlah dengan wanita yang Uda cintai, jadi tidak akan ada yang merasa tersakiti.” Pungkasnya seraya melangkah.
“Kalau begitu apa gunanya kamu paham agama tapi syari’at Alloh kamu tolak?”

Langkah Malika terhenti. Menghela napas yang terasa sesak. Ia ingin menjawab, tapi ia urungkan. Tak ingin merusak mood untuk mengajar pagi ini.

“Sarapanlah sebelum berangkat kerja, semua sudah kusiapkan di meja makan. Aku buru-buru ke sekolah. Maaf jika tidak bisa menemani Uda,” ujarnya sebelum kembali melangkah meninggalkan lelaki yang tengah gundah itu. Ia menyusut sudut mata yang sedikit basah.

Ujung jilbab lebarnya berkibar di sapa angin pagi ketika ia menyalakan motor maticnya. Dan tak lama wanita itu pergi meninggalkan halaman rumahnya. Sebuah perumahan kecil, hadiah pernikahan dari kedua orang tua mereka.
***

Malika memarkirkan sepeda motornya. Hatinya masih terasa perih. Pikirannya sedikit kacau. Zidan bicara diwaktu yang tidak tepat.

“Malika?” Sapa sebuah suara.
Malika menoleh, dan menemukan sesosok pria yang dulu pernah melamarnya tapi ia tolak, demi baktinya pada kedua orang tua. Walau sejujurnya ia pernah menaruh hati pada pria bernama Fakhri, teman sesama guru di Madrasah Tsanawiyah ini.

Fakhri berusia tiga tahun di atasnya, dan dia adalah seniornya waktu di kampus. Sejak kuliah Fakhri menaruh hati pada Malika, namun ia pendam saja. Sebab ia tahu jika Malika tidak mau pacaran, begitupun dengannya. Hingga akhirnya ia menemukan waktu yang tepat, tapi sayang Malika menolaknya. Sebab wanita itu telah dijodohkan.

Wanita itu hanya tersenyum tipis.
“Kenapa wajahmu mendung? Sedangkan cuaca pagi ini begitu cerah,” lelaki itu mencoba untuk bercanda. Kebiasaan yang tak pernah berubah dari pria itu.
“Maaf, jangan suka menggodaku seperti itu. Hati ini rapuh, dan aku takut jika hati ini berpaling dari syari’at Alloh.” Sahutnya begitu lugas, dan berlalu begitu saja dari hadapan Fakhri.

Pria itu tertegun. Sikap Malika seketika berubah dingin. Tapi ia mencoba memaklumi, sebab Malika bukanlah seorang wanita lajang lagi, tapi ia telah menjadi istri orang. Dan Fakhri harus menyadari hal itu. Kemudian ia mengayun langkah mengikuti Malika menuju kantor majelis guru. Melupakan rasa yang masih setia bertahta di hatinya.
***

“APA?” Mata wanita itu nyaris keluar dengan suara yang meninggi. Seolah ingin mencari perhatian seluruh penghuni kantin.
“Sssttt! Suaramuuu,” Malika menutup mulut sahabat karibnya yang bernama Nayla itu dengan telapak tangan.
“Maaf, maaf. Aku terlalu bersemangat,” ujarnya setengah berbisik. Wanita yang sudah memiliki seorang putra itu begitu terkejut saat Malika menceritakan apa yang baru saja ia alami tadi pagi.
“Kenapa bisa sampai begitu, Lika? Apa pelayananmu terhadapnya ... “
“Hanya Alloh yang tahu bagaimana pelayananku terhadapnya.” Potong Malika cepat.
Nayla tertegun memandang wajah sendu sahabatnya itu.
“Lalu apa mau lelaki itu? Kurang apa lagi dirimu? Cantik, berpendidikan ... “
“Entahlah, Nay,” ia mengaduk-aduk jus jeruk yang ada dihadapannya. “Katanya dia sangat mencintai wanita yang ia tinggalkan demi menikahiku. Jadi ... dia ingin menghalalkan hubungannya dengan wanita itu,” tenggorokan Malika tersekat.
“Demi cintanya pada wanita itu dia tega menyakitimu? Suami macam apa dia? Kenapa dulu dia mau menikahimu? Kenapa tidak dengan perempuan itu saja?”
“Orang tua Uda Zidan tidak setuju, sebab perempuan itu belum mengenal agamanya dengan baik. Hingga dia menerima perjodohan kami. Tapi ternyata dibalik semua itu, ia punya niat untuk menikahi wanita itu setelah menikah denganku. Sebab dia tahu, aku paham syariat, dan aku bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya,”
“Paham syariat?” Nayla marah. “Apakah dengan alasan itu lantas dia seenaknya saja memutuskan hal itu sebelah pihak?”

Malika tertunduk, mencoba menahan tangis yang hampir pecah. Nayla menggenggam tangan sahabatnya itu, mencoba mengalirkan ketenangan untuknya.

“Aku tidak tahu harus bagaimana, Nay. Aku bukan penentang syariat poligami, tapi aku belum siap untuk itu.” Lirihnya. “Aku ingin seperti Khadijah yang tak pernah di madu oleh Rasulullaah, aku juga ingin seperti Fathimah yang menjadi istri satu-satunya Ali selama hidupnya. Apakah salah?” Mata Malika mulai berkaca-kaca.

Nayla menelan saliva yang terasa hambar. Seakan ikut merasakan kepedihan yang tengah dihadapi Malika.
“Aku tahu. Sudahlah jangan menangis. Kamu wanita kuat, aku yakin kamu pasti bisa melewati semua ini,”

Malika mengangguk pelan. Menyeka sudut mata yang telah basah. Sebelum akhirnya mereka berdua meninggalkan kantin yang mulai sepi, sebab jam pelajaran sudah akan dimulai kembali.
***

Sore menjelang, tapi Malika masih bergeming ditempatnya duduk. Sebuah taman di alun-alun kota. Tempat ia biasa menghabiskan waktu ketika hatinya tengah gundah. Ia masih enggan untuk pulang ke rumah. Sebab ia tak ingin mendengar pembahasan itu lagi dari mulut Zidan suaminya.

Entahlah, kenapa bisa Zidan berbuat seperti itu padanya. Menyakiti perasaan istri yang baru tiga bulan lalu ia nikahi. Hanya demi obsesinya menikahi wanita yang ia cintai. Andai dulu Malika memberikan sebuah syarat pernikahan, tentu tidak akan terjadi hal seperti ini.

Wanita itu mengusap wajah dengan kedua tangannya, menatap langit yang mulai melukiskan semburat jingganya. Ponsel di dalam tasnya berdering, ia segera mengambil dan melihat nama yang tertera dibenda kotak yang tipis itu. Zidan.
Dengan malas ia mengangkatnya, “Assalaamu’alaykum, Uda!” Sapanya.
[Wa’alaykumussalaam. Malika kamu di mana? Kenapa jam segini belum pulang. Uda sudah di rumah sejak satu jam yang lalu]
“Oh iya, maaf Uda. Aku tadi ... “ wanita itu mencoba mencari alasan, “aku tadi ada rapat di sekolah, maaf aku lupa memberitahu,” ah, dia sungguh membenci kebohongan sekecil apa pun. Tapi ia terpaksa, agar tak terlihat lemah di hadapan suaminya. Walau bagaimanapun, ia harus mencoba menyikapi semua ini dengan lapang hati. Karena ia yakin pasti ada jalan keluar.
[Baiklah, uda tunggu]

Telepon pun ditutup. Malika mengembuskan napas, memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, lalu dengan enggan ia melangkah menuju sepeda motornya. Meninggalkan taman yang begitu setia mendengar hembusan napas dan keluh kesahnya dalam diam.
***

Zidan menyambut Malika dengan sebuah senyuman sumringah di bibirnya. Mengecup dahi istrinya dan menggandeng tangan halus itu menuju ruang makan. Malika tidak heran dengan sikap manis Zidan, sebab ia memang tipe lelaki romantis, selalu memperlakukan Malika dengan baik. Sehingga begitu sulit untuknya menolak setiap permintaan lelaki ini. Kecuali tentang poligami yang ia gembar gemborkan tadi pagi.

“Tadi uda lewat kedai ayam geprek kesukaanmu, truss uda ingat kamu dan langsung belikan,” ujarnya dengan wajah bangga.

Malika menelan saliva menyaksikan beberapa potong ayam geprek favoritnya itu. Rasa lapar seketika menyerangnya, sebab sejak pagi tadi tak secuil pun makanan masuk ke mulutnya.

“Makanlah, uda tahu kamu pasti lapar,” Zidan mendudukkan Malika di kursi.
“Apa ini ada hubungannya dengan pembicaraan kita tadi pagi?” Tanyanya sambil menatap mata Zidan yang duduk di sampingnya.

Zidan terdiam. Membalas tatapan mata indah istrinya. “Makan saja dulu,” hanya itu yang ia ucapkan. Lalu memasukkan nasi ke piringnya dan piring Malika. Mereka makan dalam hening. Meskipun tadi Zidan mencoba menghangatkan suasana namun hati Malika sudah terlanjur sakit, hingga susah untuknya bersikap seperti biasa. Kata-kata Zidan tadi pagi masih saja membekas di hatinya. Dan itu masih berdarah.
***

“Uda tidak peduli kamu setuju atau tidak, yang jelas, uda tetap akan menikahi Salma!” Tegasnya malam itu.
Mata Malika membesar. Sebegitu kuatnya keinginan lelaki ini.

“Dan aku juga tidak akan merubah keputusanku. Bahwa aku akan meminta cerai jika memang uda ingin menikah lagi. Sebab aku tidak siap jika harus berbagi suami dengan wanita lain.” Datar namun juga tegas ia menimpali.
Mata Zidan menatap tajam istrinya. “Kenapa? Kamu mau menentang syariat Alloh?”
“Apakah syariat yang di sunnahkan hanya poligami? Aku bukan penentang syariat, hanya saja belum siap."
“Tapi uda sudah bilang jika uda mencintai Salma, dan uda ingin menikahinya. Uda tak ingin wanita yang uda cintai terluka karena pernikahan kita, jadi uda ingin dia juga merasakan kebahagiaan seperti yang kamu rasakan.”
“Oh ya?” Malika membuang pandangan dari tatapan Zidan. “Lalu, apa uda tidak mencintaiku? Lalu apakah uda pikir aku tidak terluka dengan keputusan yang uda ambil? Apa hanya kekasih uda yang uda pikirkan perasaannya? Lalu bagaimana denganku yang sudah halal bagimu?” Suara Malika sedikit meninggi. Air matanya sudah mengalir menuruni pipinya yang begitu bersih tanpa noda.

“Bagaimanapun, aku ingin uda menceraikan aku, agar kita tidak saling menyakiti.”
“Tidak. Uda tidak akan menceraikanmu apa pun alasannya.”
Malika kembali menatap suaminya. “Kenapa? Mau menjadikanku sebagai pelampiasan saja saat uda butuh?” Tanyanya begitu tajam menusuk ulu hati.
Zidan tersekat. “Karena uda juga sangat mencintaimu,” sahutnya datar dan terdengar begitu tulus.
Malika terkesiap. “Cinta? Uda mencintaiku? Bagaimana aku bisa percaya dengan cinta uda sementara uda tega membagi cintaku untuk wanita lain?”
“Karena uda mencintai kalian berdua, dan uda tidak bisa memilih salah satu di antara kalian!”

Wanita itu terpaku. Entah apa lagi yang harus ia katakan. Mencoba mendaratkan tubuhnya di sisi ranjang. Menahan agar tubuhnya tidak ambruk ke lantai.

“Kamu tahu? Salma kekasih uda jauh sebelum perjodohan kita. Awalnya uda tidak menyukaimu, tapi sejak ikatan kita sudah halal, uda mulai belajar mencintaimu dan uda berhasil. Namun uda juga tidak bisa menepikan Salma begitu saja. Wanita itu rela menunggu uda, dia juga rela menjadi istri kedua uda.”

Betapa hati Malika makin tersayat mendengar penuturan Zidan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya terasa lemas, segala emosi telah terkuras habis dengan perdebatan ini. Begitu lelah dan menjemukan.

“Yang jelas, aku tetap pada pendirianku. Aku akan mengajukan cerai jika uda bersikukuh menikah kembali.” Tegasnya sebelum merebahkan diri di ranjang. Mencoba memejamkan mata walau terasa begitu sulit.
“Tidak, tidak akan pernah uda mengabulkan keinginanmu.”

Malika bergeming. Pipinya kembali basah, namun tak ingin ia perlihatkan pada Zidan, ia membelakangi suaminya menghadap dinding. Memaksa matanya agar terpejam dan sejenak melupakan semua kejadian hari ini.

Perlahan Zidan naik ke ranjang. Tidur di samping istrinya dan memeluk wanita itu dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya walau sekejap.

INGAT : JANGAN SALAHKAN SYARIATNYA (POLIGAMI), TAPI CUKUP SALAHKAN PELAKUNYA SAJA YANG KADANG TIDAK MEMAHAMI SYARIAT INI.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER