Cerita Bersambung
Drama kerokan berakhir ketika Bu Jarwo datang di toko. Semua kembali ke kondisi normal sekan tidak ada apa-apa sebelumnya. Sumi masih menyimpan ketakutan setelah itu.
Sumi menghindari situasi kalau di toko tidak ada orang lain. Dia harus menjaga diri agar tetap bisa bekerja nyaman.
Kalau sore menjelang tutup toko Sarmo sering datang membantu sambil menjaga Sumi.
Tapi sore ini Sarmo tampak murung. Dia masih memikirkan harapan Sumi. Nggak tahu Sumi bercanda atau serius, tapi Sarmo serius.
Dia memutuskan untuk merantau ke Bengkulu menyusul pakliknya.
Dia tahu pakliknya hidup makmur di sana. Kerja sebagai petani dan pedagang hasil pertanian.
Ia akan memberi tahu Sumi. Tapi harus mencari waktu yang tepat. Meskipun dia tidak pernah bilang cinta ke Sumi tapi dia merasakan bahwa Sumi selalu membutuhkannya.
Sore menjelang tutup toko, Sarmo mendatangi Sumi. Bagus, tidak ada Pak Jarwo di toko.
"Laris Sum hari ini?"
"Yah seperti biasa kang. Aku bisa dapat bonus minggu ini. "
"Pasti laris wong yang jaga cantik.."
"Ah merayu..." kata Sumi sambil senyum manis.
"Serius lho Sum. Di dunia yang kukenal, kaulah paling cantik."
"Iya kang Sarmo cuma di.pasar. lihatnya mbok-mbok bakul."
"Eh ngenyek..aku kan pernah ke Solo, ke Prambanan, ke Tawangmangu."
"Yah kan itu-itu saja."
"Eh Sum...anu.."
"Apa sih kang..? " sahut Sumi bermanja-manja.
"Anu Sum..aku akan pergi jauh..lama.."
"Bener kang? Tega ya ninggal aku?" Sumi serius dan tampak sedih.
"Iya. Aku mau nyusul Paklik. Biar bisa bikin rumah besar"
"Ha? Aduh siapa temenku nanti kang...?"
Sumi kaget dengar rencana Sarmo, apalagi simboknya mau melahirkan dan sepertinya Pak Jarwo mulai giat mengintainya. Sumi tidak berburuk sangka tapi bersikap hati-hati.
"Ya teman kan banyak. Di pasar kan tiap hari ramai."
"Bukan gitu kang. Temen ngobrolku dan yang menjaga aku kang.."
"Ya aku nanti akan pulang Sum. Kalau aku sukses aku akan pulang ke desa ini. Akan kubuat rumah besar untukmu."
"Sungguhkah itu kang?"
Sumi seperti kegirangan mendengar janji Sarmo yang polos itu.
Sore itu mereka lalu pulang ke rumah masing-masing.
***
"mbok aku takut kerja di Pak Jarwo"
"Ha..kenapa?"
"Anu mbok...pak Jarwo mintanya aneh-aneh. Kemarin pas siang nggak ada Bu Jarwo, ndoro minta dikerok."
"Wah nduk..kamu harus hati-hati. harus berani melawan. Harga dirimu harus dijaga. Jangan takut. Kalau kamu takut akan semakin berani para lelaki."
"Kalau aku dipecat?"
"Jangan takut. Kamu cantik, pinter. Nggak akan kesulitan cari pekerjaan. Jangan mengulang kejadian simbok."
"Apa mbok, kejadian apa?" Sumi terbelalak matanya.
"Oh nggak...simbok pernah digoda lelaki, simbok takut melawan. Dia makin berani." Kartiyem menyimpan rapat cerita kelamnya.
"Bapakkah?"
"Bukan. Bapakmu lelaki yang baik. Meski cuma pencari pasir, tapi bapakmu tahu menghargai perempuan."
Sumi lalu ingat bacaan yang dikirim Mas Sindhu. tentang jaman penjajahan dulu, harga diri bangsa sering digaungkan.
Pribumi jangan mau ditindas penjajah.
Bung Karno selalu mengajarkan itu.
Tapi kata Bung Karno paling berbahaya adalah penindasan oleh sesama bangsa sendiri.
Sumi sedikit merasakan kata-kata itu. Mulai paham. Bahkan mas Sindhu pernah menceritakan pada tahun 1850an bupati Lebak Banten Adi Pati Karta , yang menindas bangsanya sendiri dengan pajak yang memberatkan. Justru yang membongkar adalah Multatuli alias Douwes Dekker.
Pembangunan jalan Anyer Panarukan yang diceritakan sebagai kerja paksa menurut Mas Sindhu adalah kerja profesional.
Daendels membayar pekerja. Tapi bayaran untuk para pekerja dikorup oleh pejabat pribumi yang jadi mandor.
Ternyata bacaan yang rasanya diawang-awang buat Sumi kini bermanfaat.
Sudah diniatkan dalam hatinya untuk melawan setiap usaha nakal yang akan melecehkan tubuhnya.
Meski miskin Sumi harus tetap terhormat.
"Mbok..tapi Kang Sarmo mau pergi jauh.."
"Kemana?"
"Mau nyusul pakliknya ke Bengkulu."
"wow bagus itu nduk. kalau ingin maju, harus merantau, tinggalkan kampung.Jangan seperti simbok dan bapakmu."
"Iya katanya nanti kalau sudah berhasil akan pulang...dan membangunkan rumah untuk aku mbok." kata Sumi sambil matanya berkaca-kaca.
"Iya bagus.. mudah-mudahan kang Sarmo berhasil nduk. Tapi jangan terlalu berharap. kamu juga harus bisa mandiri."
Kartiyem memang aslinya cerdas. Kata-kata yang keluar dari mulutnya dia sadari sepenuhnya. Bukan asal ngomong.
Sumi sangat senang mendengar pitutur mboknya yang mencerahkan dan menguatkan hatinya.
==========
Sumiati sedih. Saat kepergian Kang Sarmo tiba. Keluarga itu menyewa andong untuk mengantar ke stanplat bis Delanggu. Andong yang dikusiri lik Arjo sudah siap di depan rumah Pak Marto soto. Sarmo menyiapkan satu tas berisi pakaian seperlunya. Dia akan pergi merantau. Tapi di sana ada pakliknya. Jadi nggak perlu bawa pakaian banyak-banyak.
Andong itu biasa mangkal di seberang toko ijo. Biasa melayani ibu-ibu yang habis belanja di pasar Cokro. Saat pasaran Legi atau Pon, andong itu akan laris. Bisa beberapa rit mengangkut penumpang. Tapi saat pasaran Wage, Pahing atau Kliwon penumpang agak sepi. Sumiati termasuk salah satu yang ikut melepas kepergian Sarmo.
"Lik antar ke Delanggu ya."
"Nggih.." sahut Lik Arjo.
"Wah mbak Sum mau ikut melepas kang Sarmo?"
Sumi hanya senyum tipis di sela hatinya yang sedih.
Para tetangga menyalami Sarmo.
"Mudah-mudahan selamat ya Sar..."
"Semoga nanti kerasan di Bengkulu...."
Penduduk desa masih peduli dengan tetangga sekitar.
Andong berangkat. Sarmo duduk di depan bersama kusir menghadap ke depan. Di belakang Pak Marto, mbok Marto membelakangi kusir dan Sarmo. Mereka menghadap ke belakang. Sumi serta adiknya Sarmo menghadap ke depan di kursi belakang. Jalannya turun hingga dua kuda tidak terlalu berat menghela andong dan muatannya.
"Ini mau kemana Kang Marto ?" tanya Lik Arjo.
"Itu Sarmo mau nyusul si Slamet, adikku yang di Curup , Bengkulu."
"Berani juga Sarmo ya."
Kusir mulai melewati depan toko ijo. Sekilas pak Jarwo melihat Sumi yang ikut mengantar Sarmo.
Meski sudah beristri dia, ada juga rasa cemburu melihat Sumi bersama Sarmo.
Pak Jarwo orang baik. Masyarakat mengenalnya.
Tapi kebiasaan tiap hari berjam-jam berdekatan dengan Sumi sepertinya menimbulkan rasa lebih dari sekedar hubungan majikan dan buruh. Kadang membuat nafsunya tidak terkontrol, menggelegak. Apalagi Sumi ini cantik dan menyenangkan.
Pembicaraan terus berlangsung.
"Ya untuk mengubah nasib Lik," , sahut Sarmo
"Nasib kok diubah to? Aku anak kusir ya tetap jadi kusir." tukas Lik Arjo sambil terbahak.
"Lho memang kita harus berusaha mengubah nasib Lik. Kalau nggak ya nasib kita begini-begini saja," Sumi seperti berusaha membela Sarmo.
"Wah gitu ya. Lha kok kamu pinter Sum?"
"Yah hal seperti itu kan bukan hal yang luar biasa Lik. Semua tahu kalau Tuhan itu nggak akan mengubah nasib kita, kalau kita nggak berusaha", Sarmo menyambung.
"O iya bener itu..."
Andong melewati Desa Wangen. Kanan kiri berupa hamparan sawah hijau. Perjalanan naik andong terasa sangat nyaman ditemani semilir angin yang berhembus perlahan. Beberapa orang lewat naik sepeda dan beberapa ada yang naik sepeda motor. Jalan masih sepi. Belum banyak mobil kecuali truk yang mengangkut karung goni atau rami dari dan menuju pabrik karung goni Delanggu.
"Tapi nanti di sana nggak gampang lho Mo, kamu harus kerja keras," tutur pak Marto bapak Sarmo.
"Nggih Pak minta doa dan pangestunya."
Mbok Marto nggak banyak bicara. Dia sedih juga ditinggal anak sulungnya.
Sumiati pun merasa sedih. Meski dia belum jadi istri Sarmo tapi dia sangat kehilangan.
Dia pasti akan kesepian saat sore tutup toko. Biasanya selalu ada Sarmo yang menemani.
Siang juga sering ke warung pak Marto sekedar ngobrol dengan kang Sarmo.
Andong terus melaju dengan suara kaki kuda yang menghentak aspal menimbulkan suara berirama yang teratur 'thak thok- thak thok.' Kadang-kadang diseling suara pecut yang disabetkan Lik Arjo untuk memacu larinya kuda.
Desa Kuwel sudah lewat. kembali pemandangan hijaunya sawah terlihat.
Kadang serombongan burung kontul hinggap di pinggir sawah mencari makan berupa ikan, katak kecil atau belut. Ada juga ibu-ibu berpakaian tradisional menyiangi rumput di sawah. Ada pemuda yang nggarok untuk membersihkan rumput di sela tanaman padi.
Sarmo membayangkan apakah di Curup nanti akan ada pemandangan seperti itu. Tapi cerita pakliknya cukup memikatnya. Curup daerah dingin yang subur. Ibu Kota kabupaten Rejang Lebong yang penghasil beras dan sayur untuk wilayah Bengkulu dan sekitarnya.
Andong terus melaju ke arah timur. Tiap beberapa puluh meter jarak yang dilewati andong , ada warung di tepi jalan. Ada warung gule, ada warung soto, warung es yang menyelerakan.
Kuwel desa yang hidup. Penduduk membuat kerajinan berbahan baku tanduk.
Ada yang buat sisir, gelang, susuk, yang terbuat dari tanduk. Belum banyak bahan plastik.
Penduduk cukup sejahtera dengan pencaharian berupa kerajinan tanduk ini. Maka banyak warung yang ramai.
Sambil ngobrol Lik Arjo mengendalikan andongnya.
Dia memegang dan menarik tali yang menghubungkan dia dengan dua kudanya. Sekali-sekali disambi menghisap rokoknya.
Andong melaju namun tetap tidak bisa mengalahkan laju mobil atau sepeda motor.
Sampailah andong di pabrik Delanggu menuju ke perempatan pasar Delanggu.
Sumi makin sedih seperti akan ditinggal teman dan kekasihnya untuk selamanya.
"Kang nanti jangan lupa kirim kabar ya", pinta Sumi pelan.
Sumi kebayang gimana nanti kalau buka toko sendirian, narik pintu besar, menyusun dagangan. Lalu gimana lagi pas harus menutup toko. Mungkin pak Jarwo akan membantu. Tapi mengkhawatirkan juga.
"Oo ya pasti Sum. Aku pergi untukmu."
Sumi seneng sekali Sarmo tetap menjaga harapannya.
Sampailah andong kemudian di stanplat Delanggu. Bis yang akan mengangkutnya adalah bis Damri jurusan Lampung lanjut ke Bengkulu.
"Wis ya le..simbok karo bapak pulang lagi. Ngati-ati kamu di sana."
Sarmo mulai merasakan berat kepergiannya. Dia tidak berpaling dari wajah Sumi.
"Hati-hati ya kang. Ini sapu tangan dan fotoku. Disimpan ya untuk kenang-kenangan biar kang Sarmo tetap ingat aku," dekap Sumi untuk Sarmo.
Air matanya meleleh.
Sarmo merasakan kehangatan luar biasa dan aroma tubuh Sumi yang harum serta nafas yang segar menggoda.
"Doakan aku yang Sum. Aku akan pulang. Ingat itu ya."
Mereka pun bertangisan.
Pak Marto dan mbok Marto melihat adegan itu. Ikut merasakan kesedihan yang dirasakan kedua sejoli itu.
Tidak lama bis berangkat.
Ada seorang bapak yang dari tadi terus mengamati Sumi. Dia adalah tuan Shanghai.
Iya sepertinya ia merasakan getar berbeda melihat anak gadis itu.
Dia merasa copy-an wajahnya sebagian ada di Sumi.
Ingin sekali dia menyapa dan memberikan uang.
Meski itu hasil hubungan gelap, sisi kemanusiaan Shanghai masih ada.
Sumi pun sedikit kaget melihat wajah Shanghai. Ada kemiripan di situ.
Sejak Kartiyem pulang karena hamil, baru ini Shanghai melihat anak hasil hubungannya dengan Kartiyem.
"Maaf mbak, namanya siapa?"
"Sumi Pak. Sumiati." Sumi nggak sadar begitu lugu dia menjawab tanpa ragu.
"Ibumu?"
"Oo simboku, mbok Kartiyem."
Shanghai gemetar mendengar nama itu.
Pembicaraan berlangsung cepat di pinggir jalan di depan mesjid raya Delanggu.
Shanghai segera lari ke tokonya dan balik lagi.
" Nduk terima ini..", kata Shanghai mengulurkan bungkusan berisi uang beberapa ratus ribu sambil terengah-engah. Uang banyak untuk ukuran saat itu.
Sumi bingung.
"Buat apa tuan?"
" Untuk kamu, mbokmu dulu kerja sama saya."
Sumi menerima bungkusan itu. Tapi dengan perasaan bingung.
***
Mereka pulang kembali ke Cokro.
Sarmo akan menjalani hidup baru di tempat baru.
Sepanjang perjalanan Sarmo sulit tidur. terpikir Sumi yang tiap hari ketemu. Keduanya saling membutuhkan.
Sumi juga di atas andong diam tidak berkata-kata. Suara tepak kaki kuda menutup sepi di atas kereta kuda itu.
***
Di rumah Kartiyem Sumi ngobrol dengan ibunya.
"piye Sarmo sudah berangkat?"
" Sudah mbok. Sedih aku mbok."
" Ya lama2 nanti hilang kok sedihmu." sahut
Kartiyem sambil memegang dagu anaknya dan membelai rambutnya.
"Mbok tadi ada yang menyapa aku. Ngaja ngomong."
"Biasalah nduk kalau wong ayu banyak yang pingin kenal."
"Nggak mbok. Dia ngasih sesuatu. Malah nanya nama mboku."
Kartiyem tercekat. Kepalanya seperti dipukul. Dia takut rahasia hidupnya dibongkar anaknya.
" Katanya mbok dulu kerja ke tuan itu."
" Oh.. Dia memang pemurah. Istrinya yang pelit. Mbokmu kerja bagus."
" Oh gitu ya. Baik ya juragannya simbok."
Kartiyem mengakui memang juragannya baik hati. Tapi luka hatinya karena diusir istri Shanghai masih tertanam dalam di hatinya.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel