Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 04 Maret 2021

Pengakuan Sumiati #10

Cerita Bersambung

Bu Padmo, ibu Sindhu, seperti kehilangan anak. Sindhu sulit diajak komunikasi.
Suratnya tidak pernah dibalas.
Liburan juga nggak pulang, persis anak hilang.
Sebagai ibu yang mengandung dan merawat, dia sangat sedih. Dulu kecil digendong-gendong, sakit dirawat dengan penuh kasih sayang, kini seperti diabaikan. Dan seperti kata orang pintar, masih 2 tahun lagi Sindhu akan kembali normal.

Pada hari pasaran Cokro, Senin Legi, Bu Padmo diantar adik Sindhu ke pasar. Setelah beberapa barang kebutuhan dibeli di pasar mampirlah dia ke Toko Ijo.

“Beli apa bu?”
“Rinso mbak..”

Pelayan toko sekaligus pemilik toko itu, Sumi, sejenak mengamati wajah bu Padmo.
Dia agak lama kemudian mengamati lagi, ada kemiripan tekstur wajah dengan Mas Sindhu.
Namun Sumi ragu akan bertanya. Perasaannya mendorong hatinya untuk menyapa lebih akrab.

Bu Padmo nggak tahu hubungan Sindhu dengan sumi. Sindhu tidak pernah bercerita. Sindhu takut hubungannya dengan pelayan toko akan dilarang.
Padahal orang tua Sindhu tidak berpikir begitu. Bagi Bu Padmo dan pak Padmo hubungan yang didasari keikhlasan tidak akan dilarang.
Kalau pun secara pendidikan atau ekonomi tidak berimbang, anaknya sudah bisa berpikir dan harus siap menanggung risiko.

“Ibu daleme Karanglo?”
“ iya mbak. Ada apa mbak?”
“oh mboten kok. Sering ada yang belanja ke sini, mbah Karto.”
“oo mbah Karto warung. Iya tetangga saya mbak.”
“Apa panjenengan ibunya mas Sindhu?’ tanya Sumi memberanikan diri.

Untung suaminya sedang istrirahat di rumah , kurang sehat.
Jadi Sumi bisa leluasa ngobrol dengan bu Padmo.

“Loh kok mbak kenal sama Sindhu? Sindhu itu seperti anak hilang mbak.”

Tratap hatinya Sumi. Bener ini ibunya mas Sindhu, hidung mancungnya mirip Mas Sindhu. Cara senyumnya juga mirip. Apalagi ibunya Sindhu bercerita soal perilaku Sindhu yang seperti anak hilang makin membuat hati Sumi kaget.

“Loh pripun to bu?”
Sumi langsung merasa sangat dekat walau baru pertama tahu ibunya Sindhu.

“Lha piye mbak, sekolah belum selesai malah nggak pernah datang kuliah. Sulit dihubungi. Malah kerjaannya pengajian, nginep di rumah gurunya. Sulit diajak ngomong.”
“Oalah Mas Sindhu kok sayang nggih,”
Sumi merasakan kesedihan bu Padmo.
“Eman nggih pinter-pinter kok salah jalan”, lanjut Sumi.
“Lha yo to mbak. Saya sebagai ibunya sedih. Kok tiba-tiba berubah. Gek kenapa ya. Lho mbak kok kenal sama Sindhu apa teman sekolah?”
“Mboten. Dulu mas Sindhu sering beli di sini sempat kenalan. Tapi sepertinya mas Sindhu dulu SMP Cokro bu. ”

Bu Padmo membatin, ‘bocah kok ayumen. Jane yo seneng punya menantu seperti ini, ayu tur ramah. Sayang sudah jadi bojone uwong.’

“Sik mbak terus mbak namanya siapa?”
“Sumi bu,” jawab Sumi bahagia ditanya namanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.
“Mbak Sumi apa sering berhubungan dengan Sindhu?”
“Awis-awis bu, Jarang. Nyuwun sewu bu, surat dalem yang terakhir mboten dibales.. Saya tunggu-tunggu sesudah beberapa bulan tidak ada kabar.”

Bu Padmo makin sedih sekaligus kaget. Anaknya ada hubungan khusus dengan Sumi.
Tidak cuma suratnya yang tidak dibalas. Sumi pun mengalami hal yang sama.

“walah...berdoa saja mbak mudah-mudahan mas Sindhu bisa sadar kembali.”
“Nggih bu. Apalagi bu yang mau dibeli?”
“teh sanga-sanga mbak sama gulo batu.’_

Sumi dengan sigap melayani bu Padmo .
Senyumnya mengembang meski cuma ketemu ibunya Mas Sindhu. Sepertinya dia mendapat kasih sayang dari ibunya mas Sindhu.
Dia heran bagaimana perasaannya bisa begitu. Padahal cuma membicarakan mas Sindhu tanpa menyinggung apa-apa. Pancaran wajah bu padmo serasa memberi energi positif yang membuatnya bahagia.

“Pinten mbak?” taya bu padmo mau membayar belanjaannya.
“Lima ratus bu.”
“Lho la kok murah mbak?”
“Rinsonya saja bu. Teh sama gulanya nggak usah.”
"ee jangan mbak. Nggak untung nanti.”
“ooo nggak papa bu. Saya pernah diajak jalan mas Sindhu, ditraktir soto bebek di Prambanan.”
Bu Padmo makin kaget. Ternyata Sindhu berteman dengan Sumi.
Hal yang mengagetkan, sindhu tidak pernah cerita sama sekali.

“Pamit dulu mbak. Maturnuwun ya”,_ucap bu Padmo pada Sumi. Sumi membalasnya dengan senyum sumringah.

Adik Sindhu heran kok ibunya belanja lama sekali. Ngobrol apa saja sama peayan toko kok kelihatan seru.

“Buk kok suwi men ngapa ae?”
“lha diajak ngobrol sama mbak sumi.”
“siapa itu?”
“pemilik toko itu.”
“wuih ayu ya buk."
“iyo ayu dan ramah. Kok bisa masmu Sindhu nyambung sama Sumi.”
“Mungkin dulu teman SMP?”
“ya katanya dulu satu SMP. “

Bu Padmo pun pulang dibonceng adik Sindhu.
Sumi berandai-andai. Seandainya mas Sindhu bisa kembali normal lulus kuliah lalu....dia takut melanjutkan.
Dia tahu dia masih istri Pak Jarwo. Usia Pak Jarwo sudah mendekati 70.
Dia tetap  menjalankan kewajiban sebagai istri.

Dipo sudah akan lulus. Namun dia punya kewajiban mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di wilayah Bantul, di daerah Sanden.
Dia harus menjalani KKN selama 2 bulan. Dia terlibat pembuatan jembatan di desa itu yaitu jembatan Peciro Piring.
Sebagai mahasiswa sipil dia sangat berperan untuk suksesnya kegiatan KKN di desa itu.
Dia bolak-balik Jogja Sanden. Kadang menginap di rumah pak carik. Malang nasibnya.
Suatu malam selepas sholat Isya’ ketika para mahasiswa peserta KKN sedang asyik main kartu sambil nyanyi-nyanyi dan main gitar di pendopo rumah pak lurah, ada yang berbisik

“Dipo dimana?”
“Dimana ya?Apa pulang ke Jogja?”
“oh sepertinya nggak, wong tadi masih ada di sini..”

Beberapa orang segera menyebar mencari Dipo.
Beberapa menyelinap ke rumah pak carik. Sinung menuju kamar belakang dimana beberapa anak KKN biasa tidur di situ.

“Ya Alloh ya rabbi...”
Sinung tidak percaya melihat adegan panas antara Dipo dan anak Pak carik.
Segera Sinung mengabari teman-temannya.

“Dipo nggak nduwe isin...”
“Mosok anake pak carik diembat..”
“wah ngelek-eleki almamater.”

Dia melakukan perbuatan tidak senonoh dengan anak pak carik di situ.
Kali ini dia tidak bisa mengelak.
Anak punggawa itu masih SMA. Segera didatangkan pak carik, pak lurah untuk membicarakan kejadian ini.
Dipo tidak berkutik dan ini bukan kejadian pertama. Terpaksa Dipo diminta pertanggungjawabannya.
Dia disuruh menikahi Retno anak pak Carik.

Dipo dengan sangat terpaksa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pacarnya sesama mahasiswa tidak jadi dinikahi.
Rencana masa depannya buyar untuk sementara.
Mimpi untuk segera lulus harus urung.
Mendengar kabar ini Pak Jarwo makin ngenes. Anak yang dia banggakan sebagai generasi paling terpelajar itu belum mampu memberikan kebanggaan.
Sakit diabetes dan pikiran yang berat makin membuat badannya lemah.
Hanya Sumi dan pembantunya yang secara rajin merawat Pak Jarwo.
Karena secara formal memang Sumilah istri yang sah. Jadi ia berkewajiban merawat.
Bu Jarwo sudah tidak peduli dengan suaminya. Ia sehari-hari hidup nyaman di rumahnya.
Kakak Dipo, Anwar, sibuk dengan keluarganya. Sekali dua kali menjenguk tapi tidak bisa merawat secara telaten.
Pak Jarwo lebih banyak tiduran di kasur daripada beraktivitas.

Beberapa bulan kemudian Retno punya anak. Kerepotan bertambah lagi. Retno belum cukup dewasa untuk punya anak. Dipo lah yang harus lebih banyak mengurusi bayinya. Dipo harus bolak-balik Jogja Bantul.

Dua dosen pembimbingnya pun sering tidak kompak. Pembimbingnya minta bermacam-macam perubahan di skripsinya sementara ko-pembimbingnya berbeda pendapat. Dipo dibuat pusing dengan perbedaan kedua pembimbingnya itu.
Kerjaan skripsinya menjadi beban. Pernah sampai suatu ketika dia ke Imogiri mencari orang pintar untuk mencari syarat agar bisa meluluhkan hati pembimbingnya.
Tapi sepertinya belum berbuah. Dipo masih harus berjuang keras.
**

Sumi di toko banyak dibantu mboknya dan bapak tirinya ketika Pak Jarwo sakit. Mboknya juga punya pengalaman dulu ikut tuan Shanghai.
Jadi ia cukup sigap melayani pembeli. Bapaknya lebih banyak dimintai tolong untuk angkat-angkat barang jika ada mobil supplier datang.
Tidak cukup berat. Masih lebih berat naik turun tebing sungai mencari pasir.
Ya dengan cara begitulah Sumi membantu orang tuanya. Mereka juga lebih senang daripada hanya duduk menerima bantuan dari Sumi.

==========

Sumi merenung di tokonya. Dia kadang tidak merasa bahwa dia sekarang menjadi pemilik toko ini.
Sambil matanya mengamati orang-orang yang berlalu lalang di depan tokonya.
Dia sudah mendapatkan apa yang dia impikan, harta. Melebihi apa yang dia bayangkan.
Lalu dia terbayang bagaimana dulu Sarmo tiap hari membantunya membuka dan menutup toko.

Dia juga ingat ketika memberikan sapu tangan dan foto kepada Sarmo ketika melepasnya di stanplat Delanggu.
Iya dia banyak berhutang budi pada Sarmo.
Tapi celoteh Lik Marto yang menganggapnya anak haram dan gadis kotor karena diperkosa, sulit dilupakan.
Dia yakin Sarmo masih mengharapkannya. Tapi  semakin sulit rasanya berhubungan dengan Sarmo.
Apakah dengan keadaannya kini Sarmo masih bisa berperan seperti dulu. Ini yang dipikirkan Sumi.
Tidak baik dia kawin dengan Sarmo hanya karena hutang budi.
Meskipun kini dia menjalani itu dengan Pak Jarwo.
Tapi dengan Pak Jarwo adalah keterpaksaan. Dia tidak boleh mengulangi hal itu pada Sarmo.
Dia juga ingat dulu dia harus tidur di toko bersama Sisri dengan tikar dan bantal tipis.
Kini dia tidur di kasur empuk lengkap dengan bantal guling.

Pada Sindhu sungguh Sumi kagum, rindu.
Tapi Sumi hanya sedikit mengenal sisi pribadi Sindhu.
Dia tidak menyangka Sindhu orang yang jiwanya rapuh.
Dia merasa aneh saja ada orang dengan kemampuan seperti Sindhu lalu bingung mencari Tuhannya, berbalik 180 derajat meninggalkan dunia yang penuh harapan.

Sementara dia begitu berminat mengejar dunia.
Sumi telah membuktikan dengan kemampuannya dia bisa melakukan banyak hal : membantu ibunya, membantu bapaknya, dia bisa mempekerjakan orang.

Kini dia akan membeli toko sebelahnya untuk dijadikan toko bangunan.
Sungguh sayang ada orang-orang berotak cerdas, berkecukupan dan punya waktu justru mencari Tuhan lewat tindakan yang tidak produktif: berdoa dan berdzikir saja.

Tuhan disamakan dengan makhluk yang suka dipuja-puji. Tuhan tidak butuh itu.

Bagi Sumi yang tidak sampai menikmati bangku kuliah justru memahami doa dan dzikir sesungguhnya adalah bekerja.

Bekerja adalah doa paling nyata.Tidak mungkin Tuhan mengabulkan keinginan makhluknya kalau hanya dengan meminta tanpa usaha.
Mengingat Tuhan pun yang terbaik adalah dengan berbuat baik dalam keseharian, menghindari berbuat jahat di tempat kerja, tidak menipu di tempat kerja, bukan dengan menyebut-nyebut namanya tanpa ada tindak laku nyata.

Ah Sumi bingung sendiri. Yang jelas Sumi merindukan kasih sayang.
Dia sementara ini lebih banyak memberi. Dia merawat suaminya, dia membantu simbok dan bapaknya serta adiknya.
Sumi bahagia bisa melakukan itu tapi ada hal yang kurang : kasih sayang.
Simboknya memberikan kasih sayang, tapi ada yang kurang yaitu belaian cinta.
Dia merindukan kasih sayang dari seorang pria yang dia impikan.
Dia berdoa semoga Mas Sindhu bisa lekas normal.
Dia takut jika justru sebaliknya yang terjadi: mas Sindhu makin egois memikirkan surganya sendiri tanpa peduli pada orang di sekelilingnya.

Tepat di akhir lamunannya pembantunya memanggil

“bu bapak pingsan...”
“ha? Bapak?”

Sumi segera bergegas pulang. Dilihatnya pak Jarwo tidak sadarkan diri.
Cepat-cepat dia memanggil sopir untuk membawa Pak Jarwo ke RS Tegalyoso Klaten.

“mbok tolong diurus tokonya. Aku ngantar bapak ke rumah sakit” pinta Sumi pada Lik Kartiyem.

Mobil segera meluncur ke Klaten dengan kecepatan tinggi. Sumi tidak tahu apa yang terjadi. Kemungkinan gula darah suaminya naik.
Tadi pagi suaminya minta bubur sumsum dengan diberi juroh, gula kelapa yang dicairkan. Mungkin terlalu banyak makan karbo yang manis sekaligus.

Sampai di Tegalyoso, segera masuk di Unit gawat darurat.
Anwar anak tirinya segera menyusul.
Dilakukan beberapa tes lab dan pak Jarwo di rawat di ICU dengan selang-selang inpus menempel di tangannya.

Beberappa jam kemudian dokter menyatakan kalau ginjalnya sudah kena. Jadi harus dilakukan cuci darah.
***

Sindhu masih menekuni ajaran gurunya. Dia belajar ikhlas dalam melaksanakan segala sesuatu, tidak ada takut siksa atau tidak juga karena mengejar pahala.
Dia berusaha semeleh, menerima nasib tanpa protes.
Ajaran gurunya aslinya bagus.
Salahnya Sindhu adalah dia meninggalkan tanggungjawab dunianya, tanggungjawab sebagai anak, tanggungjawab sekolahnya.
Hal-hal itu adalah sarana menguji keikhlasannya.
Dia belum cukup kuat berusaha namun sudah pasrah.

Ketika sedang dzikir di mesjid Sindhu merasa ada yang mendatangi dan memberikan wejangan

“Wis kamu pulang sana. Temui ibumu. Minta maaflah. Turuti apa nasehat ibumu. Sesungguhnya ridha Tuhan bergantung pada ridha orang tua.”

Sindhu terbangun dari tidurnya yang sambil duduk. Dia mencari ke kanan... ke kiri. Suara itu begitu nyata. Seperti suara mbah buyutnya yang sudah meninggal.
Tertegun sejenak dia mengunyah pesan dari suara itu. Tapi Sindhu menganggap itu godaan setan. Itu suara yang akan menghalangi upayanya mencari Tuhan.
Sindhu tetap tidak tergerak, dia yakin dengan jalan yang ditempuhnya kali ini.
***

Sarmo masih tekun dengan usahanya. Diam-diam dia ingin sekolah lagi. Dia menganggap Sindhu adalah saingannya untuk mendapatkan Sumi.
Kata-kata Sumi ingin dibuatkan rumah besar masih terngiang di telinga Sarmo.
Kini dia mampu untuk melakukan itu. Tapi dia sadar bunga cantik selalu diminati banyak orang.

Sumi tidak salah jika harus memilih yang terbaik.

Dia tidak tahu bagaimana sekarang kondisi Sindhu yang sedang tidak normal.
Dia hanya tahu Sumi pernah jalan dengan mahasiswa.
Bapaknya yang memberitahu. Bagi Sarmo itu adalah penyemangat.
Dia juga ingin sekolah hingga tamat kuliah.
Dengan begitu masih ada peluangnya untuk  mengejar Sumi.

Sarmo mencari informasi soal Kelompok Belajar (Kejar) paket C.
Dia berharap bisa dapat ijazah setara SMA.
Jika lepas SMA dia bisa meneruskan ke universitas swasta atau Universitas Terbuka.
Dia mendaftar di dinas pendidikan setempat untuk ikut Kejar paket C. Tiap minggu 2-3x dia ikut belajar paket C.
Dia ingin cepat bisa segera ujian untuk mendapat ijazah.
Ternyata tidak mudah. Sudah terlalu lama dia tidak baca buku. Waktunya habis untuk mengurusi usaha dagangnya.
Otaknya seperti sudah membeku untuk mengikuti materi pelajaran sekolah.
Dia pilih yang sosial yang lebih mudah. Perlu waktu untuk set up lagi otaknya.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER