Cerita Bersambung
Sumi sudah mulai membi asakan diri jadi juragan.
Dia tahu uang yang dia pegang, aset toko yang dia kelola.
Salah satu hal yang penting bagi dia adalah melarang simboknya mencari pasir lagi. Simboknya cukup di rumah menjaga adiknya yang bayi.
Simboknya harus merasakan hidup yang lebih enak. Sementara untuk bapaknya Sumi cuma meminta untuk tidak terlalu ngoyo. Cukup untuk aktivitas saja agar tidak menganggur.
Simboknya Sumi tentu bangga kini anaknya punya toko.
Tapi Kartiyem sangat mewanti-wanti agar Sumi tidak lupa diri, hati-hati, tidak angkuh.
"Nduk wong urip iku ora mesti, jadi aja sombong, aja angkuh. Ngati-ati."
Itu pesan mbok Kartiyem agar Sumi tetap rendah hati seperti dulu.
Sumi tetap bekerja keras agar tokonya tetap maju.
Dia tidak mau terus santai-santai. Etos kerja dari bapak kandungnya yang memang pekerja keras dia warisi.
Pak Jarwo malah yang kewalahan melihat Sumi mengurus toko lebih baik dari dirinya sendiri.
Pembukuan lebih rapi, lebih teliti.
Hubungan dengan para supplier lebih tegas, lebih terencana.
Juga tata letak barangnya lebih rapi lebih menarik.
Akan halnya hubungannya dengan pak Jarwo justru dia tuliskan kepada Sindhu lewat sebuah surat yang dia tulis sembunyi-sembunyi.
'Mas kabarku apik-apik. Aku sekarang sudah berubah status. Aku jadi istri orang. Jadi istri mantan juraganku mas.
Meskipun ini bukan pilihanku aku tetap ingin menjadi istri yang berbakti. Aku meladeni suamiku dengan baik meskipun tidak sepenuh hati. Kecuali satu hal: urusan ranjang mas.
Suamiku ternyata hanya besar nafsu tapi tidak kemampuannya . Aku tidak ada maksud apa-apa mas. Hanya bercerita. Memang begitulah. Kuharap mas Sindhu paham yang kumaksudkan.
Sedangkan soal kehamilanku yang dikhawatirkan bu Jarwo ternyata tidak benar. Aku tidak hamil mas.
Beberapa hari lalu aku ke bidan, dan bu bidan ngendika kalau aku tidak hamil. Jadi kekhawatiran bu Jarwo itu membawa berkah mas. Aku tidak mengandung bayinya Mas Dipo mas.
Sekarang orang-orang beda sikapnya ke saya. Sepertinya memang kita harus kaya untuk dihormati orang mas.
Tapi bukan aku terus gila hormat. Ini hanya kuceritakan ke mas Sindhu.
Aku berharap mas Sindhu lancar kuliahnya.
Terima kasih atas dukungannya selama ini. Aku masih Sumi yang dulu.'
Sumi seakan ingin menceritakan semua kebahagiaannya pada Sindhu.
Sindhu orang yang tepat untuk dia ajak cerita.
Sarmo mungkin sudah tahu kabarnya kini dari Lik Marto. pasti Lik Marto sudah cerita ke adiknya di Bengkulu.
Cita-cita Sarmo membangun rumah besar untuk Sumi kini tidak berarti lagi.
Sumi sudah punya toko dan rumah.
Tapi Sumi juga sedih bahwa ndoro putrinya, Bu Jarwo harus pulang kampung menikmati masa tuanya.
Bu Jarwo tidak hidup dalam kekurangan. Lebih dari cukup karena bagian harta yang diterimanya lebih dari cukup.
Cuma keutuhan keluarganya yang tidak ada lagi. Sumi hanya takut dia dianggap penyebab dari berantakannya keluarga Jarwo.
Sumi tetap menaruh hormat pada Bu Jarwo. Dia ingin suatu hari menjenguk bu Jarwo sebagai bukti baktinya pada orang yang telah berjasa selama ini.
Dipo lama nggak berani pulang. Dipo merasa nggak nyaman untuk pulang.
Sumi yang dulu dia lecehkan sekarang jadi ibu tirinya.
Dia nggak bisa membenci Sumi karena Sumilah yang merawat bapaknya. Dia serba kikuk kalau pulang.
Dia saksikan toko yang demikian maju di bawah kendali Sumi. Dia menyesali kelakuannya yang dulu.
Tapi ada niat suatu saat untuk merebut toko itu dari tangan Sumi.
***
Berulang Sindhu membaca cerita Sumi. Seakan tidak percaya hidup Sumi berbalik.
Dulu dia begitu kasihan melihat nasib Sumi. Meski Sumi bilang tidak sepenuh hati menjadi istri Pak Jarwo tapi ada juga kecemburuan di dalam hatinya.
Dia membayangkan bagaimana Sumi menyediakan makanan dan minuman untuk pak Jarwo, pergi bersama Pak Jarwo.
Semakin dia bayangkan semakin membuncah rasa cemburunya.
Bahkan kini Sindhu justru takut jika harus ketemu Sumi.
Pasti Sumi sekarang penampilannya sudah beda.
Pasti makin kinclong, makin bersih, bajunya pasti bagus.
Dia yang dulu ingin mengentaskan Sumi dari kubangan kemiskinan, ternyata Sumi bisa melakukannya sendiri.
Semua terjadi lebih cepat dari yang dia perkirakan.
Sindhu tidak membalas surat Sumi.
Cukup ia baca dan ia pahami kondisi Sumi sekarang. Mungkin Sumi mendapat kasih sayang pak Jarwo tapi belum tentu cinta. Iya pak Jarwo lebih pantas sebagai bapaknya.
Sindhu mulai punya masalah dengan kuliahnya.
Beberapa mata kuliah ternyata tidak mulus. Terutama mata kuliah yang ada tugas besar perancangan, dia harus mengulang.
***
Orang-orang mulai mendengar kalau Sumi tidak hamil.
"Wah bejo ya Sumi. Ternyata nggak meteng, tapi entuk toko karo omah. Jan bejo."
"Lha dulu waktu musyawarah kok buru-buru menyimpulkan Sumi meteng, padahal kan belum dibuktikan."
"Yo salahe dewe. Kesusu."
Sahut-sahutan obrolan pengunjung pasar.
"Bejo juga pak Jarwo, entuk cah ayu.."
"Tapi paling yo cuma nyawang to. Wong pak Jarwo iku diabet. Nggak iso ngadek."
"Ssstt..saru. Kamu tahu darimana?"
"Ya tahu wong tiap hari minum obat."
"Wah tambah bejo ya Sumi. Kalau Pak Jarwo dut, bisa kawin sama yang muda."
***
Orang-orang mulai mengakui ternyata Sumi memang orang yang pintar. Toko makin maju, makin laris ketika Sumi ikut campur mengelola toko.
Sementara Pak Jarwo makin tua dan kalah gesit dibanding istrinya.
Sumi ingin membuktikan bahwa dia tidak cuma cuma unggul di fisiknya tapi juga punya otak yang cerdas.
==========
“Mbok jane Sarmo dijodohke karo Sumi cocok ya?” ucap Lik Marto suatu sore di rumahnya.
“Lha kamu kesusu menjodohkan dengan Narni anake Slamet.”
“Lho waktu itu kan Sumi memang mung pelayan toko, nggak jelas bapake. Anake Slamet kan jelas bobot bebet bibit. Eman-eman darpada dipek wong liya kan mending kita jodohkan dengan Sarmo.”
“Ya itu lihat manusia cuma dari kayanya saja. Sarmo itu sudah besar, punya perasaan. Dia kan anak yang nurut, mana berani melawan bapaknya.”
“Ya nggak nyangka Sumi bakal jadi pemilik toko.”
“Belum tentu Sumi sekarang mau sama sarmo. Dia sakit hati dengan tuduhanmu yang aneh-aneh itu.”
“Aku lho nggak nuduh.”
“Ya tapi itu menyakitkan pakne...”.
“Ya siapa tahu Sumi masih mau menerima Sarmo.”
“Tapi nggak enak sama adikmu Slamet. Ngomong kok mencla-mencle. “
***
Sarmo menerima kabar kawinnya Sumi dengan hati pedih. Sarmo tahu kalau Sumi pasti menjalaninya dengan tidak sepenuh hati.
Bisa saja fisik Sumi berdekatan dengan Pak Jarwo, tapi hatinya mungkin sekali berjauhan.
Pernikahan bisa jadi hanya persoalan bukti formal surat menyurat.
Cinta sejati jauh dari urusan kertas bercap dan bertanda tangan, cinta sejati bukan di KUA tapi di lubuk hati.
Sarmo tahu bagaimana Sumi. Namun pepatah jawa bisa juga benar : witing tresna jalaran saka kulina.
Pak Jarwo mungkin tahu dari pengalaman hidupnya sehingga dia berbisik :
‘aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku. Beri sedikit waktu agar cinta datang karena telah terbiasa’.
***
Dipo makin tidak terima setelah tahu ternyata Sumi tidak hamil.
Terlalu besar imbalan yang didapat Sumi. Suatu ketika dia ngomong ke bapaknya
“Enak ya Sumi, bukan siapa-siapa dapat rumah sama toko..”
“Ya dia yang merawat bapakmu. Kau bapak kasih tabungan. Silakan kalau mau buka toko. Jangan ngriwuki bapak dan Sumi.”
Dipo diam mendengar bapaknya yang selalu membela Sumi.
Dipo ingat ibunya yang harus terpisah dari keluarga.
Tapi semua karena salahnya dan juga salah bapaknya. Dipo semakin dekat waktu lulusnya.
***
Sindhu terseok-seok dengan kuliahnya. Perhatian Silvy pun hilang. Ada orang lain yang lebih perhatian ke Silvy daripada Sindhu.
Sindhu mulai kehilangan semangat belajar dan bahkan semangat hidup. Sementara Sumi bilang ia masih seperti Sumi yang dulu, Sindhu bukan lagi Sindhu yang dulu. Dia kini seperti mencari jati diri. Tidak seterbuka dulu. Dia jadi rajin membaca kitab-kitab tulisan al Ghazali yang mengajarkan kepasrahan.
Dia juga mulai ikut pengajian thariqat.
Seminggu sekali dia ikut kegiatan thariqat di mesjid di dekat gurunya dengan dipenuhi membaca dzikir.
Dunia mulai tidak penting bagi Sindhu. Dia selalu mencari Tuhan dan mencoba mendekatkan diri pada Tuhan.
Hal-hal yang sifatnya kemanusiaan dan keduniawian dia tinggalkan.
“Mana Sindhu kok semester ini tidak perwalian?” tanya dosen walinya kepada salah seorang temannya suatu kali.
“Wah dia mulai sulit ditemui Pak.Nggak tahu kemana pak. Mulai tertutup.”
Orang tua Sindhu pun ikut resah dengan perubahan sikap anaknya.
Jarang pulang kalau libur.Ibunya Sindhu hanya bisa berdoa agar anaknya itu bisa normal kembali seperti dulu.
Suatu saat ibu Sindhu datang ke oramg pintar untuk menanyakan nasib anaknya itu.
“Dia akan normal lagi sesudah 2 tahun bu”, kata orang pintar itu.
Sedih hati ibu Sindhu. Dua tahun hanya akan diisi dengan kegiatan yang menurut dirinya kurang berfaedah.
Sementara banyak hal yang bisa dikerjakan.
Mengapa Tuhan harus dicari dengan cara seperti itu. Tuhan ada dimana-mana: di meja belajar, di ruang kuliah, di kamar mandi, di tengah pasar dan bahkan di tempat pelacuran.
Mestinya belajar thariqat tidak menghilangkan kemanusiaannya. Tidak menghilangkan silaturahminya, tidak menjauhkannya dari urusan dunia.
Tapi Sindhu sepertinya terlalu ekstrim perubahannya.
Ibu Sindhu berdoa anaknya akan belajar dari proses hidupnya yang tidak mulus.
Jelas Sumiati bukan lagi jadi pikiran Sindhu.
Tapi di dasar lubuk hatinya, Sumi masih merindukan Sindhu.
Sumi berharap suatu saat Sindhu bisa membuat gambar rancangan rumah yang besar yang nyaman untuk tempat tinggalnya.
Sarmo dulu pernah mau membuatkan rumah besar tapi rasanya bukan seperti itu yang diinginkan Sumi.
Sumi ingin rumah yang dibangunnya sendiri dengan arsitektur yang khas Jawa artistik dengan kebun yang luas hijau menghadap ke lereng Gunung Merbabu ari arah Boyolali.
Sumi tidak membayangkan bahwa Sindhu sedang menghilang, jauh dari kawasan kampus. Suratnya pun tidak pernah dibalas Sindhu.
***
“Mbok jadi bapak itu bukan bapakku?”
“Iya nduk ..bukan. Maafkan mbokmu nduk nggak berterus terang selama ini. Aku kasihan kamu”,_ ucap mbok Kartiyem sambil meneteskan air mata mengenang bagaimana dia harus pulang dari rumah tuan Shanghai.
“Lalu bapakku siapa mbok?”
“Itu laki-laki yang pernah memberimu uang beberapa tahun lalu saat kamu mengantar Sarmo.”
“Dia baik mbok.”
“Iya dia baik. Tapi istrinya tidak mau terima dia punya anak dengan pembantunya.”
Sumi merasakan kemirisan yang hampir mirip. Untung dia nggak sampai hamil dan untung tuannya mau mengangkatnya jadi istri resmi.
Walaupun lebih mirip seperti anaknya yang harus merawat bapaknya.
“Mbok apa aku boleh ketemu bapak kandungku?”
“Boleh. Tapi kamu harus hati-hati . jangan sampai menimbulkan keributan.”
“Aku cuma pingin dengar saja bahwa bapakku mengakui aku sebagai darah dagingnya.”
“iya pasti dia akan mengatakannya. Tapi jalan hidupmu sepertinya sudah cukup adil nduk, cukup adil bagimu untuk mengenyam kebahagiaan. Walaupun belum sempurna. Nasibmu lebih baik dari nasib simbok nduk. Ingat bahwa kebahagiaan sempurna sangat sulit didapat, kecuali kau singkirkan sebagian ego dan nafsumu.”
Sumi mengiyakan kata-kata mboknya. Dia heran simboknya bicara bak seorang filsuf. Entah dapat wangsit darimana seorang tukang pasir bisa berkata bijak seperti itu.
Mungkin tidak ada kebahagiaan sempurna yang dinikmati seorang manusia dalam jangka waktu lama. Kebahagiaan selalu datang sekejap, lalu menjadi biasa dan kadang ada selingan derita. Lalu beralih ke bahagia lagi. Itu pun juga tergantung kita menikmatinya.
Saat dia mendapatkan toko, dia merasa sangat bahagia. Tetapi setelah tiap hari menjadi pemilik toko, semua terasa sebegai hal biasa. Lalu ketika suratnya untuk Sindhu tidak berbalas, ada sedikit derita di sana. Tapi lama-lama menjadi biasa.
Kemudian kebahagiaannya sedikit terganggu jika ia mengingat Bu Jarwo harus berpisah dengan suaminya. Betapa dunia tidak ideal, tidak sempurna. *Tuhan selalu punya cara untuk membuat alur cerita yang tidak terduga.*
Sumi meski sibuk mengelola toko , dia rindu jalan-jalan bersama Sindhu
seperti dulu. Atau dia ingin berenang bersama Sarmo di Umbul Ingas, Cokro. Hari-harinya kini dipenuhi dengan mencari uang dan merawat suaminya yang sakit-sakitan. Hal yang dirasakan lebih baik adalah bahwa dia bisa melihat simbok dan bapak tirinya tidak harus bekerja banting tulang mencari pasir di sungai belakang rumah.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel