Cerita bersambung
Penyakit Pak Jarwo semakin parah.
Dipo tidak terima dengan kondisi ini.
“Pasti kerjaan Sumi. Asyik ngurusi tokonya.”
“Jangan begitu Po. Harusnya kamu berterima kasih ke Sumi. Ada yang mau merawat bapak", Sahut Anwar kakaknya.
“Lha kok bisa sampai pingsan apa nggak dicek makanannya, minum obat..” Dipo tetap melanjutkan ocehannya.
Sumi serba salah. Dia ingin membela diri tapi rasanya tidak berguna karena Dipo memang menyimpan kebencian pada Sumi.
Sumi hanya menangis.
Kerja kerasnya tidak dilihat oleh Dipo.
Dia memang tidak sempurna sebagai istri, tapi dia sudah berusaha sebaik mungkin. Anwar memang lebih bijak melihat persoalan.
Dipo mulai berpikir bagaimana merebut Toko Ijo. Ketika sedang pada sibuk mengurus Pak Jarwo di rumah sakit, dia pulang ke Cokro.
"Tolong bukakan pintu!"
"ada apa mas Dipo?"
"Mau masuk."
Pembantu Pak Jarwo membukakan pitu untuk ndoronya.
Dipo langsung menyelonong ke kamar bapaknya. Dicari-cari sertifikat tokonya, juga sertifikat rumahnya.
"Mas Dipo nyari apa?"
"Wis kamu meneng wae , nggak usah ikut-ikutan."
Dipo membuka beberapa laci lemari dan meja.Apa yang dicarinya tidak ketemu.
Selama ini dia belum pernah lihat sertifikat itu. jadi tidak tahu juga wujud sertifikat seperti apa.
Niatnya merebut toko makin besar setelah istrinya ngompor-ngompori.
"Enak amat ibu tirimu itu mas." kata Retno istri Dipo suatu saat.
Sumi seakan mencium gelagat Dipo.
Sertifikat itu sudah dsimpannya di tempat rahasia.
Sertifikat itu sudah atas namanya. Tidak ada yang tahu dimana tempatnya.
Dia siap-siap jika suatu saat Dipo mempermasalahkan.
Dipo sebenarnya sudah mendapat bagian uang dan tanah di tempat lain di sekitar Cokro.
Tapi dasar orang iri akan selalu kekurangan.
Kondisi Pak Jarwo makin memburuk.
Sumi menunggui ketika pak Jarwo menghembuskan nafas terakhirnya di saat dini hari.
Saat semua tidur, Sumi menyaksikan suaminya itu lelaku dan menghadap Pencipta.
Sumi meski tidak sepenuhnya mencintai Pak Jarwo tapi dia menghormatinya sebagai mantan juragan dan juga menyayangi sebagai suami.
Sebenarnya dia sudah tahu ketika kondisi Pak Jarwo pingsan. Dia sudah menduga akan sulit ditolong.
Tapi demi menghindari suara-suara sumbang di sekelilingnya , dia bawa pak Jarwo ke RS untuk mendapatkan perawatan terbaik.
Sumi memperlakukan jenazah sebagaimana adat Jawa.
Ada tahlil 3 harian, 7 harian hingga 40 hari.
Dia tetap memperhatikan suaminya mesti sudah almarhum.
Selepas kepergian Pak Jarwo Sumi seperti tidak punya pelindung. Di toko juga tidak punya partner untuk berpikir.
"Enak ya modal hamil, dapat toko sama rumah.", kata Dipo suatu hari.
"Tutup mulutmu. Kalau kamu bisa jaga nafsumu, manukmu nggak kemana-mana, nggak memperkosaku, nggak akan begini jadinya."
"Halah..itu aja yang kau ungkit".
"Kamu tidak tahu rasanya jadi perempuan. Jaga itu barangmu".
Dipo makin frustrasi skripsinya tidak kunjung beres.
Sepertinya dia selalu mendapat kesulitan dari pembimbing utamanya .
Sementara teman-teman seangkatannya sudah pada lulus.
Dia mendapat beban ganda: kuliah dan harus menghidupi anak istrinya.
Sumi berpikir bahwa dia harus punya pelindung.
Tidak bisa dia sendiri mengurus toko dan juga mencegah gangguan Dipo.
Pernah ada laki-laki yang mendekatinya.
Seorang pegawai negeri di kabupaten.
Orangnya sopan, dan tidak jelek juga fisiknya. Sumi cukup lama menimbang-nimbang.
Tidak berani dia menolak tapi juga tidak sreg untuk menerima.
Pikirannya masih ke mas Sindhu. Sumi takut orang yang mendekatinya hanya pingin hartanya.
***
Sarmo semakin mantap dengan kejar paketnya.
Dia akan segera mengikuti ujian.Keinginannya mendapatkan ijazah bukan impian lagi.
Sebentar lagi dia akan.mengikuti ujian Kejar Paket C.
"Le kalau kamu lulus SMA nanti bisa njago anggota DPRD Curup", kata pakliknya.
Sesuatu yang tidak pernah terpikir oleh Sarmo.
Tapi cukup menarik juga bagi Sarmo. Dia makin bersemangat untuk segera ikut ujian.
Impiannya mempersunting Sumi belum hilang.
Meski janda, tidak masalah baginya. Sumi tidak sekedar fisiknya, tapi pesonanya.
Sindhu lagi-lagi mendapat wangsit untuk segera pulang menemui ibunya.
Suara dari almarhum mbah buyutnya datang lagi. Tapi dia ragu-ragu. Yang paling mengganggu justru surat dari kampus yang berisi ancaman DO.
Sindhu baru sadar kuliahnya sudah 1,5 tahun ditinggalkan.
Waktunya habis untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Suatu hari dia berpikur. Dia merasa hatinya tidak tentram seperti harapannya.
Justru dia jauh dari saudara dan teman-temannya. Justru kebahagiaannya ketika berkumpul teman dan saudara, menonton film, nonton lawak, main kartu dan bermain badminton. Itulah hidup yang wajar yang memberinya kebahagiaan.
Dia bertekad pulang menemui ibunya. Tapi untuk ketemu Sumi, dia malu.
Dia merasa seperti manusia kalah.
Gagal di kuliah dan jauh dari masyarakat.
Dia butuh energi baru.
Bu Padmo sangat bahagia saat suatu pagi Sindhu tiba-tiba muncul di latar depan rumahnya. Kerinduan seorang ibu yang sudah sekian lama terobati.
Meski agak kaku bu Padmo menyambut seakan tidak terjadi apa-apa.
Sindhu langsung sungkem. Tangis pun tumpah. Tidak ada kata-kata terucap. Terlalu banyak hal hal yang ingin diketahui bu Padmo. Terlalu berat beban yang ditanggung Sindhu.
"Kamu pingin makan apa le?"
Oh Sindhu merasakan kembali hangatnya kasih sayang seorang ibu. Ini kasih sayang Tuhan lewat makhluk ciptaanNya.
Rasanya sudah lama sekali perhatian itu tidak dia dapatkan.
" Sayur terong, dikasih belut".
Bu Padmo paham. Yang dimaksud anaknya. Itu kesukaan Sindhu, lodeh terong diberi belut goreng yang dipotong-potong, sebuah kreasi lokal yang menyelerakan.
Sesudah suasana enak maka obrolan bu Padmo dengan Sindhu mulai mengalir, sekali-sekali Pak Padmo ikut menimpali.
" Kuliahmu piye le?"
"Ya ini akan kuteruskan. Beberapa mata kuliah harus ngulang. "
"Ya rapopo. Jalan tiap orang tidak selalu sama, ada yang mulus ada yang berliku. Bersama dengan cobaan biasanya ada karunia besar." lanjut ibunya.
Sindhu kembali mendapatkan semangat dan energinya.
"Yen wis longgar cepet ke Bandung," sahut pak Padmo.
"Nggih."
"Ayo antar ibu ke pasar nyari terong".
Sindhu sudah akan berangkat tapi mikir jangan-jangan ibunya ingin mengajaknya ke toko ijo.
Iya dia butuh waktu jika harus ketenu Sumi.
"Jangan ke toko ijo nggih."
Sindhu memohon. Dia akan ketemu Sumi sendiri. Tapi tidak sekarang.
Beberapa hari di rumah Sindhu merasakan kedamaian, sesuatu yang lama dia cari. Kuliah di.kampus top memang penuh cobaan. Menempatkan diri terlalu tinggi akan stress, banyak orang pinter di sana.
Banyak orang kaya, banyak orang hebat.
Kehebatan di masa SMA tidak jadi jaminan. Itu yang harus disikapi secara lebih rendah hati.
Ketidaklulusan satu dua mata kuliah hal yang wajar.
Tidak harus merasa stress atau merasa paling apes.
Sindhu perlahan menata hatinya.
Pada hari Sabtu, seperti dulu, dia beranikan diri datang je Toko ijo.
Dia tahu Sumi sudah jadi janda dari ibunya.
Dia kaget toko itu demikian berkembang.
"Ee mas Sindhu....kapan kondur?"
Sindhu sejenak kaget. Sumi kelihatan lebih bersih, lebih cantik.
"Sudah seminggu..."
"wah kok kurus mas..?"
Ya Sindhu memang kurus, tidak bisa bohong, fisiknya mewakili.pikirannya.
"Biasa banyak pikiran..."
"Tapi nggak.mikir aku kan mas? "
Sumi mulai bisa bercanda..
"Hmm kadang..."
"Jadi cuma kadang ya? Wis gakpapa mas. Gimana kuliahmu mas?"
"yah agak seret...".
"Aku aja pingin sekolah lagi, biar lebih berwawasan mas. Mosok njenengan yang pinter malah mogok."
Sindhu yang biasa sensitif itu justru merasa mendapat energi untuk segera membereskan kuliahnya.
Pertemuan itu berlangsung lama. Suasana beda dengan dulu ketika Sumi jadi pelayan.
Kini dia lebih percaya diri, lebih berani bicara.
"Gimana sudah dapat mojang priangan yang geulis belum?" pancing Sumi.
"Hmm....ada sih. Tapi..."
"Tapi apa hayoo?"
Sumi.makin riang dan bersemangat.
"Ah nanti ajalah ceritanya."
"Halah mas tinggal ngomong ja kok ya pakai nanti".
Sindhu entah gimana merasa sangat terhibur.
Mungkin 1,5 tahun bergaul dengan Tuhan telah menghilangkan 'rasa' yang dia miliki.
"Tapi kamu lebih geulis..."
Sumi tersipu. Selama jadi istri pak Jarwo pujian seperti itu jelas jarang didengar.
"Ah paling juga bilang gitu ke teman cewekmu mas."
Sindhu diam saja. Sindhu termasuk selektif memilih teman. Jadi memang hanya Silvy yang pernah dekat.
Tapi perlahan Silvy mundur apalagi sejak tugas kuliahnya nggak lulus, lalu dia mendalami tasawuf.
"Ayo mas diunjuk." pinta Sumi sumringah.
Sumi memesankan bakso dan es dhawet dari warung Arjo di sebelah utara pasar.
Sindhu sangat menikmatinya. Tidak lama Sindhu pamit.
"Lancar ya mas kuliahnya."
***
Sindhu kembali ke Bandung. Dia jadi orang biasa, tidak menggebu-gebu belajar agama. Dia mulai belajar keikhlasan dan kesabaran dari ibunya dan dari Sumi.
Dari kehidupan sehari-harilah keikhlasan dan kesabaran akan terlatih. Ibunya cuma ibu rumah tangga yang tanpa pamrih merawat dan membesarkan anak-anaknya, tanpa ambisi pribadi.
Cukuplah ibunya bahagia melihat anak-anaknya berhasil. Sumi adalah contoh pejuang yang harus menderita dan dihinakan sebelum bisa seperti sekarang.
Meskipun orang mulai lupa bagaimana penderitaannya dulu.
Sindhu jadi malu pada dirinya sendiri.
==========
Dipo terus bergerak. Disiapkan gugatan hukum untuk Sumi.
Tuduhannya : Sumi berbohong, mengaku hamil. Dengan pengakuan yang bohong itu maka hak kepemilikan toko dan rumahnya gugur.
Dipo mencari pengacara dari Jogjakarta untuk menyusun tuntutan hukumnya. Dia sangat berambisi bisa merebot kedua properti itu dari Sumi.
Sumi mendapat info dari si pegawai negeri yang mendekatinya yang bekerja di pengadilan negeri Klaten. Namanya Bimo.
Sumi stress tentu saja. Dikiranya gangguan dari Dipo sudah selesai.
Tidak disangka ternyata justru dibawa ke ranah hukum. Bingung Sumi mencari bantuan. Dia jelas buta soal hukum apalagi dia cuma ibu rumah tangga lulusan SMP.
Pegawai pengadilan negeri itu sempat memberi sebuah nama. Andi Wijaya. Sumi nggak terbayang bagaimana urusan dengan pengacara. Jelas dunianya jauh dari urusan hukum.
"Mbok toko kukasih aja ke Dipo daripada urusan dengan pengadilan "
"Jangan kesusu nduk. Coba tanya-tanya dulu."
"Tanya ke siapa mbok. Kita ini wong cilik. Mau urusan hukum ya nggak tahu apa-apa"
"Lho jaremu ada pegawai pengadilan Klaten itu bisa membantu."
"Ya hanya memberi nama."
"Siapa namanya?"
"Andi. ..Andi Wijaya mbok. Punya kantor di Solo."
"Sik..sik...sepertinya simbok kok kenal nama itu. "
"Walah mbok. Mbok ojo ngarang. Kapan simbok kenal pengacara? Wong tukang pasir aja kok."
"Sstt...diam dulu. Anaknya juragan Shanghai itu dulu namanya juga Andi. Tapi belakangnya apa ya."
"Apa besok kita coba ke Solo mbok? Di jalan Slamet Riyadi kok kantornya."
"Ayo kita coba nduk."
Dua orang yang takut itu ternyata jadi berani ketika bergabung.
Besoknya pahi-pagi mereka di antar sopir bawa carry ke Solo. Sumi deg-degan dengan urusan pengadilan.
Dia takut toko yang sudah dikembangkan itu akan lepas.
Dia sendiri saat itu tidak yakin hamil. Tapi dia nggak pernah bohong karena memang tidak pernah ditanyai.
"Mbok nanti nanya gimana kalau ketemu Pak Andi.?"
"Nanti biar simbok yang ngomong nduk."
Mereka berdua saling menguatkan.
Setelah 1 jam perjalanan sampailah mereka di alamat yang dicari di kawasan Slamet Riyadi Solo.
Tidak besar kantornya. Tapi kedua-duanya ragu-ragu untuk masuk.
"Mbok ini lho kantornya."
"Iya tapi simbok malu mau ngomong apa nanti."
"Loh jare simbok yang ngomong?"
"Kamu aja. Aku bantu doa nduk."
Mereka ragu-ragu. Tapi Sumi memberanikan diri mengetuk pintu.
Seorang sekretaris membukakan pintu.
"Nyari siapa mbak?"
"Mau ketemu Pak Andi."
"Ada perlu apa?"
"Akan nanya-nanya masalah hukum."
"Nanya-nanya? Maksudnya konsultasi?"_
"Iya " , jawab Sumi singkat, agak kesal.
"Tunggu."
Keduanya duduk. Sekretaris masuk ke ruang sebelahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
Andi keluar. Sejenak dia amati wajah Sumi. Dia merasa ada kemiripan.
Tapi biasa wajah mirip.
"Anu Pak. Mau bertanya soal kasus saya."
"Silakan masuk."
Sumi dan mboknya masuk.
"Silakan." Andi meminta dengan sopan.
Sumi bercerita soal kasusnya.
Sambil mengingat-ingat kejadiannya. Simboknya mengamati dari kursi yang agak jauh.
Dia yakin Andi ini memang anak tuannya.
Tapi gimana cara bertanya.
Sementara dia membatin saja.
"Ya nanti saya siap membantu jika kasusnya disidangkan. Nanti kalau sudah ada panggilan pengadilan, beritahu saya. Ibu bisa menghubungi lewat telpon.", kata Andi sambil mengulurkan kartu namanya.
Sumi baru itu pula memegang kartu nama itu menerima kartu nama.
Sumi untuk sementara merasa lega dengan jawaban Andi.
Mereka segera pulang.
Tapi Sumi lupa, dia balik lagi.
"Maaf Pak Andi, untuk anu...anu tarifnya berapa ya?"
"Emm..nanti saja kalau kita bisa menang. "
Andi merasa perlu membantu Sumi karena rasa kemanusiaan.
Dia melihat Sumi pada posisi lemah jika tidak ada bantuan hukum. Dia melihat imbalan toko dan rumah pantas untuk korban perkosaan meskipun nggak hamil.
Secara spiritual Sumi sangat menderita.
Orang lupa bagian itu. Ganti rugi material tidak bisa mengobati trauma akibat perkosaan.
Mereka lalu meninggalkan kantor pengacara itu. Di dalam mobil mereka masih berbincang.
"Mbok apa bener itu Pak Andi anak juragan itu?"
"Wah simbok kok juga pangling. Dulu masih SD. Kini sudah besar sudah dewasa. Takut salah."
“wis ora penting mbok, sing penting dia mau membantu kita”
“iya ngono wae mikire nduk.”
Sumi merasa lega ada pengacara yang mau membantunya.
Dia kepikiran jangan-jangan nanti bayarnya mahal. tapi itu lebih baik daripada nggak ada pendamping kasusnya sama sekali.
***
Sarmo telah berhasil mendapatkan ijazah kesetaraan lulus SMA.
Dia makin mantap menancapkan kukunya di Curup. Dia menuruti nasehat Pakliknya. Dia mengikuti organisasi kepemudaan.
Pengaruhnya cukup besar.
Dengan bisnisnya yang makin berhasil, banyak teman dan kolega.
Jalannya untuk menuju ke kursi DPRD tingkat kabupaten makin terbuka.
Dia membayangkan betapa bangganya Sumi jika tahu kabar itu.
Di tengah pasar Cokro kabar itu sudah merebak.
“Wah sarmo sudah dapat ijazah SMA” kata Lik Marto bangga pada para pelanggan warungnya.
“kok iso lik?”
“itu lho ikut kejar paket. Itu kejar paket C.”
“Wah model begitu ya sekarang.”
“Itu upaya pemerintah biar orang-orang yang putus sekolah bisa menyambung sekolahnya lagi.”
“Wow...jaman makin maju, sekolah makin mudah ya.”
“Ini Sarmo rencana mau maju di Pemilu 1992. dari Partai Golkar.”
“Maksudnya jadi apa?”
“Ikut maju pilihan anggota Dewan.”
“Kok iso mlebu Golkar to Lik?”
“ya dibantu Slamet. Slamet kan temannya banyak. Sarmo jadi anggota organisasi kepemudaan di bawah Golkar.” Lik Marto berusaha menjelaskan.
“Wah mugo-mugo kepilih Lik”, sahut yang lain.
“Lik lha terus bagaimana hubungan Sarmo sama Sumi?”
“wah aku juga nggak ngerti. Kabarnya Sumi lagi pusing.”
“Kenapa Lik?”
“Itu mas Dipo nggak terima. Dipo pingin ngrebut tokonya.”
“Walah..kok kasihan Sumi.”
“Ya Dipo juga nggak salah. Katanya meteng, tapi ternyata bohong.”
“Lho tapi kan dia sudah jadi suami Pak Jarwo. Ya sudah sah dapat bagian toko sama rumah.”
“iya, masalahnya Dipo merasa dapatnya lebih sedikit.”
“Pokoknya kalau soal warisan, itu bikin ribet. Bisa bikin persaudaraan pecah.”
“Mbok Sumi itu mau sama si pegawai negeri itu ya.”
“Iya ya jelas sudah enak. Sumi itu kan butuh pelindung.”, sahut yang lain.
“ya belum tentu begitu. Sumi kan juga punya selera Lik. Beleum tentu itu yang disukai.
***
Sindhu makin fokus belajar. Meski dia sudah ketinggalan 3 semester.
Tapi semangatnya mulai tumbuh lagi.
Dia merasa sangat bersalah pada kedua orang tuanya.
Kesempatan yang dia punyai sudah dia sia-siakan.
Mengingat pada tahun itu belum banyak orang daerah mampu kuliah hingga ke Itebe.
Jadi Sindhu menyesali perbuatannya sendiri. Sumi menjadi salah satu faktor.
Sindhu bersemangat jika ingat Sumi. Iya Sumi saja pingin belajar lagi, apalagi dia.
Sindhu tidak tahu Sumi sedang menghadapi masalah berat.
Tetapi Sindhu merasakan ada sesuatu yang dia pikirkan soal Sumi. Tidak biasanya begitu. Dia beberapa hari terakhir sempat mimpi ketemu Sumi, tapi Sumi tidak ceria seperti halnya saat pertemuan beberapa bulan lalu.
Dia melihat Sumi diganggui orang di tengah jalan. Tapi Sumi melawan dengan sekuat tenaga.
Dia jarang bermimpi soal Sumi. Sekali mimpi kok aneh.
Sindhu mencoba mengingat-ingat lagi mimpinya itu. Sindhu menulis surat, dikirimnya lewat kilat khusus. Hal yang tidak biasa.
Tapi perasaan dia nggak enak.
“Sum, aku mimpi kok aneh ya. Kamu diganggui orang di tengah jalan. Tapi hebatnya kamu melawan. Ada orang lain yang membantu kamu. Apa mimpiku ada hubungan dengan yang kamu alami?”
Tiga hari surat sudah sampai. Sumi kaget membaca surat pendeknya mas Sindhu. Dia nggak menyangka bahwa Mas Sindhu sampai punya firasat lewat mimpinya.
Sumi makin yakin ada ikatan batin dia dengan Sindhu.
“Mas kabar Sumi baik-baik. Semoga Mas Sindhu begitu juga. Cuma ada masalah mas. Dipo menggugatku. Dia ingin mendapatkan toko dan rumah dari saya karena dianggap saya telah berbohong. Kebetulan saya sudah menghubungi pengacara di Solo dan dia siap membantu.
Semoga Mas Sindhu lancar kuliahnya.”
Sindhu membaca balasan suratnya dengan perasaan sedih. Tak henti-hentinya Sumi mendapat cobaan.
Dia jadi makin menyesali dirinya. Tidak seberapa beban yang dia tanggung dibandingkan Sumi.
Ya Sumi jadi cermin bagi dia. Dia hanya berdoa agar Sumi tetap kuat menghadapi kasusnya ini.
Bersambung #12
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel