Cerita Bersambung
Sarmo pulang. Sudah beda kondisi dia kali ini. Dia naik pesawat dari Bengkulu ke Yogyakarta.
Pengalaman pertamanya. Dia tidak butuh puluhan jam seperti dulu. Sebagai anggota dewan dan juga pengusaha dia sudah pantas naik pesawat. Kepulangannya sebenarnya untuk memastikan apakah Sumi masih ada kemungkinan diajak nikah. Kepulangan yang tidak disukai pakliknya. Sarmo juga ingin menunjukkan pada Sumi bahwa dia sudah berhasil. Hanya ada dua airline yaitu Garuda dan Sempati. Dia memilih Sempati, meski anggotap dewan tapi dia pulang untuk kepentingan pribadi.
Agak kikuk dia check in di bandara. Maklum baru ini dia ke bandara.
Di atas pesawat Sarmo agak canggungj juga. Melihat kiri-kanan gimana cara memakai seatp belt. Lalu dia mencoba bersikap tenang seakan sudah biasa. Dia baca-baca majalah yang adap di kantong kursi depannya untuk menghilangkan kekakuan.
Sejenak pesawat terbang dia mulai ngantuk. Tidakp berapa lama beberapa awak penerbangan membangunkannya untuk menikmati snack danp minuman. Sarmo menikmati sekali penerbangan ini walau deg-degan..
Sejam ditempuh untuk sampaip Jakarta. Menunggu beberapa jam di Cengkareng lalu lanjut ke Jogja.
Sarmo menyewap mobil dari bandara Adisucipto ke desanya. Mobilp melewati Prambanan, Klaten, Karanganom, Ponggok hingga Cokro.
Lalu lintas makin padat dibanding saat dulu dia pergi.
Lik Marto menyambut dengan suka cita kedatangan anaknya.
"Jam piro mau budhal?"
"Jam 7 esuk.. transit dhisik".
"oo mampir to maksudnya? " sahut lik Marto putri.
"Iya turun di Cengkareng."
"Iki mau mudhun Panasan apa Meguwo Jogja?"
"Terus piye rencanamu?"
"Hmm. Ya nengok bapak simbok. Pingin ketemu Sumi."
"Wah Sumi saiki tambah ayu. Awake apik..kelihatan kopen".
"Oh ngono ya mbok."
"Beda..beda banget," sahut Lik Marto Putri bersemangat.
"Wah apa isih kenal karo aku ya?"
"Ya kenal. Sumi habis urusan pengadilan. Soal warisane Pak Jarwo."
"Iya katanya Mas Dipo nuntut?"
"Lha itu. Tapi wis beres kok. Kasihan Sumi masalahnya nggak habis-habis ".
"Ya mau mukti harus ada biaya", sahut Lik Marto sinis.
Sarmo agak tersinggung mendengar bapaknya terlihat sinis dengan nasib Sumi.
***
Esoknya di pasar ramai warung lik Marto orang ramai membicarakan Sarmo.
"Wah Sarmo mana Lik?"
"Di rumah. Malu dia ke pasar atau capek mungkin.."
"Wah naik pesawat kok capek. Wis dadi anggota dewan, nggak panteslah nongkrong neng warung tengah pasar."
"Mesti saiki gagah no Sarmo."
Pembicaraan orang pasar memang seenaknya. Asal ramai sambil menikmati segarnya soto atau es teh manis.
***
"Gimana Sum kabarnya?" tanya Sarmo agak canggung di depan Toko Ijo.
Tempat dulu dia sering membantu membuka tutup toko.
Sudah 3 tahun tidak bertemu. Sarmo melihat Sumi makin cantik.
"oo kang Sarmo. Apik kang. Sudah jadi anggota dewan ya?" pancing Sumi.
Sumi bingung harus mulai darimana.
"Ya begitu Sum." Sarmo tidak berubah sikapnya.
Dia tidak jadi sombong. Tapi memang sudah beda penampilan.
Sarmo lebih necis meski kulitnya tetap coklat hitam.
Tidak seperti dulu hanya pakai celana pendek dan kaosan saja.
Sepertinya perlu waktu dan tempat khusus mereka untuk mengobrol lebih nyaman. Tidak bisa di toko lagi. Sarmo sudah menjadi orang penting.
***
Sore Sarmo berkunjung ke rumah Sumi.
Sarmo kaget melihat Sumi sudah tinggal di rumah besar.
Walaupun dia sudah mendengar sebelumnya tapi baru kali ini ia melihat langsung.
Ia lalu ingat janjinya ingin membuat rumah besar untuk Sumi.
Sarmo jadi mikir bahwa cita-citanya sudah nggak cocok lagi dengan kondisi Sumi sekarang. Sumi sudah punya rumah besar.
" Wah enak ya Sum rumahmu besar."
Sumi bingung harus menjawab apa.
Dia mendapatkannya dengan mengorbankan perasaan. Harus kawin dengan Pak Jarwo yang nggak dia cintai. Jadi serba susah untuk memberi respon soal rumah itu.
"Hmm.. ya beginilah Kang..."
Sarmo kesulitan menemukan bahan obrolan. Sepertinya semua sudah beda dengan dulu.
Kenangan memang lebih indah dari kenyataan. Keseharian mereka kini berbeda.
Sumi pun merasakan kekakuan. Beda sekali dengan ketika Sindhu datang, meski lama tidak bertemu seperti ada ikatan batin, obrolan mengalir begitu saja. Sumi merasakannya.
"Gimana kerjaanmu di sana kang?" Sumi mencoba memecah kebekuan.
"Ya sekarang ngantor, rapat. Usaha sudah dijalankan orang lain. Dulu tiap hari keliling cari dagangan terus dikirim ke kota. Keluar masuk pasar."
"Wah enak ya kerjanya rapat sekarang."
Ya pembicaraan berlangsung kaku, tidak mengalir.
Getar-getar asmara tidak lagi terasa. Sarmo nggak mungkin mengajak bicara soal masa depan.
Dari kekakuan itu saja sudah sulit untuk berbicara dari hati ke hati.
Sarmo merasa pertemuan ini tidak seperti yang ia harapkan.
Tidak lama kemudian Sarmo mohon pamit.
“Aku pamit dulu ya Sum”
“Lho kok buru-buru kang. Belum disuguhi.”
“Nggak papa, lain kali saja Sum.”
Sarmo pulang dengan hati tidak bersemangat. Dia berpikir lalu buat apa semua capaiannya jika ternyata gadis yang dia banggakan itu ternyata tidak lagi seindah dulu.
Sarmo merencanakan ingin segera kembali ke Bengkulu, tidak jadi dia ingin mengajak jalan-jalan Sumi.
***
Andi masih menyimpan rasa ingin ketemu dengan Sumi yang ternyata saudaranya.
Andi jadi dekat dengan bapaknya semenjak mamanya meninggal setahun silam.
Pembicaraan soal Kartiyem dan Sumi mungkin tidak akan terjadi selagi mamanya masih ada.
“Pa apa papa nggak ingin memberikan sesuatu sebagai penebus kesalahan untuk mbok Kartiyem?”
Tuan Shanghai kaget anaknya bicara begitu pada suatu malam. Hal yang sebenarnya sempat dipikirkannya tetapi dia takut anaknya protes.
Ini justru anaknya yang punya ide.
Shanghai menangis dalam hati punya anak berhati luhur.
Dia mengira anaknya akan memaki-maki dia karena perbuatan masa lalunya.
“Anakku.. papa terharu. Papa nggak menyangka kamu berpikiran begitu.”
Suasana sejenak hening.
“Papa sempat berpikir begitu. Tapi papa tidak sampai hati mengatakannya.”
“Terserah papa mbok Kartiyem harus diberi ganti rugi yang pantas atas penderitaannya.”
Ya Shanghai makin kagum pada anaknya. Anaknya tidak cuma garang di ruang pengadilan.
Tapi hatinya memang punya kepedulian pada orang kecil.
Itu kekayaan yang sangat berharga bagi orang tua.
“Ya papa akan mencari waktu yang cocok untuk memberikan bantuan untuk Kartiyem” kata tuan Shanghai lirih.
Kekayaan materinya cukup besar. Dari bisnisnya ada beberapa tanah dan tabungan yang nggak akan habis untuk dia dan dua anaknya.
Anaknya yang satu sedang studi di Singapura.
Dia pikir anak satunya lagi akan mampu menghidupinya sendiri.
***
Sindhu susah payah mengejar ketertinggalan kuliahnya.
Dia baru sadar terlalu banyak yang dia korbankan selama 1,5 tahun meninggalkan kuliah.
Meski terseok-seok dia ingin bisa lulus.
Sumiati menjadi penyemangatnya. Nggak boleh dia kalah dengan Sumiati.
Dari sisi potensi diri, kekayaan dan pendidikan dia mestinya lebih unggul.
Dia dulu yang menyemangati Sumi untuk berpikir maju.
Kini malah dia yang belajar dari Sumi.
Di lubuk hatinya dia ingin lulus dan pulang. Dia ingin berkarya di desa.
Entah mengembangkan pertanian organik atau membangun sekolah alam atau mengembangkan wisata di daerahnya.
Sudah terlalu banyak sarjana yang berkarya di kota besar. Kesempatan dia mengembangkan daerah asalnya.
Penting sekali bagi dia untuk bisa lulus agar dipercaya rekan bisnisnya nanti.
***
Dipo masih terseok-seok dengan skripsinya. Hartanya juga menipis gara-gara berurusan dengan hukum.
Dia berpikir ulang jika tetap mempermasalahkan warisan dari orang tuanya.
“Temui dosenmu mas katakan anak bininya butuh makan, biar cepet lulus.” kata Retno istri Dipo suatu malam.
“Tidak mudah bicara hal-hal non teknis di luar masalah skripsi.”
Dipo mencoba menjelaskan ke istrinya yang belum lulus SMA.
Nasehat istrinya tidak salah. Tapi bukan hal yang mudah mengatakan hal seperti itu pada dosen yang berfikiran feodal. Dia merasa nasibnya tidak sebaik kakaknya, Anwar yang mengelola toko.
Dia kuliah diharapkan jadi insinyur sipil dan akan sukses bekerja sebagai kontraktor.
Melihat hidup kakaknya atau Sumi, Dipo makin iri.
“Apa rumahmu yang di desa Cokro sana di jual saja untuk membuka usaha di sini,” usul istrinya.
“Mau usaha apa?”
“Buka toko.”
“ah sudah banyak toko di sini. Aku mau coba jadi kontraktor.”
“Ya dicobalah cari borongan bangunan-bangunan kecil dulu.”
Dipo bersemangat lagi untuk mencapai mimpinya.
Yang pertama harus beres dulu kuliahnya.
***
Sumi sabar menunggu mas Sindhu bisa selesai kuliahnya. Dia tidak bisa bicara banyak selain memberi semangat saja. Dia merasa hanya lulusan SMP, nggak bisa membantu lebih dari itu.
Sumi belum tahu Sindhu ingin pulang nanti untuk berkarya di daerahnya.
Kalau tahu itu pasti Sumi akan berbunga-bunga. Dia siap mendukung Sindhu.
==========
Sarmo pulang ke Bengkulu membawa rasa kecewa. Beda sekali dengan dulu ketika pertama merantau. Harapan begitu tinggi untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Kini apa yang dia impikan yaitu kekayaan sudah terwujud. Sayang kekayaan untuk membahagiakan bunga pujaannya justru kehilangan makna. Impian utamanya justru meleset. Kekayaan yang didapat untuk membangun rumah besar sepertinya tidak berarti lagi. Kadang kebahagiaan memang seperti fatamorgana. Dikejar tidak ketemu. Sumi nggak butuh rumah besar lagi darinya.
Sarmo sementara tidak tahu untuk apa ini semua. Dia ingat lagi kata-kata bapaknya dan pakliknya untuk nikah dengan adik sepupunya saja yang sudah jelas bibit bebet bobot.
Sumi kembali tenang bekerja. Toko tetap ramai bahkan bangunan sebelahnya dibeli untuk toko bahan bangunan. Sugiyono bapak tirinya pun semakin terlibat membantu pengelolaan toko bangunan. Bisa membantu melayani pembeli untuk soal bahan bangunan. Sumi terbukti tidak cuma kaya karena warisan tetapi mampu mengelola dan mengembangkan. Bahkan kedua orang tuanya ikut dilibatkan mengurus tokonya. Yang ditunggu Sumi kini adalah cinta. Keberhasilannya serasa belum sempurna. Sarmo ingin memberi cinta dan Sumi membutuhkannya. Tapi sayang bukan cinta Sarmo yang kini diharapkan Sumi.Sarmo bahkan tidak bisa lagi berkomunikasi seperti dulu.
Pada suatu hari malah datang Bimo pegawai pengadilan negeri itu ingin melamarnya.
“Mbak Sum aku ingin melamarmu, piye?”
“ hmm...jangan sekarang pak. “
“Kenapa mbak? Bukankah ini waktu yang tepat? Apa yang sampeyan tunggu mbak Sumi?” kata Bimo penuh harap.
“Ada pak. Ada seseorang.”
“hmm...daripada menunggu, bukannya aku yang sudah ada saja mbak?” Bimo makin agresif.
“Nggak bisa begitu pak.”
Sumi kali ini tidak bisa lagi mengulang apa yang dilakukannya dengan pak Jarwo. Dia ingin menikah dengan orang yang dicintainya. Apalagi dengan Bimo dia hanya kenal sebentar saja. Tidak ada hubungan apa-apa seperti halnya dengan Pak Jarwo.
Bimo akhirnya menyerah. Dia pamit pulang dengan rasa kecewa.Begitu sulit mendapatkan cinta seorang Sumiati.
Dalam suatu acara rewang karena ada tetangga Sumiati yang punya hajat, Sumiati lagi-lagi ketemu bu Padmo, ibu Sindhu. Meskipun sudah jadi orang berada, Sumi tetap bergaul baik dengan tetangga.
Rewang adalah adat membantu tetangga yang sedang punya hajat kawinan.
Tetangga Sumiati, Bu Siti, yang sedang punya hajat kebetulan adik dari bu Padmo. Maka tidak terhindarkan Bu Padmo dan Sumi mengobrol.
“Lho ibu kok di sini?” tanya Sumi kaget.
“Lha ini nduk Siti ini adik saya”
“oo ngaten nggih...wah kok kebetulan..”
"Gimana kabarnya mbak?”
“oo sae bu. Ibu dospundi kabaripun?’
“Alhamdulillah..berkat doa anak-anak, sehat selalu mbak...”
Sumi merasa punya kesempatan untuk membicarakan soal Sindhu dengan kata-kata bu Padmo.
“Bagaimana kabar mas Sindhu?” tanya Sumi sambil tangannya membungkusi makanan untuk dibagikan ke tetangga.
Bu Padmo sudah menduga pembicaraan akan bergerak ke sana.
Bu Padmo sebenarnya senang ditanya soal Sindhu.
Tapi Sindhu belum memperlihatkan kemajuan berarti dalam studinya.
Seperti juga Sumi bu Padmo sedang sibuk membungkusi pisang yang dipotong kecil-kecil, santan dan telor untuk membuat pestuban dengan daun pisang sebelum dikukus. Pestuban makanan khas Klaten wajib ada dalam pesta manten.
“Sindhu baik-baik mbak. Nggak tahu kapan kuliahnya kelar. Sepertiya kuliahnya tidak mudah. Sedang bimbingan skripsi katanya. Sudah habis banyak biaya."
“ Nggih bu semoga cepat lulus. Padahal mas Sindhu itu pinter ya. “
“Wah kalau di sana banyak yang pinter mbak. Jadi Sindhu yang termasuk biasa-biasa saja."
“Walah kok ngoten to bu.”
“Lha bener kok mbak. Kalau Sindhu bisa lulus saja ibu sudah bersyukur sekali.”
Sumi punya harapan yang sama. Dalam hati dia sangat menunggu Sindhu lekas lulus sehingga impiannya bisa dinikahi Sindhu bisa terwujud. Sayangnya Sindhu sampai saat ini belum pernah memberi kepastian. Sindhu belum mengatakan pada Sumi soal rencana masa depannya kembali ke desa.
“Kalau lulus nanti ibu minta pulang saja biar bertani atau apa biar ada yang nemani ibu.”
Mendengar keinginan bu Padmo Sumi merasa sangat bahagia. Begitulah perasaan orang yang punya bibit cinta. Pembicaraan sedikit saja tentang orang yang dicintainya sudah menumbuhkan sejuta pesona.
“Wah kalau mas Sindhu mau pulang dan mengembangkan usaha di sini akan bagus bu. Kula mendukung...” sahut Sumi penuh semangat.
“Ya mudah-mudahan mbak. Sindhu itu kalau punya kemauan sering sulit dihalangi.”
Mereka berdua ngobrol seakan ruangan tengah bu Siti itu tidak ada orang lain. Cuma milik mereka berdua.
“Wah kalau mbak Sumi sudah ketemu Yu Padmo, gathuk...cocok..” celetuk bu Siti si tuan rumah.
“iya cocok banget” sahut bu Camat yang rumahnya depan bu Siti yang ikut rewang di situ.
Sumi tersipu-sipu dengan celetukan orang-orang itu.
Ibu-ibu paling suka membicarakan hal-hal seperti itu.
***
Sindhu sering melek malam sambil menghabiskan beberapa batang rokok mengerjakan skripsinya.
Ia ingin bisa menyelesaikan kuliahnya mesk dengan nilai pas-pasan.
Ia ingat tanggapan pembimbingnya, Prof Hasan Purbo.
“Tulisanmu masih belum bagus. Rumusan masalah dan metodologi harus diperbaiki lagi.”
Iya Sindhu menyadari itu. Dia sedang mengerjakan konsep pengembangan masyarakat miskin sekitar Gasibu.
Ketika mengikuti kuliah ada tugas-tugas yang membuat dia merasa bodoh. Sehingga ia sempat kehilangan rasa percaya dirinya. Dia yang dulu di SMA termasuk anak pintar , begitu kuliah dia merasa bukan siapa-siapa. Di atas langit masih ada langit dia rasakan betul saat ini. Dia belajar hal penting dalam hidup : rendah hati. Itulah pelajaran hidup terbesar sejauh ini yang justru dia dapat dari kampus ternama itu. Kali ini dengan kesulitan yang lebih tinggi Sindhu bertekad tidak boleh jatuh lagi. Hal-hal rumit nggak bisa ia ceritakan kepada Sumi. Tapi Sumi berperan besar sebagai model orang yang tahan banting.
Pembimbingnya adalah seorang dosen yang punya kepedulian tinggi pada pengembangan masyarakat bawah.
Anaknya juga kuliah di itebe, seangkatan dengan Sindhu tapi beda Jurusan. Sindhu pernah diajak mroyek sama dosennya untuk pengembangan masyarakat di daerah Bajawa, Flores NTT.
Di sana dia melihat bagaimana masyarakat masih jauh tertinggal dibanding masyarakat di pulau Jawa.
Tetapi mereka tetap bertahan hidup dalam kesulitan. Sindhu salut melihat kehidupan masyarakat di sana yang masih tinggi menjunjung tradisinya.
Hidup menyatu dengan alam dan rukun antar sesama. Ini yang mginspirasi dirinya untuk pulang kampung setelah lulus nanti. Bayangannya adalah mengembangkan pertanian organik atau mengembangkan wisata di Cokro Tulung.
Meski dia arsitek tapi minat pertanian yang menurun dari bapaknya juga tinggi.
Bersambung #13
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel