Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 08 Maret 2021

Pengakuan Sumiati #14

Cerita bersambung

Sumiati nekat, sejenak melupakan gengsi. Dia rindu sekali sama Sindhu. Ia akan main ke Bandung. Ada adik simboknya yang tinggal di Bandung. Cerita mboknya, buliknya bernama  Mujinah tinggal di sekitar pasar Simpang Dago. Buliknya itu jualan bumbu dapur di Pasar Simpang. Sumi lama tidak pernah bertemu.

Sejauh ini hanya cerita simboknya saja yang mengingatkan dia akan mbok ciliknya itu. Sumi beralasan main ke buliknya padahal rindunya ke Sindhu.
Meski sedikit takut, dia paksakan demi ketemu Sindhu.Berbekal alamat dan foto buliknya, dia berangkat naik Bus Kramat Djati dari terminal Klaten. Terminal lama di dekat SGO Klaten.


Sumi naik bis dari Delanggu, lalu turun di terminal Klaten.
Setelah semalam naik bis, sampailah dia di pool bis Kramat Djati di Dago dekat perigaan ke arah jalan Ganesha..

Pagi-pagi dia turun dari bis dalam dinginnya udara Bandung. Pertama kali Sumi ke Bandung. Tidak pernah merasakan dia udara sedingin itu.
Bertanya dia sebentar ke petugas di pool bis itu.

“Badhe kamana teh?”
“Pasar Simpang Dago..” jawab Sumi sedikit menahan senyum karena agak aneh mendengar logat Sunda.
“oo naik angkot ka Dago.”
Dia menunggu sebentar. Lalu mencegat angkot jurusan Dago ke arah atas.

Beberapa menit turunlah dia di simpang Dago. Ketika hari mulai  sedikit terang dia mencari kios tempat buliknya jualan.
Lik Mujinah nama yang dia ingat-ingat.
Bertanya sana sini, akhirnya dia menemukan buliknya yang buka lapak di pasar itu.

“Lik Mujinah nggih?”
“Siapa kamu nak?”
“Sumi. Putrane mbok Kartiyem.”
“Oalah nduk...”
 Lik Mujinah merangkul sumi penuh kehangatan.
“Kok ayu men kowe dhuk...kene-kene...” suara logat jawa Mujinah yang mulai tercampur logat Sunda.

Sejenak suasana kaku. Keduanya diam.
“Piye kabar simbokmu?”
“Sae bulik. Sekarang njaga toko sama bapak..”
“Wah punya toko ya?”
“Iya toko ijo di pinggir pasar Cokro.”
“Wah untung kamu nduk.Jual apa saja?”
“Wah apa saja ada. Termasuk toko bahan bangunan.”
“Walah elok tenan ya nduk. Sudah lama aku nggak pulang ke desa.”

Sumi tahu buliknya tidak bernasib baik. Jualan bumbu dapur seadanya di pasar itu.
Mungkin hanya cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Sumi disuruh istirahat di rumah buliknya di sekitar pasar itu. Kawasan yang padat.

Rumah buliknya kecil berhimpitan dengan rumah lain.

Banyak kos-kosan mahasiswa di situ.
“Apa ada rencana mau kemana nduk?” tanya Mujinah sesudah Sumi beristirahat.
“Anu bulik..aku mau ketemu temanku.”
“Siapa? Kok punya teman di sini?”
“Teman dari desa kok bulik. Dia kuliah di itebe lik.”
“wah kok bisa kamu punya teman di itebe.”
“Iya dulu adik kelas smp.”
Buliknya semangat begitu mendengar ponakannya punya teman mahasiswa itebe.
“Lha rumahnya dimana  temanmu itu?”
“Anu kos. Kos di sik...sik...”
Sumi membuka catatan dari tasnya.
“Pelesiran bulik...”
“Oh gampang. Kamu jalan sebentar ke situ. Nanti ada angkot jurusan Cicaheum. Nanti turun di Pelesiran. Terus kamu jalan masuk. Nanti biar di antar adikmu, Wiwik.”

Siang keduanya jalan menuju jalan Siliwangi.
Agak jauh dua ratus meter dari Simpang dago. Tapi udara sejuk tidak membuat keringatan.

“Sini mbak. Kita tunggu di sini."

Nggak lama munculah angkot warna hijau.Angkot Cicaheum-Ledeng muncul
“Caheum..Caheum!!!”
terdengar suara kernetnya menawarkan trayek.

Sumi tertawa dalam hati. Bagi dia ucapan Caheumnya memang menggelikan di telinganya.
“Kenapa mbak ketawa, lucu ya?”
“Nggak kok dik. Lucu saja dengar suara kernetnya.”

Mereka segera naik. Angkot pun meluncur menuju jalan Tamansari. Tidak lama sampailah di daerah Pelesiran.
Sumi dan Wiwik mencari alamat yang dituju.
Mereka berjalan kaki mengamati kanan kiri. Sampailah pada sebuah rumah, cocok dengan alamat yang dicatat Sumi.
Nggak begitu bagus. Ya di situ Sindhu mengontrak rumah dengan beberapa temannya.

“Punten...” suara Wiwik sambil mengetk pintu.
Segera ada yang buka pintu.
“Lho mbak Sumi....kok njanur gunung...?!” suara Sindhu surprise sambil menjabat erat tangan Sumi.
“Iya mas...maaf ngagetin..” suara Sumi renyah.
“ini kenalkan adik sepupuku”.

Sindhu pun berkenalan dengan Wiwik. Dua anak perempuan sepupu tapi kontras.
Wiwik berkulit coklat dan mata lebar. Sementara Sumi putih dan agak sipit matanya.

“Wah saya gugup ini kedatangan wong ayu..nggak ngasih tahu dulu “
Sumi tersipu dengan pujian Sindhu yang tidak langsung itu.
“Maaf mas nggak bawa apa-apa ini. Cuma keripik belut .”
“ooo ini sudah lebih-lebih...sudah orangnya datang ditambah keripik kesukaanku.”
“lah kok banyak banget kesukaannya?” canda Sumi.
“haha...apa-apa mau ya. Eh sudah makan belum?”
Wiwik dan Sumi berpandangan.
“Ayo makan dulu...” ajak Sindhu.

Maka Sindhu segera masuk ganti kaos. Teman kosnya sempat lihat Sumi yang duduk di ruang depan.
“Siapa Sin? Boleh juga tu....” tanya temannya dengan gerakan mata penuh arti.
“Hmm...calon pendamping wisuda....”
“Walah skripsi saja belum beres kok sudah cari PW..”
“Lah ini penyemangat.”
“Kok mau dia sama kamu Sin?”
“Eee kurang ngajar...gini-gini urusan cewek nggak kalah sama kamu...”

Temannya pun berlalu. Sumi yang sekilas mendengar percakapan itu ketawa sendri.
Lucu dengar percakapan para pria yang nampaknya penuh humor soal wanita.

Lalu Sindhu mengajak mereka pergi ke warung seberang rumah. Warung jujugan anak-anak kos.
Penjualnya ibu-ibu cantik turunan Jawa dari Jogja.
“Sapa kuwi mas?” sapa bu Narti pemilik warung.
“oo kenalkan bu .Ini adik saya bu ..”..tangannya Sindhu menunjuk ke Sumi dan Wiwik.
“Adik apa adik hayo?” sahut bu Narti dengan senyuman.
“Ya adik yang lebih tua bu”,  jawab Sindhu sambil senyum-senyum.

Sumi tersipu. Memang dia setahun lebih tua dari Sindhu.
“Mas..adikmu tua-tua tapi cantik..ayu banget “ bisik bu Narti.

Sumi mendengar pujian pelan itu dengan rasa yang makin melegakan. Sumi tidak minder di depan Sindhu.
Mereka lalu makan gaya mahasiswa, murah meriah.
Sumi tahu Sindhu hanya seorang mahasiswa, tidak mungkin mengajaknya makan di tempat yang mahal.
Tapi dia suka pria yang apa adanya, tidak menutupi keadaan, tidak perlu gengsi.

“Aku balik dulu ya. Biar mbak Sumi nanti diantar mas Sindhu,” ujar Wiwik.
“Lho ada cara to dik?”
“Nggak sih, takut mengganggu" kata Wiwik sambil senyum.
“Bolehlah nanti mbak Sumi aku yang antar dik” sahut Sindhu.

Sindhu sungguh nggak punya ide untuk mengajak Sumi kemana.
Kepikir mengajak ke Kebun Binatang. Tapi dia pikir lucu orang sudah tua diajak ke kebun binatang.
Tapi memang hanya itu yang dekat dari kosnya. Ya akhirnya dia ajak Sumi main ke kampus.
Biasa anak itebe bangga sama kampusnya sendiri.

Mereka jalan kaki menyusuri jalan Ganesha yang penuh anak-anak naik kuda di depan asrama itebe.
“Ya gini kalau hari Minggu banyak orang ke sini. Ke kebun binatang lalu naik kuda di sekitar sini,” cerita Sindhu ke Sumi.
Sumi hanya mengangguk-angguk saja.
Lalu mereka masuk kampus. Tangan Sumi digandeng Sindhu penuh kehangatan.

“Itu bangunan khas Sunda peninggalan Belanda.”
“Kok seperti bangunan Minang mas?”
“Ya mirip..bentuk atapnya lancip menjulur ke tepi.Aula Barat da Aula Timur.” lanjut Sindhu menjelaskan.
“Itu gedung untuk pertemuan yang cukup besar. Kalau ada kuliah tamu atau seminar.”

Sumi kurang paham yang diomongkan Sindhu. Tapi dia nggak ingin kelihatan bodoh.
Dia belajar dari yang diomongkan Sindhu.

“Kalau gedung untuk wisuda di mana?” Sumi bertanya asal, teringat kata-kata Sindhu di kos-kosan tadi.

Sindhu merasa tersindir dengan pertanyaan polos Sumi. Pertanyaan yang mengingatkan dia untuk segara wisuda. Ia meski sedikit kaget tapi berterima kasih dengan pertanyaan itu.

"Di sana" tangan Sindhu menunjuk ke arah utara ada Gedung GSG  dimana di belakangnya  nampak puncak Tangkuban Perahu dari pintu masuk kampus Ganesha.
“Wow cantik ya. Di belakang gedung itu ada gunung. Gunung apa itu mas?”
“Tangkuban Perahu..”
“Wah Belanda hebat ya merancang kampus ini. Pintu masuk langsung menatap Tangkuban Perahu,” sahut Sumi mencoba mengimbangi pengetahuan Sindhu.
“Iya Belanda punya selera seni. Nggak seperti kita, sukanya bangunan tinggi besar, tambal sana tambal sini. Miskin seni.”
Sumi lalu ingat gedung-gedung peninggalan Belanda di sekitar Klaten dan Solo yang megah dan indah seperti Loji Gandrung.

“Itu gedung arsitek. Tempatku sering kuliah dan mengerjakan tugas.”
“oo...” sahut Sumi singkat.

Lalu mereka menuju gedung Sipil sambil tangan Sumi masih digandeng Sindhu.
Sumi merasa nyaman digandeng Sindhu. Tanpa canggung. Hal yang belum pernah dia rasakan hingga umur menjelang 27 tahun.

Mereka menuju ke ruang kelas tempat kuliah Bung Karno dulu.
Bangunan tua Belanda yang sudah ada sejak 1920.

“Ini ruang kelas dimana dulu Bung Karno sering kuliah. Ini kursi yang biasa diduduki Bung Karno.”
“Wow masih dijaga ya...”

Sumi lagi-lagi berusaha mengimbangi Sindhu. Memang benar hal-hal kecil dari masa lalu yang punya nilai sejarah perlu dilestarikan.
Sumi ingat pernah membaca buku kiriman Sindhu tentang Kisah Bung Karno yang jatuh cinta pada Inggit yang cantik dan lebih tua.
Tapi dia diam-diam takut nasibnya akan sama dengan bu Inggit:
setelah Bung Karno sukses lalu dicampakkan.

Hmmm Sumi segera melupakan bayangan itu.
Dia kini sedang menikmati keindahan, jalan dengan orang yang dicintainya, mendengarkan dan melihat hal-hal yang jauh dari kegiatan sehari-harinya.
Dulu dia membaca surat Sindhu tanpa pernah membayangkan akan bisa melihat kampus tempat Sindhu kuliah. Tapi kini semua terjadi. Seperti mimpi.

==========

Mereka berdua melanjutkan jalan kaki berkeliling kampus. Sumi cukup surprise banyak cewek-cewek ITB yang cantik-cantik dengan pakaian modis. Dia berpikir kenapa Sindhu tidak memilih satu diantara mereka. Atau juga mojang priangan yang cantik yang biasa ditemui di setiap sudut kota. Atau Sindu nggak laku sehingga bergerilya di kampung halaman?

Sejak tadi Sumi mengamati betapa banyak wanita cantik di kota kembang itu. Sindhu tidak pernah cerita ke Sumi soal Silvy adik kelasnya yang dulu sempat dekat.
Kalau Sumi melihat Silvy pasti juga akan heran kenapa Sindhu mau sama Sumi.
Mereka melintasi lapangan bola di tengah kampus. Lalu melintasi pertigaan antara student center timur dan barat.

“Di sini kalau wisuda selalu terjadi perkelahian antara mahasiswa Sipil dan Geologi.”
“Wah malu-maluin mas mahasiswa kok berantem.”
“Berantemnya sih untuk ramai-ramaian saja. Tradisi. Adu kejantanan.”
“Maksudnya?”
“Ya bergaya saja pas banyak tamu. Berantemnya juga ramai-ramai. Bukan satu lawan satu.Nanti juga kalau ketemu lagi juga sudah biasa.”
“oo..seru juga ya..”
“Biasa cowok itebe beraninya kalau keroyokan..”
“Lha mas Sindhu kok berani sendiri?”
“Haha ini beda...sudah ada dalam genggaman. Jadi berani...”
“Ee enak saja...”
Mereka menikmati obrolan sambil jalan menuju pintu depan kampus.

Selepas berkeliling sebagian kampus, mereka menuju ke Pasar Simpang Dago.
Sumi ingin mengenalkan Sindhu dengan mbok ciliknya. Mereka berjalan ke Dago untuk mencegat angkot.
Keduanya nampak menikmati kebahagiaan berduaan. Sekali-sekali tangan Sumi direngkuh Sindhu untuk digandeng.

Sindhu lupa di jalan yang dia lewati adalah kawasan mesjid yang dia sering sholat di situ.
Tapi dia justru tenang saja. Menggandeng cewek di tempat umum justru aman. Yang bahaya adalah di tempat sepi bermesraan.

“Itu mesjid Salman. Aku sempat mengajar anak-anak SMP dan SMA di situ.”
“Ngajar apa mas? Ngaji?”
“Haha..ngaji aku nggak bisa. Ngajar Matematika.”
“oo kirain guru ngaji.”
“Wong abangan kok guru ngaji.”
“Nggak ada yang nyantol murid-muridnya?”
“Hmmm..banyak yang minat tapi aku mikir buat apa pacaran sama anak SMA. Mending sama mbak Sumi...” canda Sindhu sambil nyubit pipi Sumi.
“Sssttt dilihat orang...” kata Sumi pipinya memerah dengan perasaan tersanjung.
“Justru aman kalau dilihat orang...”
Sindhu menjawab seenaknya saja.

Sumi dan Sindhu menuju angkot. Sumi merasakan sesuatu yang lama dia rindukan. Dia merasa aman duduk di samping Sindhu.
Sindhu pun tidak ada niat menyakiti atau memperlakukan Sumi dengan tidak hormat.

“oo ini nak Sindhu...” tanya Lik Mujinah.
“Nggih..dalem Sindhu..”
“wah ternyata ada juga orang Karanglo kuliah di Itebe ya..”
“ya kebetulan bu, ” jawab Sindhu merendah.

Sumi ingin ijin ke buliknya untuk tidur di kos Sindhu. Itu bukan hal yang wajar tapi Sumi nekat.
Karena rumah buliknya juga sempit. Di sana ada pakliknya, ada adik sepupunya.

“Ya tapi kamu bisa menjaga diri to nduk?” peringatan Mujinah untuk ponakannya itu.
“nggih bulik...”
“Awas ya diingat-ingat.”

Sumi sudah tahu maksud buliknya. Dia juga bukan anak ingusan. Dia pernah berumah tangga. Dia tahu bagaimana menjaga diri.
Sumi ingin mengetes bagaimana Sindhu memperlakukan perempuan. Dia nekat akan menginap di kos Sindhu. Dia sudah siap jika Sindhu macam-macam maka dia tidak akan takut-takut menendangnya.
Malam itu Sumi sempat diajak Sindhu menikmati wedang bajigur di dekat kosnya di Pelesiran.

“Wah mantap mas...hangat segar “ kata Sumi pertama kali mnikmati bajigur yang mirip seperti kuah kolak.
“Aku sering menikmati bajigur atau bandrek kalau malam. “

Mereka berdua asyik menikmati bajigur dan merasakan dinginnya udara malam Bandung.

“Apa nanti kalau sudah lulus mau kembali ke desa mas?”
“Rencananya begitu. Mungkin jadi petani atau mengembangkan wisata di Cokro.”

Sumi lagi-lagi merasakan kelegaan. Harapannya sepertinya akan terkabul. Tapi Sindhu belu punya pengalaman bekerja sebagai wiraswasta. Ide-ide besar perlu dukungan agar tidak mudah nglokro jika gagal atau ada hambatan. Sumi siap untuk memberikan dukungan.
Malam itu Sumi tidur di kamar Sindhu yang hanya cukup untuk satu orang dengan kasur tipis yang memprihatinkan.

“Kamu tidur sini ya..” kata Sindhu memberi tahu sebelum menutup pintu kamar yang hanya terbuat dari triplek.

Kamar itu bagian dari kamar tamu yang disekat jadi kamar. Kamar berukuran 3 x 2 meter persegi.
Pikir Sindhu dia tinggal tulis skripsi buat apa nyewa kamar bagus-bagus.
Sudah lama dia membebani orang tuanya, maka dia ingin menghemat biaya. Itu pun dia bayar dari uang honor proyek dosennya.
Dia juga menerima beasiswa dari Astra yang cukup untuk hidup di Bandung.

“Lho kamu dimana mas?”
“Di sebelahmu ..”
“heit belum boleh...” sahut Sumi manja.
“Jadi nanti boleh ya?”
“Ya kalau sudah resmi kamu nikahi aku mas...” jawab Sumi tersipu lagi.

Sindhu akhirnya tidur di atas kursi panjang di ruang depan.
Sumi baru tahu kehidupan anak kos yang ternyata penuh keprihatinan.
Sindhu tidak berani mengganggu atau bersikap nakal ke Sumi.
Ia ingin membuktikan bahwa dirinya laki-laki baik-baik.
Dia sempat mencium Sumi sebelum tidur. Itu saja. Tidak lebih. Meski Sumi pernah punya suami tapi ciuman Sindhu terasa beda.
Ciuman dari seseorang yang dicintai terasa beda sensasinya.
Sumi merasakan sensasi luar biasa ketika ciuman Sindhu mendarat di pipinya.
Pikirannya melayang-layang. Seandainya suatu saat Sindhu akan melamarnya dan menikahinya.

Sumi masih khawatir apakah anggota keluarga Sindhu akan setuju jika Sindhu menikah dengan janda yang hanya lulusan SMP.
Kakak dan adik Sindhu belum tentu semua bersikap sama seperti ibunya. Bisa saja diantara mereka tidak setuju.

“Met tidur ya...”
Kata Sindhu sambil melepas genggaman tangannya ke Sumi sebelum dia menuju ruang depan.
Sumi serba salah, mau tapi malu tangannya digenggam Sindhu.

Malam itu Sumi merasakan perlakukan tidak senonoh dari Sindhu. Ternyata Sindhu sama saja seperti Dipo. Di tengah malam ketika ia sedang nyenyak tidur Sindhu datang. Menciumi wajahnya lalu makin berani tangannya menggerayangi tubuh Sumi. Lalu Sindhu memaksa melucuti pakaian Sumi.
Kemudian dengan tenaganya yang seperti kesetanan memaksa Sumi. Sindhu melakukan apa yang dulu Dipo lakukan kepada Sumi. Sumi tidak berdaya.
Sumi sangat marah, menyesal. Ia mencintai Sindhu tapi dia tidak mau Sindhu memperlakukan dia seperti itu. Dia menangis.

“Kurang ajar kamu mas..sama saja kamu dengan Dipo “
Sindhu diam saja. Tidak menjawab atau menepis omongan Sumi.

Sumi lalu menangis sesenggukan. Bejat juga mas Sindhu yang ia puja-puja.  Dia menyesali diri kenapa harus nekat datang ke Bandung.
Pertemuan yang mestinya indah dengan orang yang ia cintai dan ia percaya ternyata harus berakhir dengan duka.
Terbayang olehnya wajah buliknya yang sudah mewanti-wanti. Lalu wajah Sarmo yang dulu selalu membela dia jika diejek sebagai Cino gosong.
Terbayang pula wajah Bimo pegawai pengadilan yang pernah akan melamarnya.
Kenapa hal-hal yang sudah di depan mata dia ingkari malah dia mengejar Sindhu sampai Bandung.
Dia telah mengorbankan gengsinya, ternyata justru petaka yang lebih berat yang ia dapat.

Bersambung #15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER