Cerita bersambung
"Sum..mbak Sum...ngapain nangis?"
"Ha ? apa? Aku dimana?"
"Di kosku mbak"
"Ya ampun...Mas Sindhu. Hmm...", Sumi sambil membetulkan selimutnya yang tersingkap.
Sindhu mendesir darah mudanya menyaksikan itu.
Seketika dia lega. Mas Sindhu membangunkannya dari mimpi buruk yang menyeramkan.
"Ada apa?"
"Ya ampun aku.mimpi...kamu.memperkosa aku mas...."
"Ha? Waduh itu mungkin keinginan terpendammu Mba Sum." sahut Sindhu sambil ketawa.
Sumi memukuli punggung Sindhu, kesal gemes.
"ih siapa yang mau diperkosa..."
"Mau diapakan hayo?" lanjut Sindhu.
"Ah...mbuh...." Sumi makin gemes.
"Sudah tidur lagi," lanjut Sindhu sambil menutup pintu.
Sindhu kembali ke ruang depan. Sumi lega. Aman. Sindhu tidak macam-macam.
Padahal dia mengharap sedikit dekapan di malam dingin itu. Sindhu ternyata nggak bereaksi seperti itu.
Ia membetulkan lagi selimutnya. Sindhu memang dingin sikapnya sedingin udara Bandung.
Sumi kembali tidur.
***
Sore nanti Sumi pulang ke Klaten. Sindhu mengajak Sumi makan makanan khas Bandung yang tarif mahasiswa.
Dia ajak Sumi makan colenak dan juga baso.
Baso gaya Sunda tapi yang jualan orang Wonogiri.
Baso dengan selada dan kecambang, segar sekali. Mereka menikmatinya di jalan Gelap Nyawang seberang Asrama C Itebe.
Meski makanan pinggir jalan, bagi Sumi, rasanya sudah cukup enak. Bukan makanannya, tapi dengan siapa dia makan, itu yang penting.
"Gimana enak kan basonya?"
"Iya enak.enak banget..soalnya sama mas Sindhu makannya. Ditraktir lagi..."
"Apa mbak Sumi mau nraktir?"
"Iyalah, aku kan sudah punya penghadilan. Tapi masak kamu nggak malu mas?"
"Ah anak itebe mah nggak tahu malu. Ada rejeki embat aja..."
"Haha gitu ya. Asal aku nggak diembat."
"Nanti kalau saatnya tiba..kuembat kowe mbak.."
"Ayo kalau berani."
Mereka asik sambil ketawa-ketawa. Obrolan yang klop. Itulah dasar hubungan dua manusia yang paling penting: komunikasi yang klop.
Sumi nggak pernah merasakan.kehangatan begitu. Dia sangat menikmati. Dia lupa harus mengurus tokonya.
Maunya dia mendampingi Sindhu biar cepat lulus.
***
Sore dia menuju pool bis di Dago diantar Sindhu.
Kembali dia ke Klaten dengan hati berbunga. Tapi juga rasa kehilangan. Senang tapi sedih.
Sindhu lebih tenang , dia suka didatangi Sumi, semangatnya muncul kembali.
Dia berjanji untuk segera membereskan skripsinya.
"Da...met jalan mbak...".
"Panggil aku dik aja, biar berasa muda.."
"oo...iya Dik Sum.."
"Met belajar Mas..."
"Panggil aku dik aja biar berasa muda.."
"Ah anak itebe kok nggak kreatif, ikut-ikutan aja."
"Justru itu kreatifnya."
Sindhu nggak mau kalah.
Mereka pun berpisah. Hari menjelang malam, adzan maghrib berlalu.
Sindhu sempat sholat dulu di mesjid Salman.
Sholatnya nggak khusuk. Bayangan Sumi selalu mengikuti. Tetingat tadi malam dia mencium pipi Sumi penuh cinta, penuh kehangatan.
Kapan waktunya tiba, gitu pikir Sindhu sambil jalan sendirian menuju tempat kosnya.
Kebersamaan dua hari cukup menghibur bagi Sindhu.
Di dalam bis Sumi pun kriyap kriyip susah tidur. Indahnya suasana ketika tangannya digenggam oleh Sindhu, Sumi masih membayangkan.
Hangatnya kecupan Sindhu di pipinya serasa belum hilang.
Kapan mas Sindhu melamarku, harap Sumi dalam hati. Dia gelisah duduk di kursi bis menuju Klaten.
***
Kabar kepergian Sumi ke Bandung ketemu Sindhu menjadi berita.
Terdengar juga hingga ke keluarga Sindhu.
Ibunya menganggap hal yang wajar Sumi ke buliknya dan mampir ke kos Sindhu.
Tapi kakak Sindhu dan adiknya mulai bereaksi.
"Ya mbok dipikir dulu. Cari yang sepadanlah."
kata kakak Sindu paling besar.
"Iya masak lulusan itebe mau nikah sama lulusan smp. Kaya nggak ono cewek liya." adik Sindhu menambahkan.
"Katanya dulu ada cewek namanya Silvy naksir mas Sindhu." adik perempuan Sindhu mencoba membuka info.
"lha mbok itu saja. Tapi kan itu kejadian sebelum Sindhu nyantri?" sahut kakaknya lagi.
"Kalau aku sih yang penting yang menjalani cocok. Cinta nggak bisa dipaksa." sahut adik Sindhu yang lain.
"Ibu juga gitu. Bapakmu dulu kawin dijodohkan, nggak cocok, lalu cerai. Mbahmu juga gitu."
"Lho nggih ta bu? " sahut kakak Sindhu tertua.
"Iya tapi bapakmu nggak mau bercerita ke anak-anaknya. Kalau prinsip bapakmu, nggak mau maksa anak dalam hal pernikahan. Yang penting seiman."
"Nah cocok itu ", sahut adik Sindhu yang pro.
"Mbahmu juga gitu. Jadi ibu masih kecil mbahmu cerai, karena dulu dijodohkan." terang bu Padmo.
"Soal tingkat pendidikan, memang penting. Tapi yang lebih penting lagi cara berpikir. Kalau cara berpikirnya bagus, tinggal meluaskan wawasan." sahut bu Padmo..
Anak-anaknya heran bu Padmo punya cara yang cerdas mengungkapkan pikirannya.
Sementara mereka belum sepakat soal hubungan Sindhu Sumi.
"Kalian belum pernah ketemu Sumi, sudah pada mencela." lanjut adik Sindhu yang pernah lihat Sumi ketika mengantar bu Padmo.
Ternyata hubungan asmara tidak cuma soal hubungan 2 insan. Keluarga besar ikut campur menentukan. Rumit.
Kasihan Sumi. Nasib cintanya tidak mulus. Terjal jalan mendapatkan cinta sejatinya.
Ibu Sindhu justru takut kalau hubungan ini dihalangi,
Sindhu bisa kembali mencari ketenangan ke agama lagi.
Menakutkan.
Maka Bu Padmo mewanti-wanti anak-anaknya dalam urusan ini.
Jangan sampai suara-suara tadi didengar Sindhu atau Sumi. Jika Sumi mundur, bu Padmo khawatir Sindhu malah nggak mau menikah.
Akan mutung.
Bu Padmo paling paham jiwa dan perasaan Sindhu.
Dan jika ada apa-apa dengan Sindhu, bu Padmolah yang paling merasa sedih.
"Harus ada yang ngomong langsung ke Sindhu. Jangan sampai salah paham. Jangan sampai terkesan mengatur ", pesan bu Padmo.
==========
Sumiati rindu berat sama Sindhu sepulang dari Bandung. Dia sering melamun membayangkan ciuman Sindhu.
"Oh indahnya..." bisiknya.
Hari -hari terasa panjang menunggu kapan Sindhu lulus. Ingin dia datang jika Sindhu wisuda.
Benar Sumi sudah punya kekayaan. Kini dia mendaftar kejar paket C. Impian lamanya yang tertunda. Dia nggak ingin dipandang rendah nanti oleh kakak adik Sindhu. Penting juga pembuktian lewat ijazah. Ia mendaftar dan mengikuti kejar paket C. Kejar paket ini memberikan hiburan bagi Sumi. Tidak seberat yang ia bayangkan. Ia justru menikmati.
Ia ambil paket IPA. Nggak mau dia dibilang asal lulus setara SMA.
Hitung2an dan IPA dia suka.
Dua kali seminggu dia ikut pembelajaran. Dasar cerdas, semua diikuti dengan lancar. Selingan dari rutinitas mengurus toko.
Padahal bagi Sindhu nggak masalah Sumi mau lulus SMP atau SMA. Sindhu tahu Sumi nggak bodoh.
***
Sarmo dikabarkan akan melangsungkan pernikahan dengan Sunarni di Curup. Sumi menerima kabar dari tetangganya. Meski sudah tidak seperti dulu, ada yang hilang juga buat Sumi.
Tapi tidak disangka tiga hari menjelang pernikahan Sumi terima telegram dari Sarmo. Sedih sumi membacanya.
"Sum kalau kamu mau menerimaku, pernikahan akan kubatalkan".
Sumi jelas sedih. Sarmo sebegitu mencintainya. Tapi Sumi tidak lagi. Sumi sudah kadung cinta sama Sindhu.
Cinta Sumi juga tidak bertepuk sebelah tangan.
Sumi menangis nelongso mengingat keakrabannya dengan Sarmo dulu.
"Semoga kamu bahagia kang Sarmo."
Begitu balasan Sumi untuk Sarmo.
Tetangganya ribut.
"Jadi Sarmo nggak sido karo Sumi ya?"
"Nggak. Dia pingin membahagiakan orang tuanya."
"Semoga dia juga bahagia."
"O ya. Sarmo orang baik. Dia tidak lupa jasa pakliknya."
"Sumi gimana ya?"
"Sumi kan dekat sama anaknya bu Padmo Karanglo. Mahasiswa lho pacarnya."
"Wah bojone nanti diajari sama Sumi..."
"Diajari apa? Wah kamu mikirnya ngeres..."
"Diajari hidup berumahtanggalah.."
Mereka pun tertawa lepas.
***
Sindhu suatu saat mengatakan pada Sumi
"Aku nggak akan nikah, jika keluargaku melarangku menikah sama kamu mbak."
Sumi tersanjung sekaligus sedih. Sumi merasakan begitu cintanya Sindhu dengannya. Tapi...jika gagal apakah benar Sindhu tidak akan menikah? Sumi rela kok jika saja Sindhu dilarang keluarganya, Sindhu menikah dengan orang lain.
Jangan menghukum diri seperti itu. Ketika Sindhu bilang begitu, Sumi meneteskan air mata haru. Semoga semua lancar, begitu doa Sumi.
***
Tuan Shanghai secara mengejutkan mendatangi Sumi dan Kartiyem. Setelah tanya kiri kanan, Shanghai menuju toko ijo.
"Oh Kartiyem kamu di sini?"
"iya tuan..kok bisa tahu?" kartiyem kaget.
Sejenak dia melihat kiri kanan.
"Maafkan aku ya Kar.." suara Shanghai bergetar.
Kartiyem diam tidak percaya.
"Ini Sumi, anak saya tuan"
Shanghai bergetar hatinya melihat kemiripan dengan dirinya. Ada rasa bersalah. Iya Sumi seperti gadis yang dia lihat beberapa tahun silam di stanplat bis Delanggu. Ya itu Sumi.
"Oh...kamu sudah dewasa.." sahut Shanghai mengusap pipi Sumi.
Ingin dia mendekap anak kandungnya itu.
"Maafkan papa ya nduk..."
Sumi juga agak kaget atas kejutan ini.
"Aku akan memberikan salah satu rumah di Delanggu untuk kamu Kar."
"Benar itu tuan? " Sahut Sumi kegirangan.
"Iya. Itu sebagai wujud tanggungjawabku."
Kartiyem terharu dengan langkah itu. Sumi pun lagi-lagi menangis haru.
Dulu dia merasakan beratnya hidup. Kini keberkahan menyelimuti dia.
"Tuan, nanti saya ingin mengundang dan meminta Anda jadi waliku."
"Oo jangan panggil aku tuan nduk. Aku papamu", jawab Shanghai pelan.
Shanghai ingin memeluk Sumi. Tapi ada jarak. Dia amati Sumi.
Sumi canggung mendengar jawaban itu.
Butuh waktu beberapa saat. Sumi memberanikan diri bicara.
"Iya pa, kuharap papa bisa datang."
"Iya pasti. Andi Wijaya itu anakku..." lanjut Shanghai.
"Oo terima kasih pa, dia membantuku banyak di pengadilan."
"Iya papa juga tahu."
"Tapi apa pemberian ini sudah sepengetahuan keluarga?" tanya Kartiyem.
"Sudah..sudah. Dua anakku setuju. Malah Andi yang menyarankan. Meskipun belum seberapa dibandingkan penderitaanmu Kar."
"Oh terima kasih tuan.." lanjut Kartiyem.
Sumi deg-degan melihat bapak kandungnya. Ada rasa benci tapi ditepisnya.
Bapaknya orang baik.
Shanghai segera pulang. Sudah nampak tua, dan pelan langkahnya.
Sebelum pulang dia memandangi Sumi. Darah daging yang nggak pernah diurusnya tapi sudah tumbuh dewasa.
Shanghai melihat Sumi hidup berkecukupan.
***
Sekian bulan berlalu. Sindhu menghadapi ujian skripsinya.
Tidak mudah. Ujian awalnya gagal. Nilainya kurang untuk lulus. Sindhu sempat down. Dia tidak meminta restu ibunya.
Mau bikin kejutan. Sayang justru dia sendiri terkejut menerima kegagalan.Tapi dia bertekad untuk segera memperbaiki tugas akhirnya.
Sumi nggak tahu keruwetan skripsi. Dia hanya berdoa saja. Dua minggu berlalu Sindhu maju sidang lagi. Dia persiapkan lebih baik.
Satu dosen pembimbing dan dua penguji duduk di kursi penguji di ruang sidang. Beberapa teman menyaksikan. Sindhu presentasi. Sedikit grogi.
Kira-kira 15 menit selesai presentasi.
Kali ini lancar sidangnya. Semua pertanyaan dosen penguji bisa dijawab. Beda dengan 2 minggu lalu.
Teman-temannya mengucapkan selamat. Tinggal sedikit teman seangkatan yang belum lulus.
Bahkan Silvy sudah lulus duluan.
"Selamat Sindhu" kata pembimbingnya, Prof Hasan Purbo. Ayah dari Onno Purbo.
"Terima kasih pak".
"Pulang ke desa, bangun daerahmu" pesan prof Hasan.
"Siap pak", jawab Sindhu mantap.
"Selamat Sin.." kata Asep teman dia melek2 di studio.
Sindhu segera mengabari keluarganya.
Bu Padmo lega. Beban biaya yang berat sudah berkurang satu. dia berharap Sindhu bisa bahagia dengan kehidupannya termasuk cintanya.
"Kulo mboten rabi yen dilarang kalih Sumi." begitu ucapan Sindhu ke ibunya.
"Kamu sudah dewasa. Ibu merestui yang jadi pilihanmu."
Bu Padmo menyampaikan ucapan Sindhu ke anak-anaknya yang lain. Kakak adik Sindhu melihat sinyal keras Sindhu. Dia nggak main-main.
Kakak dan adik Sindhu tahu sifat kerasnya.
Jadi lebih baik membiarkan Sindhu dengan pilihannya.
Kakak Sindhu pernah bertanya ke pakdhenya di Solo yang punya ilmu linuwih.
"Ya itu jodohnya Sindhu. Biarkan saja jangan dihalangi. Baik nasibnya." begitu ramalan pakdhenya.
Sindhu tidak ingin wisudanya dihadiri keluarga. Cukup dia saja. Sudah terlalu lama dia kuliah. Bisa lulus sudah untung. Tidak perlu dirayakan. Sumi pun tidak diundang. Padahal Sumi menunggu-nunggu saat itu tiba.
"Kenapa nggak wisuda mas?"
"Wisuda. Tapi aku saja. Yang penting aku lulus."
Memang antik mas Sindhu ini, batin Sumi.
Ya tapi dia memaklumi. Wisuda hanya formalitas. Yang membuktikan lulus ya ijazah.
Sumi lega, Mas Sindhu bisa membuktikan dia tidak gagal dalam studi. Ini melecut dia untuk bisa ujian kejar paket C juga. Dia juga tidak ingin gagal. Sumi menanti-nanti kapan dilamar.
Ia makin rajin merawat diri, pergi ke salon. Hal yang dulu jarang dia lakukan. Seminggu 2x dia juga berenang di kolam Bale Kambang. Dia harus menjaga kebugaran, jangan kalah sama Sindhu.
Bersambung #16
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel