Cerita Bersambung
Dokter Tirto namanya, ia menangani Sumi. Dokter muda ini punya tampang ganteng. Pada pasien lain dia cukup bertanya sekedarnya. Tapi tidak pada Sumi. Perangainya berubah total ketika memeriksa Sumi. Ia yang pelit untuk tersenyumnya jadi berubah. Para perawat yang mendampingi visit dokter Tirto sering heran. Dan ternyata meski jidatnya dijahit, pesona Sumi masih belum hilang.
“Jangan lupa obatnya diminum ya biar cepat kering lukanya. Ini perkembangannya bagus”, kata-kata yang biasa disampaikan perawat, ini dikatakan sendiri oleh dokter Tirto untuk Sumi.
Sumi cukup mengiyakan kata-kata dokter.
“Lukanya jangan kena air dulu ya”, pesan dokter lagi, seakan dia memang sengaja berlama-lama di ruang Sumi.
Dokter ingin Sumi cepat sembuh tapi dia juga menikmati Sumi berada agak lama di rumah sakit itu sehingga tiap hari bisa mengajaknya ngobrol.
“Namanya Sumiati ya?” kata dokter melihat dokumen yang dibawanya.
Ia masih sempat juga mencuri kesempatan untuk tidak cepat pergi.
“Iya dok”, ucap Sumi singkat.
Sumi tergoda juga dengan keramahan dokter itu.
Mana wajahnya bersih tampan. Dalam hal ini Sindhu kalah.
Seandainya bukan dokter, ingin juga Sindhu menegurnya dan menantangnya beradu fisik.
Cemburu berat Sindhu menyaksikan dokter itu agak overakting bersikap pada pasien.
Darah kelelakiannya muncul melihat situasi seperti itu.
Tapi Sindhu sadar ini di rumah sakit, dokter amat berkuasa.
Para perawatpun senyum-senyum melihat dokter Tirto berubah ketika berada pada kamar inap Sumi.
“Mbak Sumi dari Cokro ya? Tempat padusan itu kan”, dokter Tirto masih betah berlama-lama di situ.
“Iya dok. Kok tahu dok?” sahut Sumi mencoba ramah.
Sindhu panas mendengar Sumi sedikit ramah. Matanya melotot ke arah Sumi.
Dia kirimkan sinyal bahwa itu membuat dokter makin lama di situ.
Sumi tidak melihat reaksi Sindhu.
“iya saya dulu waktu SMA sering padusan menjelang bulan puasa. Ramai-ramai sama teman naik motor dari Trucuk ke Cokro,” dokter Tirto merasa dapat pertanyaan bagus dari Sumi.
Perawat membisiki dokter bahwa masih banyak pasien yang harus dia kontrol pagi ini.
“oo iya. Iya..” kata dokter menanggapi peringatan asistennya.
“Semoga cepat pulih mbak..” pesan dokter dengan sunggingan senyum yang tidak biasa sebelum meninggalkan ruangan itu.
Sejenak lalu dokter dan asisten yang mendampingi pergi meninggalkan ruangan Sumi.
“Walah..sok ramah dokter itu,” cepat-cepat Sindhu nyeplos.
“Kan bagus mas..” sahut Sumi.
“Bagus kalau ke nenek-nenek tua! Tidak pada wanita cantik saja,” Sindhu emosi.
“Cemburu ya?’ lanjut Sumi sambil tersenyum meski agak nyeri jahitan di jidatnya tertarik sedikit.
Sindhu salah tingkah.
Mau ngaku cemburu malu tapi bilang tidak..juga bukan hal yang mudah.
“Lain kali nggak usah tanya macem-macem. GR itu dokter,” kata Sindhu agak ketus.
“walah Cuma tanya satu kata saja kok.”
“Ya tapi jawabnya bisa berpuluh-puluh kata. “
Sumi dalam hati merasa senang telah mampu membuat Sindhu cemburu.
Ya artinya Sindhu serius mencintainya.
Coba kalau Sindhu santai-santai saja menghadapi pesaing tangguh.
Selanjutnya Sindhu mengulangi kemesraannya lagi meski hatinya masih dongkol..
“Mau makan sekarang biar cepat minum obat?”
Sumi tersipu.
‘Aduh mas sindhu ini kok perhatian banget’ katanya dalam hati.
“iya mau.” Jawab sumi senang.
Sindhu pun mengambil makanan di nampan jatah dari rumah sakit.
Lalu dengan telaten dia menyendok makanan di piring dan menyuapkannya pada Sumi.
Sumi merasakan kebahagiaan luar biasa.
‘Jika saja mas Sindhu begitu romantis tiap hari’ batin Sumi.
Sumi mulai merasakan makanan lebih enak dari hari sebelumnya.
“Nah minum obat habis ini.” Kata Sindhu.
Selama di rawat di rumah sakit banyak tetangganya menjenguk.
Menjadi kebiasaan penduduk desa kalau ada yang sakit mereka akan ramai-ramai menyewa kendaraan untuk menjenguk ke rumah sakit.
Itu salah satu kebahagiaan penduduk desa, kumpul-kumpul lalu pergi ramai-ramai.
Mereka membawa oleh-oleh untuk Sumi, beberap bungkus buah-buahan.
“Pripun mbak masih sakit?”
“Sudah enak. Tinggal jahitannya.”
“Waduh mau kawin kok ya ada-ada saja halangannya.”
“Iya ya. Apa mesti begini ya ?”
“Bener mbak. Saya dulu mau kawin eh ada teman lama yang tiba-tiba datang mau melamar. Padahal sebelumnya dia nggak pernah bilang apa-apa.”
“Betul itu. Memang godaan menjelang nikah itu berat. Nggak hanya godaan dari lawan jenis tapi juga cobaan kecelakaan seperti mbak Sumi ini.”
“Iya kadang ada juga yang kemalingan.”
“Biasanya memang kita dikasih cobaan sebeum dapat karunia," kata bu haji sebelah rumah Sumi yang ikut menjenguk.
“oo gitu nggih. Jadi memang harus sabar menerima cobaan.”
“Tapi apa bener mbak Sumi ngebut waktu sebelum kejadian itu?”
“Iya memang ngebut. Mau cepat sampai rumah,” jawab Sumi.
“iya cobaan kadang ya kita sendiri yang bikin. Coba kalau nggak ngebut kan belum tentu kecelakaan.” Sahut yang lain mencoba lebih cerdas.
“Tapi untung lho kecelakaan, jadi ditunggui mas Sindhu “, sahut Sisri teman tidur Sumi dulu.
Ibu-ibu bikin ruangan Sumi berubah seperti warung di pasar Cokro. Ribut, ramai.
Tidak seperti di rumah sakit. Mereka begitu bahagia meskipun untuk urusan hidupnya juga belum tentu berkecukupan.
Sumi terhibur dengan kedatangan dan keguyuban tetangganya.
“Yo wis mbak cepat sembuh. Nanti kalau jadi manten biar cantik.” Para tamu mulai berpamitan.
“maturnuwun pun kersa rawuh. Maturnuwun.”
Seminggu Sumi dirawat di RS. Ternyata benar tidak ada luka serius selain luka dikeningnya.
Pada hari ke tujuh dokter Tirto mendatangi Sumi lagi untuk melepas jahitan.
“wah bekas lukanya bagus mbak,” ucap dokter.
“ oh ya terima kasih dokter.”
“hmm tidak mengurangi kecantikan kok bekas jahitannya,” kata-kata dokter mulai menyinggung hal pribadi.
Sumi hanya tersenyum. Sindhu mendengar pujian itu sudah berlebihan.
“Ehem’
Sindhu pura-pura batuk agak keras. Dokter melihat ke arah Sindhu.
Ada sinyal yang kurang bagus ditangkap dokter dari suara Sindhu itu.
Ya hari itu Sumi dibawa pulang.
Di rumah juga harus cukup istirahat.
Selama seminggu Sumi tidak berenang seperti biasa dia lakukan.
Kangen juga dia untuk segera nyemplung di kolam Bale Kambang yang airnya jernih dingin tanpa kaporit.
***
Persiapan pernikahan sudah semakin matang. Undangan sudah disebar. Pernikahan akan dilaksanakan di gedung olahraga di seberang samping toko ijo.
Iya gedung yang jaman sebelumnya, pada tahun 65 sempat menjadi panggung kekejaman anak bangsa terhadap saudaranya sendiri hanya gara-gara perbedaan ideologi.
Ratusan orang kabarnya tiap hari dieksekusi di situ.
Semuanya tidak mendapatkan apa-apa dari kekejaman itu.
Mereka Cuma orang-orang kecil yang hanya ikut-ikutan tersihir omongan para petualang politik yang jualan ideologi yang memberi harapan palsu.
Politikus di Jakarta yang menikmatinya.
Orang di bawah tetap sama seperti sebelumnya.
Tapi memang era sesudah itu situasi keamanan lebih baik. Orang bisa bekerja dengan aman, orang bisa bersekolah dengan lancar, orang bisa beribadah dengan nyaman.
Meski bersuara dibatasi tetapi pada kenyataannya itu justru bagus.
Tidak selamanya kebebasan bicara berefek positif bagi masyarakat jika tidak disertai tanggungjawab yang tinggi atas apa yang diucapkan.
***
Sarmo mendengar rencana pernikahan ini. Dia sendiri sudah menikah dengan adik sepupunya.
Dia berusaha bahagia dengan perkawinannya.
Sumi sudah masa lalu.
Jadi Sarmo berdoa semoga Sumi nanti bahagia, semoga perkawinannya lancar. Sarmo tidak akan pulang untuk menghadiri pernikahan ini.
Kalau pulang mungkin akan membuat sakit hati.
Kenangan lama akan muncul lagi.
Ya sarmo harusnya senang karena Sumi akan menikah dengan orang yang dicintainya.
Sindhu usul kepada Sumi karena orang tua Sumi yang punya acara, agar ada acara kesenian. Tidak cuma pesta manten saja.
Ibunya Sindhu sukanya campursari. Saat ini campursari sedang di tahap awal pertumbuhannya.
Kesenian jawa yang pakem digabung dengan sentuhan musik dhangdut melahirkan jenis musik baru. Ya terdengar lebih rancak. Tapi paklik Sindhu memaksa keroncong saja.
Ya keroncong memang semakin langka. Tapi anak-anak muda pasti kurang greget kalau mendengar musik keroncong. Sindhu sebenarnya suka keroncong, agar keroncong tidak punah.
Tapi ibunya maunya campursari.
“Sum kalau nanggap campusari bagaimana?”
"Wah bagus itu mas. Apalagi ditambah lawak..”
“Ya setuju. Bisa ngundang Kirun atau Marwoto sama Yati Pesek,” sahut Sindhu.
“Kalau aku cocok Kirun, lebih halus dan wasis dalam berbicara, apalagi untuk acara manten.”
Sumi nggak khawatir soal biaya.
Ada dukungan dana dari papanya.
Dia sendiri cukup punya uang untuk pesta manten itu.
Disepakati akan mengundang kelompok campusari dari Boyolali dan juga mengundang bintang tamu Kirun cs dari Madiun.
Mungkin ini akan menjadi perelatan akbar untuk sebuah pesta perkawinan di desa.
Kakak adik Sindhu pun ikut heboh akan menyumbangkan suara nanti.
“Jangan bikin malu lho. Kalau suara pas-pasan nggak usah kepedean.” Kata kakak Sindhu tertua.
“lho yang penting ramai. Kita akan bukan artis, wajar kalau jelek.”
“Ya betul setuju , kalau bagus ya syukur.”
“Tapi jangan kebanyakan nyanyi, nanti penyanyi aslinya nganggur terima amplop saja. ” sahut adik Sindhu sambil tertawa.
“Pengantin harus nyanyi,” usul kakak Sindhu.
“Kalau aku nyanyi nggak masalah. Yang masalah adalah penontonnya. Betah mendengar atau tidak,” kata Sindhu sambil ngakak.
==========
Suatu siang ada mobil parkir di depan toko ijo. Mobil sedan berplat AB. Sumi kaget. Pasti ini Dipo . Sudah malas dia berurusan dengan anak tirinya itu. Selain mendatangkan masalah nggak ada lagi yang lain. Sumi sudah langsung nggak bersemangat menemui.
Tapi ternyata di luar perkiraan. Muka yang muncul adalah muka yang baru dia kenal belakangan. Iya, dialah dr Tirto.
Sumi deg-degan. Dheg-dhegan karena dokter ganteng itu datang. Yang berikutnya bagaimana kalau Mas Sindhu tahu soal ini.
Memang mudah bagi dr Tirto mengetahui alamatnya. Dari data pasien semua sudah bisa dilacak.
Tapi sangat tidak disangka dokter itu datang sampai ke rumahnya.
“Permisi...” kata dokter itu sopan dan ramah.
“Oh ya dokter Tirto ya..." ucap Sumi berusaha ramah meski dia ragu.
“Iya mbak. Maaf boleh duduk..?”
“O iya..ya gini dok disambi buka toko..”
"Malah bagus mbak. Mandiri.”
Hmm Sumi merasa senang dipuji dokter ganteng itu.
Tapi dia ragu sebenarnya melayani kedatangan tamunya ini.
Dua minggu lagi dia akan menikah. Dokter itu juga belum tahu soal latar belakang Sumi dengan lika-liku kehidupannya.
“Orang tua dimana?”
“Oh itu di sebelah. “ kata Sumi menunjuk toko bangunan di sampingnya.
Sekilas Tirto melirik. Dua orang tua, berkulit legam. Badan kurus dan nampak lebih tua dari orang-orang kota pada umur yang sama.
Mereka Kartiyem dan Sugiyono.
“Oh itu orang tuanya mbak?”
“Iya mbok dan bapakku dok" Sumi berusaha jujur.
Tirto belum berhenti keheranannya dalam hati.
Dia jelas tidak menyangka dari dua orang tua itu muncul anak secantik Sumi.
Kulitnya pun kontras. Kartiyem dan Sumi jauh warna kulitnya.
Apalagi bapaknya.
“Orang tua kandung?” tanya dokter Tirto heran.
Sumi merasa tidak nyaman ditanya begitu.
Beda sekali dengan Sindhu dulu yang datang dengan kebahagiaan.
Ini dokter datang seperti melakukan diagnosa penyakit. Menyelidik.
“Iya simbokku. Bapakku bapak tiri.”
“Lalu bapak kandung?”
“Ada di Delanggu.”
“Oh pantes.”
Dokter itu melanjutkan berbincang dengan Sumi. Sumi sambil melayani pembeli di tokonya.
Tapi sepertinya tidak nyaman dokter berbicara dengan Sumi seperti halnya Sumi juga merasa tidak nyaman.
“Mbak Sum sudah punya pacar?” tiba-tiba kata-kata itu menghentak Sumi.
Dokter Tirto pun memberanikan bertanya itu.
“Hmm..tepatnya calon dok..”
“oh begitu...” hati dokter Tirto seperti diiris.
Namun untuk menutupi perasaan hatinya dia berusaha tenang.
“Iya dua minggu lagi kami akan menikah.”
“Calonnya?”
“Yang waktu itu di rumah sakit. Mas Sindhu.”
“Yang mana ya? Kok saya lupa.”
“oh memang orangnya biasa saja dok. Nggak gagah dan nggak ganteng. “
“oh...lalu?”
“Iya mas Sindhu baru lulus dari itebe.”
“oh..”
Dokter Tirto merasa tidak guna melanjutkan obrolan.
Dia memilih pamitan daripada sakit hati.
Sumi sudah punya calon dan cukup tangguh untuk bersaing.
Walaupun Sumi sempat ragu melihat mobil dokter itu mewah.
Sindhu belum punya apa-apa.
Tapi Sumi menyadari cintanya dengan Sindhu sudah lama tumbuh.
Sumi menemukan Sindhu sebagai sosok yang baik.
Tidak kaya.
Tapi ada modal untuk bisa kaya.
Otak, etos kerja dan budi pekertinya adalah modal untuk maju.
Sindhu juga berasal dari keluarga yang baik.
‘Apalagi yang mau dicari’, begitu batin Sumi.
Dokter Tirto pamitan. Tepat pada saat yang sama Sindhu datang.
“Permisi” dokter Tirto pamitan.
“Mangga dok..silakan..”
Sindhu langsung menatap dokter itu dari atas motornya.
Minder juga Sindhu. Tapi dia menang set.
Dia amati hingga dokter itu pergi.
“Ada apa dia ke sini?”
“Nggak tahu juga. Ujug-ujug kok datang..”
“Nggak kamu bilang sudah ada calon?”
Sindhu panas hatinya.
“Sudah mas. Jangan marahlah..” pinta Sumi sambil memegangi tangan Sindhu sambil digoyang-goyang.
“Nggak marah piye...lha sudah mau nikah kok diapeli. Mau bikin masalah apa”, Sindhu masih emosi.
“Ya dia kan nggak tahu mas, nggak tahu kita mau nikah.”
“Kan di rumah sakit dia tahu, aku nungguin kamu terus...”
“Ya tapi kan .."
“Tapi apa? Coba-coba?”
“Ya kan begitu to laki-laki mas. Siapa tahu aku masih bebas. Kan begitu. Sudah mas jangan gitulah. Kalau marah gantengnya ilang lho,” rayu Sumi sambil membelai dagu Sindhu.
“Baru ada yang bilang aku ganteng,” Sindhu mulai tersenyum kecut.
“Ya kan aku memang yang pantas memujimu mas. Kau memang ganteng.”
Sindhu diam. Menghela nafas sejenak mengendalikan rasa kesalnya.
‘Bener memang mau nikah banyak godaan’, pikir Sindhu.
“Bagaimana lukamu sudah nggak sakit kan?” Sindhu mengalihkan pembicaraan sambil menikmati pujian dari Sumi.
“Kadang terasa gatal. Sedikit nyeri.”
“Ya itu mau pulih berarti.”
“Bagaimana untuk acara sudah beres mbak?” lanjut Sindhu.
“Undangan sudah beres. Kirun Cs memastikan bisa datang.”
“Lalu yang campusari dari Boyolali?”
“oo ya kemarin sempat ada kabar pemain keyboardnya nggak bisa. Tapi katanya sudah ada pemain penggantinya.”
“Oo gitu. Berarti sudah nggak ada masalah ya. “
“Mas Sindhu mau makan apa, bakso apa sate kambing?”
Sumi kembali bersikap seperti biasa.
“Hmm..boleh...bakso saja.”
Sumi meminta tolong penjaga tokonya untuk memesan bakso di warung sebelah, beberapa blok dari toko ijo.
Setelah itu mereka berdua mendatangi papa Shanghai berboncengan motor.
Kali ini sumi sudah berani pegangan erat ke Sindhu.
“Masih ingat nggak dulu kita mau ke Prambanan?”
“Ya masihlah mas...”
“Kamu nggak takut?”
“hmmm..takut. Katanya kalau ke Prambanan terus putus ya?”
“Nah itu. Aku sih nggak percaya mitos itu.”
“Kalau ternyata putus?”
“waduh, aku nggak mau nikah selain sama kamu.”
“Ah yang bener mas. Itu yang katanya anaknya pak lurah Jeblog? Kan cantik orangnya.”
“Ya aku nggak suka gayanya. Pasti susah diajak hidup prihatin. Kan mereka keluarga yang biasa enak. Lagi pula paklikku kan cuma nawari. Belum tentu juga orangnya mau sama aku.”
“Kalau mau?”
”Ah nggak ah. Sumi sudah paling siip.”
“ah mbel...” kata Sumi sambil nyubit Sindhu.
“Kalau doktermu itu? Dia kan kaya, ganteng lagi. Aku masih pengangguran.”
“Ya pokoke mas Sindhu paling josslah. Aku suka gaya anak itebe kok. Sedikit urakan tapi otaknya bisa diandalkan. Aku nggak mau yang lain,” balas Sumi sambil ketawa mengeratkan pegangannya.
“Joss itu nanti pas malam pertama,” pikiran Sindhu mulai ngeres akibat pelukan Sumi yang erat.
“Nunggu-nunggu ya?”
“Haha..iyalah. Kan aku lelaki sejati, tulen.”
“Kutunggu buktinya.”
“wow siip...
Tidak lama sampailah ke rumah papa Shanghai.
“oo Sumi sama Sindhu. Bagaimana kabarnya? Sumi sudah sehat?”
“baik sudah pa. “
“untuk acara nanti ?”
“iya nanti Sabtu malam acara midodareni seperti biasa, di rumah. Besoknya pernikahan dan pesta kawinnya di gedung seberang toko itu.”
“oh bagus-bagus,” kata tuan Shanghai semangat .
Tuan Shanghai sudah menjelang 70 tahun. Sudah tua tapi masih segar. Tuan Shanghai rajin berolah raga.
Setiap pagi jam 5 sudah bangun lalu jalan pagi.
Lalu membuka toko. Aktivitasnya yang teratur membuat dia awet muda.
Tapi semenjak ditinggal istrinya dia tidak ingin kawin lagi.
Dia lebih suka menikmati masa tuanya sendiri bersama anaknya dan ada pembantu rumah tangga di rumah.
“kita akan ngundang lawak Kirun cs pa. Ada campursari. Biar mnghibur tetangga dan para tamu undangan.”
“Wah setuju papa juga suka. Anak cewek papa satu-satunya, harus meriah acaranya. Nanti papa bantu untuk biayanya.”
Sumi dan Sindhu merasa lega.
“Kalian sudah makan belum..? Mau bakso Kribo?”
Tuan Shanghai menawari bakso khas Delanggu yang sedang populer.
Memang maknyuss bakso kribo yang pentolnya gurih dan dikasih irisan daging ayam.
Pak Kribo penjualnya memang rambutnya kribo.
“Wah tadi sebelum ke sini baru kami makan.”
"kan cuma bakso. Mau ya?"
Akhirnya mereka pun dipesankan bakso Kribo.
Keakraban ayah, anak dan calon menanto tercipta, mereka makan bakso bersama sambil ngobrol.
Keduanya lalu pamit sesudah beberapa saat menyampaikan rencananya dan minta doa restu.
Bersambung #18
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel