Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 12 Maret 2021

Pengakuan Sumiati #18

Cerita Bersambung
[18+]
Malam itu keluarga besar Sindhu datang ke rumah Sumiati.

Keluarga Sumiati juga berkumpul. Ada juga di sana Pak Shanghai dan anaknya Andi.
Kehadiran keluarga Sindhu ini dalam adat Jawa disebut jonggolan.

Kehadiran  ini menunjukkan bahwa Sindhu memang serius ingin menikahi Sumi.
Mereka memakai pakaian adat Jawa dengan beskap dengan membawa seserahan. Seserahan sebagai bukti ikatan persaudaraan keluarga pengantin laki dan perempuan.
Seserahan yang dibawa berupa pakaian, alas kaki, kosmetik, buah-buahan dan beberapa makanan. Acara malam ini disebut dengan midodareni.

Proses pertama adalah jonggolan tadi. Acara khas adat Jawa dimana malam itu widodari atau bidadari turun dari kayangan menaburi rumah calon pengantin dengan berkah, kasih sayang dan kecantikan. Sehingga pengantin akan tampak cantik, kehidupan pengantin kelak bakal rukun, penuh berkah dan kebahagiaan.

Sumiati, berada di kamar pengantin tanpa boleh keluar. Dipingit selama satu malam itu. Sumiati ditemani Sisri sebagai teman sejak dulu.

“Gimana mbak dheg-dhegan nggak besok mau nikah?”
“Ya biasa. Tapi dheg-dhegan sithik Sri..”
“Dheg-dhegan arep nikah atau yang lain?” Sisri menggoda.
“Dheg-dhegan nunggu malamnya ...haha...”

Rombongan keluarga Sindhu diwakili pakliknya menyampaikan maksud kedatangannya malam itu.
Sambutan disampaikan dengan bahasa Jawa halus yang anak-anak muda sendiri tidak semuanya paham.
Lalu sambutan dari keluarga pengantin putri diwakili oleh pak lurah.
Disusul tantingan dimana orang tua Sumi menanyai kesediaan Sumi untuk besok dinikahi Sindhu.

“Apakah kamu benar mau diperistri Sindhu nduk?” itu pertanyaan Kartiyem, istilah Jawanya ditanting.
Tentu saja Sumi dengan mantap menjawab
“Iya mbok. mau”.

Lalu diteruskan nasehat atau wejangan dari orang tua Sumi untuk Sindhu.
Orang tua Sumi diwakili oleh pak lurah yang lebih fasih berbicara.
Sugiyono sendiri hanya menyaksikan.
Tuan Shanghai juga duduk di dekat pengantin pria menyaksikan acara itu dengan khidmat.
Dia tidak terlalu paham dengan adat Jawa. Tapi dia suka dengan adat yang penuh makna itu.

Pak lurah memberikan nasehat kepada Sindhu dalam bahasa Jawa halus. Nasehat diberikan agar Sindhu punya bekal sebagai calon kepala rumah tangga nanti.

Apa-apa saja yang harus dilakukan sebagai kepala rumah tangga atau suami.
Lalu diikuti dengan tembang Jawa tanpa musik yang berisi nasehat perkawinan.
Tembang dilantunkan oleh lik Harto tetangga Sumi yang memang ahli membawakan tembang Jawa.

Kemudian para tamu dari kedua calon pengantin  menikmati hidangan yang disajikan oleh para sinoman.

Setiap tamu dapat bagian satu-satu baik minuman, makanan ringan maupun makan berat. Tidak boleh tambah. Ini tradisi Jawa yang tidak mengenal istilah prasmanan.
Jadi manusia dipaksa makan secukupnya meski enak tidak boleh tambah dan disajikan sesuai takaran, tidak berlebihan.

Acara berlangsung hingga malam jam 10an.  Keluarga Sindhu pulang meninggalkan rumah Sumiati.
Pernikahan akan dilakukan besok paginya di gedung olahraga seberang toko ijo .

Di gedung sudah pasang tarub, bleketepe, dan tuwuhuan. Gedung itu  nampak asri dengan hiasan dedadunan dan buah. Kelihatan oleh siapapun yang lewat bahwa di gedung itu akan berlangsung pernikahan.

Tarub yang dipasang di pintu masuk gedung memiliki arti sebagai atap sementara atau peneduh rumah. Bleketepe yang terbuat dari anyaman daun kelapa ini dipasangkan dengan tuwuhan.
Tuwuhan dipasang di kiri dan kanan gerbang yang isinya pisang raja, kelapa muda, batang padi, dan janur.
Bleketepe, tarub, dan tuwuhan ini juga jadi simbol tolak bala.
Pemasangan bleketepe, tarub, dan tuwuhan ini berisi harapan pasangan yang akan segera menikah memperoleh keturuan yang sehat, berbudi baik, berkecukupan dan selalu bahagia.

Sementara keluarga Sindhu datang dengan seragam. Untuk yang perempuan pakai baju seragam brokat kebaya warna hijau dan pakai jarik.
Sementara keluarga Sumi berseragam orange. Pagi berlangsung akad nikah di bawah bimbingan penghulu dari KUA kecamatan Cokrotulung di depan dalam gedung.

Sindhu duduk di samping Tuan Shanghai dan di sebelahnya ada Sumi. Sindhu menggunakan jas warna hitam dan peci warna hitam.
Nampak serius tampang Sindhu.
Sementara Sumi menggunakan kebaya warna putih dengan make up yang pas.
Kecantikan Sumi makin semerbak. Para pengunjung acara pernikahan tidak henti-hentinya berbisik

“Ayu banget mbak Sumi..”
“Iya ayu banget..”
“Beruntung ya mas Sindhu..”
“Iya walau janda mbak sumi masih seperti gadis..”
“Ya itu namanya janda kembang..”

Setelah beberapa patah kata maka pak penghulu mulai memimpin upacara pernikahan.
Tuan Shanghai mewakilkan ke penghulu.
Dia sendiri yang jadi wali untuk Sumi.

Pak penghulu atas nama wali pengantin perempuan mengucapkan :
"Saudara Sindhu Pramono bin Padmo Sukarto. Saya nikahkan saudara dengan anak perempuan saya Sumiati binti Gunawan Wijaya dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tiga setengah juta dibayar tunai."

Lalu Sindhu menjawab dengan mantap
"saya terima nikahnya Sumiati binti Gunawan Wijaya  putri bapak untuk saya sendiri dengan mas kawin seperangakat alat sholat dan uang tiga setengah juta tunai."

Tuan Shanghai terharu menikahkan anaknya.
Dia tidak sempat membesarkan.
Tapi sudah menemukan anaknya dewasa, cantik.
Doanya terkabul sejak Kartiyem disuruh pergi dari rumah.
Doanya agar bayi dan ibunya nanti sehat.

Acara dilanjutkan upacara perkawinan yang cukup melelahkan di gedung seberang toko ijo.
Beberapa kali Sindhu dan Sumi harus berganti baju. Ada siraman, sungkeman, sindur, ngidak endog, dsb.

Selanjutnya Sindhu dan Sumi duduk di pelaminan dengan baju adat Jawa.
Mereka tampak bahagia meski lelah fisiknya. Para tamu sudah datang .
Ada teman-teman Sindhu saat SMP, SMA, maupun beberapa teman kuliah.
Teman-teman Sumi tidak banyak. Hanya teman SD dan SMPnya.
Pengisi acara sudah siap. Siang itu para tamu dihibur dengan kesenian campursari.
Giliran Kirun harus memberi ular-ular temanten atau semacam petuah buat kedua mempelai.
Para tamu siap-siap mendengarkan.

“Mas Sindhu sama mbak Sumiati nanti kalau sudah nikah subnya dua kali lho. Pas adzan siap-siap sholat subuh. Harus bisa jadi imam ya. Nah selesai subuh , ada subuh yang lain. Disusubi barang abuh.”

Kedua pengantin ikut ngakak mendengar guyonan saru gaya jawa.
Penonton pun nggak diam, sorak sorak.

“Wah jur subuh hae...” teriak salah satu tamu.
“Kalau sudah nikah kesabaran harus berlipat ya mas. Nggak boleh emosian,” lanjut Kirun
Nah di bagian ini Sindhu merasa pas nasihat Kirun.
“Mbak Sumi juga harus meladeni suaminya dengan baik. Kalau pagi bikinkan teh. Makan ditemani. Harus guyub. Kalau dapat rejeki itu rejeki berdua. Walaupun jalannya bisa lewat suami atau lewat istri. Jangan mentang-mentang tokone laris terus sama suami sok atau sebaliknya. ”

Sumi mendengar dengan mengngguk-angguk.
“Itu nanti kalau makin laris tokonya, ada peranku di situ lho.”
“Iya mas..siip” sahut Sumi.

"Moga-moga rukun sampai kaken-kaken ninen-ninen , kaya mimi lan mintuno. Semoga rukun sampai kakek nenek  dan seperti mimi dan mintuno. Yang terakhir adalah nama binatang yang biasa hidup di pantai. Mimi jantan, mintuno betina. Binatang ini lahir selalu dalam pasangan. Mimi menggendong mintuno. Kemana-mana pergi berdua. Mimi punya kaki kuat tapi matanya buta, mintuno nggak punya kaki tapi matanya awas. Keduanya saling bekerjasama karena masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan. Mimi selalu menggendong mintuno. Kalau kedua binatang ini digoreng dalam kondisi bersatu akan jadi makanan enak. Tapi jika terpisah, makanan jadi beracun. Luar biasa kan? Jadi penganten berdua diharapkan rukun, kompak sampai tua, saling berkerjasama, menghormati kelebihan dan kekurangan masing-masing. “
Para tamu tertegun dengan wejangan Kirun yang begitu mendalam.

Usai memberikan wejangan para tamu dipersilahkan menyalami penganten dan menikmati hidangan.

“Selamat Sin...kelihatan ganteng “, kata teman SMAnya.
“wah sudah siap tempur ini nanti malam?” ucap teman yang lain.

Orkes campusari pun mulai memainkan lagu-lagunya.
Tidak lupa Sindhu meminta dimainkan lagu Terajana..
Keluarga Sindhu menari bersama-sama menikmati alunan lagu yang bersemangat itu.
Gedung itu nampak ramai meriah.
Beberapa saudara dari keluarga Sumi juga ikut meramaikan perhelatan siang itu.
Pesta berlangsung hingga siang menjelang sore.
Para tamu meninggalkan gedung.

Kedua pengantin berganti baju, hiasan dilepas. Keduanya lalu istirahat.
Sindhu tinggal di rumah Sumi yang tidak jauh dari gedung.

Ya malam itu untuk pertama kali Sindhu menginap di rumah Sumi.
Rumah sepi.
Sisa pesta tadi siang sudah tidak kelihatan.
Hanya keluarga Sumi saja yang masih tinggal di rumah.
Mereka rebahan di ranjang kamar utama.

Sindhu ingat ketika Sumi menginap di kos-kosannya.
Dia harus tidur di luar.
Meski sangat ingin dia mendekap Sumi saat itu tapi belum halal.
Tapi malam ini Sindhu tidur satu ranjang dengan Sumi.
Agak canggung awalnya.
Tapi Sumi merayu dengan kata-kata yang menggoda.

“Mas nanti mau punya anak berapa?”
“Sebanyak mungkin.”
“Ha? Aku hamil terus no kalau begitu..”

[sing durung 18 th, ojo diwoco]

“Ya kadang hamil, kadang melahirkan..”
“Waduh abote dadi wong wedok..” ucap Sumi sambil ketawa kecil.
“Ya nanti tak bantu nggendong..” ucap Sindhu sambil memeluk Sumi.
“Halah mosok sih. Paling rajin buat nggak mau ngurus.”
“Sttt aku bukan lelaki seperti itu..”

Tangan Sindhu mulai membelai wajah Sumi. Lalu diciumi pipi Sumi, bibirnya.
Tangannya bergerilya ke bagian lain. Dua gunung Sumi diremas Sindhu dari balik BH-nya. Sumi mulai terpancing birahinya.
Pakaiannya ditanggalkan. Sindhu melihat pemandangan yang menggairahkan.

Darah lelakinya meledak.
Sumi memang mempesona.

Sindhu makin tergiur melakukan apa saja. Diciumi buah dada Sumi, dijilatinya puting Sumi sambil diisap.
Sumi menggeliat, menikmati sensasi itu.
Sumi tidak kalah agresif menciumi Sindhu.

Tidak lama melakukan pemanasan Sindhu cepat-cepat ingin merasakan surga dunia yang lama diimpikan.
Dibantu Sumi, Sindhu mengarahkan senjatanya yang paling berharga pada sasaran yang tepat.

Malam itu pertama kali  Sindhu menembus barang paling personalnya Sumi.
Kehangatan dan kenikmatan tiada tara.

“oh.. mas.. cepet Mas,”
rintihan kenikmatan Sumi sembari mengikuti irama Sindhu, bergoyang dan naik turun pinggulnya.
Perpaduan apik antara keduanya mirip permainan bass dan pukulan drum.
Sindhu bergerak makin cepat naik turun memompa.

“ahg....” Sumi mengerang.

Mereka mencapai puncak kenikmatan bersama.
Darah perawan Sumi menetes.

Sindhu lalu lemas, capai. Sindhu tidak tahu apakah Sumi masih perawan.
Tetesan darah Sumi membuktikan bahwa perkosaan Dipo dulu tidak sempurna.
Mungkin Dipo sudah terlalu cepat mencapai orgasme padahal masih di luar. Beruntung barang milik Sumi belum tertembus.

“Kamu joss tenan mas..”
“itu baru awal Sum..”
“Besok subuh dua kali?” pancing Sumi sambil ketawa cekikikan.

Sindhu segera tidur pulas. Sumi baru kali ini merasa jadi istri.
Sungguh kenikmatan luar biasa yang dia belum pernah rasakan.

Sumi segera menyusul tidur,  mereka berpelukan dalam kebahagiaan.

==========

'Mas bangun itu tehnya di meja” Sumi membangunkan Sindhu.
Sindhu masih belum biasa dengan kamar di rumah Sumi.
Butuh beberapa saat dia beradaptasi. Lalu mengucek mata. Baru sadar dia melewati malam pertamanya, badan terasa lungkrah.
Energinya terkuras.

“aku ke pasar sebentar..”
“iya jangan lama-lama”
“takut ya?”
“takut ilang, digondol wewe..”
“eh..memang wewe gombel bisa nggondhol..”

Sindhu pun tertawa melihat istrinya juga pinter guyon.
Sumi segera melangkah meninggalkan rumah.

“wah pengantin baru kok pagi-pagi sudah ke pasar..”
“Ah ya gak papa” sahut Sumi tersipu.
Dia merasa setiap orang memperhatikan dirinya
“Bagaimana mbak Sum, malam pengantinnya?” pancing si tukang bubur mbah Wiji.
“Ya...mbah...gitulah mbah...”
“Kan lawannya perjaka ting ting. Pasti rosa....”
“Ah mbah Wiji.. ingat jaman muda ya?”
“Wah wis lali mbak...”

Seakan Sumi pengantin baru, padahal dia janda.
Tapi memang beda hebohnya pernikahan Sumi kali ini.
Tidak sepeti pernikahannya dulu yang diam-diam.

“Jadi ini beli apa mbak?”
“Bubur..2 ya mbah. Banyak ya lethoknya.”

Ya Sumi beli 2 bungkus bubur beras yang dikasih sayuran dan ditumpangi lethok dan tahu. Lethok adalah masakan khas daerah Klaten dari tempe, ditumbuk diberi bumbu dan  kuah, dikasih daun salam. Aromanya harum sedap, mirip tumpang kalau di Sragen bedané gudanganné nggo cacahan gori dan kates nom.. plus ada toping bubuk kedelai rada pedes.

Sumi juga beli pohung yang ditumbuk dicetak lalu diberi parutan kelapa, pohung alus kata orang Cokro.
Dia yakin pasti mas Sindhu suka. Lalu dia jalan balik ke rumahnya.

“Ayo mas...” pinta Sumi ke Sindhu.
“Mau apa lagi?”
“Ah mau apa..ya ini dimakan.”
“oh kirain mau bertempur lagi...
“Ih nggak kenal waktu. Kuat apa?”

Sindhu pun mendekat ke meja makan. Dibukanya bungkusan daun pisang.
“Wow..ini hobiku...jenang nganggo lethok karo janganan...’
“Bojomu kan tahu seleramu..” ucap Sumi sambil tersenyum manja.
“Iya e elok tenan..., nggak salah pilih...” kata Sindhu sambil memandangi Sumi yang berdiri di sebelahnya.
“Iya untung nggak sama anaknya pak lurah itu. Paling nggak biasa ke pasar...”

Sindhu lahap memakan buburnya dengan suru (sendok alami dari daun pisang yang dilipat).
Sangat nikmat, ada aroma daun pisang, daun salam dan aroma tempe agak sedikit busuk..  tempe bosok.

Lalu nyrutup teh manis bikinan Sumi yang juga sedap. Sindhu menemukan kebahagiaannya.

“Ini bisa makin kuat..”
“Haha..bubur nggak lama kenyangnya mas..”
“Nah kan ada tambahan pohung...”
“Nanti siang kubelikan tongseng kambing, pasti joss...”
Sindhu benar-benar dimanjakan oleh istrinya.

Memang Sumi setahun lebih tua.
Mereka menikmati bulan madunya.
Sementara toko diurus lik Kartiyem dan suaminya.

“Kapan masak sendiri?”
“Nah aku nggak bisa masak mas. Waktuku dulu habis untuk jaga toko.” jawab Sumi jujur.
***

Sindhu mulai berpikir mewujudkan cita-citanya untuk membuat kawasan rekreasi sekitar _Umbul Ingas Cokro.
Tapi dia kepikir adanya perusahaan multinasional yang masuk daerahnya. Perusahaan Perancis membuka pabrik _Aqua_ di kawasan Cokro. Sindhu khawatir masyarakat lupa efek jangka panjangnya. Cokro yang dikenal sebagai sumber air bisa-bisa dalam puluhan tahun ke depan akan jadi kawasan yang kesulitan air. Air tanah disedot airnya hingga ribuan kubik setiap hari.

“Kasihan penduduk sini lho nanti.”
“Kan penduduk seneng mas bisa kerja. Ganti rugi lahannya juga tinggi.”
“Nah itu. Mereka senang sawahnya dibeli dengan harga 2 kali lipat. Lalu naik haji. Setelah pulang haji terus pada mau apa?”
“Iya ya. Kasihan kehilangan lahan. Duit juga cepet habis. Ya cuma dapat gelar haji saja. Wis biar saja mas. Memang sukanya yang begitu. Lebih baik pikirkan saja Mas Sindhu mau bikin bisnis apa.”
“Iya sambil jalan. Akan kubuat rencana. Nanti diajukan ke pak lurah dan Pak camat. Intinya sungai besar dari aliran buangan air umbul ingas itu akan kubendung. Jadi nanti akan seperti waduk besar di tempat dulu simbok biasa cari pasir.”
“Lalu buat apa?”
“Buat wisata naik perahu. “
“Wah ide bagus mas. Butuh uang besar..”
“Iya itu termasuk masalah.”
Lalu mereka terdiam sejenak duduk di meja makan.

Hari menjelang siang, Sumi jadi pesan tongseng.
Kemudian mereka menikmati tongseng kambing itu.
Lahap sekali Sindhu memakannya.

“Bagaimana kata orang-orang soal acara kemarin ya?”
“ya pasti seneng dapat hiburan.”
"Tapi paklik itu sepertinya kurang sreg dengan hiburan campur sari. Dia sukanya keroncong."
“ya campur sari kan gayeng. Penduduk desa seneng. Bisa joget.”
“Iya paklik itu suka musik yang harmonis, nglaras. Bukan yang asal gayeng. Kalau campur sari kan asal gayeng.”
“Ya selera orang macem-macem. Kalau dituruti semua, nggak jadi nanggap musik.”
“Tapi aku ingat nasehat Kirun untuk subuh dua kali lho..”
“ haha...disusubi barang abuh pancen enak mas.”

Sindhu memandangi Sumi. Keayuan dan kemolekan tubuh  istrinya mengundang darah lelakinya.
Lalu mereka berpandangan dan dengan kode tertentu keduanya masuk kamar.

“Ojo kesusu lho mas..”
“Siip...”
"Yang lama pemanasannya.."

Mereka mengulangi kehangatan malam pertama. Siang ini keduanya bermain lebih tenang, lebih lama. Mereka menuntaskannya dengan kenikmatan puncak.

"hmm..tambah joss mas." bisik Sumi sambil mendekap Sindhu.
"Berkat lethok dan tongseng..." kata Sindhu menyenangkan istrinya.

Bersambung #19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER