Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 14 Maret 2021

Pengakuan Sumiati #20

Cerita bersambung

“Sum kita ke rumah papah yok.” ajak Sindhu petang itu.
“oo iya mas aku nggak kepikiran.”
“Siapa tahu papah merayakan Imlek”.
Mereka berdua meluncur ke rumah Papa Shanghai. Sindhu sebenernya iseng saja ngajak Sumi jalan. Siapa tahu memang ada perayaan walaupun pemerintah sangat melarang perayaan Imlek oleh warga Tionghoa secara terbuka.

“kulo nuwun “ Sumi mengetuk pintu rumah papanya.
Menunggu beberapa saat.

“oe kalian datang ..Silakan-silakan . “
“terima kasih. Gong Xi fa Cai pah“ kata Sumi, disusul Sindhu.
“Terima kasih..” Ini ada Andi dan adiknya, Yenni.”
Jarang kita bisa kumpul begini” lanjut Shanghai. Ya Yenni anaknya yang di Singapor juga pulang.

Mereka berkumpul di ruang keluarga makan bersama. Sumi pun bersalaman dengan Andi dan Yenni di susul Sindhu.
Ada hidangan khas, kue keranjang, bebek panggang , dan jiaozi atau dim sum.
“Ayo-ayo silakan,” tuan Shanghai mengajak meikmati hidangan khusus Imlek.
Mereka pun menikmati makanan yang sengaja disiapkan menyambut Imlek itu.
“ Kalian meski beda ibu, harus tetap rukun,” tuan Shanghai menasehati anak-anaknya sambil menikmati makan malam.

Andi dan Yenni saling pandang lalu mengangguk. Mereka tidak keberatan dengan nasehat papanya. Meski Sumi hasil hubungan gelap tapi Sumi tidak bersalah. Meski Sumi juga baru hadir belakangan itu tidak menghalangi untuk bisa bersaudara. Memang kaku awalnya.
“Bagi orang tua, tidak ada yang lebih membahagiakan selain menyaksikan anak-anaknya rukun”, kata papa Shanghai serius.
Andi, Yenni dan Sumi berpandangan.
“Jangan sekali-sekali berantem gara-gara warisan,” lanjut tuan Shanghai.
Kata-kata terakhir benar-benar menyentak perasaan Andi dan Yenni. Mereka kebetulan tidak berpikir untuk rebutan warisan tapi mereka melihat banyak persaudaraan hancur karena harta warisan. Padahal orang sering bilang rejeki ditangan Tuhan, rejeki nggak akan kemana, rejeki sudah ada yang ngatur. Tapi kenyataannya banyak orang ribut, perang, bunuh-bnuhan gara-gara urusan rejeki ini.
Sindhu sangat menghayati nasehat tuan Shanghai. Dia sambil  lahap menikmati bebek gorengnya yang mantap, terutama ada sausnya yang khas.

“Jadi kalian ingin bikin usaha rekreasi di Umbul Ingas Cokro itu?”
“iya jadi pah” sahut Sindhu.
Beberapa hari ke depan say amau menghadap pak Lurah dan pak camat tentang rencana proyek ini.”
“kalau memang meyakinkan papa mau bantu mendanai.”
“ya itu mau bangun bendungan, nanti air dari umbul ingas ditampung di kolam besar , tidak langsung kebuang begitu saja. Lalu dipakai wisata perahu sama pancingan”.
“ide yang bagus. Mudah-mudahan para pejabat bisa kasih ijin,” lalu tuan Shanghai bagi-bagi angpao untuk ketiga anaknya. Sumi tidak menyangka dapat amplop tebal.
“Ya jangan dihitung nilainya.” Kata papa Shanghai.
Padahal bagi Sumi memang banyak isinya.
Malam itu tuan Shanghai merasa sangat senang bisa kumpul dengan anak-anaknya.
***

Sumi dan Sindhu pamitan. Mereka melewati jalan Pabrik Karung ke arah Barat menuju Cokro, jalannya berlubang sana -sini. Di desa Kuwel mereka berbelok ke kiri, melewati jembatan yang dulu katanya sering dipakai membuang mayat2 korban Gestok.
“Hati-hati mas..” kata
Sumi sambil menguatkan pegangannya. Jembatan yang menyambungkan desa kuwel dan Karang geneng itu memang serem. Bawahnya adalah sungai yang hulunya dari umbul Ingas Cokro dan menuju ke pabrik Karung goni. Sungai itu memang airnya diperlukan untuk pembuangan limbah pabrik.
 “Di situ dulu untuk pembuangan mayat para korban yang dituduh PKI lho.”
“hmm nggak usah cerita itu. Takut. Ayo ngebut.” seru Sumi. Sindhu pun tidak melanjutkan ceritanya. Padahal dia sendiri takut melewati jembatan tadi.
Konon sering terdengar suara-suara tangisan di tengah malam dari bawah jembatan itu. Kadang ada tangan atau kaki berjalan tanpa badan dan kepala.

Tidak lama mereka sudah sampai rumah. Malam itu Sindhu dan Sumi bahagia bisa mengunjungi papanya yang sudah makin tua dan mendapat nasehat dan juga angpao. Seumur-umur baru ini mereka dapat angpao.
***

Sindhu bertanya ketika duduk di toko ijo sambil membantu melayani pembeli.
 “Siapa itu penjual bubur kacang ijo? Dari aku kecil dia sudah keliling jualan bubur itu. Sampai sekarang dia masih jualan bubur keliling.”
“Oo itu lik Dul memang dari dulu begitu. Termasuk kuat fisiknya. Dari masih bujangan sampai sudah kakek-kakek masih kuat naik sepeda keliling dari satu kampung ke kampung lain.”
“Buburnya enak ada aroma jahenya yang harum. Aku masih ingat waktu gunung Merapi meletus tahun 76 dia pas jualan di depan rumahku pakai payung soalnya hujan abu beberapa hari.”
“Kok masih ingat mas?”
“Iya ingat. Waktu itu mas Tunjung kuliah di UGM cerita kalau ada harimau mau masuk ruang kelas. Ternyata harimau dari Merapi karena suhunya panas banyak hewan turun dari lereng Merapi.
 “Wah ada tanda-tanda alam ya gunung mau meletus.”
‘Iya kalau kita paham. Aku waktu itu beli bubur Lik Dul itu di depan rumah. Pas beli bawa payung. Hujan abu beberapa hari. Pasar Cokro sepi. Genteng-genteng penuh abu dari gunung Merapi. Menunggu beberapa bulan hujan datang akhirnya genteng-genteng bersih.  Tapi habis itu sawah-sawah panennya bagus. Tanah jadi subur”.
 “Balik ke lik Dul tadi. Orang-orang kita memang nrimo ya mas. Jualan bubur dari dulu ya begitu terus, nggak mau membesarkan usahanya. Jadi tukang patri ya seumur-umur begitu.”
“Mungkin nggak punya modal.” Sahut Sindhu
“iya dan jualan bubur susah mau dibesarkan jadi apa,” kata Sumi.
“Mungkin memang beda filosofi hidup orang Jawa dan Tionghoa. Orang Jawa asal ada yang dimakan untuk besok, sudah cukup. Kalau orang Tionghoa kan berpikir panjang. Memperbesar usaha kadang sampai cucu masih terus berkembang.”
“Iya memang begitu. Sukur-sukur bisa menghidupi banyak orang.”
“Wah aku jangan dipaksa terus memperbesar usaha lho ,” Sindhu mulai takut.
“Lho aku kan blasteran Jawa Tionghoa Mas. Pola pikirku juga campuran. Aku mau memperbesar usaha tapi ya nggak ngototlah.”
“Wah yo wis cocok. Dari dulu aku pingin nikah sama orang Tionghoa. Dapat blasteran lumayan. Haha.. kebetulan kamu punya darah Tionghoa. Aku suka etos kerjanya. “
“Ah mosok sih? Lumayan?”
“Ya nggak lumayan, untung besar. Waktu aku SMA punya teman Tionghoa. Aku sering diajak nginap di rumahnya. Diajak nonton video, disediakan makanan. Papanya nunggui sampai malam. Padahal besok paginya papanya harus buka toko, pagi-pagi. Jadi kagum sama etos kerjanya”.
“lho kenapa mas Sindhu yang diajak nginep?” tanya Sumi sambil membereskan barang-barang di tokonya.
“Ya ramai-ramai. Tapi dia suka berteman denganku karena katanya aku pinter. Haha...”
“Walah tenane.....Tapi soal usaha, aku nggak kalah lho mas..”
“Ya itu kamu punya gen Tionghoa, darah bisnis pasti mengalir.”
“Tidak selalu. Yang mengalir mungkin etos kerja keras, disiplin.”
“Tapi jarang lho perempuan Tionghoa mau nikah sama laki Jawa.”
“Ya katanya orang Tionghoa secara abu, lebih tua. Tapi kalau sudah cinta, apa pun bisa diabaikan.”
“Mungkin begitu, cinta sejati memang mengalahkan dinding ras, agama, ekonomi dan umur,” sahut Sindhu.
“Ha nyindir ya, lebih tua setahun.”
“Loh bukan itu berlaku umum.”
“Tapi perempuan yang katanya menonjol emosinya kalau milih jodoh justru sangat rasional lho mas. Kalau laki kan asal lihat paras cantik terus tertarik?”
“Ya mulai dari fisik kalau laki-laki.”
“Kalau perempuan pasti lihat bagaimana sekolahnya, bagaimana masa depannya.”
“wah laki-laki justru  melihat masa lalunya.”
“Tapi masa laluku suram kamu kok mau mas?”
“Nah di situ nggak rasionalnya. Karena kamu cantik..” Sindhu bercanda sambil mencubit hidung istrinya yang mbangir itu.
“Haha..bener ya laki-laki memang buta kalau sudah cinta.”
“Tapi kecantikan tidak cukup berupa wajah ayu lho. Kadang laki-laki hilang moodnya meski menghadapi perempuan cantik tapi sulit diajak ngobrol, diajak diskusi nggak nyambung. Ya mati gaya kan?”
“Memang pernah nemu yang begitu?”
“Ya pernahlah. Di Bandung ketemu cewek cantik tapi dijak ngoro kurang nyambung, ya nggak asiklah. Asik Sumiati. Sudah cantik, pinter, dan pinter bisnis lagi, ” ucap Sindhu sambil melirik istrinya.
“Tapi aku nggak pinter masak...” Sumi tersipu mendengar pujian suaminya.
“Ya memang selalu ada yang kurang, nggak mungkin sempurna. Aku sih maklum saja. Kamu kan suka cari duit.”
“iya makanan nanti beli saja. Aku nggak kayak ibu mas, masakannya enak-enak.”
“Nggak masalah, asal bisa kasih yang enak-enak.”
“ah...mesti begitu..” kata Sumi menangkap maksud suaminya.
Mereka pun segera menutup tokonya. Lalu menuju rumah Sumi.

Sore itu mereka mandi bersama dengan air hangat. Sesuatu yang baru bagi mereka berdua. Sumi mengambil sabun dan menyabuni tubuh suaminya. Sindhu merasa aneh tapi suka. Lalu gantian Sindhu menyabuni tubuh istrinya.
" ih geli  mas".
 Lalu mereka bilasan berdua sambil mengguyurkan air dari gayung. Sindhu nggak bisa menahan gejolak melihat tubuh Sumi yang indah menawan. Maka segera ia mendekap dan menciumi Sumi dari belakang. Sumi mendesah.
"ahh.. Lagi mas"

Ciuman dan dekapan diteruskan ke beberapa tempat sensitif. Sumi mendesah makin kencang. "ouh.. Mas... A..a.hh..." Lalu  mereka mengulangi cerita malam pengantin barunya di ranjang.

==========


Dua tahun kemudian

Pembangunan tempat wisata sudah akan dimulai. Ijin ke kelurahan, kecamatan dan kabupaten sudah beres. Sindhu sudah melakukan banyak pekerjaan rumit mengurus perijinan. Dia mulai optimis apa yang dia pikirkan akan bisa terwujud.
Tapi pada suatu hari terjadi demo di depan kelurahan Cokro .
‘Kami tidak mau kehilangan sumber rejeki’ isi salah satu spanduk.
‘Ingat bapak simbokmu dulu cari pasir di situ!’
Dan ada yang orasi menggunakan speaker.
“Keaslian alam jangan diganggu. Jangan komersilkan tempat rekreasi. Pemilik modal dapat untung, kami rakyat kecil buntung.”
“Jangan biarkan fasilitas umum diambil oleh swasta! Enyahkan China dari bumi Cokro”
Sindhu heran selama ini usahanya mengurus ijin lancar -lancar saja. Kalau pun ada kerumitan memang melibatkan beberapa dinas di kabupaten. Tapi bukan penentangan dari warga. Kini beberapa warga yang dia kenal yang selama ini diam-diam saja tiba-tiba ada dalam rombongan demo itu.
Sindhu jadi nyiut juga nyalinya. Padahal beberapa tahun lalu dia pernah sekali waktu dengan gagah berani ikut demo di kampus. Dia dengan lantang teriak-teriak ketika Francois Miterrand Presiden Perancis datang di kampus ITB tahun 86 lalu.
“Pergilah kapir Perancis”! teriaknya bersama-sama mahasiswa lain di depan pintu gerbang masuk kampus Ganesha. Dia saat itu juga tidak tahu benar apa yag dia perjuangkan. Pokoknya sudah tradisi di kampus kalau ada pejabat datang harus diprotes. Termasuk tamu asing pun juga didemo. Yang dia tahu Perancis masuk anggota IGGI yang memberi pinjaman pada Indonesia. Hutang luar negeri yang menjadi andalan pemerintah Orba sering dikritik mahasiswa.
Sindhu kini jadi pihak yang didemo. Demonya lebih nyata, dari masyarakat sekitar. Isunya pun jelas persoalan yang tiap hari mereka lihat, Umbul Ingas. Ia pucat melihat demo yang begitu bersemangat apalagi disinggung-singgung kata-kata China. Ini bisa bahaya. Isu itu sangat sensitif di masyarakat.
Sindhu mengakui bahwa usahanya akan dimodali papa Shanghai. Tapi tidak ada yang salah. Semua lewat prosedur yang benar. Bahkan dia sudah berpikir nanti masyarakat akan ikut menikmati keuntungan dengan usaha rekreasi ini. Mereka bisa terlibat membuka warung di sekitar telaga besar di sekitar Umbul Ingas. Penduduk bisa menyewakan tempat parkir. Banyak hal akan mengikuti tempat wisata itu sebagai fasilitas pendukung.
“Dipo di belakang semua ini”, kata pakliknya Sindhu yang ikut mendampingi Sindhu. Pak Sodik yang lama malang melintang di dunia preman dan sering terlibat sebagai kader dalam pemilihan kepala desa sangat ditakuti.
“Lho?”
“iya. Pegang kepalanya, semua akan diam,” tegas paklik Sindhu.
Sindhu mengatakan pada Pak lurah, perwakilan pendemo suruh masuk.
Ada Dono dan Tejo. Mereka masuk ke ruang kelurahan. Sindhu didampingi Pakliknya.
“Dapat berapa dari Dipo?”
“Kok tahu sampeyan mas?”
“Ah gampang mendeteksi siapa di balik ini semua.” Sindhu sok yakin Padahal dia cuma dikasih tahu pakliknya.
“Saya jamin sampeyan nanti jadi pengelola parkir.”
“Bener ya?”
“Saya nggak suka bohong!” tegas Sindhu.
Maka Dono dan Tejo keluar ruang dengan wajah sumringah..
“bubar-bubar...!” seru Dono dari pengeras suara.
“Bener saja. Warga yang dapat uang amplop itu pulang. Mereka Cuma dikompori oleh Dono dan Tejo, pentolan preman yang sudah lama malang melintang. Keduanya pernah dicari-cari Kodim sewaktu operasi Petrus (penembakan misterius beberapa tahu lalu. Tejo lari ke Lampung, Dono pergi ke Kalimantan.) Setelah Operasi Petrus dihentikan karena dikritik beberapa lembaga sebagai pelanggaran hak asasi, maka keduanya pulang kampung.

Tejo dikenal punya ajian belut. Dia licin seperti belut . Mencuri sudah jadi kebiasaan sejak masih SD. Beberapa kali mencuri tapi lolos nggak pernah ketangkap. Tapi anehnya dia takut juga ketika mendengar para preman akan ditembak mati oleh  tentara atau polisi setempat. Dono juga begitu, maling yang nggak pernah kapok. Suatu saat ketangkap dan digebuki penduduk, tubuhnya berlumurah darah. Orang sudah menganggap dia pasti akan mati. Diserahkan dia ke polisi. Tapi di tengok simboknya lalu lukanya dilap pakai ujung jarik simboknya, langsung bregas lagi. Tapi Dono sangat takut sama pakliknya Sidhu, Paklik Sodik. Makanya ketika Sindhu mengajaknya negosiasi ditunggui pakliknya, Dono sudah langsung takluk.
Keduanya memang dapat uang dari Dipo untuk mengorganisir demo. Dipo nggak mau Sumi dan Sindhu memulai usaha di daerah Cokro yang akan berpotensi maju. Dipo tidak punya rencana lain, selain dendam saja. Uang itu sebagian diberikan kepada  warga yang mau demo. Sisanya untuk mereka berdua.
 “Wedhus !! ternyata kita cuma dimanfaatkan Tejo sama Dono”, ucap salah seorang di warung soto Lik Marto
“Lah piye to?”
“Begitu mereka dapat hak mengelola parkir, demo suruh bubar. Rak asu to?"
“Lha kalian kenapa mau diajak demo nggak jelas,"  sahut yang lain yang nggak mau ikut-ikutan demo.
“lha dikira memperjuangkan nasib kita.”
“Nasib opo? Yo kowe tetap wae dodolan nyang pasar “ kata yang lain lagi.
“Kalau aku justru seneng mas Sindhu karo mbak Sumi bikin usaha. Kalau ramai kita ikut untung. Bisa buka warung, bisa menyewakan ban atau jualan es.”
“Iyo bener-bener. Tejo karo Dono kan dari dulu memang preman. Begitu kok dipercaya”, yang lain menambah.
***

“Jadi gimana tambahan uang jasanya?” tagih Dono ke Dipo sambil mengisap rokoknya.
“Ah demo gagal kok minta bayar.”
“oh dasar pengecut!” Tejo menimpali.
“Kowe pengecut, tiba-tiba sepakat sama yang didemo.” Suara Dipo meninggi.
“Awas ya.!” ancam Tejo
“Wah siapa takut?!” Dipo menggertak.
Lalu terjadilah baku hantam di pinggir jalan dekat kelurahan. Dipo sempoyongan dipukuli Dono dan Tejo dengan kepalan tangannya yang mengenai muka dan perutnya. Dia melawan dengan menggunakan kayu yang dia ambil dari pojokkan rumah di dekat kelurahan. Kayunya diayunkan kiri kanan dengan kekuatan penuh. Dono dan Tejo kewalahan. Pukulan kayu Dipo sempat mengenai Tejo tepat di punggungnya. Tejo tambah emosi. Dono pun mencari batang kayu seukuran satu meter untuk mengimbangi serangan Dipo. Makin ramai. Akhirnya Dipo kepukul bagian perutnya lalu terjatuh. Beberapa kali pukulan tambahan dengan kayu dan diinjak oleh Tejo membuat Dipo terkapar tidak berdaya. Dia diselamatkan penduduk yang masih merasa kasihan karena dulu Pak Jarwo dan Bu Jarwo termasuk orang baik. Dipo dilarikan ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan pertolongan.
***

“Piye mau mas?” tanya Sumi ke suaminya
“Ya demo. Takut juga aku. Untung ada Paklik Shodik. Dipo di belakang ini semua."

Sumi langsung emosi mendengar nama Dipo yang tidak habis menyiksa batinnya dari dulu.
“Ia bukan manusia. Bisanya cuma bikin susah”, kata Sumi sambil menyusui bayinya yang masih berumur 6 bulan.
“Ya memang pasti segala rencana besar ada halangan. Kadang halangan justru dari orang dekat kita.”
Sumi menggoyang bayinya agar tetap bobok. Jangan sampai tahu si bayi soal hatinya yang sesak ketika tahu Dipo di belakang semua ini. Untung gangguan ini terjadi sekarang bukan beberapa bulan lalu ketika dia hamil. Bisa jadi akan mempengaruhi kondisi bayinya. Konon kejiwaan sang ibu sangat berpengaruh pada bayi yang dikandungnya.
“Kalau nggak ada halangan akan kita mulia minggu depan. Bangun tanggul sehingga air buangan dari Umbul bisa ditahan dan akan menggenangi kolam besar. Air akan naik.”
“Moga-moga.”

Keberhasilan ini sebagai rejeki anak pertamanya. Sindhu memberinya nama Gangsar Pramono. Gangsar berarti lancar, tidak ada halangan. Begitulah dia berharap agar anaknya nanti dalam hidupnya tidak menemui banyak masalah. Sebenarnya itu juga doa untuk dirinya yang sedang mengurus proyek tempat wisata itu. Doa untuk anak sekaligus tetenger/pertanda bahwa saat anaknya lahir dia sedang mengerjakan proyek besar. Beberapa lama dia menyiapkan nama untuk anaknya. Dia siap dua nama untuk laki maupun perempuan. Tapi dia sudah sepakat sama Sumi kalau anaknya harus diberi nama Jawa.  Agar dari namanya orang tahu si anak berasal dari suku apa.
Dia ingat ketika ke bidan dan mendengar
"Ibu hamil Pak", tutur si bidan.
Sumi nampak bangga sebagai seorang ibu yang akan punya anak.
"Kamu memang joss mas," puji Sumi.
"Lho baru tahu. Aku kan sudah bilang waktu tidur di rumahku itu, " kata Sindhu nggak kalah bangga.
Sumi sempat ngidam gempol dan pleret makanan tradisional masa kecilnya. Saat dia hamil sudah tidak ada lagi makanan itu di pasar Cokro. Maka Sindhu harus mencarinya ke Pasar Gede Solo. Untung masih ada. Jadi ngidam Sumi keturutan.

Gangsar punya kulit putih seperti Sumi. Wajahnya mirip Sindhu. Dia lahir normal tanpa pertolongan dokter. Justru mbah dukun bayi yang membantu persalinannya. Mbah dukun itu juga yang rajin memijit Sumi agar bayi dalam posisi normal tidak sungsang menjelang kelahiran. Mbah dukun juga rajin membantu memandikan Gangsa tiap pagi sore di satu bulan pertama. Habis dimandikan lalu dibedhong.
Gangsar jadi cucu pertama Lik Kartiyem dan Sugiyono. Begitu juga untuk tuan Shanghai. Tapi idak untuk bu Padmo. Jadi bagi keluarga Sumi Gangsari jadi penghibur dan pemberi kebahagiaan. Gangsar mendapat perhatian penuh dari kakek neneknya, juga adik Sumi. Sejak kelahiran Gangsar tuan Shanghai jadi sering datang ke rumah Sumi sekedar untuk menggendong sebentar, melihat Gangsar tersenyum, menangis atau cuma ngompol. Memang tidak terduga bahwa kebahagiaan itu justru didapat dari Sumi, anak hasil hubungan gelapnya. Bukan dari Andi atau Yenni yang justru anak resminya. Itulah dunia yang ceritanya kadang tidak seindah harapan atau kadang harus melewati liku yang tidak terduga.

Shanghai jadi ingat cerita Ibrahim. Ya ibrahim harus kawin dulu dengan Hajar sebelum istri pertamanya, Sarah, punya anak Ishak. Padahal apa susahnya bagi Tuhan yang Maha Kuasa membuat makhluk berupa Ishak tanpa Ibrahim harus mengawini Hajar dulu.

--- TAMAT ---
Balikpapan, 29 1 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER