Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 01 Maret 2021

Pengakuan Sumiati #7

Cerita Bersambung

Sejak kejadian itu Dipo belum sekalipun muncul di rumahnya atau di Toko Ijo.
Sumi tetap berusaha tenang. Dipo yang mestinya merasa malu untuk muncul, kalau punya malu.
Namun Sumi akan lebih sigap jika terjadi apa-apa lagi.
Dia justru bersikap lebih percaya diri dibanding Dipo yang pengecut di toko.
Sumi bekerja seperti biasa. Toko tetap ramai. Sumi melayani pembeli dengan penuh senyum seperti biasa.
Para pembeli tidak tahu kecamuk hati Sumi. Pak Jarwo juga tidak tahu apa yang dialami buruh andalannya itu.

Mungkin dia akan sangat marah sama anaknya. Atau ikut malu dengan kelakuan anaknya. Atau justru dapat contoh bagus untuk berbuat serupa.

Meski bersikap tenang, simboknya Sumi tetap merasa ada yang aneh dengan Sumi.
Sebagai orang yang mengandungnya dan membesarkannya, Kartiyem punya naluri yang tajam mengenai sikap anaknya itu.

Suatu hari ketika Sumi berada di rumah disempatkannya bertanya pelan.

"Nduk simbok amati kamu kok seperti murung, gampang marah. Ada apa sebenarnya?"
"Hmm...murung gimana mbok?"
"yah mbokmu bisa merasakan kok nduk. Kamu nggak seperti anak simbok yang dulu. Ada yang berubah."
"Ah mungkin gara-gara simbok punya adik bayi, jadi simbok yang peka."
"Oalah ya nggak nduk. Beda kok nduk. Coba ceritakan ke simbok."

Tidak bisa menahan emosi, Sumi menangis di dada mbok Kartiyem. Tangisnya pecah.
Beberapa lama air matanya tumpah.
Meski kadang tangsinya tertahan.

"Mbok maafkan anakmu ya mbok.."
"Lho ada apa. Simbok selalu memaafkan kamu nduk...simbok selalu sayang kamu nduk...Ada apa?"
" Anu mbok...Sumi sudah..Sumi sudah..."
"Sudah apa , mbok bilang to nduk.." kata mbok Kartiyem sambil mengusap-usap muka Sumi dan mengelus rambut panjang Sumi.
"Sumi ngga gadis lagi...!"
"Ha Jabang bayi!! Siapa yang melakukan nduk? Siapa?" Kartiyem meledak.

Nggak mau dia nasib dirinya terjadi pada Sumi anak kesayangannya.
“Siapa lagi mbok.”
“Lho siapa? Ndoromu?”
“Bukan mbok. Anaknya!”
“ Dipo? Kurang ajar! Jangan diam nduk.”
“Iya mbok Sumi nggak akan diam. Sumi akan melawan mbok. Simbok sabar saja.”

Kartiyem tahu betul nasib perempuan teraniaya.
Apalagi jika itu dipaksa.

“Simbok akan mendukungmu nduk. Jangan takut.”
“iya mbok jika waktunya tiba. “

Kartiyem justru yang sekarang menangis sejadi-jadinya.
Teringat kembali ketika dia diusir dari rumah tuannya oleh Nyonya Sanghai.

“Mbok..sudah jangan menangis.” Sumi heran kenapa simboknya yang justru menangis seseunggukan.
“Aku akan mendapatkan toko itu mbok.Tunggu mbok.”
“nduk apa yang kamu lakukan? Jngan lapor polisi. Nanti jadi rumit.”
“Nggak mbok. Nggak...Sudah simbok tenang.”

Dua wanita itu saling menguatkan juga saling memendam rasa pedih.
Kartiyem tidak sampai hati menceritakan kepada anaknya.
Tapi Kartiyem takut Sumi nanti justru mendengar selentingan dari tetangga.
Tapi Kartiyem akan menceritakannya nanti jika suasana sudah agak membaik.
Dia tidak ingin Sumi menerima kabar yang akan memberatkan pikirannya sekarang.

Sarmo semakin memikirkan Sumi.
Dia sangat ingin melindungi Sumi. Dia sangat takut ada apa-apa dengan Sumi lagi.
Dia ingin pulang kampung. Tapi dia berpikir usaha yang sudah dibangunnya akan terhenti. Dia belum punya orang yang bisa dipercaya.

Pakliknya pasti juga keberatan jika dia pulang hanya gara-gara Sumi.
Pakliknya semakin ingin menjodohkan Sarmo dengan Sunarni.
Pakliknya juga berkepentingan agar bisnisnya juga dipegang oleh orang yang tepat daripada di tangan orang lain.

Sunarni sebenarnya disekolahkan di jurusan manajemen dalam rangka meneruskan bisnisnya.
Tapi melihat gelagat hingga kini sepertinya anaknya tidak cocok untu memegang bisnisnya..

“Pikirkan baik-baik Sarmo. Kepulanganmu tidak membantu banyak. Kecuali kau kawini Sumi dan kau ajak ke sini.”

Sarmo tahu sangat sulit mengajak Sumi ke Bengkulu.
“Mas Sarmo pulang mau ada urusan apa?” tanya Sunarni.
“Urusan perjodohan..” jawab Sarmo singkat.
Dia belum kenal baik Sunarni yang lebih banyak waktunya dihabiskan di Jogja tempat kuliahnya.

“Ooo sudah ada calon Mas?”
“Ada. Tapi tidak mudah sepertinya.”

Sunarni hitam manis dengan penampilan yang cukup modis.
Pakliknya kaya  jadi cukup untuk memoles anaknya untuk tampil modis.
Tapi sepertinya terlalu dimanja sehingga justru tidak paham kehidupan. Tahunya hanya kuliah, minta duit, seneng-seneng.
Jauh dari pengalaman hidup yang dijalani Sarmo.
***

Sindhu tidak lepas dari Sumi. Meski dia punya teman-teman yang menyenangkan dan lebih sejajar, dia juga punya ambisi untuk menyelamatkan Sumi.

“Oalah Mas.. Sumi yang gadis itu bukannya terlalu jauh gapnya dengan kamu. Sekarang malah sudah nggak perawan lagi. Kamu masih juga memikirkannya”, kata Silvy lagi ketika mereka sedang makan di kantin kampus.
“Hmm..aku semakin tertantang. Harus ada jalan keluar yang baik untuk Sumi. Lelaki itu harus diberi pelajaran.”
“Aku setuju sih . Tapi apakah harus kamu yang memberi pelajaran mas?”
“Aku akan membantu.”
“Imbalannya Sumi?”
“Ya tidak tahu. Aku sekarang cuma berpikir bagaimana membantu dan membuat Sumi bahagia, dengan atau tanpa aku.”
“Wow memang hero kamu mas...!” ucap Silvy agak sinis.

==========

Lik Marto dan istrinya siap-siap menengok anaknya, Sarmo, di Bengkulu.
Mereka ingin melihat kehidupan Sarmo di rantau.
Tidak pernah terpikirkan bahwa mereka akan pergi jauh sampai ke Bengkulu.
Sarmolah penyebabnya.

"Jadi kapan Lik mau nengok Sarmo?" tanya salah seorang pembeli soto di warungnya.
"Minggu depan ini."
"wah tutup ya warungnya nanti?"
"Iya kira-kira dua minggu."
"Wah puas, dua minggu warungnya tutup."
"Sekali-sekali liburan. Itu kalau kerasan"._

Menaiki bis dari Delanggu Lik Marto bersama berangkat menuju Bengkulu. Stanplat dimana dulu mereka mengantar Sarmo.
Untuk pertama kali mereka pergi jauh. Mbok Marto membawa termos untuk air panas. Membawa beberapa bungkus arem-arem untuk sangu di jalan.
Mbok Marto juga tidak lupa membawa telor asin dan jadah untuk oleh-oleh anak dan adiknya di Bengkulu.
Tidak lupa minyak angin warna hijau cap Elang yang jadi andalannya jika bepergian. Jaga-jaga kalau mabuk atau masuk angin.
Semalaman bis berjalan. Lik Marto susah tidur. Tidak biasa perjalanan malam di kendaraan umum. Sempat berhenti di daerah Weleri untuk makan malam dan sholat. Meski sudah bawa arem-arem Lik Marto berdua tetap ikut meniikmati makanan di restoran Weleri yang biasa untuk pemberhentian bis menuju Jakarta atau Sumatera itu.
Lalu perjalanan dilanjutkan. Melewati alas Roban..Lik Marto berdua deg-degan melihat kelak kelok jalan. Perasaan bercampuraduk antara takut dan ingin tahu. Satu sisi jalan adalah tebing yang dalam meski tidak terlalu tampak di malam hari.

Melewati Jakarta di pagi hari lanjut ke barat ke arah Merak.Sampai di Merak  pagi menjelang siang hari.
Di Merak mereka harus menyeberang selat Sunda dengan naik kapal. Ini juga pengalaman baru bagi Lik Marto berdua. Mbok Marto sempat muntah-muntah karena goncangan ombak yang membuat kapal seperti naik turun bergoyang-goyang. Ya mbok Marto mabok laut. Mereka menyeberangi laut sekitar 2 jam an dengan kapal. Sampai Bakaheuni perjalanan dilanjutkan lagi dengan bis menuju Palembang. Lanjut ke Lubuk Linggau lalu ke Curup.
Lik Marto berkali-kali dia melihat bagaimana para begal menyetop bis dan truk yang lewat di jalur itu. Mereka memalak. Tidak ada pilihan lain bagi para sopir itu selain memberi beberapa  ribu.Pemandangan serupa tidak mereka lihat di pulau Jawa. Perjalanan yang berat bagi keduanya karena lamanya. Lik Marto harus merawat istrinya yang lemas sepanjang perjalanan.

Sarmo dan pakliknya menunggu-nunggu dengan senang hati kedatangan Lik Marto. Setelah dua malam sehari sampailah mereka di Curup.
Sarmo dan pakliknya menjemput Lik Marto dan istri di pool bis.

"Gimana perjalanan pak?"
"wah berat Mo. Mbokmu mabuk."
"lha wong kapal jalannya goyang- goyang , mules di perut."
"Yang penting sekarang sudah sampai rumah."
Mereka menginap di rumah Slamet adik Lik Marto.

Lik Marto mengagumi rumah adiknya yang besar dan beberapa mobil untuk usaha.
"Wah makmur kamu Met.."
" Ya ginilah mas. Hasil kerja keras bertahun-tahun. Makanya kuajak Sarmo ke sini. Masih banyak peluang usaha. Asal mau repot."
"Memang harus begitu."

Mbok Marto ngobrol sama istri Slamet di kamar belakang.
***

Pada saat makan malam di rumah Lik Slamet, berlangsunglah perbincangan .

"Jadi gimana le kamu sama Sumi itu?"
"Masih berhubungan. Baik-baik ".
"Kamu tahu le kalau Sumi itu habis diperkosa Dipo anak Pak Jarwo?"
"Bapak dengar dari siapa?"
"wah beritanya sudah menyebar."
"Cerita gitu harusnya jangan disebar. Kasihan Sumi."
"lha memang begitu kok le nyatanya."

Perbincangan terhenti. Sarmo sangat tertekan dengan kabar yang menyebar itu. Mungkin dari Sisri yang pernah secara nggak sengaja diberitahu Sumi menjelang tidur.
Mereka menikmati makan malamnya kembali.

"wah paklikmu ini sudah ketularan masakan Sumatera."
"lha gimana mas?"
"Rasanya pedes dan asin."
"haha...sudah bertahun-tahun hidup di sini."
Pertemuan kakak adik itu berarti sekali.

"Ssstt..kamu tahu nggak mo kalau Sumi itu anak haram?"
"Ha? Gimana Pak maksudnya? Anak kok haram...?"
"Lha kan bapaknya tidak jelas."
"Lho kan ada lik Sugiyono bapaknya.."
"Bukan. Kartiyem itu nikah sama Sugiyono sesudah ada Sumi. Jadi Sugiyono itu bapak tiri."

Sarmo terdiam. Selama ini dia sering mikir memang, mengapa Sumi tidak seperti bapaknya yang kulitnya gelap. Dia juga dengar desas-desus itu.
Cuma dia tidak ingin mendengar lebih jauh.

"Sumi perlu dikasihani Pak."
"Ya betul.Tapi jangan nikah karena kasihan. Nanti kasihanmu hilang nggak ada lagi cintamu."
Lik Marto berteori.

Lagi-lagi Sarmo diam meresapi ucapan bapaknya. Selama ini bapaknya seperti merestui hubungannya dengan Sumi. Tapi kini semua terbuka.

"Bener le bapakmu itu...", sahut pakliknya.
Mbok Marto dan Yu Slamet dari tadi diam saja mendengarkan pembicaraan itu.
Dia kasihan sama Sarmo tapi dia juga nggak berani bersuara.

"Kenapa kamu nggak sama adik sepupumu Narni itu lho." sambung pakliknya.
"Iya sebenarnya sudah jelas lho Mo. bibit bobot bebet."

Sarmo serba salah. Dia tidak ingin menyakiti hati bapak dan pakliknya.
Dia sadar keberhasilannya sekarang adalah berkat bantuan pakliknya yang memaksa dia untuk keluar dari desanya untuk merantau. Tapi dia tidak mau dipaksa-paksa dalam hal jodoh.
***

Sindhu meski hatinya terikat ke Sumi, tapi justru dia sering curhat ke Silvy.
Ya memang hanya Silvy yang peduli dengan apa yang dipikirkan Sindhu.
Menurut Silvy jika saja Sindhu tidak ikut melibatkan diri dengan urusan Sumi akan lebih enak.

"Ngapain kamu sibuk memikirkan urusan Sumi. Coba kamu putus campur tanganmu, hidupmu lebih enak."
Ucapan Silvy memang beralasan .

Sindhu kadang tersadarkan oleh sindiran-sindiran Silvy.
"Benar juga ya ucapanmu."

Tugas-tugas kuliah telah menyedot pikiran dan tenaganya. Dia sering menghabiskan waktu di depan meja gambar mengerjakan tugas dari dosennya. Kurang tidur sudah biasa bagi mahasiswa Arsitektur.

Sindhu mulai ragu dengan tekadnya untuk membantu Sumi.
Sedangkan Silvy justru selalu sering menghiburnya dengan obrolan dan menemani mengerjakan tugas di studio.
Mestinya Sindhu memilih saja jalan mudah di depan mata kenapa harus memilih jalan yang sulit dan berliku.

Seberapa besar arti Sumi bagi Sindhu sejauh ini belum dia rasakan.
***

"Nduk piye kerjamu di toko?"
"Nggak papa mbok. "
" jadi rencanamu mau dapat toko itu gimana nduk? Simbok kok nggak sampai mikirnya."
" Wah simbok nggak usah ikut mikir. Nanti akan tahu."
" Simbok cuma pesen jangan pakai cara-cara yang nggak bener nduk".
".Iya mbok."

Sumi sendiri aslinya juga bingung bagaimana. Tapi dia bertekad memberi pelajaran untuk Dipo.
Dia tidak ingin menyerah.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER