Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 01 April 2021

Cinta Kedua #8

Cerita Bersambung

Sebulan sejak kepergian Seno, Nisa berubah ja di pemurung, ia bicara hanya seperlunya bahkan dengan Viko. Orang-orang kantor yang menangkap perubahan Nisa yang kentara itu mulai bergosip di dapur. 

"Kayaknya bos lagi ada masalah ya? akhir-akhir ini dia sensi banget." Sahut Mala. 
"Bener. Kemarin waktu gue kerja luar sama dia rasanya kaku banget. Kira-kira kenapa ya? Ada yang tahu gak?" Deni menimpali. 
"Len, elo kan yang sering sama bos, lo tau gak?" 
"Gue juga gak tahu. Bos gak pernah ngomongin masalah pribadi." Lena menjawab. 
"Itu karena bos kalian perawan tua. Cewek yang memasuki usia 30 dan belum kawin juga biasanya begitu. Sensi. Gampang tersinggung, marah-marah gak jelas, kadang-kadang gampang mewek. Itu yang gue tau, makanya suruh bos kalian kawin jangan taunya kerja mulu." Nadya musuh bebuyutan Nisa tiba-tiba datang dan langsung menyambar obrolan bawahan Nisa.
Mala, Deni, dan Lena cuma tersenyum kaku pada Nadya lalu cepat-cepat pergi dari dapur. 

"Heh bilangin sama bos kalian, kawin sono sama berondong ... Percuma muka cantik tapi gak laku-laku, lakunya sama berondong doang." Nadya berteriak. 
"Gila, omongan bu Nadya keterlaluan banget. Sadis. Gue salut sama bos biarpun dihina gimanapun juga dia sabar." Sahut Mala setelah mereka di ruangan. 
"Iya. Mereka kapan akurnya sih. Gak cape apa ya musuhan terus. Gue yang lihatnya aja cape." Kata Deni. 
"Lena ke ruanganku sebentar." Tiba-tiba Nisa menyembulkan kepala dari ruangannya memanggil asistennya. Mala, Deni, dan Lena menoleh bersamaan. 
"Hei obrolan kita didengar bos gak ya?" Sahut Mala. Deni dan Lena mengangkat bahu. 
"Ada apa ya? Gue ke sana bentar." Lena merapihkan kemejanya sebelum berjalan ke ruangan Nisa. 
"Duduk, Len." Sahut Nisa setelah Lena di hadapannya. 
"Ada apa bos?" 
"Len, hari ini aku mau pulang cepet, ada urusan. Tadi pagi pimpinan minta laporan rugi laba years to date sama laporan rugi laba anggaran realisasi, kamu kroscek lagi ya takutnya belum ada yang ke input. Terus kalau pimpinan nanyain soal biaya iklan buat di TV jawab aja aku belum tau. Soal itu nanti biar aku aja yang bilang. Takut kamu salah ngomong." 
"Siap bos. Kalau boleh tau, bos ada urusan apa? Penting banget ya?" Lena bertanya dengan hati-hati. Lena ingin mengorek sedikit saja urusan pribadi bosnya. 
"Aku mau ke rumah sakit." Kata Nisa. Wajah Lena menegang. 
"Siapa yang sakit bos?" Nisa terdiam, rasanya ia tidak perlu memberitahu Lena siapa yang sakit. 
"Oh iya nanti kalau kerja luar tolong minta data reture sama mas Bayu ya ..." Sahut Nisa. Lena mendengus ia sudah menduga bosnya itu tidak akan menjawab.
Cewek satu ini emang sangat tertutup kalau masalah pribadi. Lena membatin. 

"Iya bos." 
*** 

Nisa berjalan cepat di lorong rumah sakit.
Semalam ia dapat kabar dari ibunya Viko kalau Viko drop dan dokter menyarankan untuk rawat inap.
Seminggu terakhir ini kesehatan Viko memang kembali menurun. Nisa tidak akan pernah melupakan bagaimana saat penyakit Viko itu sedang menyerang tiba-tiba. 

Malam itu Viko mengajak Nisa untuk makan malam di sebuah restoran, lalu entah mengapa tiba-tiba wajah Viko pucat dan sedikit membiru. Ia terlihat kesakitan sambil memegang dadanya. Nisa hawatir bukan kepalang.
Dengan terbata-bata dan kesusahan Viko berucap. 
"Tolong ambilkan obat di mobil" dengan bingung dan takut Nisa minta tolong, beberapa pelayan dan pengunjung mengangkat Viko lalu merebahkannya di sofa. 

Nisa lari sekencang-kencangnya ke luar menuju mobil untuk mencari obat. Tidak peduli bahwa saat itu ia memakai sepatu hak tinggi. 
Saat obat sudah di tangan, Nisa kembali ke dalam dan terlihat Viko sedang dikerumuni beberapa pelayan dan pengunjung, mereka semua terlihat cemas. Nisa meminta air putih untuk Viko minum obat. 
Seorang pelayan dengan sigap membawakan segelas air putih. Saat itu wajah Viko sudah membiru.
Dengan hati-hati Nisa mengangkat punggung Viko untuk duduk dan memberikan obat.
Perlahan Viko membuka mulutnya lalu menelan obat itu. Butuh waktu setengah jam untuk melihat reaksi obat itu. 
Perlahan Viko terlihat segar kembali. 

Setelah melihat kejadian itu, Nisa berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan Viko, walaupun dalam sebulan ini ia baru menyadari bahwa sebenarnya_hatinya terpaut pada orang lain. 

Nisa menenteng dua kantong kresek berisi buah dan beberapa kudapan. Sebelum ia ke rumah sakit ia mampir dulu ke supermarket untuk berbelanja. 
Sebelum membuka pintu tempat Viko dirawat, Nisa menarik nafas dalam-dalam lalu ia hembuskan perlahan untuk menguatkan dirinya sendiri. 

"Assalamualaikum ..." Sapa Nisa ketika membuka pintu. 
Ibunya Viko langsung menoleh. Viko terlihat sedang terlelap dengan jarum infus menancap di punggung tangannya. 
"Nisa ... Syukur kamu sudah datang." Kata Mia, ibunya Viko. 
Nisa menyalami Mia dengan sopan. "Iya tante, tadi aku mampir ke supermarket dulu. Tante udah makan siang?" Nisa meletakan belanjaannya di meja dekat jendela.
Lalu duduk di sofa di samping Mia. 

"Sudah." 
"Oh, aku beli buah dan beberapa kudapan, nanti di makan ya ... Menunggu orang yang sakit itu melelahkan kita tidak boleh mengabaikan perut, nanti kita ikut sakit." 
"Iya, terima kasih ya sayang ..." Kata Mia. Nisa tersenyum senang. 
"Viko baru aja tidur setelah diberi obat yang langsung disuntik ke infusan." Mia menghela nafas sebelum melanjutkan ucapannya. 
"Sekarang Viko harus lebih banyak beristirahat, jadi untuk sementara dia harus berhenti dulu dari semua kegiatannya." 
"Tidak apa tante, yang terpenting sekarang Viko sehat dulu." Mia mengangguk. 
"Nisa, bagaimana kalau Viko tidak bisa bertahan dengan jantungnya? Kita harus segera mendapat donor jantung. Yang kita tahu mendapatkan donor jantung adalah hal yang sangat sulit. Dokter Vanesh sudah mencatat Viko diurutan pertama untuk segera mendapatkan donor jantung. Sekarang tante cuma bisa pasrah dan berdoa. Semoga Viko bisa bertahan sampai jantung baru sudah tersedia." Nisa meraih tangan Mia lalu meremasnya pelan untuk menguatkan. 
"Viko pasti bertahan tante." 

Suasana hening beberapa saat. Sampai akhirnya Nisa mengajukan pertanyaan yang sangat ingin ia ketahui.
Karena sudah berulang kali pertanyaan itu ia ajukan pada Viko tapi laki-laki itu tidak pernah menjawab. 

"Tante, kalau boleh saya tahu Viko menderita penyakit ini sudah berapa lama? Dan kenapa Viko sampai menderita penyakit yang sangat berbahaya ini?" 
"Entahlah, tante juga tidak tahu pasti sejak kapan Viko sakit jantung. Tapi kata dokter penyebabnya adalah karena Viko selalu mengkonsumsi obat antidepresan, bertahun-tahun Viko mengkonsumsi obat itu sampai akhirnya ia memiliki masalah kardiovaskuler yang menyebabkan melemahnya kinerja jantung dari waktu ke waktu. Penyakit ini adalah efek samping dari obat antidepresan." 

Perkataan Mia masuk dengan jelas ke telinga hingga ke otak Nisa. Mendengar itu, kepala Nisa seperti dihantam palu godam. 
Viko sakit karena obat antidepresan. Itu artinya sakitnya Viko tidak langsung karena kejadian itu. 

'God ... Kenapa masalah ini sangat beruntun dan berat?' Nisa terdiam beberapa saat, entah ia harus berkata apa. 
Nisa melihat Viko yang terbaring di kasur pasien. 
'maafin aku Viko, semua ini salahku' dada Nisa sesak ketika ia menatap wajah Viko yang terlihat tenang dalam tidurnya.
Lalu kelenjar air mata mulai bekerja hingga sebulir air bening memaksa keluar dari sudut mata Nisa. 

"Tante, pasti Viko sangat kesakitan." Nisa berucap sambil terisak. Mia mengangguk. 
"Berat badan Viko juga sedikit demi sedikit menurun. Tadi pagi saja dia minta dibelikan celana dalam. Katanya 'ma, celana dalam aku kok kedodoran semua? Viko minta tolong belikan celana dalam yang agak kecil dari ini ya' tante sedih banget dengernya. Tante juga mau berterima kasih sama kamu karena sudah mencintai dan menerima Viko apa adanya, Nis." 

Nisa mengerjap. Mencintai? Sekarang ia tidak yakin dengan itu. Walaupun begitu ia tidak akan pernah meninggalkan Viko. 
Nisa mengangguk seraya meluncurkan senyum pada Mia.
***

Nisa berjalan gontai menuju pintu apartemennya.
Hari ini perasaannya sangat kacau setelah mengetahui bahwa Viko sakit karena ada hubungannya dengan kejadian sebelas tahun yang lalu. Ia tidak mengira kalau dampak dari kejadian itu akan sefatal ini. 

'Danisa, sekarang apa yang akan lo lakuin?' 

Nisa memencet kode pintu, saat pintu sudah terbuka dengan otomatis, ia menoleh ke pintu apartemen Seno.
'Sen, gue harus gimana sekarang? Lo lagi ngapain di sana? Bolehkah gue bilang kalau sekarang gue rindu?'

Nisa menarik nafas dalam-dalam untuk menahan emosinya, karena sebentar lagi air matanya akan memaksa keluar. 

'gue menyadari perasaan ini, setelah elo pergi. Tanpa sadar perasaan ini tumbuh di dalam persahabatan kita. Benar, dulu gue terpikat sama Yuda. Dan benar bahwa gue masih memendam perasaan sama Viko. Tapi ... Dibalik semua itu gue gak bisa hidup tanpa lo. Gue terlalu nyaman sama lo. Gue lega banget saat tahu kalau elo jomblo, dan gue gak mau elo jauh dari gue karena gue terlalu sayang sama lo, ndut ... Sekarang gue harus gimana?'

Nisa duduk bersandar di depan pintu apartemen Seno, ia menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
Lalu tangisnya terhenti karena ia mendengar pintu lift berdenting pertanda akan ada orang ke sana. Dengan cepat Nisa mengusap air matanya.

"Teh Nisa, ngapain jongkok di situ?" Nisa mendongak mendengar suara yang sangat dikenalnya. 
('Teh/teteh': sebutan 'kak/kakak' dalam bahasa sunda)
"Angga ... Tumben ke sini?" Angga adalah adik bungsu Nisa yang seumuran dengan Yuda.
"Teteh abis nangis ya?" 
"Enggak! Sok tau kamu. Ayo masuk!" Nisa mengabaikan pertanyaan Angga, ia malu karena tertangkap basah menangis. 

Setelah di dalam, Nisa melihat di tangan Angga ada sebuah bungkusan.
"Apaan tuh, Ngga?" Nisa berucap sambil merebahkan tubuhnya ke sofa.
"Bubur ayam. Teteh mau?"
"Lagi gak nafsu makan." Nisa menjawab dengan malas.
"Ya udah, emang teteh kenapa sih? Pake mewek segala di depan pintu apartemen bang Seno. Oh iya, bang Seno ada gak? Udah lama banget gak ketemu."
"Gak ada." 
"Gak ada? Kemana?"
"UK." Jawab Nisa singkat. Angga mendelik. 
"Maksudnya ke UK Inggris gitu?" 
"United Kingdom yang mana lagi emang? Ya iya lah Inggris."
"Bukan gitu, UK kan negaranya banyak ada Wales, Scotlandia, Irlandia. Ngomong-ngomong ngapain dia ke sana? Liburan?"
"Bukan. Dia kuliah di Manchester."
"Wah, serius? Hebat." Angga berdecak kagum.
"Kamu belum ngejawab, kamu ngapain ke Jakarta? Bukannya diem di Sukabumi bantuin ayah sama ibu."
"Aku mau ikutan audisi nyanyi. Lagian karyawan ayah sama ibukan udah banyak. Udah dibolehin kok sama mereka, asal aku tinggal sama teteh, katanya gitu." 

Nisa melirik adik bungsunya itu dengan prihatin.
Tanpa sadar ia membandingkan Angga dengan Yuda, mereka seumuran tapi Yuda jauh lebih dewasa dari Angga. Masa depan Yuda sudah terlihat, dia salah satu calon orang sukses diusia muda. Sedangkan Angga belum jelas. Adiknya itu senang nyanyi-nyanyi sambil main gitar. Disuruh kuliah enggak mau sampai ngamuk-ngamuk, malah ikut ngeband sama teman-temannya yang enggak jelas juntrungannya. Tapi enggak dipungkiri suara bocah itu memang bagus.

"Ya udah asal jangan macem-macem ya selama tinggal di sini, kalau macem-macem aku enggak segan-segan buat nendang kamu kembali ke Sukabumi. Ngerti!"
"Siap bos ... Kita tunggu saja penyanyi terkenal bernama Anggara sebentar lagi akan lahir dari Sukabumi."
"Hhmm ya udah aku mau tidur dulu, kamu tidur di kamar depan ya. Oh iya ngomong-ngomong kamu ke sini gak bawa baju?" 

Nisa melihat Angga cuma bawa satu tas kecil yang melilit di bahunya. 
"Besok baru nyampe aku udah paketin kemarin. Berabe kali harus bawa koper di kereta."

==========

Seno menyesap kopinya yang tinggal sedikit, dari sejam yang lalu ia duduk di depan laptop memandang badan email yang masih kosong. Ia bingung mau menulis apa sedangkan dalam hati dan kepalanya banyak yang ingin ia ungkapkan ke Nisa. Ya ... Seno akan mengirim email ke Nisa.

Akhirnya Seno cuma menulis : 'Nis, lo baik-baik aja kan? Oh iya, lo dapet salam dari Castlefield taman paling bagus di Manchester menurut gue. Kapan-kapan lo ke sini dong, nanti gue ajak lo jalan keliling Inggris sampe gempor.'

Seno menghela nafas panjang, selama ini ia tidak pernah jauh sekalipun dengan Nisa, lalu sekarang mereka berjauhan rasanya sangat aneh dan_tersiksa karena rindu. Tapi apakah perempuan itu juga merasakan hal yang sama?

Seno bangkit berjalan ke balkon apartemen. Dari tempatnya berdiri terlihat jelas bagaimana ramainya di bawah sana, apartemen yang Seno tinggali terletak di pusat kota dan cukup dekat dari kampusnya.

Arsitektur bangunan bertema Modern, Kontemporer, Georgia, Romawi, dan Gothic ada di kota ini. Sekarang Manchester adalah kota metropolitan bonafit, mengerti bagaimana mengabadikan bangunan kuno dan modern. Juga mengerti bagaimana melestarikan suasana harmonis agar Manchester tidak lupa akan masa lampaunya.

Dari sekian banyaknya bangunan yang bagus, perpustakaan John Rylands adalah tempat yang paling disukai Seno.
Siapapun yang melihat bangunan berwarna coklat tua itu pasti tidak menyangka kalau itu adalah sebuah perpustakaan, karena dari penampakannya bangunan bergaya neo-gothic yang sudah ada dari zaman ratu Victoria itu seperti kastil atau sepintas mirip dengan katedral mewah.
Di sana Seno bisa menghabiskan waktu senggang dengan membaca apapun yang ia mau. Karena sejak tahun 1972 perpustakaan John Rylands sudah menjadi bagian dari Universiti of Manchester.
Di sini lumayan banyak orang Indonesia yang kebanyakan berstatus mahasiswa.
Sebulan di Manchester Seno sudah memiliki beberapa teman orang Indonesia dari mahasiswa sampai travel bloger.
Selain itu Seno juga mempunyai sepupu bernama Niken yang sudah lama menetap di UK.

Hawa dingin menyesap masuk lewat sweeter rajut yang Seno kenakan.
Musim gugur sudah berlalu sekarang musim dingin telah tiba.
Seno berharap bisa menyesuaikan diri. Walaupun biasanya suhu dingin di sini tidak terlalu ekstrem seperti di kota lain.
Musim dingin identik dengan Natal, di Manchester ini sungguh terasa.
Di pusat-pusat perbelanjaan mulai ramai menjual pernak-pernik natal.
Dan tidak ketinggalan pula para tetangga Seno sudah heboh dari sekarang mempersiapkan natal padahal masih sebulan lagi.

Ada satu tetangga Seno yang baiknya tidak ketulungan. Mr. Armand dan Mrs. Armand. Mereka pasangan suami istri berusia enam puluh tahunan yang baru saja kehilangan anak laki-lakinya.
Katanya, anak lelakinya itu seumuran dengan Seno, dia meninggal karena kecelakaan. Entah kenapa ketika melihat Seno mereka selalu teringat pada putranya.

"You remind us of our son." Katanya.

Sudah tiga kali Seno diundang makan malam ke apartemen mereka, dan saat natal nanti keluarga itu juga sudah menyiapkan satu kursi untuk Seno. Walaupun Seno sudah bilang dia tidak merayakan natal seperti mereka.

Hari-harinya di Manchester tidak begitu buruk karena ada keluarga itu. Tapi Seno akan sangat bahagia kalau wanita yang ia cintai ada di sampingnya dan menemaninya kapanpun.

Entahlah, karena itu sangat sulit dan_mustahil.
***

Jam setengah enam pagi Nisa sudah siap-siap berangkat ke kantor. Karena sebelum ke kantor Nisa mau mampir dulu ke rumah sakit menemui Viko.
Sebelum berangkat Nisa menyiapkan sarapan untuk Angga, anak manja itu tidak bisa melakukan apapun bahkan untuk masak mie instan.
Tidak lupa Nisa menulis pesan di secarik kertas.

'Ga, teteh berangkat kerja dulu, sarapan udah teteh siapin di dapur. Hati-hati kalau mau pergi, telepon kalau ada apa-apa. Kode pintu apartemen masih yang dulu.'

Nisa meletakan pesan itu di pinggir ponsel Angga biar bisa langsung dibaca.

Nisa berangkat dengan taksi yang sudah dipesannya dari subuh.
"Rumah sakit Cipto ya pak." Ujar Nisa pada supir taksi
"Baik mbak."

Pagi ini kota Jakarta masih sangat lengang, dari itu Nisa sampai di rumah sakit lebih cepat.
Nisa membayar argo lalu langsung masuk ke dalam.
Sebelumnya Nisa sempat dicegat oleh salah satu satpam karena sekarang bukan jam besuk. Tapi Nisa bilang bahwa ia keluarga pasien untuk giliran berjaga.
Akhirnya ia dibolehkan masuk.

Saat Nisa masuk ke ruangan, Viko tidak ada di tempat tidur. Lalu terdengar ada suara gemericik air di kamar mandi. Nisa berseru dari balik pintu.

"Viko ... Kamu di dalam?"
"Iya ... Kamu sudah datang, sayang? Sebentar, aku sedang buang air kecil. Mamaku tadi ke bawah mau beli sarapan katanya."
"Oh ..."

Selang beberapa menit Viko keluar dari toilet. Ia tersenyum dengan cerah ketika melihat Nisa sudah duduk di sofa menunggunya.
Nisa bangkit lalu memapah Viko kembali ke tempat tidur dan menaruh botol infus ke tiang besi.

"Aku tidak perlu dipapah, Nis. Aku sudah mendingan kok. Aku harap dokter Vanesh membolehkan aku pulang hari ini."
"Menurutku kamu harus lebih banyak beristirahat di sini, Ko. Sampai kamu beneran sembuh. Aku hawatir banget sama kamu." Viko menatap Nisa dengan takjim seraya  memegang jemari Nisa dengan erat.
"Terima kasih ya ..." Sahut Viko.
"Untuk apa?"
"Untuk tetap di sisiku." Nisa mengerjap.
"Untuk selalu mencintaiku apa adanya." Lanjut Viko. Nisa menelan ludah.
Lihatlah bola mata Viko yang jernih berbinar karena rasa bahagianya walau lingkaran hitam begitu terlihat jelas.
Apakah Nisa sangat jahat karena sudah berbohong tentang perasaannya? Viko mengira Nisa mencintainya.
Padahal setiap detik ia bernafas, rasa cinta dan sayangnya tertuju pada orang lain.

Viko merebahkan tubuhnya di kasur pasien, lantas ia bicara lagi. "Setelah aku keluar dari sini, aku ingin kita lebih serius lagi." Nisa terhenyak, menatap Viko yang terus tersenyum bahagia.
"M_maksud kamu?" Nisa berucap sedikit gemetar.
"Aku ingin kita menikah. Semalam aku berpikir, setelah keluar dari sini aku berencana melamar kamu secara resmi, Nis. Kamu maukan nikah sama aku?"

Demi apapun saat Nisa mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Viko, rasanya ia seperti tersambar petir di pagi buta.
Ia ingin berlari sejauh mungkin namun kakinya menancap kokoh pada lantai yang ia pijak. Tidak bisa bergerak sedikitpun.

Nisa menatap lagi bola mata Viko yang berbinar bahagia.
Hati Nisa menceos, bagaimana bisa ia menyakiti Viko dengan keadaan yang seperti ini? Nisa tidak mampu menyakiti Viko dengan berkata tidak.
Saat itu yang bisa Nisa lakukan hanya berusaha meluncurkan senyum dan mengangguk samar.
Walau hatinya sekarang mungkin sudah tidak berbentuk.

"I love you ..." Sahut Viko.
"Ko, maaf aku harus ke toilet." Hanya itu yang mampu Nisa ucapkan.
Lalu secepat mungkin ia menghindar dari Viko. Dari tatapan Viko.
Di balik pintu toilet Nisa menahan tangisnya sekuat tenaga. Ia memukul pelan dadanya berharap sesaknya sedikit berkurang.

Triiit ...

Ponsel Nisa berbunyi. Nisa merogoh tas yang ia letakan di pinggir wastafel mengambil ponsel. Satu email masuk. Nisa membuka email itu. Dari Seno.

'Nis, lo baik-baik aja kan? Oh iya, lo dapet salam dari Castlefield taman paling bagus di Manchester menurut gue. Kapan-kapan lo ke sini dong, nanti gue ajak lo jalan keliling Inggris sampe gempor.'

Nisa mendekap erat ponselnya di dada. Ia tidak kuat lagi akhirnya sungai kecil meluruh dari matanya.
***

Nisa tidak tahu takdir akan membawanya kemana. Tapi apapun itu ia akan menerimanya. Walaupun ia harus berkorban.
Sebelas tahun adalah waktu yang sangat lama, ia dan Viko telah menderita, begitu juga Gita. Setidaknya dari tiga orang itu harus ada salah satu yang bahagia. Dan menurut Nisa satu orang itu adalah Viko.
Ia tidak masalah jika ia tidak bahagia, karena sebelas tahun sudah sangat cukup mengajarkannya. Nisa punya badan yang sehat, pekerjaan bagus, materi melimpah, dan sangat dicintai oleh satu pria. Apa lagi yang kurang? Bukankah Tuhan sudah memberi segalanya? Kenapa ia tidak bersyukur?
Mengorbankan cinta untuk kebahagiaan orang lain bukankah itu perbuatan yang baik? Apalagi orang itu dalam keadaan sakit. Sakit yang sangat parah.

Sudah seminggu Viko meninggalkan rumah sakit, dan rencana untuk melamar Nisa secara resmi juga rupanya tidak main-main.
Viko mulai mempersiapkannya, dari cincin sampai barang-barang lainnya.
Keluarga Viko yang di Sukabumi sudah diberi kabar soal rencana ini.
Sekarang giliran keluarga Nisa. Sebenarnya Nisa agak ragu untuk memberi tahu tentang rencana ini, karena Viko mempunyai track rekor yang buruk di mata orang tua Nisa karena tragedi sebelas tahun yang lalu.
Keluarga Nisa tahu bahwa Nisa tertabrak mobil karena dikejar oleh Viko, mereka juga tahu tentang cinta segitiga mereka.

Nisa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi di ruang kerjanya. Jemarinya mengurut keningnya pelan. Sungguh ini sudah membuatnya pening dan tidak bisa tidur beberapa hari ini.

Lena melihat bosnya dari luar ruangan. Ia merasa hawatir karena akhir-akhir ini Nisa seperti sedang sakit. Wajahnya pucat dan terlihat sedikit kurus. Semangat kerjanya juga menurun.
Lena tidak bisa menemukan Nisa yang seperti biasanya.
Perlahan Lena mendekati ruangan Nisa, dengan ragu ia menghampiri Nisa lalu bertanya "Mbak, apa mbak sakit?" Nisa menoleh pelan sambil membuka matanya.
"Eh, kamu Len. Enggak, aku enggak sakit cuma memang kurang tidur aja."
"Oh gitu, aku hawatir soalnya mbak keliatan pucat. Apa mau aku suruh mang Yanto buatkan teh manis anget? Biar seger badannya."
"Ya udah deh, makasih ya, Len."
"Iya sama-sama, mbak."

Lena keluar dari ruangan Nisa menuju dapur mencari office boy bernama Yanto.
Nisa terdiam. Ia terpikir sesuatu. Biasanya yang memberi perhatian seperti ini adalah Seno. Sekarang cowok itu tidak ada. Sungguh Nisa sangat kehilangan.
Nisa menangkupkan wajahnya ke atas meja lalu ia bisa mengeluarkan air matanya dengan leluasa sebelum Yanto datang membawakannya teh manis hangat.
***

"Assalamualaikum Ayah ..." Seru Nisa di balik telepon. Rencananya sekarang Nisa akan memberitahu orang tuanya tentang lamaran Viko. Mau tidak mau Nisa harus menyampaikan soal ini pada mereka.
"Walaikumsalam ... Nisa? Tumben telefon ada apa? Kamu tidak sibuk?"

Nisa sedikit tersentil mendengar ayahnya mengatakan 'tumben' karena Nisa anak yang sangat jarang menghubungi orang tuanya dengan alasan sibuk.

"Iya nih, aku lagi enggak sibuk hehe ... Yah, Ibu mana?"
"Ada di pabrik. Mau Ayah panggilkan?"
"Iya Yah, tolong panggilkan ya ... Soalnya aku mau bicara serius sama kalian."
"Oh, baiklah. Ayah panggil ibumu dulu ya ..."

Dodi, ayah Nisa, pergi mencari istrinya ke pabrik yang terletak di belakang rumah.
Keluarga Nisa memang mempunyai bisnis makanan yaitu mochi, oleh-oleh khas Sukabumi, yang dikelola sendiri oleh Rita, ibu Nisa.
Sedangkan Dodi mengelola bisnis di bidang pertanian. Ia mempunyai beberapa penggilingan padi, jual beli gabah dan bibit.
Keluarga Nisa berkecukupan, tapi mereka mengajarkan anak-anaknya untuk selalu hidup sederhana. Bahkan saat Nisa kuliah di Singapore, mereka memberi uang saku yang sangat pas-pasan, dan kontrakan yang kecil.

Sekarang, karena Nisa sudah mempunyai penghasilan sendiri, ia bisa melakukan apapun yang ia suka termasuk membeli beberapa tas mewah. Bukan tanpa alasan, hal itu ia lakukan untuk menunjukan pada musuh bebuyutannya, Nadya, bahwa ialah yang lebih sukses dari dia.

Dodi memanggil Rita yang sedang bekerja bersama karyawannya.
"Bu, ini Nisa telefon, katanya ada yang mau dia bicarakan dengan kita."
"Oh, Nisa? Tuh anak udah hampir sebulan baru telefon kita lagi. Tidak tahu kalau orang tua kangen sama anak gadisnya."
Nisa meringis mendengar ibunya bicara seperti itu.
"Halo Nis ..." Sekarang Rita yang mengambil alih ponsel.
"Halo Bu ... Ibu sehat?"
"Iya sehat. Kamu gimana? Mag kamu enggak suka kambuh lagi kan?"
"Enggak bu."
"Ngomong-ngomong si Angga engga bikin kamu repot?"
"Hhh ... Ibu tau sendiri gimana anak itu. Bahkan untuk urusan nyuci baju, dia enggak bisa sendiri. Sekalinya dia lakukan sendiri, malah enggak bener."
"Yang sabar ya, Nis. Adik kamu yang satu itu emang kelewatan manjanya. Oh iya kata ayah kamu, katanya ada yang mau diomongin?"
"Iya bu, tolong hapenya di loadspiker ya biar ayah bisa denger juga."
Rita menekan tombil spiker.
"Bu ... Yah ... Rencananya pacar aku dan keluarganya mau datang ke rumah minggu depan buat ngelamar."

Rita dan Dodi langsung sumringah dan terharu mendengar apa yang barusaja putri mereka ucapkan. Akhirnya anak gadis yang sangat mereka sayangi akan menikah juga.
Sebelumnya mereka sedikit hawatir kalau Nisa tidak mau menikah karena dia terlalu senang bekerja dan_trauma akan masa lalunya.

"Nisa kamu serius?" Tanya Dodi dengan semangat.
"Iya, Yah."
"Alhamdulillah ... Ngomong-ngomong siapa calon suamimu, Nis?" Tanya Rita.
Nisa menelan ludah, hawatir kalau orang tuanya tidak menyetujui.
"Viko, Bu. Pacar aku waktu SMA dulu." Sahut Nisa dengan pelan.

Air muka Dodi dan Rita langsung berubah sedih.
"K_kamu serius Viko yang menyebabkan kamu kecelakaan?" Tanya Rita memastikan bahwa calon menantunya bukan Viko yang itu.
"Iya, Bu."
"Kamu yakin?" Rita mengulang memastikan lagi.
"Iya. Aku yakin, Bu."

Dodi menunduk sedih. Ia teringat bagaimana dulu anak gadisnya yang paling ia sayangi terbaring koma dan hampir tiada.
Lalu saat bangun dari koma, Nisa tidak mengenali orang tuanya bahkan dirinya sendiri hingga beberapa minggu.
Kemudian Dodi mengetahui putrinya seperti itu karena seorang lelaki bernama Viko.
Lalu menyusul ia tahu kalau Gita yang sudah Dodi anggap seperti putrinya sendiri ikut andil dalam tragedi itu.
Karena cinta segitiga, Dodi hampir kehilangan putrinya.
Akhirnya untuk melepaskan Nisa dari Viko dan Gita, Dodi sengaja mengirim Nisa jauh ke Singapore. Berharap Nisa bisa menyembuhkan hatinya yang terluka.

Lalu sekarang apa? Nisa malah akan menikah dengan lelaki itu.
"Kalau kamu yakin, Ibu sama Ayah mah setuju saja." Dengan berat Rita berucap.
Tanpa Rita sadari setitik air matanya jatuh, tapi dengan cepat Rita menyekanya dengan jilbab yang ia kenakan.

"Terima kasih, Yah ... Bu ... Tolong persiapkan semuanya, aku pulang ke Sukabumi hari jumat sore sudah pulang kerja. Assalamualaikum."

Nisa menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia tahu walaupun orang tuanya berkata seperti itu tapi dalam hatinya mereka sedih.
Nisa tahu karena ayahnya tidak mengucapkan sepatah katapun setelah tahu lelaki yang akan melamar Nisa adalah Viko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER