(side a)
"Iya mas, beres"
"Ini kuncinya Jo, senang aku kalau kamu dan Retno mau kerumah, siapa tau kamu bisa segera ketularan."
"Ketularan apa mas?"
"Ketularan bisa jadian sama Retno, terus segera punya anak seperti aku. Anakku laki2 lho Jo, ganteng kaya aku," kata Galang sambil tertawa.
"Percaya dong pak, bapaknya ganteng, anaknya pasti juga ganteng, apalagi kalau ibunya juga cantik."
"O, isteriku cantik lho Jo, didunia ini nggak ada yang melebihi kecantikan isteriku. Hahaa... itu kataku lho Jo, kata orang lain, apalagi katamu, pasti paling cantik adalah Retno."
"Mas Galang ini, sedikit2 Retno, belum tentu lho, Retno mau sama saya."
"Apa kamu pernah menyatakan cinta sama dia?"
"Belumlah mas, nggak berani saya, nanti kalau ditolak kan sakit .. orang miskin itu hatinya pebih perasa, apalagi saya kan pernah dihina habis-habisan samaorang tua pacar saya dulu, sakiit mas."
Raharjo menghela nafas panjang, rasa sakit ketika setahun yang lalu dirasakan, sekarang kembali menggigit. Susah melupakan sakit hati rupanya.
"Ya sudah Jo, nggak usah dipikirkan lagi. Anggap saja dia itu bukan jodohnya kamu."
"Iya mas, mas Galang benar, sekarang saya juga sudah bisa sedikit-sedikit melupakan."
"Bagus Jo, sekarang kamu harus menyiapkan hatimu, agar bisa menyatakan cinta pada Retno."
"Aduuh, mas Galang ini, kok Retno lagi sih," kata Raharjo tersipu.
"Menurut aku, kamu itu cocog sama dia. Pas, yang satu ganteng, yang satu cantik."
"Yang satu kaya raya, yang satu miskin.." keluh Raharjo.
"Jangan bicara so'al miskin, kamu itu menyindir aku ya Jo?" kata Galang sambil tertawa.
"Eit, enggak mas... aduuh..."
"Miskin itu bukan sesuatu yang hina. Miskin harta asalkan jangan miskin jiwa. Kalau jiwa miskin, waduuh.. jauh dari rasa bahagia, adanya cuma keburukan. Tapi miskin harta bisa jadi manusia mulia. Mengerti Jo?"
Raharjo mengangguk angguk.
"Iya benar mas.. "
"Nah, gitu dong, besok kalau aku sudah pulang dari Medan, kamu dan Retno harus sudah jadian."
Raharjo terbahak keras.
"Kok kesitu lagi sih pak."
"Aku melihat dari sorot mata Retno, dia itu suka sama kamu Jo."
"Waahahaaa... mas Galang bisa saja."
"Dikasih tau jangan ngeyel Jo, cara dia memandang kamu, cara dia memperhatikan kamu, itu rasa suka."
Raharjo hanya tersenyum. Retno itu teman kuliahnya, dekat sekali seperti saudara. Memang benar Retno selalu memperhatikan dia, bahkan ketika mendapat pekerjaan juga Retno mengajak dirinya. Tapi apakah itu cinta? Tiba-tiba hati Raharjo berdebar.Benarkah ia sudah melupakan Putri dan kemudiaan jatuh cinta pada Retno? Sungguh Raharjo takut. Walau mengiyakan kata-kata Galang, tapi berat melakoninya. Ia merasa rendah diri.
"Hayo.. ngelamun lagi. Jo, sekali lagi aku mau bilang, jangan kamu merasa rendah diri."
Raharjo terkejut. Galang seperti bisa menebak apa yang dirasakannya.
"Ayo, aku mau bersiap siap, sebentar lagi bos kecil pasti teriak-teriak memanggil."
"Hahaa.. bos kecil? Maksudnya mbak Widi? Tampaknya mbak Widi itu naksir sama mas lho, apa belum tau kalau mas Galang sudah punya isteri?"
"Ya tau lah, memang dia agak gini..," kata Galang sambil meletakkan jari telunjuknya didahi dengan posisi miring. Dan kedua laki2 ganteng itu tertawa terbahak bahak.
"Oh ya Jo, nanti aku kasih kamu nomor tilpun isteriku, supaya kalau kamu tersesat bisa tau ancar-ancar rumahku."
***
Putri sedang melamun, memikirkan sikap Widi terhadap suaminya, ketika tiba2 ponselnya berdering. Ternyata dari Galang.
"Hallo mas, sudah berangkat?"
"Ini mau berangkat sayang, jaga diri baik-baik ya, dan jaga anakku, jangan sampai rewel."
"Iya mas, jangan khawatir."
"Oh ya, nanti mobil kita akan diantar kemari oleh Raharjo."
"Raharjo? Kasihan mas, mengapa suruhan teman mas."
"Dia sendiri yang mau. Lagian biar kamu juga berkenlan dengan rekan-rekan kerjaku, mereka dari Solo juga, siapa tau bisa jadi saudara."
"Baiklah mas, hati-hati ya, jaga kesehatan. Aku sudah membawakan bekal obat pusing, obat flu dan vitamin untuk mas, di dompet kecil warna kuning."
"Iya, kan tadi kamu sudah kasih tau aku."
"Supaya mas nggak lupa."
"Iya ibu.. aku nggak lupa kok."
"Sekarang ganti ibu?"
"Iya, kan kamu ibunya anakku."
Putri tertawa senang. Begitu sayangnya Galang pada dirinya, juga pada anaknya, walau bukan darah dagingnya sendiri. Putri merasa sangat bahaagia menemukan Galang sebagai suaminya. Ia benar-benar bisa menjadi tempat untuk menambatkan hatinya dan hidupnya.
"Ya sudah, bapak berangkat ya bu.."
"Ya bapak..." sambut Putri senang..
Tapi sepeninggal Galang, Putri merasa hidupnya sangat sepi.Ada yang terasa kosong, dan lengang. Bahwa tadinya Galang hanya dipergunakan oleh orang tuanya untuk menutup aibnya, itu dia mengakuinya. Bahwa tak ada rasa cinta pada Galang sebelumnya, dia juga mengakuinya, tapi sekarang semua telah berubah. Hari-hari yang dilalui bersama Galang terasa semakin indah. Putri tidak bohong ketika mengatakan bahwa dia mencintai Galang. Kelembutannya, cara dia menjaga dan menghormatinya, sungguh membuat Putri merasa bahwa tak ada laki-laki sebaik dia. Teguhpun tidak. Haa, mengapa tiba-tiba dia membandingkannya dengan Teguh? Tidak, Teguh adalah masa lalunya. Barangkali cinta itu sudah lenyap digulung masa. Apalagi dia tau bahwa Teguh sudah punya calon isteri, yang sekarang mungkin sudah menjadi isterinya.
Putri menghela nafas panjang. Dipandanginya wajah Adhi yang tertidur pulas. Wajah yang polos dan bersih, hidungnya mancung, matanya bening. Alisnya tebal, sesungguhnya anak itu mirip Teguh. Putri merasa bersalah, telah membuat Adhi terlahir dengan cara yang nista. Tapi bukankah bayi itu tak berdosa dan harus dilindunginya dengan kasih sayang? Tidak, tepiskan kenangan malam yang hitam itu. Dunianya sudah berubah. Anaknya, suaminya, adalah keluarga yang membuatnya bahagia. Dipeluknya Adhi. Bayi mungil itu menggeliat, Putri menepuk nepuk pahanya gar Adhi kembali terlelap.
***
Retno memandangi Raharjo yang berdiri didepan pintu ruangannya, tampak ragu-ragu.
"Ada apa Jo? Hahaa.. sekarang aku jadi terbiasa ikut-ikutan pak Haris memanggilmu Raharjo. Nggak papa kan?"
Raharjo hanya tersenyum, tapi masih berdiri didepan pintu. Kata-kata Galang bahwa ia harus berani mengucapkan cinta pada Retno, membuatnya ragu untuk menemuinya. Ada debar aneh yang tiba-tiba merayapi hatinya. Sungguh tadinya ia tak merasa rikuh, tapi ingatan itu seperti menyulut api yang sesungguhnya tak hendak menyala.
"Jo.. ada apa kamu itu?" tanya Retno dengan heran.
"Masih sibuk?"
"Nggak, sudah kelar dan siap untuk pulang. Ada apa? Sikapmu tampak aneh begitu."
"Ya sudah, aku tunggu didepan ya," kata Raharjo sambil melangkah pergi dari pintu itu.
"Jo..!"
Retno menghela nafas, ia mengemasi semua barang-barangnya, lalu setengah berlari mengejar Raharjo.
"Jo, tunggu Jo."
"Ya... ada apa?"
"Heran deh, mengapa sikapmu aneh sore ini?"
"Aneh apanya, aku biasa-biasa saja."
"Iya sih, tapi mengapa ya aku merasa kamu seperti aneh?"
"Kamu aja yang aneh..
"Jo.."
"Kepalaku agak pusing."
"Lhah, kok tadi nggak bilang, sebentar aku ambilkan obat dilemari."
"Eit, nggak usah, aku sudah minum obat. Oh ya, ini nanti kita jadi kerumah mas Galang kan?"
"Iya, kan kamu sudah janji mau nganter mobilnya?"
"Baiklah, jadi kamu bawa mobil kamu sendiri, aku bawa punya mas Galang."
Raharjo sudah ada dimobil Galang, ketika melihat Retno belum juga keluar dari parkiran. Maksud Raharjo adalah biar Retno berjalan duluan. Raharjo turun dari mobil dan menghampiri mobil Retno.
"Ada apa?"
"Celaka Jo, mobilku ngadat."
Raharjo menyuruh Retno turun, lalu ia mencoba menstarternya. Tapi berkali-kali mencoba tetap juga tak berhasil.
"Ya sudah, kita tinggal aja dikantor, besok biar dibawa ke bengkel." kata Retno.
"Lalu kita antarkan mobil mas Galang, trus kita pulang naik taksi saja kan?"
"Ya gak papa, atau coba kamu tilpun sama bu Galang, bagaimana kalau mobilnya diantar besok saja. Jadi mobilnya kita bawa pulang dulu."
"Kalau begitu aku mau tilpun bu Galang dulu, kebetulan mas Galang memberikan nomor tilpunnya."
Raharjo memutar nomor tilpun Putri.
"Hallo, suara dari seberang. Raharja terkejut.
==========
(side b)
Raharjo merasa kakinya tak berpijak ditanah. Ada rasa melambungkannya tinggi kelangit lalu menghempaskannya lagi sampai berkeping keping. Apakah itu suara Putri? Ia mengenalinya, suara kekasihnya yang hilang setahun lalu. Benarkah? Atau hanya perasaannya saja?"
"Hallo," suara Putri lagi dari seberang.
"Oh.. eh.. ini...ini.."
"Saya ibu Galang, anda siapa? "
Kepala Raharja terasa seperti diguyur segalon air dingin. Ia hampir menggigil. Ternyata bukan Putri. Aduhai..
"Oh, iya ibu, saya Raharjo," agak lama baru Raharjo sempat berkata-kata.
"Oh, mas Raharjo, mau mengembalikan mobil suami saya?" tanya Putri yang sebenarnya sedang mengingat ingat, mirip siapakah suara orang yang menelponnya? Sungguh ia merasa seperti mengenalnya. Tapi.. bisa saja ya suara mirip, lalu Putri melupakannya.
"Sebetulnya iya bu, tapi mobil teman saya berhalangan. Bolehkah mobil saya kembalikan besok saja?"
"Oh, baiklah mas, nggak apa2 kok, dirumah juga nggak ada yang memakai.
"Jadi boleh ya bu."
"Boleh, silahkan.."
Raharjo menutup ponselnya. Keringat dingin terasa membasahi tengkuknya.
"Jo, kamu itu kenapa, seperti orang linglung begitu," tanya Retno melihat sikap Raharjo benar2 aneh. Aneh yang berbeda, tapi menurut Retno itu tidak wajar.
"Nggak apa-apa, rupanya kepalaku masih pusing. Kamu saja yang membawa mobilnya ya, dan bawa saja kerumahmu, dirumah kontrakanku nggak ada garasinya.
"Baiklah, aku antar kamu dulu ya.Lagian kan kamu lagi pusing. Mau aku kerokin?"
Raharjo tersenyum. Tiba2 ia teringat Naning, sedikit saja mendengar dia mengeluh, Naning langsung bilang, mas, mau aku kerokin?
"Mau ?
"Nggak ah, takut.."
"Takut apa?"
"Takut kalau ada setan lewat..."
"Memangnya kenapa kalau ada setan lewat?"
Raharjo hanya tertawa, ia ingin melanjutkan gurauan itu, tapi takut Retno tersinggung.
"Nggak apa_apa, ayo cepat jalannya.. "
"Cepat.. cepat, jalanan begitu macet bagaimana mau cepat?
***
Tapi ketika sampai dirumah, Raharjo masih terngiang ngiang suara ditelepone tadi. Suaranya benar2 mirip Putri. "Kalau itu benar2 Putri, bisa pingsan aku tadi," bisik Raharjo sambil merebahkan tubuhnya dikursi panjang.Raharjo mengibaskan bayangan Putri, lalu memejamkan matanya, menggantinya dengan bayangan Retno. Tapi dua2nya adalah bintang dilangit, Raharjo merasa hanya seperti pungguk merindukan bintang.
"Mau aku kerokin?" Raharjo terkejut, tak ada siapa2 disitu, dan itu seperti suara Retno, terngiang kembali ditelinganya, Ya Tuhan, jangan sampai aku jatuh cinta kepada sesuatu yang tak mungkin. Jangan sampai aku tersakiti lagi.
Raharjo kemudian merasa ketakutan, kalau sampai dia jatuh cinta pada Retno. Ini gara2 mas Galang selalu menyebut-nyebut Retno tadi, kemudian ia jadi kepikiran. Padahal tadinya tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa dia akan menyukai Retno sebagai kekasih. Tapi tiba2 rasa itu muncul, seperti api yang padam kemudian tersulut lagi. Sungguh Raharjo ketakutan.
Ia terus memikirkannya, sampai kemudiaan terlelap dalam letih, dan bermimpi bertemu sesosok bayangan wanita, membelakanginya, rambut panjangnya terurai, menebarkan harum yang membuatnya melayang layang.
"Siapa kamu?" tanyanya kepada bayang2 itu.
"Aku titisan Widowati...," bayang2 itu menjawab.
"Kamu Dewi Supraba? Sinto ? Lara Ireng?"
"Bayang2 itu melenggang... lalu terbang terbawa angin. Raharja terpana, melihat keatas langit.
"Kamu adalah bintang..." bisiknya sedih..
"Jo... Teguh... "
Raharjo terkejut, ada yang memanggil namanya, berkali kali. Lalu ketukan pintu sangat keras. Dan Raharjo terjaga. Ia mengucek kedua matanya.
"Jo...," suara panggilan itu lagi, disertai ketukan dipintu.
Raharjo bangkit, menuju pintu.
"Jo..." suara itu lagi, suara lembut yang tak asing baginya.
Raharjo membuka pintu, Retno berdiri didepan pintu dan tersenyum.
"Kamu? Kembali lagi kesini?"
"Duuh... aku diusir?" keluh Retno sambil merengut.
Raharjo tersenyum.
"Masuklah, ada apa?"
Keduanya masuk kedalam dan duduk berhadapan dikursi tamu.
"Aku khawatir, kamu tadi tampak sakit, ini obat, dan nasi uduk.. makanlah," kata Retno sambil meletakkan dua bungkusan makanan dimeja, dan sebungkus obat pusing.
"Aku nggak apa2.. repot amat sih.."
"O, gitu ya, diperhatikan sahabat, kamu bukannya berterimakasih malah mengeluh."
"Bukan begitu, ma'af Retno, kamu sendiri kan capek.. masih mikirin aku juga, aku jadi nggak enak donk."
"Kamu sama aku itu berangkat bersama sama, mencari nafkah bersama sama, jadi sakit atau senang mari kita pikul berama sama. Ayo dimakan nasinya, aku lapar nih."
Retno mengambil piring diruang belakang kamar tamu itu, lalu meletakkan masing2 sebungkus pada piring itu.
"Ayo makan, atau... minta; disuapin?" tantang Retno sambil menyendokkan nasi, siap disodorkan kemulut Raharjo.
"Aaah, kamu nih, oke, aku makan sekarang."
Retno merasa senang melihat Raharjo makan dengan lahap.
"Huh, lapar aja pake malu2 segala. Tapi lihat, rambutmu acak2an begitu, kamu tadi lagi tidur?"
Raharjo mengelus rambutnya, maksudnya biar lebih rapi.
"Iya aku tadi tidur, dikursi ini. Maksudku ketiduran, lalu aku bermimpi..."
"Ketemu Putri?" tanya Retno menebak nebak.
"Ketemu titisan Widowati.... ," jawab Raharjo sambil menyendok nasinya.
"Haa... itu kan pentas yang kamu lakonkan sebelum..... oh ya, kamu masih memikirkannya? Masih mengharapkan cintanya?"
Raharjo tersedak. Retno berlari mengambilkan segelas air lalu diberikannya pada Raharjo.
"Pelan2..."
"Terimakasih.," lalu Raharjo melanjutkan makannya, sampai habis dan tak mengucapkan sepatahpun kata sebagai jawab atas pertanyaan Retno.
Tiba2 Raharjo menangkap nada cemburu pada pertanyaan Retno, dan itu membuatnya berdebar. Ya Tuhan, jangan lagi.. jangan sampai aku tersakiti..bisik batin Raharjo. Ia begitu takut jatuh cinta lagi, lebih2 kepada gadis seperti Retno. Dia juga bintang.. seperti Putri, jangan sampai aku dihinakan lagi.
"Jo... "
Raharjo mengangkat mukanya, memandangi Retno sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Heran deh, hari ini kamu benar2 aneh. Ayo sekarang minum obatnya. Kamu sakit Jo."
"Nggak, aku baik2 saja.
Raharjo membayangkan semua kebaikan Retno, perhatiannya, apakah benar itu hanya karena persahabatan?
"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi Jo," kata Retno sambil menumpuk piring kotor dan memasukkan bungkus bekas nasi kedalam tas sampah yang telah disiapkannya.
"Pertanyaan apa?" Raharjo pura2 tak tau.
"Kamu masih mengharapkan cintanya Putri? Mengharapkan bisa bertemu dia lagi?"
Raharjo meneguk lagi air dalam gelasnya.
"Aku ini kan laki2 miskin, ada peribahasa mengatakan, kalau aku masih mengharapkan dia itu kan sama saja dengan pungguk merindukan bulan." jawab Raharjo sambil menyandarkan tubuhnya.
"Kamu jangan merasa begitu, tak ada larangan mencintai laki2 miskin Jo."
Raharjo terkejut. Apa maksudnya Retno berkata begitu?
"Tidak Retno, aku takut mencintai siapapun, apalagi kalau gadis itu anak orang kaya raya, terpandang.."
"Bagaimana kalau si gadis itu yang mencintai kamu?"
Raharjo tak berani memandangi Retno, sungguh ia sedang menenangkan debaran jantungnya.
"Dulu Putri juga mencintai aku, tapi apa, aku hanya tersakiti, terhina, karena aku miskin," kata Raharjo sedih.
"Tapi tidak semua orang kaya bersikap begitu lho Jo."
"Aku yang takut.."
"Jo.. apa kamu tau?"
"Tau apa?"
"Eh, nggak jadi. Ya sudah, kalau kamu masih pusing minumlah obatnya, sekarang aku mau pulang. Itu aku membawa mobilnya mas Galang."
"Tiba2 pulang? Tadi mau ngomong apa?"
"Nggak jadi, kapan2 saja."
Retno terus berdiri dan melangkah keluar. Ada senyum manis yang ditnggalkannya dan itu membuat Raharjo membenci dirinya sendiri.
Benarkah kata Galang bahwa Retno suka sama dia? Mengapa baru sekarang Raharjo memikirkannya? Ya Tuhan, jangan lagi.... keluh Galang sambil mengunci pintu rumah kontrakannya setelah Retno pergi.
***
Begitu sampai di kantor cabang Medan, Widi dan Galang langsung mengadakan rapat dengan para pinpinan di perusahaan cabang tersebut. Intinya akan banyak perubahan yang mereka lakukan, agar perusahaan berjalan maju seperti yang ada di Jakarta. Itulah sebabnya begitu memasuki hotel, Galang langsung merebahkan tubuhnya ditempat tidur. Matanya hampir terpejam ketika tiba2 teringat bahwa dia belum menelpon Putri. Baru sehari berpisah, tapi alangkah rindu hati Galang.
"Hallo mas," suara merdu dari seberang begitu Galang menelponnya.
"Hai sayang, sedang apa?"
"Ini, baru saja menidurkan Adhi."
"Wah, baru sehari aku sudah kangen nih."
"Bagaimana pekerjaanmu disini mas?"
"Tadi begitu datang langsung rapat, setelahnya langsung masuk kamar nih, kecapean, mungkin satu atau dua hari lagi aku pulang."
"Syukurlah, Adhi juga sudah kangen sama bapaknya."
"Yang kangen Adhi apa ibunya?" tanya Galang menggoda.
"Ehem, dua2nya lah..."
"Bener nih?"
"Bener dong..."
"Jadi pengin pulang sa'at ini juga.."
Tiba2 terdengar ketukan pintu. Galang berjalan kearah pintu masih dengan memegang ponselnya, dan bercanda dengan isterinya.
Ketika pintu terbuka, dilihatnya Widi berdiri disana, dan tanpa dipersilahkah langsung masuk kekamar Galang.
"Lagi telponan sama istermu ?" tanya Widi keras2, entah apa maksudnya.
"Mas, itu mbak Widi ya?Ada dikamar mas?" tanya Putri, dengan nada suara yang kurang senang.
"Hm.. aku capek sekali Lang, tapi ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."
"Hallo.. hallo..." Galang memanggil manggil isterinya, tapi Putri sudah menutupnya.
Bersambung #16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel