Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 24 April 2021

Sekeping Cinta Menunggu Purnama #18

Cerita Bersambung
(side a)

Galang sudah sampai di kantornya. Widi belum tampak ada dimejanya. Barangkali baru hari ini dia berangkat dari Medan, Galang tak ingin bertanya pada siapapun, dan juga tak ingin tau. Ia sibuk mengerjakan apa yang menjadi tugasnya, sampai sa'at istirahat tiba. Seseorang mengetuk pintunya, dan ternyata dia Raharjo. Galang tersenyum senang. Entah mengapa walau belum lama berkenalan, ia merasa sudah sangat dekat dengan Raharjo, sehingga apa yang membebani pikirannyapun ia curahkan pada Raharjo.

"Mas Galang sudah kelihatan segar, pasti setelah bertemu isteri mas Galang jadi lebih tenang."
"Ada benarnya Jo, tapi setiap kali aku masih saja terbayang kejadian kemarin malam itu. Sungguh itu sangat mengganggu. Kalau nanti isteriku tau entah apa yang akan terjadi."

"Menurut aku mas, bagaimana kalau kejadian itu dikatakan terus terang saja pada bu Galang."
"Apa? Mengatakan semuanya pada isteriku? Ya ampun Jo... mana mungkin... hancur aku nanti."
"Tapi itu jalan terbaik. Daripada bu Galang mendengar dari orang lain, apalagi kalau mbak Widi nanti memaksa melakukan sesuatu dan mengancam akan mengatakan semuanya pada bu Galang, atau jangan-jangan bu Widi telah merekam adegan malam itu.. lalu dipergunakannya untuk memaksa mas Galang karena bisa jadi ia akan membeberkan rekaman itu pada bu Galang."

"Ya Tuhan... ya Tuhan..." Galang memegang kepalanya dengan kedua tangannya.
"Kalau bu Galang benar mencintai mas Galang, ia pasti bisa menerima keadaan itu."
"Alangkah beratnya Jo..."

Galang masih memgangi kepalanya dengan kedua tangan, yang sikunya bertumpu pada meja didepannya.

"Bagaimana kalau aku melaporkannya pada polisi?"
"Apakah mas Galang punya bukti? Seandainya air yang mas Galang minum itu masih ada sisanya, mungkin bisa dijadikan alat bukti."

Galang terperanjat. Sisa air itu, bukankah kemarin ia masukkan kedalam koper? Galang merasa sayang membuang sisa air dalam botol itu. Dalam kehidupannya yang sekarang ini, Galang harus lebih hemat karena merasa belum bisa hidup layak seperti yang diimpikannya. Itulah sebabnya walau hanya air, ia belum ingin membuangnya. Siapa tau dalam perjalanan ia merasa harus. Tapi apakah benar air itu yang mengandung obat yang membuatnya terkapar tak sadarkan diri?

"Air... sisa air itu masih ada.. apakah air itu penyebabnya?"
"Benakah mas? Kita bisa memeriksakannya ke laboratorium, zat apa yang terkandung dalam air itu. Kalau benar berisi semacam obat bius atau obat tidur, kita bisa melaporkannya pada polisi."
"Sebentar, aku akan menelpon isteriku."
Galang memutar nomor isterinya.
"Hallo mas, sudah makan siang?"
"Belum, ini mau makan sama Raharjo. Tunggu sayang, kamu sudah membongkar isi koper yang mas bawa kemarin?"
"Sudah mas, baju-baju kotor, sudah dicuci sama simbok. Ada uang didalam saku mas? Aduh, aku lupa memeriksa saku-sakunya mas. Berapa banyak?" tanya Putri nyerocos tanpa memberi kesempatan Galang untuk bicara.

 "Bukan uang, bukan baju-baju itu. Kamu menemukan botol berisi air setengahnya?"
"Oh, ada, sudah aku buang mas."
"Apa? Kamu buang? Celaka, kamu buang dimana?"
"Di tempat sampah lah mas, habis air tinggal separo, apa mas masih ingin meminumnya? Nanti aku belikan lagi.."
"Bukan itu, aduh... coba suruh simbok untuk mencari botol itu, dan ambil kembali."
"Mas, kan sudah ditempat sampah.."
"Coba simbok suruh nyari, barangkali tukang sampah belum mengambilnya."
"Tapi mas..."
"Sayang, tolong dengar dan turuti kata-kataku, ini sangat penting."
"Kenapa mas?"
"Aduuh, sudah jangan banyak bertanya. Cepat suruh simbok mencarinya, nanti mas akan mengatakan semuanya. Ini menyangkut hidup dan matiku."
"Apaa?"

Galang merasa kesal. Tanpa menjawab lagi pertanyaan Putri ia langsung menutup ponselnya. Ia yakin Putri pasti sudah menyuruh simbok mencarinya. Tapi masih adakah? Bagaimana kalau sudah diambil oleh petugas sampah?

"Tenanglah mas, semoga air itu masih ada. Sekarang mas harus pikirkan, berterus terang kepada bu Galang atau membiarkan mbak Widi yang mengatakannya. Perempuan seperti itu pasti punya pikiran seperti yang aku katakan."

Galang mengangguk, ia akan menata batinnya, dan memang benar, lebih baik berterus terang saja kepada isterinya. Keringat dingin mengucur pada seluruh tubuhnya, bagaimana kalau isterinya marah dan tak mempercayai apa yang dikatakannya?

"Ayo sekarang kita makan mas, sudahlah, orang baik pasti akan ditolong Allah. Aku akan membantu berdo'a untuk mas Galang.
Galang berdiri dan berjalan berdampingan dengan Raharjo. Tangannya menggandeng erat lengan Raharjo.
***

Putri kalang kabut mengorek tempat sampah. Ia tak menyuruh simbok karena simbok sedang menggendong Adhit. Tapi hanya ada sedikit sampah disitu, rupanya sampah pagi sudah diambil oleh petugas sampah, dan yang ada hanyalah sebungkus daun-daun bekas pembungkus bumbu dan sayur yang dibuang simbok setelah petugas sampah mengambilnya.  Tak ada botol tempat minuman disana.

Putri kebelakang, mencuci tangannya bersih-bersih. Dalam hati ia heran, mengapa botol air itu harus ditemukan? Apakah isi yang ada didalam botol itu? Sepertinya hanya air. Tapi suaminya wanti-wanti dengan sangat tegas bahwa botol itu harus diketemukan. Ya Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi? Putri menghempaskan tubuhnya di kursi tamu. Ia ingin menelpon suaminya bahwa botol itu sudah tak lagi diketemukan.  Tapi tiba-tiba simbok mendekat.

"Jeng, mas Adhit sudah simbok tidurkan. Simbok menyiapkan makan siang dulu."
"Ya mbok,"
"Jeng Putri kelihatan sedih, ada apa?"
"Nggak apa-apa mbok, tadi mas Galang menelpon, apa didalam koper ada botol minuman yang masih berisi separo. Ya sudah aku buang kan mbok. Simbok sendiri membuangnya ketempat sampah didepan bersama sampah-sampah lainnya kan?"
"Botol apa jeng?"
"Botol yang tadi ada ditempat sampah yang ada dikamarku mbok, sedih aku, tampaknya itu penting banget, botolnya harus diketemukan."
"O, botol yang tadi dari tempat sampah didalam kamar? Botolnya bagus..?"
"Iya mbok, pasti sudah dibuang sama petugas sampah, ya kan, aku sudah mencarinya disana, sudah nggak ada."
"Owalah jeng, botol itu masih simbok simpan dibelakang."
Putri bangkit dari duduknya.
"Benarkah mbok? Mana botol itu..?"
"Dibelakang, maksud simbok mau simbok pakai untuk tempat minyak, habis botolnya bagus."
"Bawa kemari cepat mbok."
"Sebentar, simbok cuci dulu, airnya juga masih ada belum simbok buang. Belum sempat nyuci, habis masak langsung nggendong mas Adhit.Memangnya itu obat? Masih mau diminum?"
"Jangan dibuang dan jangan dicuci. Biarkan utuh seperti semula. Ya Tuhan, terimakasih..."
"Sebentar jeng."

Simbok kebelakang mengambil botol itu. Putri menerimanya, dan mengamati isinya. Hanya air biasa. Putri membuka tutupnya dan membukanya, lalu mencium baunya.

"Baunya... apa ya.. walaupun tipis aromanya, tapi seperti air biasa. Ah, entahlah. Ya sudah mbok, terimakasih, ayo kita siap-siap makan, biar aku simpan dulu botol ini dikamar." kata Putri sambil melangkah kekamar. Dalam hati ia bertanya tanya, mengapa suaminya mengatakan bahwa ini ada hubungannya dengan hidup dan mati? Ah, membingungkan..
***

Ketika Galang kembali keruangannya setelah makan siang, dilihatnya Widi sudah duduk dibangkunya. Galang hanya melihatnya sekilas, lalu duduk di depan mejanya sendiri, dan melanjutkan pekerjaannya.

"Galang," tak tahan akan kebisuan yang menyelimuti ruangan ditempat mereka bekerja, Widi menyapanya lebih dulu. Galang hanya mendongakkan kepalanya. Menunggu apa yang akan dikatakannya.

"Kamu tidak menyapaku Galang."
Galang kembali menunduk, membuka laptop dan mencari cari data yang akan dikerjakannya.
"Galang, kamu masih marah sama aku? Apakah aku samasekali tidak berarti bagimu? Tak adakah yang menarik dari tubuhku? Kamu menikmatinya Galang."

Galang tetap membisu. Ingin ia mendekati Widi dan menamparnya sekali lagi. Tapi ia tak ingin membuat keributan dikantor. Widi terkadang tak punya rasa malu, dan sering menunjukkan kemesraannya terhadap Galang ketika mereka kebetulan sedang berjalan diantara karyawan lainnya. Waktu itu Galang mengacuhkannya, tapi setelah kejadian malam itu, kemarahan Galang sudah sampai diujung ubun-ubunnya.

"Kamu tidak waras Galang, kamu melukai aku," tak tahan Widi berdiri mendekati meja Galang dengan membawa ponselnya.
"Lihat Galang, aku merekam semua kejadian malam itu. Lihatlah," kata Widi sambil menunjukkan ponselnya kehadapan Galang. Kemarahan Galang memuncak, ditepiskannya ponsel itu sehingga jatuh dan berhamburan dilantai.

"Galang!!!" Widi menjerit marah.
"Beruntung bukan kamu yang aku banting dilantai." hardik Galang dengan mata menyala.
"Kamu menyakiti aku Galang. Dengar, aku akan mengirimkan rekaman itu kepada isterimu.!"
Galang pucat seketika.

==========
(side b)

"Apa kamu bilang?" Galang memeloototi Widi.
"Aku serius, kamu kira aku main-main? Kamu begitu ssombong, angkuh, susah dirobohkan, tapi kenyataannya kemarin malam kamu sudah jatuh kedalam pelukanku. Kamu menikmatinya, tapi kamu ingkar. Jangan pura-pura tidak sadar Galang, aku punya buktinya."
"Perempuan laknat kamu. Murahan kamu!! Tak tau malu, kamu yang meracuni aku bukan? Kamu meninggalkan botol minuman yang sudah kamu isi dengan obat tidur, atau obat apalah namanya, sehingga aku tidak sadar."

Widi tertawa. Bagi Galang suara tawa itu terdengar seperti suara iblis. Galang duduk dikursinya. Benar kata Raharjo, Widi bisa mengancamnya dengan akan mengatakannya pada isterinya.

"Minuman apa, aku tidak bisa berjalan dan aku meracuni kamu? Jangan mengada ada Galang, kalau kamu suka bilang saja suka. Laki-laki mana sih yang tidak tergoda melihat perempuan terbaring disisinya?"
"Pergi kamu Widi, enyah dari hadapanku."
"Galang, aku ini atasanmu, kamu berani mengusirku?"
"Tidak sebagai atasan, aku usir kamu sebagai iblis yang menggangguku. Pergi, atau aku laporkan kamu kepada pak Haris? Kelakuanmu sungguh tidak pantas. Kamu seperti perempuan murahan. Memang kamu murahan kan?"
"Apa kamu bilang tadi? Melapor kepada pak Haris? Kamu lupa pak Haris itu siapa? Dia adalah omku Galang, salah-salah kamu bisa dipecatnya."
"Siapa takut? Aku lebih baik keluar dari sini daripada melihat ujudmu setiap hari. Baiklah, aku keluar sejak detik ini."

Galang membuka lacinya, mengemasi barang-barangnya.
Melihat Galang mengemasi barang-barangnya, Widi mendekat lagi kearah Galang.

"Baiklah, pulang dan temui isteri kamu setelah aku mengirimkan gambar-gambar ini. Ia pasti senang melihatnya."
Galang menghentikan kegiatannya.
"Apa sebenarnya yang kamu inginkan ?" hardik Galang kasar.
"Galang, bersikaplah lembut padaku, seperti ketika kamu mencumbu aku."

Galang merasa muak mendengarnya. Ia tak tau harus berbuat apa. Ia tak ingin isterinya mendapatkan rekaman yang dibuat Widi. Rekaman yang ia tak sudi melihatnya. Ia merasa tak melakukan apa-apa, mungkin Widi hanya menggertaknya.Jangan-jangan dalam rekaman itu tampak bahwa ia tak melakukan apapun, atau Widi membuatnya seolah olah hal itu benar-benar  terjadi?

Galang berfikir akan memeriksakan sisa air yang pastinya sudah disimpan isterinya ke laboratorium seperti usul Raharjo. Ia juga akan melaporkannya pada polisi, tapi ia harus berterus terang dulu kepada isterinya. Bagaimana kalau Widi lebih dulu memberikan rekaman itu? Galang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Widi masih berdiri dihadapannya. Tampaknya Galang harus mengalah sampai ia berhasil mendapatkan buktinya dan mempersiapkan segalanya untuk menghancurkan Widi.

"Galang, bersikaplan manis padaku," kata Widi lembut. Tapi Galang merasa mual dan ingin muntah disa'at itu juga.Susah payah ia mencoba menekan gejolak kemarahannya.
"Ayo kita makan siang.."
"Aku sudah makan bersama Raharjo."
"Kalau begitu temani aku saja, okey?" ajakan itu begitu memaksa, dan kalau dia menolaknya pasti ancaman Widi akan segera dibuktikannya.

Tapi sebelum Galang berdiri, ponsel Widi berdering.
"Ya om," jawab Widi setelah mengangkat telepone itu.

Widi berjalan kearah mejanya, mengambil setumpuk map sambil berbicara di telepone. Galang tak ingin mendengarnya. Ia justru sedang mereka-reka apa yang ingin diperbuatnya.

"Baiklah, Widi kesitu om."
Widi menutup pembicaraan itu, lalu mengambil map yang tadi ada dimejanya.
"Om Haris memanggilku, nanti aku kembali dan jangan lupa temani aku," kata Widi sambil melangkah keluar dari ruangan.

Galang menarik nafas lega. Ia menumpukan kedua siku tangannya dimeja, sambil memegangi kepalanya. Tiba-tiba dilihatnya diatas meja Widi ada sebotol  air minum. Galang berdebar, botol itu persis seperti botol air yang diminumnya sebelum kejadian malam itu. Ia sungguh tak merasa aneh ketika menemukan sebotol air, lalu selagi haus meneguknya. Ia tak berfikir bahwa itu botol yang ditinggalkan Widi dengan sengaja.

"Bodoh!!Bodoh!! Bodoh!!" Galang memaki dirinya yang sangat ceroboh sore itu. Ia mengambil ponselnya dan memotret botol itu, barangkali suatu hari diperlukan.
***

Raharjo sedang melanjutkan pekerjaannya ketika tiba-tiba ponselnya berdering

"Hallo, mas Galang," sapanya setelah mengetahui yang menelpon adalah Galang.
"Hallo Jo, lagi sibuk?"
"Nggak, lagi membaca file pengiriman bulan ini, ada apa?"
"Kamu betul Jo, dia mengancam akan mengakatannya pada isteriku. Aku ketakutan Jo, sungguh."
"Itu pasti mas, perempuan seperti itu pasti akan melakukan apapun tanpa mengenal malu."
"Jadi bagaimana Jo, sisa air minum itu sudah diketemukan, besok aku akan membawanya ke laborat."
"Bagus mas, itu bisa kita jadikan bukti kalau mas jadi melaporkannya pada polisi."
"Beruntung sisa air itu tidak aku minum lagi Jo, soalnya letaknya dibawah. Padahal waktu pulang itu kepalaku juga masih puyeng, rasanya seperti tidak menapakkan kaki ditanah. Pengaruh obat tidur itu masih terasa ketika aku sampai dikantor."
"Tapi setelah sampai dirumah sudah tidak kan? Habisnya sudah ketemu isteri tercinta," goda Raharjo.
"Ah, kamu itu Jo, besok kalau kamu sudah menikah pasti bisa merasa bagaimana senangnya bertemu isteri setelah beberapa hari kamu tinggalkan," Galang ganti menggodanya. Galang heran, begitu bertemu Raharjo bebannya seperti sedikit berkurang.
"Mas Galang tuh, do'akan agar ada perempuan yang mau sama aku ya."
"Ya pasti ada lah Jo, laki-laki ganteng pasti banyak yang suka. Awas ya, jangan bilang miskin lagi."

Raharjo tertawa renyah. Teringat olehnya ketika Retno melayaninya sa'at sakit. Ah, mengapa membayangkan Retno, bukankah Raharjo takut jatuh cinta pada Retno? Tapi bukankah rasa cinta itu tak mengenal takut?

"Jo, kok diam, ya sudah, itu dibicarakan besok-besok ya, ini ada berita lagi. Aku menemukan dimeja Widi, botol air minum yang sama dengan merk seperti yang aku minum sore itu."
"Haa..bagus mas, fotoin saja."
"Sudah Jo, tapi ini aku sedang tak ingin membuat dia kesal Jo, kalau dia marah, ancamannya adalah rekaman itu. "
"Makanya mas Galang harus segera mengatakan apa yang terjadi pada isteri, supaya ketika mbak Widi benar-benar mengirimkan rekaman itu, dia sudah tau bahwa itu bohong."
"Ya Jo, walau berdebar ketakutan, aku tetap akan mengatakannya pada isteriku. Ya sudah Jo, takutnya orangnya tiba-tiba muncul.Ma'af sudah mengganggumu, habis hatiku belum tenang kalau belum ngomong sama kamu."
"Baiklah mas, tenangkan hati mas Galang, aku akan mendukungmu."
Ketika telephone ditutup, tiba-tiba Retno muncul dengan wajah pucat.
"Jo, punya obat pusing ngak?"
"Lho, kamu sakit? Di almari obat kan ada."
"Aku sudah minta, habis katanya."
"Waduuh, duduklah sebentar, aku akan suruhan membelinya untuk kamu."
"Nggak usah Jo, obat gosok saja. Kamu punya kan?"
"Ada, sejak sakit kemarin aku selalu membawanya."
Raharjo mengambil obat gosok itu, dan diberikannya pada Retno.
"Terimakasih Jo," Retno menerimanya lalu menggosokkannya pada pelupis, lalu lehernya. Raharjo melihat sekilas leher jenjang itu, lalu memalingkan mukanya. Ia pura-pura membaca apapun yang ada dihadapannya untuk menenangkan hatinya. Sebenarnya ia ingin membantu menggosokkannya, mana patut? Retno kan bukan Widi yang dengan berani mengganggu laki-laki, dan pasti Retno akan menolak seandainya dia melakukannya.

"Ma'af ya Jo, mengganggu kamu," kata Retno sambil mengosok juga bagian bekalang lehernya.
"Nggak apa-apa, kok kamu tiba-tiba pusing, tadi pagi baik-baik saja."
"Diruangannya, pak Haris lagi marah-marah sama mbak Widi," kata Retno sambil mengembalikan obat gosoknya kemeja Raharjo.
"Marah-marah? Memangnya kenapa?"
"Nggak tau, mbak Widi kan memegang keuangan juga, kelihatannya ada yang nggak beres, Mendengar orang marah-marah kepalaku langsung berdenyut. Aku juga merasa nggak enak sih, lalu keluar menemui kamu."
"Pak Haris tampaknya sabar, ternyata bisa marah juga ya?"
"Wah, kalau marah menakutkan Jo, dia nggak pandang saudara atau bukan. Mudah-mudahan mbak Widi bisa  menyelesaikan masalah itu. Aku duduk disini dulu ya Jo, sampai hatiku tenang."
"Silahkan Ret, masih pusing?Aku belikan obat ya?"
"Sudah berkurang. Nggak apa-apa, jangan khawatir Jo, tapi aku senang kamu menghawatirkan aku," kata Retno sambil tersenyum. Raharjo menangkap senyum iu, dan heran sendiri mengapa hari ini senyuman Retno manis sekali. Hai cinta, bukankah masih ada sekping rasa untuk kekasihnya yang hilang? Entahlah, Raharjo sendiri tak tau. Kalau benar itu cinta, lalu kemudian ditolak, aduhai, Raharjo tak ingin mengalaminya lagi.
***

"Widi, aku mempercayai kamu karena kamu keponakanku, tapi akhir-akhir ini aku merasa kamu bekerja nggak becus.Mengapa ada laporan diganti ganti begini? Ini tidak sesuai dengan laporan kamu sesungguhnya," kata pak Haris dengan wajah marah.
Wajah Widi pucat pasi. Hari itu pak Haris terlihat sangat menakutkan.

"Sebentar om, Widi akan membetulkannya."
"Dari tadi kamu bilang membetulkan, tapi kembali lagi ini tidak sesuai. Aku sudah membaca laporan kamu dua bulan lalu, okey.. aku tau itu bagus, tapi sebulan kesini.. kok nggak nyambung sama laporan sebelumnya."
"Ma'af om, baiklah nanti Widi betulkan. Bolehkah Widi mengerjakannya diruangan Widi?"
"Kenapa kalau disini?"
"Widi punya beberapa catatan yang mungkin masih bisa dipergunakan untuk kelengkapan laporan."
"Yang jelas, aku minta pertanggung jawaban kamu tentang ini, selisih yang tidak sedikit disini. Lihat. Lihat, jangan melihat kemana mana."
"Ya om, pasti ada yang salah."
"Sudah pasti ada yang salah, pertama, selisih limabelas juta. Ini tidak sedikit. Katakan untuk apa uang keluar sebanyak limabelas juga pada akhir bulan lalu."

Bersambung #19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER